Aura mistis rumah Rangga

1129 Kata
“Tidak. Kami langsung pulang saja,” kata Andre. “Kenapa kita pulang? Tidak ada salahnya kita mampir kan?” sahut Lusi tidak sependapat. Ia menunjuk ke arah langit malam yang gelap. “Lihat, langit sudah sangat gelap, sebentar lagi juga hujan.” Spontan Andre, Nina dan Luna menatap ke arah langit malam. “Ayo Lun, kita mampir saja. Rumahnya juga bagus. Klasik. Banyak spot instagramable,” ujar Lusi lirih. Bujuknya agar Luna mau. “Kita mampir saja lah. Engga enak juga kan menolak tawaran orang lain,” kata Luna pada Andre dan Nina. Rangga tersenyum saat Lusi dan Luna melangkahkan kaki naik ke sepuluh anak tangga menuju teras rumahnya. “Silahkan masuk,” katanya sembari membuka pintu. Di bawah, Nina dan Andre masih menatap rumah Rangga yang sedikit lebih tinggi dari permukaan tanah. Mereka saling melempar pandang sebelum ikut masuk ke dalam rumah. Karena Luna dan Lusi sudah masuk ke dalam rumah Rangga lebih dahulu, akhirnya Nina pun ikut masuk. Netra Nina langsung berpendar takjub melihat isi dalam rumah Rangga. Semua perabotan milik Rangga, hampir keseluruhannya klasik. “Rumahmu seperti museum,” puji Lusi sembari berjalan ke dalam. “Lusi,” tegur Nina kesal. Adiknya sudah seperti anak kecil yang norak dan ingin tahu segalanya. “Tidak apa-apa. Mau lihat koleksi nenekku?” Rangga malah mempersilahkan. Nina semakin tidak enak hati. “Kamu tinggal di rumah hanya bersama nenekmu?” tanya Luna. “Iya, aku hanya berdua dengan nenekku. Orang tuaku sudah meninggal saat aku berusia delapan tahun. Tadinya aku tinggal bersama Nenek dan juga bibiku. Tapi bibiku sudah meninggal. Jadi kini hanya aku dan nenekku saja yang ada di rumah ini." Tanpa sadar Nina manggut-manggut saat menyimak cerita Rangga. Di dalam hati, sebetulnya Andre juga kagum dengan hunian keluarga Rangga. Letaknya di pinggir Kota. Tenang, nyaman, luas dan bagus. Manik matanya berpendar ke seluruh ruangan. Dua kepala rusa dan babi hutan tergantung di dinding. Hiasan yang aneh dan tidak sesuai menurutnya. Andre berpendapat, kenapa harus menggantung hiasan kepala babi hutan? Kenapa bukan kepala banteng yang berdampingan dengan kepala rusa di sebelahnya? “Duduk dulu ya. Aku akan membuatkan teh hangat untuk kalian,” ujar Rangga sembari berjalan menuju ruangan selanjutnya. “Jangan! Tidak usah repot-repot. Beristirahatlah saja. Mungkin saja ada benturan di bagaian kepala atau tubuhmu ketika tadi kecelakaan.” “Tidak apa-apa! Aku baik-baik saja!” sahut Rangga. Dan disusul gonggongan mungil Dominic yang langsung melompat ke arah Nina, minta untuk didekap. Nina dengan senang hati memeluk Dominic dan membelai bulu-bulu halus dan menggemaskan. Semua orang sibuk dengan perhatiannya masing-masing. Lusi fokus memandangi lukisan besar berbingkai kayu. Lukisan ini abstrak dan berwarna merah. Bercampur kuning dan ada goresan warna hitam. Entah kenapa ia merasa lukisan abstrak ini menyeramkan dan seakan dibuat untuk memberikan petuah. Warna merah, kuning dan sedikit goresan hitam seperti lukisan iblis. Sedangkan Luna sibuk selfie di spot-spot bagus pada sudut rumah Rangga. Lalu Andre, ia merasa aneh dengan pajangan hewan yang diawetkan dengan air keras. Ia menelan ludahnya. Rumah yang indah tapi mengerikan! “Kenapa?” tanya Nina pada Andre sembari menggendong dan mengusap kepala mungil Dominic. Andre mengangkat kedua bahunya ke atas. “Aku merasa ini mengerikan.” Nina tersenyum kecut. “Benar. Mengerikan. Tapi ini bukan urusan kita. Dan pastinya hewan-hewan ini sudah mati sebelum diawetkan.” Kedua alis Andre naik ke atas. Mereka saling melempar pandang dan senyum. Dan tiba-tiba saja suara halilintar yang kencang mengejutkan mereka. Kilat terlihat jelas dari arah kaca jendela yang ada di sisi kiri. Seakan cambuk api yang murka, memecut bumi dengan cahayanya. Seketika bersamaan dengan suara halilintar yang kencang itu aliran listrik padam. Lalu bayangan menakutkan terlihat dari kaca tersebut. Andre dan Nina yang melihatnya spontan berteriak. Mengejutkan semuanya. Bahkan Rangga yang baru tiba dan membawakan teh hangat berserta dua kantung camilan kacang kemasan nyaris terjatuh karena terkesiap dengan suara teriakan Nina dan Andre. Luna dan Lusi menghampiri Nina. “Ada apa kak?!” seru mereka yang juga tertatih-tatih mendekat karena gelap. Darsi mengangkat lampu minyak yang ia pegang di depan mukanya. “Ada apa kalian berteriak?” Nina dan Andre langsung sadar bayangan hitam yang dilihat mereka adalah neneknya Rangga. “Maaf Nek, kami tadi kaget karena suara kilat.” “Di sini kalau hujan memang kilatnya sangat dahsyat dan juga sering mati listrik,” jawab Darsi. “Ayo duduk.” Luna dan Lusi saling bertatapan. Dan pastinya Luna langsung memilih kursi yang ada di samping Andre. “Rangga, apa kamu sudah membuatkan teh hangat untuk teman-temanmu?” tanya Darsi setengah berteriak. “Sudah Nek. Ini aku akan ke sana.” Suara Rangga terdengar sudah ada di ruangan yang sama. Dua menit kemudian Rangga menaruh tujuh cangkir teh hangat dan juga dua kantung snack kacang atom kemasan dengan logo burung lambang Negara Indonesia. “Ayo langsung diminum. Biar enggak dingin. Di tempatku ini memang sering hujan.” Nina langsung mengambil teh hangat yang disajikan. Telapak tangannya yang dingin langsung terasa nyaman menyentuh permukaan cangkir. Ia menyesap perlahan hingga tandas. Rangga mengamati Nina yang kehausan. Karena terkejut tadi, membuat jantung Nina masih berdebar dan karena itu ia langsung menghabiskan teh yang disajikan. Darsi memandangi Nina lekat. “Kamu kelelahan?” Nina terkejut ditegur Darsi. Ia menaruh cangkir teh yang sudah habis di atas meja. “Sedikit ...,” jawabnya lirih. “Pasti lelah karena ‘kembali’ ....” Kata-kata kembali yang dikatakan oleh Darsi memberikan makna sendiri. Membuat Nina langsung termangu. “Tadi, mobil kami dan Rangga bertabrakan. Maaf. Semoga saja Rangga tidak mengalami memar atau semacamnya,” ujar Nina menyesali kecerobohannya. “Iya Nek ... Jika mungkin Nenek dan Rangga membutuhkan bantuan karena kesalahan kami, silahkan hubungi kami saja,” timpal Andre membantu Nina berbicara. “Aku sudah memberikan kartu namaku pada Rangga.” Darsi tersenyum simpul. Kerutan di sekitar bibirnya itu semakin terlihat jelas. “Bukan aku atau Rangga yang membutuhkan bantuan. Tapi kalian,” ujarnya penuh teka teki. Sontak saja Nina, Andre, Luna dan Lusi kebingungan. “Maksud Nenek?” Pandangan Nina beralih dari Nenek Darsi ke Rangga yang hanya diam tidak bersuara. Setelah Neneknya ikut berkumpul, Rangga tidak banyak bicara seperti sebelumnya. Mereka bertatapan. Netra mereka saling bertaut. Tenggelam dalam gelapnya bola mata yang dalam dan dingin hingga suara Nenek Darsi berbicara dengan nada lebih tinggi sembari menarik tangan Luna. “Kebohongan akan segera terungkap dan penyesalan akan menitikan air mata darah,” ujar Darsi sembari menggenggam kuat tangan Luna. Luna mendelikan matanya. Ia langsung menarik tangannya tersebut namun tenaga Nenek Darsi ternyata lebih kuat. Darsi masih mencengkeram tangan Luna, belum membiarkannya lepas. Nina yang juga melihat dan mendengar apa yang dikatakan Nenek Darsi kini penuh tanya. Sedangkan Lusi langsung sadar siapa Nenek Darsi ini karena apa yang diucapkannya. Kalimat Nenek Darsi ini seraya menegur atas tingkah buruk Luna. “Apa nenek seorang cenayang?” tanyanya lirih dan hati-hati. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN