“Apa aku pernah berbohong padamu? Lusi, kamu adalah adikku yang sangat pintar. Kamu pasti percaya dengan apa yang aku katakan ini,” ujar Nina sembari menatap lekat.
Sejenak terjadi keheningan. Mereka saling menatap satu sama lain.
“Kamu percaya kan apa kataku?” tanya Nina sekali lagi.
“Tentu saja tidak,” jawabnya cepat dan disusul tawa renyah. “Astaga kak, kamu mengigau. Apa karena ini efek dari jatuh dari tangga?” Lusi menggerakkan wajah Nina ke kiri dan ke kanan. Mengamati wajah dan juga kepala kakaknya itu. Takut kemungkinan ada luka memar.
Lalu tangan Lusi mulai mengusap seluruh bagian tengkorak kepala. Merasakan ditangannya jika ada bagian yang lunak. “Syukurlah kakak tidak apa-apa.”
“Aku tidak apa-apa Lusi. Bahkan aku tidak tahu saat aku terjatuh dari tangga.”
“Mungkin kakak mengalami trauma ringan karena terjatuh itu. Makanya omongan kakak melantur. Tapi yang penting kakak tidak apa-apa. Aku sudah cemas. Hingga langsung kembali ke rumah.”
Nina menatap lekat adiknya itu. “Kamu langsung pulang dari rumah sakit?”
“Iya, bahkan aku belum juga selesai bertugas. Untung saja teman satu shiftku di rumah sakit mau membantu. Aku pamit ijin pulang dengan mengatakan kakakku jatuh dari tangga dan membutuhkan pertolongan segera.”
Nina tersenyum simpul. “Terima kasih Lusi ... Kamu selalu memperhatikan aku.” Bersyukur memiliki adik seperti Lusi dan Luna. Walau mereka bukan satu darah ayah dan ibu kandung. Hanya saudara tiri. Tapi kasih sayang kakak adik ini sangatlah tulus.
“Jangan berkata begitu kak. Pakai bilang terima kasih segala. Aku adalah adikmu. Wajar kalau aku memperhatikan dan mencemaskanmu,” jawab Lusi tersenyum. “Tapi ngomong-ngomong, memang kakak kenapa bisa terjatuh begini?”
Nina terdiam. Ia mulai memaksakan diri mengingat. Tapi yang muncul dalam kepalanya adalah saat ia terjatuh di lantai museum ke dalam lubang gelap, terjun bebas terjerembab ke perut bumi. Lalu saat tersadar ia sudah ada di sini.
“Kakak kurang hati-hati dan tergelincir?” tanya Lusi sembari mencari manik mata Nina.
Nina memegangi keningnya. “Aku tidak ingat Lusi. Yang aku ingat adalah saat terakhir, aku berada di museum, bersama kamu dan Rangga ... Lalu batu petuah itu mulai berpendar memperlihatkan cahaya. Bersinar terang.” Ia mengingat warna warni cantik dari batu petuah ketika ia masuk ke dalam.
Lusi mengerutkan dahinya. Benar-benar kebingungan dengan apa yang terjadi pada kakaknya itu. “Kakak ini membicarakan apa sih?”
“Batu petuah di museum itu,” sahut Nina dengan wajah berbinar. “Masa kamu tidak ingat Lusi? Kita sama-sama berada di sana. Sepertinya batu petuah tersebut mendengarkan apa yang aku minta.”
Lusi menatap Nina dengan tatapan kosong. “Apa kakak mengalami trauma karena telah mendapati kenyataan yang menyakitkan?”
Kedua alis Nina bertaut. “Maksud kamu?”
Hening.
Nina dan Lusi saling bertatapan.
Lusi tidak sanggup memberitahukan pada Nina. Ia tidak mau kakaknya itu sakit hati. Makanya selama ini dia diam saja. Menunggu Nina mengatahui pengkhianatan yang dilakukan Andre dan Luna dengan mata kepalanya sendiri saja.
“Kenyataan yang menyakitkan apa, Lusi? Apa yang tidak aku tahu?”
Lusi tidak langsung menjawab. Ia terdiam dan mengatupkan bibirnya. Rasanya sangat enggan memberitahu. “Tidak. Aku hanya berpikir ... sikap kakak begini karena trauma melihat sesuatu yang aneh.”
“Ya ... aku memang melihat hal aneh, Lusi ...,” jawab Nina sembari mengenang yang sudah ia alami. Ke museum−melihat batu petuah−terjadi gempa, lantai yang dipijaknya bergetar dan terbuka lebar−jatuh terjerembab ke dalam.
Lusi menyalahartikan jawaban Nina. Ia pikir Nina sudah mengetahui hubungan terlarang Andre dan Luna. “Kakak sudah melihatnya dengan mata kakak sendiri?”
Nina menganggukkan kepala.
“Baiklah ... jika kakak sudah melihatnya sendiri. Kak pernikahan kakak dan Andre harus dibatalkan. Andre itu tidak pantas untuk kakak.”
Dahi Nina berkerut lagi. Bahkan kedua alisnya saling bertaut, mengerenyit. Ia bingung kenapa Lusi bisa menilai Andre seperti itu. Namun belum sempat Nina bertanya lagi dengan apa maksud dari kata-kata Lusi, satu ketukan di pintu terdengar.
Nina dan Lusi langsung menoleh, melihat ke arah pintu kamar.
Tidak perlu menunggu dipersilahkan masuk, Luna sudah membuka pintu. Muncul dengan senyum manis di wajahnya dan juga satu nampan berisikan susuu cokelat hangat dan juga roti lapis isi slice daging asap keju moza. “Kak Nina ... ini aku bawakan makanan. Dan setelah ini kakak minum obat yang dibawakan Lusi.”
Nina membalas senyuman Luna. Karena memang senyuman tersebut yang dirindukan olehnya.
Setelah Luna masuk ke dalam kamar Nina, disusul oleh Andre yang tak kalah menampilkan senyuman hangat dan sorot mata kepedulian.
Nina terlihat sangat bahagia dengan suasana seperti ini. Namun berbeda dengan Nina, Lusi tampak tidak suka dengan sikap Luna dan Andre yang menurutnya munafik!
***
Sejak hari kemarin Nina sangat bahagia. Dia bersyukur telah mendapatkan berkat dari batu petuah tersebut. Kini ia berada di masa dua tahun silam, sebelum kecelakaan naas yang menimpa Luna dan Andre.
Alarm di ponsel Nina berdering. Bahkan suara dari alarm tersebut mengejutkannya. Nina hampir berlonjak dari duduknya dan menumpahkan es krim yang dipegangnya.
“Sejak kemarin kakak terlihat aneh,” ujar Lusi sembari mengamati Nina yang merogoh ponsel miliknya dari dalam tas dengan tangan kiri.
Nina mengabaikan pertanyaan Lusi. Ia malah menatap alarm di ponselnya yang bertuliskan, ‘Jangan sampai gaun pengantin tertinggal’. Sekitar tujuh jam lagi kecelakaan nahas itu terjadi. Maka Nina harus bersiap dari sekarang agar Luna dan Andre tidak jadi mati.
“Kak, apa kamu mendengarkan aku?” tegur Lusi yang duduk di hadapan Nina.
“Iya, iya ... Aku dengar kok.”
“Bohong. Kakak tidak dengar.”
“Aku dengar. Aku terlihat aneh kan?” Nina menghela nafas panjang dan kembali memasukan ponselnya. Tidak jadi ia mengeluarkan ponselnya tersebut. “Aku sudah menceritakannya padamu. Tapi sepertinya kamu tidak percaya jika aku telah kembali dari masa depan untuk menyelamatkan Luna dan Andre.”
Lusi menatap nanar. “Justru aku yang harusnya bingung, kenapa kakak sudah tahu semuanya tapi kakak tetap memaafkan mereka? Dan tentang kakak yang kembali dari masa depan ke masa sekarang hanya untuk menyelamatkan hidup Luna dan Andre itu terdengar tidak masuk akal.”
“Tunggu ... Tunggu ... yang kamu maksud aku sudah mengetahui semuanya dan memaafkan mereka itu apa?” tanya Nina tidak mengerti. “Kemarin juga kamu mengatakan lebih baik aku membatalkan pernikahanku dan Andre? Kamu tahu Lusi, di masa depan itu aku hampir gila dan terpuruk karena kematian Andre dan juga Luna. Aku bahkan tidak bisa mengurus hidupku dengan baik lagi. Mamamu membenciku karena menganggap aku lah penyebab kematian Luna. Hidupku tidak sama lagi setelah kematian mereka.”
Lusi memandangi Nina dengan bergetar. “Aku hanya bisa mengatakan ini Kak ... Terkadang takdir yang kita alami ... walau itu buruk dan menyakitkan, tapi itu semua yang terbaik untuk kita. Karena begitulah seharusnya ... Jika kakak memang telah kembali dari masa depan ke masa ini, berati kakak menentang takdir. Kakak menentang Tuhan,” ujarnya dengan suara bergetar.
Apa yang diucapkan Lusi mengingatkan Nina atas kata-kata adiknya saat kematian Luna dan Andre. Dia selalu mengatakan, ‘Takdir yang dialami adalah garis jalan kehidupan yang terbaik’.
“Lusi ... apa yang kamu tahu? Apa Andre berselingkuh?” tanya Nina dengan suara rendah.
Lusi terhenyak. Akhinya Nina sadar dan mengerti kata-kata clue yang selalu diucapkannya. “Kakak sudah tahu kan?”
“Aku tahu dari setiap kata-katamu yang terdengar aneh. Apa Andre berselingkuh di belakangku? Maka dari itu kamu bilang, lebih baik aku membatalkan pernikahanku dengannya? Siapa wanita selingkuhannya?”
Bersambung