“Di mana Lusi? Kenapa kalian berdua masih diam? Kenapa Lusi tidak ada di sini?” tanya Nina dengan sepasang mata yang mencari-cari.
“Lusi ...? Dia ada kok. Kenapa kakak sangat panik begitu?” Luna merasa keheranan.
“Lalu di mana dia? Cepat panggilkan Lusi?” Nina sangat memaksa. Ia takut Lusi menghilang, tidak bersamanya. Bisa saja kembalinya Luna dan Andre justru menghilangkan Lusi, adik tirinya yang satu lagi.
Andre dan Luna sudah menggerakan bibirnya. Mereka ingin menjawab pertanyaan Nina tapi suara pintu utama terdengar sangat kencang terbuka. “Apa ada yang memanggil namaku tadi?”
Sepasang mata Nina langsung berbinar ketika mendengar suara Lusi. Hatinya penuh kelegaan. Ia menghela nafas panjang. “Syukurlah Lusi bersamaku,” gumannya lirih.
Luna dan Andre saling bertatapan. Mereka keheranan dengan sikap Nina yang tidak biasa.
“Ada apa? Apa kak Nina mencariku?” tanya Lusi yang baru datang. “Kakak sudah sadar? Aku sangat cemas, sampai langsung pulang padahal masih bekerja di rumah sakit.”
Nina memandangi Lusi yang baru datang. Pakaian seragam kerjanya dengan rok sepan berwarna hijau toska muda, atasan kemeja batik warna senada. “Kamu baru pulang dari rumah sakit?”
Lusi menganggukan kepalanya pelan. “Iya kak ... Aku baru saja pulang. Ada apa? Kenapa kakak sampai seperti itu bertanya padaku. Apa ada yang salah?”
Hening.
Mereka berempat seraya tenggelam di dalam kesunyian. Suasana menjadi kikuk tidak biasa.
***
“Apa menurutmu Nina mengingat semua hal yang didengarnya sebelum terjatuh dari tangga?” tanya Andre saat dia dan Luna berada hanya berdua di dapur. Dengan dalih akan membuatkan cemilan dan juga minuman untuk Nina yang sedang sakit, mereka mengambil kesempatan berduaan saja.
Bagas dan Risa, kedua orang tua Nina, Luna dan Lusi sedang pergi ke luar Kota. Ditambah dengan Bi Sari, asisten rumah tangga yang hanya membantu pekerjaan rumah dari jam delapan pagi hingga jam empat sore dan kemudian kembali pulang ke rumahnya.
“Luna, kenapa kamu diam saja? Bagaimana menurutmu? Apa Luna mengingat semua yang kita katakan? Apa dia masih mengingat apa yang didengarnya tanpa sengaja tadi?” tanya Andre sekali lagi. Gurat ketakutan, resah dan gelisah sangat jelas terlihat di air mukanya.
Luna menghentikan gerakan tangannya mengaduk s**u hangat di gelas mug berwarna putih. Menarik nafas panjang dan mengehela nafas dalam. “Aku justru berharap Kak Nina mengingat semuanya. Dia masih memikirkan tentang apa yang kita perdebatkan tadi!” serunya lirih. Tatapanya lurus dan menerawang ke arah dinding dapur berkeramik porselen warna pink.
Kening Andre berkerut. “Kenapa kamu mengatakan demikian? Kamu masih menginginkan pernikahanku dan Nina batal?” tanyanya lirih.
Luna merapatkan bibirnya lebih erat. Lalu ia langsung menoleh ke arah Andre dengan lirikan sinis. “Iya, aku mengharapkan rencana pernikahan kalian itu batal! Bahkan aku ingin merobek gaun pengantin Kak Nina! Harusnya aku yang mengenakan gaun pengantin itu! Kamu milikku Andre ... Kenapa aku harus menjadi yang kedua? Sedangkan aku yang lebih dulu mengenalmu?!” hardiknya dengan suara yang amat lirih nyaris berbisik.
“Iya ... aku sadar, kamu dan Kak Nina sama-sama dokter. Kalian pasti cocok, sama-sama pintar. Sama-sama dokter. Tidak seperti aku. Aku hanya tahu berpose yang bagus di kamera. Aku hanya bisa bagaimana caranya tampil good looking," lanjut Luna.
Andre memejamkan matanya sesaat. Kepalanya mendadak pening. Api yang dia mainkan kini semakin berkobar dan mungkin akan membakarnya hidup-hidup. Jangan bermain api, jika tak mau terbakar, itulah memang pepatah yang sangat benar adanya.
“Kamu harus memberikan kejelasan pada Kak Nina dan keluargaku, jika aku lah yang kamu cintai. Bukan kak Nina. Sudah bagus tadi Kak Nina mendengarkan percakapan kita. Tapi kenapa dia sampai terjatuh di tangga tadi? Sial ... Kak Nina pakai segala hilang ingatan sesaat,” gerutu Luna sembari merengut.
Andre memukul keningnya sendiri. Memijit pelan pangkal hidungnya. “Harusnya Nina masih di tempat prakteknya. Tapi kenapa dia tiba-tiba ada di rumah ya? Aku juga sampai terkejut ketika mendengar suara tubuh Nina yang jatuh berguling, tergelincir dari tangga. Untung saja dia tidak mengalami pendarahan atau luka serius.”
“Sudah cukup! Jangan membahas dan mencemaskan Kak Nina! Aku sudah muak mendengarnya!” seru Luna sembari menaruh roti lapis isi slice daging asap dan juga segelas s**u cokelat hangat.
Andre menepuk bahu Luna. “Sayang ... Please ... jangan tampak mencurigakan dengan hubungan kita,” katanya lirih sembari menatap dalam manik mata Luna. Berharap Luna sanggup menekan egonya dan mengurungkan niatnya untuk memberitahukan Nina semua hal yang sesungguhnya terjadi.
Luna membalas tatapan Andre padanya. “Entahlah ... Bagaimana nanti saja,” sahutnya sembari acuh tak acuh dan kemudian bergegas melangkahkan kaki menuju kamar Nina di lantai atas.
Sedangkan di dalam kamarnya, Nina masih termenung dan memikirkan kejadian aneh dan tak masuk akal yang baru saja dialaminya ini. Bagaimana bisa ia kembali ke masa lalu sebelum kecelakaan terjadi. “Kamu benar tidak ingat kejadian di museum? Dan ini benar tanggal 5 Juli 2019?”
Lusi menganggukan kepalanya cepat. “Iya, betul kak. Ini tanggal lima bulan Juli tahun 2019. Memang ada apa?” tanyanya tidak mengerti. “Dan maksud kakak tentang museum itu apa?”
“Astaga Lusi, memang kamu tidak ingat? Aku, kamu dan Rangga. Kita sama-sama ke museum itu? Masa kamu tidak ingat? Aku terlalu pening memikirkan hal ini seorang diri,” ujar Nina sembari menarik nafas panjang dan dalam.
“Aku memang tidak ingat kak. Lagi pula sepertinya apa yang kakak ceritakan padaku ini hanya sebuah mimpi. Aku juga tidak mengenal Rangga,” jawab Lusi sembari tertawa lepas.
“Rangga, kamu tidak ingat dengannya?” tanya Nina sekali lagi.
Lusi menganggukan kepalanya mantap. “Iya kak. Aku tidak ingat.”
Nina menutup muka dengan kedua telapak tangannya. “Astaga, apa yang terjadi ...,” gumannya lirih. “Batu petuah tersebut memang benar mengembalikan semuanya ....”
Lusi yang duduk di depan Nina di pinggiran ranjang, menatap aneh. “Rangga itu memang temanku yang mana?”
“Dia tetangga kita. Sekitar dua tahun lagi dia akan menjadi tetangga kita dan juga temanmu. Begitulah lebih tepatnya,” jelas Nina sembari menarik nafas panjang dan berat.
Lusi tersenyum pahit. Ia semakin tidak mengerti dengan penjelasan Nina. “Pasti kakak sedang bermimpi,” sahutnya sembari menepuk bahu Nina.
Nina terdiam sesaat. Memikirkan kecelakaan yang akan menimpa Luna dan Andre. 'Jika aku diutus untuk kembali ke masa lalu oleh batu petuah tersebut. Mungkin aku bisa menghalangi kecelakaan dan membuat Luna juga Andre terhindar dari kecelakaan. Ya ... Aku harus menghalangi kecelakaan tersebut!' serunya lirih pada diri sendiri.
Namun kata-kata yang diucapkannya itu didengar oleh Lusi. Ia tertawa terbahak. “Astaga Kak ... Kakak pasti bermimpi buruk dan saat ini masih mengigau. Tidak ada yang mati atau mengalami kecelakaan. Semuanya akan baik-baik saja.”
Nina langsung menarik tangan adiknya itu. “Lusi, dengarkan aku. Kamu harus membantuku ... Kita harus menghalangi kecelakaan yang akan menimpa Luna dan Andre. Kita harus menyelamatkan mereka. Kecelakaan yang akan terjadi dua hari lagi itu akan merenggut hidup mereka.”
Lusi mengerutkan dahinya. Kedua alisnya saling bertaut, masih tidak percaya.
“Apa aku pernah berbohong padamu? Lusi, kamu adikku yang sangat pintar. Kamu pasti percaya dengan apa yang aku katakan ini,” ujar Nina sembari menatap lekat.
Bersambung