Mobil Nina melesat ke jalanan raya yang lebar. Walau berisi empat orang di dalam mobil, suasana terasa sunyi. Tidak ada yang mengobrol. Mendadak hening.
Keheningan ini tidak membuat Nina nyaman. Ia mulai membuka suara untuk mengajak Andre berbicara. “Apa sekarang jadwal medis di rumah sakitmu sedang luang?”
Andre menoleh. “Memang sedang tidak ada jadwal. Lagipula jadwalku hanya pagi hingga siang saja. Kenapa?”
Nina tersenyum simpul. “Tidak apa-apa. Aku hanya bertanya saja,” jawabnya. Yang sebetulnya Nina merasa aneh dengan semua perubahan kejadian yang dialami. Semuanya tidak sama. Harusnya malam ini ia pergi sendirian ke butik untuk fitting gaun pengantin.
Lalu gaun pengantin itu tertinggal. Saat sesampainya di rumah, tak lama Andre memutuskan untuk mengambil gaun pengantin yang tertinggal bersama dengan Luna. Dan setelahnya, kecelakaan tragis itu pun terjadi.
“Kak, aku minta minum,” ujar Luna menyela. Ia sedikit maju dan mencondongkan punggungnya untuk mengambil botol air mineral yang ada di dekat Nina.
“Iya, iya, aku ambilkan,” jawab Nina sembari sebelah tangannya mengambil botol air mineral tersebut. Tapi karena hal sepele itu, fokus mengemudinya pecah.
“Nina awas!” teriak Andre saat melihat seseorang menyeberang sembari berlari.
Sontak Nina membanting setir. Mobilnya oleng dan berputar di tengah jalan. Semua orang yang ada di dalam mobil berteriak histeris. “Aaaaa!!”
Mobil silver tersebut benar-benar hilang kendali dan kemudian menyerempet mobil lainnya. Mobil jeep biru yang kebetulan lewat ikut terhantam.
Mobil Nina yang dua kali berputar kencang kini sudah berhenti dan diam melintang di tengah jalanan raya.
Degupan jantung yang berdebar terdengar mengalun memenuhi ruangan mobil. Semua mata saling melirik satu sama lain. “Kalian tidak apa-apa?” tanya Nina cemas.
“Aku tidak apa-apa. Kamu?” Andre berbalik bertanya.
“Aku juga tidak apa-apa ....” Peluh dingin Nina menetes. Ia menoleh ke belakang. Memastikan adik kembarnya baik-baik saja. “Luna, Lusi? Kalian enggak kenapa-kenapa kan?”
“Kepalaku tebentur,” jawab Lusi sembari memegangi kepalanya.
“Aku juga,” sahut Luna memegangi pipinya. “Kenapa sih? Kakak engga bisa nyetir apa gimana?!”
“Tadikan aku mau ngambilin kamu botol minum,” jawab Nina. “Lalu Andre tiba-tiba berteriak. Dan aku melihat seseorang pria tinggi dan besar menyeberang jalan ....”
Luna tidak percaya. “Mana ada orang nyeberang di jalan raya lebar gini. Cari mati kali ....”
“Apa yang dikatakan Nina benar, Lun. Aku juga melihatnya,” sahut Andre sembari menoleh ke belakang.
Luna menggelengkan kepalanya dengan wajah bersungut tidak percaya. Ia kira Andre berkata demikian hanya untuk membela Nina.
Lusi melihat ke arah luar dari balik jendela. Jalanana raya yang mereka lewati ini terlalu sunyi. Terasa janggal dan aneh. Bahkan kabut tebal terlihat mengaburkan jarak pandang.
“Brak!” Suara jendela kaca mobil digedor oleh seseorang. Mengejutkan semua orang yang ada di dalam mobil.
Nina mendelik sembari melihat ke arah kaca jendela mobilnya yang ada di sisi kanan.
Wajah Rangga terlihat menempel di kaca.
Nina menurunkan kaca jendela mobilnya. “Rangga?”
“Dokter Nina?” Rangga tak kalah terkejut melihat pengemudi mobil yang menghantam jeepnya adalah Nina.
“Sedang apa kamu di sini?”
“Sedang apa? Mobilku kamu tabrak!” serunya menjawab.
Nina melihat ke arah jeep yang ada d bahu jalan dengan kap depan terangkat ke atas.
“Kalian saling kenal?” tanya Andre ingin tahu.
“Anjing Rangga adalah pasienku.”
“Kenapa kamu menabrakku?” tanya Rangga dengan wajah kesal. “Jalanan raya longgar dan sunyi. Tapi masih menabrak pengendara mobil lainnya!”
“Maaf. Tadi aku melihat seorang pria menyebrang jalan. Makanya aku banting setir.”
Rangga menatap Nina lekat. “Sayangnya aku tidak melihat apa-apa.”
“Tapi tadi memang ada yang menyeberang,” sahut Andre membela Nina.
“Terserah kalian. Aku akan menelepon polisi. Biar kalian bertanggung jawab atas apa yang terjadi denganku,” ucap Rangga sembari mengeluarkan ponsel yang ada di saku celananya.
“Jangan-jangan!” sahut Andre tidak mau memperpanjang masalah. “Aku akan mengganti biaya kerusakan mobilmu dan kita selesaikan secara kekeluargaan. Kamu mau ke mana? Biar kami antar pulang. Masuklah ke mobil. Jeepmu yang rusak biar aku urus.”
Rangga terdiam. Ia masih berdiri mematung di sisi jendela.
“Ayo tunggu apa lagi. Masuk ke dalam,” kata Andre sekali lagi.
Manik mata Rangga beralih ke arah Nina.
Nina membalas tatapan Rangga. “Ayo, masuklah ke mobilku. Aku akan antarkan pulang.”
“Tunggu,” jawab Rangga yang berlari ke arah jeepnya dahulu. Mengambil Dominic yang ada di dalam kandang jinjing. Lalu ikut bergabung di dalam mobil Nina.
Rangga duduk di kursi bagian belakang. Duduk di samping Lusi yang tersenyum ramah ke arahnya.
Andre mengelurakan selembar kartu nama miliknya dari dompet dan memberikannya pada Rangga. “Ini kartu namaku. Simpanlah. Aku akan bertanggung jawab atas biaya perbaikan mobilmu.”
Rangga mengambil kartu nama yang diberikan Andre. Ia membacanya sebentar dan mamasukannya ke dalam saku celana jeansnya.
“Di mana rumahmu? Kami akan mengantarkanmu pulang.”
“Rumahku di Kota Kenanga. Tepat di perbatasan Kota ini.”
***
Nina melipat kedua tangannya di depan dadaa. Begitu pula dengan Luna yang saat keluar dari dalam mobil sudah merasakan angin dingin yang menusuk tulangnya.
“Kenapa aku merasa malam ini sangat dingin ya,” celetuk Luna.
“Aku juga merasa demikian. Kabutnya juga tebal. Dan malam ini serasa tidak ada bintang-bintang,” sahut Lusi sembari mendongkan mukanya ke langit.
Spontan Nina mengikuti gerakan Lusi yang melihat ke langit malam. Apa yang dikatakan Lusi memang benar. Tidak ada bintang-bintang yang menyebar di langit malam hari ini. Semuanya terlihat hitam pekat.
“Kemungkinan sebentar lagi hujan,” sahut Andre. “Kita tidak perlu mampir. Langsung pulang saja. Nina, biar aku yang mengemudi mobilnya. Mana kuncinya?”
Nina langsung menoleh dan melempar kunci mobil pada Andre.
Andre menangkap kunci mobil tersebut dan menggenggamnya.
“Rangga, kami langsung pulang saja ya,” kata Nina.
Rangga yang sudah berdiri di dekat teras rumahnya sembari menjinjing tas kandang Dominic menatap Nina. “Kamu tidak mau mampir? Tidak ingin bertemu dengan Nenekku?”
Nina tidak langsung menjawab. Ia terhenyak sesaat. “Nenekmu ...?”
“Bukankah tadi saat di klinik kamu mengatakan ‘salam untuk nenekku?’ Apa kamu ingat?”
Andre, Luna dan Lusi menatap Nina dengan tatapan heran.
“Kamu mengenal Neneknya?” tanya Andre ingin tahu. “Hubungan kalian bukan sekedari dokter hewan dengan pasien pemilik hewan?”
Tidak ada yang menjawab pertanyaan Andre. Bahkan Nina yang sebagai subjek yang ditanya tidak mengeluarkan suaranya. Nina hanya menatap rumah Andre yang besar dengan model bangunan tua klasik.
Rumah lama dengan aura penuh magis.
“Ayo kalian semua mampir dulu. Masuk ke rumahku ... Kita mengalami kecelakaan tadi di jalan dan kalian menjadi mengantarkanku ke mari, itu semua sudah takdir,” kata Rangga sembari tersenyum simpul. “Jadi mampir dulu. Sepertinya hujan deras akan turun segera ....”
Bersambung