ATHAYA -5-

2172 Kata
Pesta ulang tahun yang terancam batal tetap digelar meski dengan setengah hati. Natasha terlihat begitu kecewa, tak seceria sebelum kami memasuki ruangan ini. Setengah mati kubujuk Natasha untuk tetap mau melanjutkan pesta ulang tahunnya karena merasa sangat tak enak hati dengan tamu-tamu undangan yang sudah berkenan untuk hadir. “Nat, jangan kayak begitu. Nggak enak sama temen-temen kamu yang udah hadir di sini. Kamu amsih mempermasalahkan kue ini?” ucapku pada Natasha yang masih terduduk sambil menatap kue ulang tahun yang ada di sebelahnya. “Kamu bener-bener keterlaluan, Athaya. Kamu udah buat aku malu,” sahutnya. “Malu? Kamu malu kenapa, Nat?” “Kamu pikir sendiri, Athaya. Ini semua gara-gara kamu. Karena kamu aku dibuat malu di depan semua orang. Aku malu banget, Tha!” Aku berusaha untuk menenangkan Natasha. Seluruh tamu yang hadir sedang mencicipi camilan yang sudah disediakan. Acara belum sampai puncaknya, tiup lilin dan pemotongan kue. Sayup-sayup kudengar beberapa di antara mereka masih ada yang sibuk membahas tentang perempuan pemilik toko kue itu. Saat dia memperkenalkan dirinya tadi, aku juga dibuat kaget dengan kenyataan bahwa dia adalah anak dari seorang pengusaha kaya raya yang bergerak di bidang pembuatan perhiasan. Penampilan dan perilakunya sangat jauh dari cerminan dari anak keluarga kaya raya. “Gila banget, sih. Nggak nyangka kalo dia adeknya Gibran Aditama. Selama ini, yang sering diekspos media si Gibran aja. Adeknya nggak pernah on frame.” “Sikapnya tadi termasuk tenang, lho. Kalo gue sih ... udah gue jambak si Natasha.” “Lo liat nggak sih ekspresinya Natasha tadi? Dia langsung pucet, lho. Denger-denger dia abis teken kontrak sama Gibrayya Jewellery. Terancam banget nggak, sih?” “Kalo gue jadi cewek tadi, gue bakal ngadu ke bokap gue. Gue minta bokap gue untuk putusin kontrak kerja Natasha sama perusahaan. Ngapain banget.” Aku hanya bisa menghela napas kasar setelah mendengar semua perkataan mereka. Memang benar kalau ini semua terjadi karena salahku. Aku yang tak terlalu mementingkan warna krim kue dan segala macam hiasannya secara tak sengaja sudah membuat satu masalah baru, yang sepertinya lumayan besar. Circle pertemanan Natasha memang banyak diisi dengan mereka yang berkecimpung di dunia hiburan. Tapi, setelah mendengarkan penuturan mereka itu semakin memperkuat dugaanku bahwa tak ada pertemanan yang tulus di dunia yang mereka geluti. Seorang pianis yang memang sengaja kuminta dari pihak restoran tengan menekan tuts piano, memainkan lagu-lagu yang romantis. Aku masih berusaha membujuk Natasha untuk setidaknya tak terus-menerus menekuk wajah di hadapan para tamu. Segera kuminta sebatang lilin yang ditancapkan di bagian paling atas kue untuk dinyalakan. Aku kenal bagaimana watak seorang Natasha. Dia harus dibuat untuk segera ceria dalam saat-saat seperti ini. “Kita tiup lilin dulu, ya.” Natasha mengangguk. Kutuntun dia untuk bangkit dari duduknya. Satu tangannya berpegangan dengan tanganku dan tangan yang satunya tengah menjinjing bagian gaunnya yang terlalu menjuntai. “Jangan sedih lagi. Aku minta maaf, ya. Seenggaknya, tolong kamu hargai mereka yang sudah hadir di sini.” Seluruh tamu yang hadir menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun bersama-sama. Benar kataku. Tak butuh waktu lama untuk membuatnya kembali ceria. Sorak-sorai tamu undangan yang hadir dengan mudahnya menghadirkan satu senyuman di kedua bibirnya yang dipoles lipstick warna nude. “Make a wish dulu ya, Sayang,” ucapku. Natasha kembali mengangguk. Di hadapan kue ulang tahunnya dengan lilin yang sudah siap untuk ditiup, Natasha memejamkan kedua matanya dan merapalkan keinginan dan harapan yang ingin di raihnya di usianya yang sekarang. Tak butuh waktu yang lama, Natasha kembali membuka lebar kedua matanya. Menampilkan senyuman indah terkembang dan deretan gigi rapihnya. “Udah selesai make a wishnya?” “Udah,” sahutnya singkat. FIUUUUH. Padamnya cahaya api lilin diiringi tepuk tangan para tamu undangan yang hadir. Satu per satu dari mereka bergantian menyalami, memeluk dan mengucapkan selamat ulang tahun pada Natasha. “Happy birthday ya, Nat.” “Nat, selamat ulang tahun.” “Panjang umur ya, Nat.” Setelah semua tamu yang hadir selesai menyalami Natasha, aku segera menjalankan rencanaku. Kukeluarkan kotak cincin yang sudah kusiapkan dari dalam saku jasku. Aku segera meminta salah satu dari pegawai restoran untuk membawa masuk buket bunga yang juga sudah kusiapkan. Natasha terlihat sangat kebingungan saat melihatku berlutut di hadapannya, dengan kotak cincin yang terbuka dan juga buket bunga di genggamanku. Ruangan kembali dipenuhi riuk sorak-sorai para tamu undangan. “Athaya, kamu ngapain?” bisik Natasha. Natasha memintaku untuk bangun dari posisiku. “Jangan buat aku malu, deh.” “Nat, hari ini, di depan seluruh tamu yang hadir di sini ... aku mau minta kamu untuk ... will you marry me?” Seakan berada di ajang perlombaan burung. Banyak siulan yang berasal dari para tamu laki-laki yang turut meramaikan. “Terima, Nat!” “Terima!” “Mau.” “Bilang mau, Nat!” “Kamu boleh ambil buket bunga ini kalo kamu tolak permintaan aku, Nat,” ucapku. “Tapi, silahkan ambil cincin ini kalo kamu bersedia untuk nikah sama aku.” Ruangan masih saja dipenuhi degan tepuk tangan, sorak sorai dan siulan untuk mengawal keputusan yang akan diambil Natasha. Jujur, aku merasa cukup deg-degan dengan apa yang sedang kulakukan saat ini. Aku tak begitu yakin dengan rencana yang sedang kujalankan. Satu tangan Natasha terulur di hadapanku. Bergerak bergantian mengabsen buket bunga dan juga kotak cincin yang kupegang. Kututup kedua mataku karena merasa tak siap untuk mengetahui keputusan yang telah dipilihnya. Aku merasa seketika melayang bagai kapas saat Natasha mengambil salah satu dari dua benda yang ada di kedua tanganku. Bukan cincin. Natasha mengambil buket bunga. “Maaf, Athaya. Aku sayang sama kamu. Aku cinta sama kamu. Tapi, untuk saat ini aku nggak bisa terima ajakan kamu,” ucapnya. “Aku nggak nolak ajakkan kamu. Tapi, bukan sekarang waktunya. Aku harap kamu bisa paham dengan semua situasinya.” Dengan lemas kumasukkan kembali kotak cincin ke dalam saku jas. Natasha memelukku dan memberikan satu kecupannya di bibirku. Natasha tahu aku tengah kecewa. “Jangan marah. Kita udah pernah bahas ini, kan,” bisiknya tepat di telingaku. “You’re still my best boyfriend, Athaya.” OoO Aku, Natasha dan seluruh tamu undangan kembali duduk untuk menikmati hidangan yang sudah disediakan. Dengan bantuan beberapa pegawai restoran, kue ulang tahun Natasha dipotong dan dibagikan kepada semua yang hadir. Kutatap seiris kue yang ada di hadapanku. Terlihat begitu indah dengan isian selai jeruk di setiap lapisannya. Aku sudah pernah mencicipi bagaimana rasa kue ini saat pengiriman sample kue saat itu. Aku merasa puas dan sangat menanti-nanti saat ini. Saat di mana aku bisa mencicipi kue rasa ini kembali. “Kamu lahap banget makan kuenya, Tha?” ucap Natasha saat melihatku tengah memotong irisan kue dengan sendok. “Seenak itu emangnya?” “Kamu bakalan tau rasanya setelah kamu coba sendiri. Coba kamu liat ekspresi semua tamu yang ada. Mereka keliatan sangat menikmati kue ini. Kamu boleh tanya langsung ke mereka,” ucapku. Natasha menatap dan melihat semua tamu yang sedang menikmati kue di piring meeka. Diabsennya mereka satu per satu. Awalnya, Natasha menolak saat seorang pegawai restoran menaruh sepiring kue di hadapannya. Tapi, setelah melihat ekperesiku dan juga ekspresi seluruh tamu, dia segera meminta pegawai yang tadi sempat membawakan sepiring kue ke hadapannya untuk kembali membawakan kue untuknya. Natasha mengamati sepiring kue yanga da di hadapannya. Diintipnya setiap lapisan kue itu, satu per satu. Dicoleknya selai yang ada di satu lapisan dengan ujung sendoknya. Pandanganku tak berhenti fokus saat sendok itu masuk ke mulutnya. “Enak, kan?” tanyaku. Natasha mengangguk pelan. “Warna krim atau apapun itu bukan masalah. Yang penting rasanya enak. Bahkan, ini jauh lebih enak dari kue yang biasa kamu beli di toko langganan kamu.” Pesta usai. Aku harus mengantar Natasha dan managernya kembali ke apartemen mereka. Di sepanjang perjalanan, Natasha terlihat sangat bahagia. “Kamu kenapa? Keliatannya seneng banget,” ucapku. “Walaupun ada insiden di awal acara karena kesalahan kamu, seenggaknya aku bisa menggelar pesta mewah. Imageku di depan tamu-tamuku nggak hancur. Banyak dari mereka yang kasih pujian untuk pesta ulang tahunku tadi,” jawabnya. Aku hanya bisa mengangguk-anggukkan kepalaku. Kulihat Andhika yang menatap sinis ke arah Natasha dari kaca spion depan. “Kamu belum kasih hadiah ke aku lho, Athaya.” “Seharusnya, lamaranku tadi yang bakal jadi hadiah untuk kamu. Tapi, ternyata kamu tolak lamaran aku dengan alasan bukan waktu yang tepat. Aku nggak kebangetan kan kalo bilang itu alasan yang konyol. Usia kamu udah cukup matang. Kamu siap berumah tangga.” “Justru karena aku masih mau mengeksplorasi diri, makanya aku nggak terima lamaran kamu. Athaya, kamu harus tahu. Pernikahan bukan tolak ukur rasa sayang aku ke kamu. Kamu paham, kan?” “Selalu itu yang kamu ucapin setiap kita bahas soal pernikahan. Harapan apa yang kamu buat sebelum tiup lilin tadi?” tanyaku. Kulihat tatapan penuh semangat terpancar di kedua matanya. Aku berharap, setidaknya aku menjadi salah satu dari harapannya. “Aku mau karirku terus berkembang dan aku bisa semakin terkenal,” ucapnya. Aku terlalu naif jika berharap menjadi salah satu dari sekian banyak harapan yang dibuatnya. Harapanku terlalu berlebihan. “Dan ... aku juga berharap semoga rencanaku untuk go international dikasih kemudahan.” Dengan diantar Andhika, aku tiba di rumah hampir tengah malam. Andhika pulang ke rumahnya dengan membawa mobilku. Kuminta dia untuk menjemputku keesokan harinya. Kulihat jam dinding yang menunjuk pukul setengah dua belas malam. Seperti sebelumnya, Bunda masih setia menungguku di sofa ruang tengah. Kubangunkan Bunda perlahan dan memintanya untuk pindah ke kamar. “Akhir-akhir ini kenapa suka banget pulang tengah malem sih, Mas?” tanya Bunda. “Aku baru aja pulang dari ulang tahun temen, Bun. Aku perginya juga bareng sama Andhika,” jawabku. “Kamu yakin kalo itu pesta ulang tahun temen kamu?” Aku mengangguk. “Yaudah. Kalo kamu emang yakin, Bunda nggak akan tanya-tanya lagi. Bunda cuma pesen satu hal ke kamu. Jangan pernah kamu bohongin Bunda. Kamu langsung masuk ke kamar. Tidur. Jangan begadang. Bunda mau tidur dulu.” Merasa tersindir dengan ucapan Bunda, aku hanya bisa terdiam dan tak berniat untuk menanggapinya sama sekali. Aku merasa bagai seorang maling yang tengah tertangkap tapi tetap ngeyel untuk tidak mengakui kesalahan. Setelah selesai membersihkan diri dan bersiap untuk tidur, seseorang mengetuk pintu kamarku dari luar. Itu suara Seruni, adikku. “Mas, kok baru pulang? Dari mana aja?“ tanyanya. “Aku baru balik dari pesta ulang tahunnya Natasha, “ jawabku. Seruni terlihat menghela napasnya. “Ya ampun. Kapan sih Masku ini sadar? Kamu jadi pesen kue di tempat lesku, Mas?” tanyanya. Aku mengangguk. “Aku kria kamu nggak jadi pesen di toko tempatku les, Mas.” “Lho, emang kamu nggak bilang sama ownernya?” Seruni mengangguk. “Kenapa nggak bilang?” “Nggak, ah. Aku nggak mau berurusan sama apapun itu yang berhubungan sama pacar kamu, Mas. Lagi juga nggak penting banget sampe aku harus ngomong ke Mbak Ayya. Gimana, Mas? Kuenya enak, kan?” Aku mengangguk. Karena memang kue dari toko itu benar-benar enak. “Enak, kok. Bisa diadu sama kue dari toko-toko yang udah punya nama besar.” “Biar aku tebak. Natasha pasti rempong banget ya sama desain kuenya?” ucap Seruni. Aku mengangguk. “Revisi berapa kali, Mas?” “Satu kali aja, sih. Yang terakhir aku nggak sampein revisi ke pihak tokonya karena aku pikir masalah warna krim bukan perkara yang penting.” “Lho, emang ada masalah sama warna krimnya?” Aku mengangguk. “Kenapa sama warna krimnya, Mas? Nggak sesuai sama maunya Natasha?” “Awalnya dia minta warna ungu atau biru, aku lupa. Terus direvisi. Katanya mau warna pink. Tapi, ngga jelas warna pink yang kayak gimana. Aku diskusi sama ownernya. Dia sempet minta pendapatku mau baby pink atau hot pink. Aku bilang ke dia kayaknya baby pink lebih bagus. Eh, ternyata Natasha kasih revisi lagi. Dia mau krim dan fondant di kuenya dikasih warna hot pink.” “Terus?” “Natasha marah-marah. Pesta ulang tahunnya hampir aja batal. Aku jadi nggerasa nggak enak sama owner toko kue itu. Karena semua ini bukan kesalahan mereka, tapi kesalahanku.” “Nah, kan. Ada untungnya aku nggak bilang ke Mbak Ayya kalo kamu mau pesen kue di sana. Apa jadinya kalo sampe dia tau kita adek kakak?” ucap Seruni. “Natasha bikin keributan di sana, Mas?” Aku mengangguk. “Bahkan, lebih parah lagi. Natasha nampar pipi owner toko kue tempat kamu les.” Seruni menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya. “Ya ampun. Aku malu banget. Sumpah. Di mana sih otaknya Natasha? Mas, kamu serius sama hubungan kalian? Hubungan kalian tuh bener-bener nggak worth to be fought for, lho. Restu dari Ayah sama Bunda aja udah jelas nggak akan pernah kamu dapetin.” “Udah ya, Run. Ini hidupku. Aku udah dewasa. Aku berhak menentukan hidupku sendiri. Mendingan kamu balik ke kamar kamu.” Aku segera menggiring Seruni keluar dari kamarku. “Mas, seandainya aku boleh milih siapa yang aku mau untuk ajdi istri kamu, aku bakalan pilih Mbak Ayya. Meskipun aku baru banget kenal sama dia, tapi aku tau dia perempuan baik-baik. Yah, itu sih cuma harapanku aja. Toh, ini hidupmu, kan. Yaudah, lah. Kamu urus sendiri hidupmu.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN