TSURAYYA –5–

3686 Kata
Kue ulang tahun khusus untuk seorang Natasha Kamilla cukup membuatku dan Sarah sedikit kewalahan. Sesuai dengan permintaan si pemesan yang menginginkan bentuk figur Natasha yang terlihat sangat mirip dengan gaun yang mengembang lebar. Aku dan Sarah sempat bingung untuk memilih foto mana yang akan digunakan sebagai patokan saat mengukir fondant. Beruntunglah dari sekian banyak foto yang tersebar di internet, ada beberapa foto yang menurut kami terlihat mudah dan tidak begitu menyusahkan, foto dimana Natasha yang sedang berpose di atas runway dengan senyuman yang terkembang lebar. Beberapa detail tambahan dikirim Andhika melalui pesan w******p. Andhika menambahkan beberapa catatan penting untuk ditambahkan di kue ulang tahun yang dipesan atasannya. Satu, ekspresi wajah Natasha harus lah terlihat sangat menawan. Dua, Natasha menginginkan gaun yang dikenakan oleh figur dirinya berbentuk off-shoulder dress dengan bagian bawah yang mengembang. Tiga, Natasha meminta detail ukiran emas di seluruh permukaan gaun di kue ulang tahunnya. Empat, yang paling penting, Natasha meminta kue ulang tahunnya dikirim tepat waktu. Baiklah. Sudah menjadi resiko kami yang berkecimpung di bidang ini untuk  memenuhi segala macam bentuk permintaan yang diinginkan customer, tak peduli akan serumit apapun jadinya. Karena kepuasan customer yang akan menjadi tolak ukur keberhasilan kami. Kami masih punya waktu kurang lebih setengah hari untuk menyelesaikan kue ini. Sengaja kupanggang enam loyang kue dengan 3 ukuran berbeda yang akan dihias sehari sebelumnya untuk menghindari benturan dan menjaga keefisienan waktu. Jadi, hari ini kami hanya akan fokus untuk menghias dan mendekor kue. Semua bahan, termasuk fondant dan buttercream yang akan digunakan untuk mendekor kue sudah disiapkan. Dua macam selai sesuai pesanan juga sudah disiapkan oleh Sarah sejak kemarin malam. Percayalah, selama mengerjakan pesanan ini Sarah tak pernah sekalipun berhenti menggerutu. Dia sangat menyayangkan kenapa Natasha bisa begitu dicintai oleh kekasihnya. Menurut Sarah, kekasih Natasha bisa mendapatkan wanita yang jauh lebih baik darinya, tentunya tak akan terlalu menyusahkan orang lain. “Sar, jangan ngedumel terus. Dari kemaren lo ngedumel terus. Gue kan jadi ngerasa nggak enak karena udah nerima orderan ini,” ucapku saat melihat Sarah yang terlihat kesal membentuk wajah Natasha dari adonan fondant di hadapannya. “Baca bismillah deh, Sar.” “Bismillah. Bukannya apa, Ya. Ini orang banyak banget maunya. Sabar banget yang jadi cowoknya. Bucinnya kelewatan. Mendingan buruan kita kelarin kue ini biar kita cepet lega. Biar nggak ada beban. Hidup gue kerasa nggak tenang beberapa hari ini. Kayak ngerasa ada sesuatu yang bakal terjadi.” “Cuma perasaan lo aja, Sar. Yuk, semangat. Kita kelarin kue ini. Setelah kelar pun, kita nggak bisa langsung pulang. Kita kudu anter kue ini ke sana. Terlalu riskan kalo Dito sendirian yang anter.” Aku dan Sarah menjadi sangat fokus dengan apa yang sedang kami kerjakan saat ini. Sarah masih sibuk mengukir wajah Natasha di fondant yang sudah diberi warna sebelumnya dengan bantuan sebuah foto yang ada di layar tablet di hadapannya. Hal pertama yang harus kulakukan adalah membagi sama rata setiap loyangnya menjadi 2 lapisan dengan bantuan cake leveler. Setelahnya, mengoles lapis demi lapis dengan selai yang sudah disiapkan. Setelah selesai diolesi selai, semua lapisan ditumpuk sesuai dengan ukuran masing-masing. Sampailah di tahap dimana aku harus kue-kue itu dengan buttercream untuk menghindari munculnya remah saat didekor nantinya. Proses ini biasa disebut dengan nama crumb coating. Kue-kue itu harus dimasukkan ke dalam lemari pendingin selama kurang lebih 30 menit untuk membuat lapisan pelindung remahnya kuat dan kokoh. “Ay, coba liat. Udah mirip sama Natasha belom?” ucap Sarah. Aku yang sedang menumpuk semua kue dan menancapkan bagian tengahnya dengan beberapa dowel untuk menghindari runtuhnya kue selama proses pengiriman langsung menatap ke sebuah figur fondant yang digarapnya. Sarah berhasil membuat figur itu terlihat mirip dengan Natasha. Harus kuakui kemampuannya dalam mengukir di atas fondant memang sangat baik. “Keren banget lho, Sar. Kalo gini hasilnya sih gue bisa jamin Natasha bakalan puas banget.” “Yaudah. Nanti langsung pasang aja di tingkat paling atas, ya. Gue mau setor dulu ke toilet,” ucap Sarah sambil berjalan menuju ke arah toilet yang ada di ujung dapur. “Jangan lama-lama. Bantuin gue. Cepetan.” “Bawel banget, Ya. lo pikir gue mau tidur di toilet?” ucap Sarah yang berhasil membuatku terkekeh. Akhirnya, kue dengan predikat rumit milik Natasha berhasil kami selesaikan tepat waktu. Masih ada waktu beberapa jam lagi sebelum proses pengantaran. Ukuran kue yang besar dan sangat tinggi membutuhkan tempat yang lumayan luas di lemari pendingin. Kue yang sudah dihias tak akan bisa bertahan lama di suhu ruangan. Itu kenapa sebisa mungkin kami harus menjaga kualitas dengan menaruhnya di dalam lemari pendingin sampai waktu pengiriman tiba. “Mal, lo jaga toko bisa, kan?” ucapku. Mala mengangguk. “Gue, Sarah sama Dito mau anter kue dulu. Nggak akan bisa kalo cuma Dito yang anter.” “Bisa, Mbak. Toko juga lagi sepi, kok. Tenang aja. Gue tungguin sampe kalian balik.” Hari ini, toko memang sedikit lebih sepi dari hari-hari sebelumnya. Stok kue dan roti pun masih banyak. Padahal, biasanya kami dibuat kelimpungan untuk meemnuhi pesanan yang menggunung. Hanya tinggal beberapa jam lagi sebelum toko tutup tapi masih ada lumayan roti dan kue yang belum terjual. “Nanti, kalo mau pulang, pulang aja. Nggak usah nungguin kita balik. Nggak apa-apa kalo masih banyak yang sisa. Bisa kita jual besok, tinggal tambahin beberapa stok aja. Roti-roti yang udah mau expired dimasukkin aja ke kulkas. Besok bisa kita buat puding roti. Lumayan banyak penggemarnya, kan?” pesanku pada Mala. “Iya, Mbak. Gue nginep aja di sini sembari nunggu kalian balik, ya. Toko gue kunci dari dalem. Kalian jangan lupa bawa kunci cadangan, ya.” “Yaudah. Kita jalan dulu, ya. Hati-hati di toko, ya.” OoO Aku dibantu Sarah untuk mengeluarkan kue pesanan Natasha dari mobil dengan sangat hati-hati. Diputuskan untuk melepas figur Natasha dari bagian atas kue karena pertimbangan tingkat keamanan kue yang lebih tinggi, ketimbang tetap membiarkannya untuk nangkring di puncak kue. Dito dengan inisiatif meminjam troli pengantar makanan dari pihak restoran yang disewa Natasha untuk merayakan pesta ulang tahunnya. Beberapa orang pegawai restoran tampak terlihat kagum saat melihat kue ulang tahun di atas troli yang sedang didorong Dito, sementara aku membawa bagian figur dari fondant yang terpaksa dilepas berjalan mengekor di belakang. “Pacarnya Natasha banyak duit juga ya, Ya,” bisik Sarah. “Nggak heran deh kalo Natasha betah pacaran sama dia. Apa aja dikasih.” “Shht ... jangan sembarangan kalo ngomong. Nggak enak kalo sampe ketauan,” sahutku pelan. Masih ada waktu 1 jam sebelum pesta dimulai. Private room  yang sepertinya khusus disewa ini sudah terlihat begitu indah dengan dekorasi yang nggak kaleng-kaleng. Ada sebuah meja panjang yang setidaknya dikelilingi kurang lebih 20 kursi yang dibungkus kain satin broken white dengan pita merah muda yang berukuran lumayan besar di bagian belakang sandarannya. Kami memanfaatkan waktu yang tersisa untuk kembali membenarkan hiasan kue. Menancapkan kembali figur Natasha yang terbuat dari fondant di bagian puncak kue dengan sangat perlahan. Beruntung kami membawa sedikit sisa dari buttercream untuk memperbaiki bagian-bagian yang mungkin mengalami sedikit kerusakan selama proses pengiriman. Satu per satu tamu undangan mulai hadir, padahal kami belum benar-benar menyelesaikan tugas kami. Bukan sembarang tamu. Kebanyakan dari mereka yang hadir merupakan orang-orang terkenal dari ranah fashion, perfilman dan dunia tarik suara. Circle pertemanan Natasha tak bisa dianggap sepele meskipun dia masih dibilang pendatang baru di dunianya. Rupanya kegiatan yang sedang kami lakukan menarik perhatian dari beberapa tamu yang hadir. Mereka berjalan mendekat ke arah kami sambil mengarahkan kamera ponsel untuk mengambil gambar kue ulang tahun Natasha. Terdengar kekaguman yang keluar dari mulut mereka saat melihat hasil akhir dari kue yang sudah selesai dihias. “Wah, bagus banget kuenya. Pesannya di toko Mbak, ya?” tanya seseorang yang selama ini kutahu dari layar TV karena perannya sebagai tokoh protagonis yang kerap disiksa di setiap judul sinetron yang diperankannya. Aku tersenyum dan menganggukki pertanyaannya. “Iya, Mbak. Benar sekali. Pesannya di toko kami,” jawabku. “Bener-bener keliatan kayak Natasha, ya,” celetuk seorang wanita yang mengenakan gaun hitam bertaburkan batuan kristal di bagian d**a dengan lekuk tubuh yang sangat aduhai. Aku berani taruhan kalau dia seorang model. “Kok bisa keliatan mirip banget, Mbak? Pengerjaannya sangat detail.” “Kebetulan ini hasil karya teman saya, Mbak.” Aku merangkul Sarah yang berdiri di sampingku. “Dia yang buat figur itu, Mbak.” “Wah, kami boleh ya minta kontak toko kue Mbak. Mana tau suatu hari nanti kami berminat untuk pesen kue di sana,” ucap wanita bergaun hitam. Aku mengangguk. Sarah merogoh dompet dari tas yang bergelantung di lehernya. Dikeluarkannya selembar kartu atas nama toko kue kami dari sana. Sarah memberikan kartu nama itu pada wanita bergaun hitam. “Terima kasih banyak, Mbak...” “Saya Tsurayya. Tapi, Mbak boleh panggil saya Ayya. Dan ini teman saya, Sarah. Kami semua akan dengan sangat senang hati menerima pesana dari Mbak. Kami tunggu kedatangannya di toko. Kami berani jamin Mbak akan ketagihan sekalinya makan kue-kue yang dijual di toko kami,” candaku. Aku melihat penampakan Andhika dari depan pintu ruangan. Andhika terlihat sangat sibuk dengan ponsel yang terus saya menempel di telinganya. Saat ponsel itu sudah tak lagi menempel di telinganya, kupanggil dia untuk meelihat hasil akhir kue ulang tahun. “Wah ... bagus banget. Ini sih sesuai harapan banget, Mbak Ayya. Pak Athaya pasti seneng. Terima kasih banyak ya, Mbak.” “Sama-sama, Mas Andhika. Terima kasih sudah mempercayakan toko kami untuk pesta semegah ini. Kami merasa sangat terhormat,” ucapku. “Kami mau langsung pamit pulang ya, Mas.” “Eh, jangan dulu. Pak Athaya tadi sempet pesen sama saya. Katanya Mbak Ayya dan rekan-rekan nggak boleh langsung pulang. Pak Athaya mau mengucapkan terima aksih secara langsung. Tunggu ya, Mbak.” Aku meminta persetujuan Sarah dan Dito. Mereka berdua mengangguk mengiyakan, tanda keduanya setuju. “Yaudah. Kami stay di sini sampe pestanya selesai. Sekalian jaga-jaga kalau tenaga kami dibutuhkan untuk handle kue.” “Kalau begitu, mari saya antar ke bagian utama restoran. Saya sudah pesan satu meja khusus untuk Mbak Ayya dan yang lainnya. Ini sudah waktunya makan malam. Mbak Ayya, Mbak Sarah dan Masnya pasti belum makan malam, kan?” ucap Andhika. Kami bertiga serempak mengangguk. Kami memang terlalu sibuk mengurus pesanan ini sampai lupa untuk mengisi perut. “Silahkan pesan apapun yang kalian mau. Mohon untuk jangan sungkan, ya. Ini pesan dari Pak Athaya.” “Terima kasih banyak ya, Mas Andhika.” Andhika mengangguk. Kami bertiga mengikuti Andhika yang berjalan menuju bagian utama dari restoran ini. Mungkin terlihat sedikti aneh karena hanya kami bertiga yang mengenakan pakaian super casual, sedangkan para pengunjung yang lainnya terlihat rapih dan anggun dengan setelan jas dan gaun yang gemerlap. “Duh, Ya. Gue berasa gembel banget. Kalo tau udah dipesenin meja, gue balik dulu ke rumah ambil gaun,” celetuk Sarah yang ditanggapi kekehan oleh Andhika. “Ih, Mas Andhika malah ketawa.” “Maaf, Mbak Sarah. Spontan.” Andhika mempersilakan kami bertiga untuk duduk di meja yang sudah dipesannya. Dipanggilnya seorang pegawai restoran ke meja kami. “Mbak, tolong layani mereka bertiga, ya.” “Baik, Pak.” “Mbak Ayya, saya pamit ke dalam dulu. Di sini juga menyediakan red wine, white wine dan champagne kalau Mbak Ayya dan yang lainnya mau,” ucap Andhika. “Mas Andhika! Nggak boleh. Dosa,” sahut Sarah. Aku dan Dito sontak tertawa. “Mas Andhika, makasih tawarannya. Kami bertiga nggak minum alkohol,” ucapku. “Maaf, Mbak. Saya nggak tau. Saya hanya menawarkan karena siapa tau Mbak dan yang lainnya berniat untuk memesan.” “Makasih banyak ya, Mas,” ucapku. Aku, Sarah dan Dito tengah menunggu makanan yang kami pesan. Sarah menyenggol lenganku saat sosok Natasha dan kekasihnya masuk melalui pintu utama restoran. Tak perlu diragukan lagi. Natasha terlihat sangat cantik dengan bentuk tubuh khas model yang kerap berlenggak-lenggok di atas runway. Mataku tertumpu pada sosok laki-laki yang dirangkulnya. Mata tajam dengan dagu lancip dan hidung mancung yang terlihat begitu memesona. Sosok Athaya memang kerap kali muncul di sampul majalah-majalah bisnis. Athaya didapuk sebagai inspirasi kaum muda yang tengah merintis bisnis. Tapi, ini adalah kali pertamaku melihatnya secara langsung. “Yang punya hajat dateng, Ya,” bisik Sarah. Aku mengangguk. “Sumringah bener mukanya. Kasian bener tuh cowok.” “Gue cowok, tapi gue nggak ngiler punya cewek kayak dia. Cantiknya nggak alami,” sambar Dito. “Dia juga mikir kali mau pacaran sama lo, Dit,” celetukku. Sarah dan Dito terkekeh. Kulihat beberapa pegawai restoran datang mengantarkan makanan kami. “Makan dulu.” Harum makanan yang menguar benar-benar membangkitkan selera. Baru saja akan menyuap, tiba-tiba Andhika keluar dari pintu private room dan berjalan dengan langkah lebar setengah berlari menuju meja kami. Kami bertiga urung menyuap makanan karena saking kagetnya. “Mbak Ayya ... .” Wajahnya terlihat sangat panik dengan deru napas yang sedikit memburu. “Kenapa, Mas?” tanyaku tak kalah panik. “Mbak, bisa ditunda dulu makannya?” ucapnya. Aku mengangguk. “Tolong ikut saya ke dalam. Natasha marah-marah.” OoO Aku, Sarah, Dito mengekor di belakang Andhika saat masuk ke dalam ruangan. Kami terpaksa melupakan rasa lapar yang sudah memuncak, tadinya. Di bagian depan, kulihat Natasha tengah bertolak pinggang sambil menunjuk-nunjuk kue ulang tahun yang sudah diletakkan di atas meja dengan jari telunjuknya. “Aku nggak suka warna ini. Ini nggak sesuai dengan yang aku mau, Athaya. Aku nggak mau,” teriaknya. Seluruh tamu yang sudah duduk rapih di tempat yang disediakan tampak tegang dengan ekspresi wajah yang mereka tampilkan. Mereka bertanya-tanya apa yang salah dengan kuenya. “Kuenya bagus. Natasha kenapa, sih?” “Emang dia mau warna yang kayak gimana?” “Bakal rame, nih. Lo tau sendiri tabiatnya Natasha gimana.” “Bau-bau batal pesta.” Kami berempat sampai di bagian paling depan ruangan ini, berhadapan langsung dengan seorang Natasha Kamilla. “Maaf, Pak. Ini Mbak Ayya dan seluruh timnya,” ucap Andhika. Laki-lai yang bernama Athaya itu segera mengangguk. “Oh, jadi lo yang ngerjain kue ini?” ucap Natasha sambil menunjuk ke arahku. Aku mengangguk. “Lo tau apa kesalahan lo?” “Nat ... .” Athaya berusaha untuk meredam emosi Natasha yanng tengah berkobar. Aku yang memang sama sekali tidak mengerti dimana letak kesalahanku hanya bisa menggeleng. “Maaf, Mbak. Salah saya apa, ya? Saya sama sekali nggak ngerasa bikin salah di sini. Saya dan tim sudah menyelesaikan kue ini sesuai dengan pesanan.” “Lo nggak tau letak kesalahan lo apa? Lo yakin udah bekerja secara profesional?” ucapnya lagi. Aku mengangguk. Natasha mendengkus kesal. “Mata lo buta? Liat!” Sarah menyenggol lenganku. Kuamati kue ulang tahun itu dari atas sampai bawah. Untuk lebih memastikan, kembali periksa kue itu dari bagian bawah sampai bagian atas. Aku sama sekali tak menemukan kesalahan. Semuanya terlihat begitu sempurna. Sangat sempurna. “Dimana letak kesalahannya, Mbak?” tanyaku memastikan. “Mata lo buta? Lama-lama gue muak ngomong sama lo,” sahutnya. “Warna yang gue mau bukan ini! Kenapa lo buat warna krim di kue ini begini?” Aku spontan menatap Athaya yang berdiri tepat di sebelah Natasha. “Maaf, Mbak. Saya dan tim saya benar-benar sudah membuat kue ini sesuai dengan permintaan.” “Nggak usah banyak alasan. Lo sengaja kan mau bikin pesta gue hancur?” tudingnya. Aku dan kedua temanku langsung mengernyitkan dahi. “Jawab jujur!” Tiba-tiba, kuasakan lengan Sarah yang meraih telapak tanganku. Dia menarikku untuk mundur ke belakang. “Natasha yang cantik, kayaknya harus gue deh yang jelasin semuanya ke lo. Temen gue terlalu lembek ngadepin lo. Dan gue udah nggak tahan sama semua bacotan lo. Kuping lo budek atau gimana? Lo nggak denger apa yang temen gue bilang?” ucap Sarah. Natasha yang tersulut emosi hampir mengangkat salah satu tangannya, berniat untuk melayangkan satu tamparan ke pipi Sarah. “Kenapa? Kok nggak jadi ngangkat tangannya? Mau nampar gue? Silakan!” “Sar, udah. Biar gue yang selesein ini semua. Please,” pintaku. Sarah menurut. Emosinya kembali mereda. “Mbak Natasha, mohon maaf atas sikap teman saya. Tapi, apa yang saya katakan semuanya benar. Kami sudah melakukan ini semua sesuai pesanan.” “Kalo emang lo kerjain ini semua sesuai pesanan, nggak akan kayak begini!” “Pak Athaya, tolong bantu saya jelaskan ini semua ke pacar Bapak,” ucapku. Rupanya perkataanku cukup membuat Athaya yang terdiam sedikit terkejut. “Saya dan tim saya membuat kue ini sesuai dengan permintaan Bapak. Saya harap Bapak nggak lupa dengan pembicaraan kita di telepon saat itu.” “Lo teleponan sama pacar gue? Ngapain? Lo mau coba goda dia?” tuduh Natasha. “Cukup, ya. Dari tadi gue terima lo bentak-bentak gue di depan orang banyak. Sekarang, lo tuduh gue godain pacar lo? Dimana lo taroh otak lo?” ucapku kesal. “Seenaknya lo ngerendahin gue sama temen-temen gue. Dari tadi gue udah nyoba untuk nahan-nahan. Gue pikir lo bakalan diem. Malah ngelunjak.” PLAAAAAK. Kurasakan pipiku terasa panas. “Natasha! Apa-apaan sih kamu?” ucap Athaya. Athaya menatap ke arahku. Memastikan keadaanku baik-baik saja. “Mbak Ayya nggak apa-apa, kan?” “Nggak apa-apa, Pak,” jawabku. “Saya minta maaf ya, Mbak.” Aku mengangguk. “Nat, kamu keterlaluan banget.” “Kamu diem aja aku diperlakukan begini sama perempuan kayak dia? Ngapain kamu malah bela dia?” rengek Natasha. “Tapi, nggak begini caranya. Keterlaluan kamu!” “Bener-bener kebangetan lo, ya!” teriak Dito. “Cewek kurang ajar, lo!” teriak Sarah. “Udah, Dit ... Sar. Ini bakal jadi penjelasan gue yang terakhir. Terserah lo mau terima atau nggak. Pacar lo yang minta krim dan fondant dikasih warna baby pink. Gue udah coba minta dia untuk pilih antara hot pink dan baby pink. Dan dia sendiri yang bilang kalo baby pink bakalan keliatan lebih bagus,” ucapku pada Natashan. “Dan, soal gue yang godain pacar lo. Semua detail pemesanan kue direvisi pacar lo lewat sambungan telepon. Dan gue nggak cuma berdua teleponan sama pacar lo. Ada temen gue dan asisten pribadinya juga. Dan percakapan kami bisa didenger sama semua orang. Lo tanya sendiri sama pacar lo.” Natasha melirik menatap ke arah Athaya seakan meminta penjelasan. Athaya mengangguk pelan. Terlihat raut kekecewaan tercetak jelas di wajah Natasha saat ini. “Nat, aku yang minta Mbak Ayya untuk buat kuenya dengan warna ini karena aku pikir warna itu akan kelihatan lebih pas untuk kamu.” “Athaya! Aku maunya hot pink. Aku nggak suka warna ini.” “Kamu kan cuma bilang kalo mau pink untuk warna krim dan fondantnya. Kamu nggak kasih aku detail apa-apa.” “Aku kirim WA ke kamu. Aku minta warna hot pink.” “Nat, kerjaanku nggak cuma ngurus pesta ini. Masih banyak yang harus aku handle. Udah, deh. Hal sepele ini nggak usah dipermasalahkan. Kemauan kamu terlalu banyak.” “Dengerin cowok lo! Jadi cewek jangan cuma bisanya ngeribetin orang doang,” celetuk Sarah. “Sar ... .” Aku menggeleng pelan ke arah Sarah. Memintanya untuk berhenti membuat masalah. “Balikin uang pembayaran kue ini. Gue nggak mau sepeser pun bayar. Gue sama sekali nggak puas sama hasil kerja kalian,” ucap Natasha. “Natasha! Kamu apa-apaan, sih? aku yang bayar semuanya. Kamu nggak berhak minta uang itu dikembalikan,” bentak Athaya. “Semuanya jelas bukan kesalahan mereka. Ini kesalahan dari pihak kita.” “Athaya, mereka bisa besar kepala kalo didiemin kayak begini.” “Kamu yang harusnya diam.” “Pak Athaya, saya mohon pamit.” Natasha menarik lenganku dan menahanku untuk tetap ada di ruangan itu. Aku yang merasa risih segera menghempaskan genggaman tangannya. “Apa-apaan, sih?” ucapku kesal. “Mau kemana lo? Masalah ini belom selesai.” “Masalah ini belom selesai karena lo belom minta maaf sama gue. Jelas ini semua bukan salah pihak kita. Lo masih ngeyel banget. Terlalu malu untuk ngakuin kesalahan?” sahutku. “Minta maaf sama lo? Mimpi! Siapa lo sampe gue ahrus minta maaf sama lo? Siapa orangtua lo? Jelas level kita udah beda. Bisa-bisanya lo nyuruh gue minta maaf sama lo. Siapa sih nama lo?” tanyanya. Aku menghela napas kasar. Sama sekali tak ingin memulai masalah baru dengan wanita yang sedang berdiri di hadapanku saat ini. “Lo mau ngomongin level? Seriusan? Apa gue perlu ngutus pengacara keluarga gue untuk selesein perkara ini? Lo tanya siapa nama gue?” Natasha mengangguk dengan sombongnya. Sikapnya terlihat sangat merendahkan. Kuulurkan tanganku untuk memperkenalkan diri. Tapi, Natasha sama sekali tak menyambutnya. “Nggak masalah kalo lo nggak mau jabat tangan gue. Kenalin, gue Tsurayya Hanna Aditama. Lo tanya siapa orangtua gua? Gue anak dari Hardianto Aditama. Lo pasti kenal siapa orangtua gue, kan?” Natasha terdiam. Tatapannya kosong. Seorang wanita dengan tinggi yang tak sampai pundak Natasha berjalan menghampirinya tergopoh–gopoh sambil membawa sebuah tablet di tangannya. “Nat, dia anaknya yang punya Gibrayya Jewellery. Lo baru aja teken kontrak sama mereka belom lama ini,” bisiknya yang masih bisa kudengar dengan sangat jelas. “Lo pernah deketin Gibran, kan? Nah, cewek ini adeknya Gibran Aditama.” Aku dan kedua temanku pergi meninggalkan ruangan ini dengan tatapan seluruh orang yang mengarah padaku. “Dia adeknya Gibran?” “Dia anak yang punya Gibrayya Jewellery?” “Nggak nyangka, down to earth banget.” “Dia jelas bertingkat-tingkat lebih tinggi dari Natasha.” Sebelum benar-benar meninggalkan gedung restoran ini, kurekam baik-baik semua kejadian yang terjadi barusan. Berharap ini semua hanya akan menjadi perngalaman pertama dan terakhirku berurusan dengan customer seperti Natasha. “Buta kali tuh cowok. Cewek kayak begitu dipacarin.” Kuamati bangunan restoran berlantai 2 itu dari luar. Sarah yang mengamatiku tengah menatap ke arah jendela yang kuyakini adalah ruangan yang disewa Natasha untuk pesta ulang tahunnya. “Ya, kita pulang.” “Iya. Gue juga udah nggak betah lama-lama di sini. Cuma nambah penyakit hati aja,” ucapku. “Apalagi gue. Rasanya pengen banget gue rebus Natasha jadi selai. Muka dia mendadak pucet pas tau identitas lo.” “Sebenernya, gue nggak mau pake cara itu. Gue nggak mau bawa-bawa keluarga gue. Tapi, mau gimana lagi. Sabarnya gue ada batesnya, kan?” “Mau ngerumpi sampe kapan?” potong Dito. “Kalo diterusin, sampe Subuh juga nggak akan kelar.” "Firasat gue bener kan, Ya?" tegur Sarah saat kami bertiga berjalan menuju tempat dimana mobil diparkir.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN