“Apa nenek seorang cenayang?”
Pertanyaan Lusi ini justru mengundang tawa Nenek Darsi. “Hahahahaha ... Kamu kira aku cenayang?” Suara tawanya itu menggelegar dan membuat Nina melirik ke arah adiknya.
Lusi merasa tidak nyaman atas pertanyaan sendiri. “Maafkan aku Nek. Aku tidak bermaksud apa-apa ....”
“Tidak apa-apa. Aku hanya terkejut saja ada seseorang yang terang-terangan bertanya seperti itu padaku.”
Lusi tersenyum pahit.
Luna memegangi tangannya sendiri. Telapak tangan Nenek Darsi yang tua dan dingin itu membuatnya takut. Apa lagi kata-kata yang dikatakannya itu sangat tidak sopan, menurutnya. ‘Untung saja nenek-nenek! Kalo bukan nenek-nenek udah aku sahutin kata-katanya tadi!’ sungutnya di dalam hati.
“Ayo silahkan di minum tehnya. Dan camilannya juga. Apa kalian lapar? Jika lapar, biar Rangga yang membuatkan mie rebus instan. Di daerah sini selalu dingin kalau malam, jadi pasti bawaannya selalu lapar,” ujar Darsi sembari beranjak dari duduknya.
Nina, Luna dan Lusi langsung menggelengkan kepalanya.
“Tidak. Tidak usah Nek, terima kasih,” jawab Nina sembari tersenyum simpul.
“Nenek kembali ke kamar ya. Mau tidur,” kata Darsi dengan suara rentanya.
Semuanya langsung menganggukkan kepala kompak seakan dikomando.
Suasana memang terasa berbeda dan kikuk saat Nenek Darsi hadir. Kini saat beliau pergi, suasana kembali mencair. “Apa kalian lapar? Diluar hujan. Biasanya mati listrik akan lama kalau hujan petir begini.”
“Tidak terima kasih,” jawab Nina.
“Aku juga masih kenyang.” Lusi menambahi.
Luna dan Andre diam saja.
Semuanya terpaksa menunggu hujan di rumah Rangga. Nina duduk di tepi jendela. Rumah Rangga yang berada lebih tinggi dari dataran tanah, membuat pemandangan memang terlihat lebih jelas dan indah. Sebuah tower listrik mencuri perhatian Nina. Tatap matanya terus tertuju ke arah sana.
“Ada apa?” tanya Rangga pada Nina.
Nina menunjuk tower tinggi yang dari kejauhan dapat terlihat walau gelap. Sebersit cahaya kilat sekilas membantu penglihatan agar lebih jelas memandang. “Di sana ... sebelah tower listrik tersebut, ada museum kan?”
Rangga menganggukkan kepalanya. “Iya, betul. Dan rumahmu di mana? Kata kamu sebetulnya di masa depan kita adalah tetangga?”
“Rumahku dua rumah dari tempat tinggalmu,” jawab Nina tanpa memandang ke arah Rangga.
“Dan kamu sudah melewati misi ini?”
Kini Nina menoleh.
Mereka bertatapan. Manik mata mereka beradu dan tenggelam dalam bola mata masing-masing. “Misi apa?”
“Misi menyelamatkan tunangan dan juga adik tirimu .....”
Tepat saat Rangga berkata demikian, suara teriakan Luna terdengar. Sontak Rangga dan Nina yang duduk saling berhadapan langsung berlonjak.
“Luna! Kenapa dia?!” Nina tergesa menghampiri sumber suara Luna yang ada di balik ruangan.
Lagi pula sedang apa Luna berada di rubanah rumah Rangga?!, batin Nina.
Pertanyaan Nina itu kini terjawab saat ia sudah sampai di lokasi Luna yang berdiri gemetar. Kedua tangannya terlihat menggigil dan manik matanya melihat ke arah sudut ruangan. Andre terbujur kaku tak sadarkan diri dengan mulut ternganga dan berbusa.
"Ya Tuhan, Andre!" seru Nina. "Luna apa yang terjadi dengan Andre?! Kenapa dia?!" Ia panik. Berlari mendekati Andre dan mendekapnya.
Luna tampak syok. Netranya tergenang air mata. Ia menggelengkan kepala pelan.
Rangga yang ikut mendekati Andre bersama Nina ikut meraih tubuh kekar yang terbujur dengan sepasang mata mendelik. "Dia kejang, Nina!" serunya memberitahukan.
Rangga sangat yakin Andre kejang karena kedua tangannya kaku, jarinya tampak tertekuk dan bibirnya miring ke samping.
"Apa Andre struke?" Nina seolah bertanya pada dirinya sendiri untuk mendapatkan jawaban. "Kita harus membawanya ke dokter terdekat!"
Rangga menatap tatapan mata kosong Andre. Ia seakan tahu apa yang terjadi. "Tidak usah membawanya ke dokter. Aku akan bangunkan nenekku. Ayo kita angkat bersama Andre ke kamarku."
Nina mengerutkan dahinya. "Yang benar saja Rangga, kita tidak usah membawa Andre ke dokter? Dia akan celaka jika tidak segera ditangani."
"Terserah padamu Nina. Jika ke dokter, mereka pasti akan mendiagnosa Andre mengalami struk ringan. Dan jika ternyata bukan itu yang terjadi bagaimana?"
Nina sebentar diam. Memang apa yang dialaminya selama tiga hari ini tidak lah masuk logika. Kemungkinan besar Andre juga mengalami hal yang sama. Tanpa mengiyakan, Nina mulai membantu Rangga mengangkat tubuh Andre. "Luna, bantu kami! Jangan diam saja!"
Luna langsung ikut membantu membopong Andre. Mengangkatnya bersama Nina dan Rangga menaiki anak-anak tangga menuju lantai atas dari rubanah bawah tanah ini.
"Sebetulnya apa yang terjadi sih Luna? Kenapa kalian bisa sampai ke basement rumah orang lain tanpa izin dan Andre mengalami struk ringan?" tanya Nina menutut jawab.
Luna mendengar pertanyaan Nina tapi ia memilih tidak mau menjawab.
Setelah sampai di atas, mereka bertemu dengan Lusi yang memang mencari saudari-saudarinya. "Aku sejak tadi mencari kal– ...." Belum sempat kalimatnya berlanjut, bola matanya sudah melihat Andre yang sedang dibopong. Spontan Lusi jadi ikut membantu memegangi bagian sebelah kaki Andre. "Ya Tuhan! Apa yang terjadi!"
"Andrea pingsan," jawab Luna dengan suara terbata dan parau.
"Ini bukan pingsan. Tapi ini sudah seperti orang kesurupan! Lihat matanya!" sahut Lusi.
Nina yang memang pendiam, memilih tidak bersuara. Walau ia tahu apa yang dialami Andre memang ganjil.
"Kita akan membahasnya ini nanti saja. Biar Nenekku yang memeriksanya," ujar Rangga sembari sebelah tangannya memutar knop pintu kamar.
Setelah mereka membaringkan Andre di atas ranjang miliknya. Rangga meminta Nina, Lusi dan Luna menunggu di kamar. Sedangkan dirinya sendiri pergi membangunkan Nenek Darsi yang sudah terlelap.
"Kak, sepertinya kita salah mampir ke sini," ujar Luna setelah kepergian Rangga.
"Kan tadi aku sudah bilang kita lebih baik pulang saja," jawab Nina sembari bersedekap menatap Andre yang terbaring.
"Kalo bukan Lusi yang ngajak aku juga gak mau."
"Loh kok jadi aku?!" Mereka kini saling menyalahkan.
"Sudah, sudah. Kalian ini kenapa sih? Sebentar akur sebentar bertengkar?" Nina berusaha merelai.
"Sekarang aku tanya padamu, Lun ... Sebetulnya apa yang kamu lakukan bersama Andre di rubanah tadi?" tanya Lusi penuh selidik. "Bisa-bisanya kamu dan Andre lancang ke rubanah rumah orang lain tanpa izin. Apa lagi usia sudah bukan kanak-kanak!"
Luna mengerenyit. Ia tidak suka di hardik dan dipojok kan.
"Hal itu juga yang sejak tadi aku tanyakan padamu dan belum kamu jawab ...." Nina menimpali.
Luna terdiam dan memang tersudut. Semua mata menatap ke arahnya. Bola mata tajam Nina dan Lusi seakan menghakiminya. Haruskah ia menceritakan pada Nina jika tadi berciuman panas dengan Andre di rubanah?!
"Luna, sebetulnya kalian berdua sedang apa di rubanah tadi? Sudah tiga kali dengan ini aku bertanya padamu, tapi belum kamu jawab!"
Bersambung