TSURAYYA -6-

2188 Kata
“Ya, demi langit bumi dan seluruh isiannya ... gue nggak mau lagi nerima pesenan dari makhluk modelan Natasha Kamilla. Even, tinggal dia satu-satunya manusia di muka bumi ini. Bodo amat. Gue nggak mau.” Sarah tak henti-hentinya menggerutu di sepanjang perjalanan kembali dari restoran ke toko. Aku mengerti apa yang dia rasa. Itu sangat wajar. Jelas-jelas kue itu sudah dikerjakan sesuai dengan keinginan si pemesan. Kalaupun memang ada kesalahan, itu di luar tanggung jawab kami. Pengalaman hari ini adalah pengalaman paling buruk selama kami membuka bisnis toko kue. Segala bentuk pengaduan memang wajar. Tapi, apa yang terjadi di restoran itu sungguh tidak wajar sama sekali. “Udah lah, Sar. Kalo lo nggerutu terus, nanti malah nambah kesel,” sahutku. “Udah banyak omong, pake maen tangan pula. Kenapa sih dia begitu banget jadi manusia? Yakin lo nggak pernah tau kalo cewek modelan kayak Natasha pernah nyoba deketin Mas Gibran?” tanya Sarah. Aku menjawabnya dengan anggukkan karena memang selama ini aku tak pernah tahu kalau Natasha pernah berusaha untuk mendekati kakakku kalau bukan dari celetukkan yang kudengar di restoran tadi. “Kita kudu bikin tasyakuran pake tumpeng nasi kuning sama ayam panggang, Ya. kalo perlu kita larungin tumpengnya ke Laut Selatan. Buang sial.” Kusumpal mulut Sarah dengan satu telapak tanganku. “Hush, jangan sembarangan kalo ngomong. Ini tuh bukan kesialan. Ini sebagian dari cobaan kita dalam berbisnis. Tapi, nggak munafik. Apa yang baru aja kita alami tadi emang keterlaluan banget, sih.” “Terus gimana, Ya?” “Apanya yang gimana?” sahutku. “Tadi kan lo bilang mau minta pengacara keluarga lo buat urus masalah ini. Itu beneran?” Aku terkekeh mendengar ucaapan Sarah. Aku dsama sekali tak berniat untuk membawa masalah konyol ini ke jalur hukum. Bahkan, pengacara keluargaku pun terlalu sibuk untuk mengurusi masalah ini. “Pak Hotma terlalu sibuk ngurusin legal things di perusahaan bokap gue ketimbang ngurus perkara krim kue, Sar.” “Tsurayya! Ini udah bukan masalah krim kue lagi. Lo udah digampar, woy! Digampar. Di depan banyak orang.” “Sar, kalo sampe bokap gue tau masalah ini ... bisa gawat. Bahaya, Sar. Bokap gue bisa bikin karirnya Natasha selesai. Apalagi, tadi gue sempet denger waktu manajernya bilang dia teken kontrak sama Gibrayya belum lama ini,” ujarku. Sungguh aku memang tak pernah berniat untuk melibatkan keluargaku di setiap masalah yang berhubungan dengan bisnis pribadiku. “Malah bagus, dong! Biar dia tau siapa yang dia hadapin. Gas aja sih, Ya.” “Gas-gas aja. Lo pikir bajaj,” sahut Dito dari balik kursi pengemudi. Aku dan Sarah sontak tertawa terbahak-bahak. Teringat ucapan Natasha di restoran tadi saat dia meminta seluruh uangnya dikembalikan, aku jadi memikirkan untuk mengembalikan seluruh uang. Rasa-rasanya berat hatiku menerima uang yang tak seberapa besarnya dengan apa yang yang baru saja kualami. OoO Sudah hampir jam 10 malam saat aku sampai di rumah. Sengaja kuminta Dito untuk langsung mengantarku pulang tanpa harus mampir ke toko. Aku sudah terlalu lelah dan tak bertenaga lagi jika harus kembali ke toko. Rumah gelap karena hampir seluruh lampu sudah dimatikan. Sebelum naik ke lantai atas, aku berjalan menuju dapur untuk mengambil segelas air minum. Ah, tiba-tiba perutku berbunyi. Teringat seporsi pasta yang kupesan di restoran tadi yang sama sekali belum sempat kusentuh. Kuikat rambutku asal dengan karet gelang yang memang sengaja disangkutkan asisten rumah tangga kami di handle laci kitchen island. Sepertinya, semangkok mi instan dengan beberapa cabai rawit yang diris akan sangat cocok untuk mengisi perut malam ini.    “Jam segini kok baru balik, Ay?” Aku hampir tersedak mi instan rebus saat Mas Gibran yang tiba-tiba menampakkan diri di dapur. “Pelan-pelan makannya, Ay.” “Mas, ih. Ngagetin aku aja. Tiba-tiba muncul,” ucapku sambil berusaha menggapai segelas air minum di hadapanku. “Kayak setan aja tau-tau muncul.” “Aku haus. Ke dapur mau ambil minum. Eh, di sini malah liat kamu lagi makan. Tumben, pulangnya malem banget. Kamu baru banget sampe, kan? Soalnya aku belom denger kamu masuk kamar dari tadi.” “Iya. Aku baru sampe. Ada kerjaan di jam makan malam tadi,” ucapku. Kuminta Mas Gibran untuk duduk di sebelahku. “Mas, aku mau tanya.” “Nanya apa?” “Emang model yang namanya Natasha Kamilla itu pernah deket sama kamu, Mas?” ucapku. Mas Gibran memicingkan pandangannya ke arahku. “Eh, kenapa mata kamu nyureng-nyureng begitu? Jawab aku. Bener?” “Kamu denger berita kayak begini dari mana?” tanyanya. “Siapa yang nyebar hoax kayak begitu?” “Intinya gimana, sih? Beneran atau hoax?” “Perlu aku jelasin? Ya jelas hoax, lah. Gila aja aku deket sama dia. Males banget. Cerita yang bener adalah ... dia nyoba untuk bisa deket sama aku.” “Kamu tertarik sama dia, Mas?” selidikku. “Masih ada yang jauh lebih baik dari dia, kan?” “Banyak. Tapi, buktinya aja kamu masih jomlo.” “Yang jelas, dia bukan tipeku. Natasha itu udah dikenal suka morotin laki-laki. Yang aku denger, dia pacaran sama anaknya yang punya G Corp, kan?” Aku mengangguk. “Yang aku denger, mereka backstreet. Mereka sempet terang-terangan pacaran. Tapi, pas orangtua cowoknya tau, mereka putus.” “Mas kok up to date banget sih?” ucapku. “Apa ada grup nyinyir yang kamu bentuk bareng temen-temen sesama pengusaha?” “Ada, lah. Jangan kamu pikir laki-laki nggak suka ngegosip.” “Ya ampun. Abangku tukang gosip juga ternyata. Mas, mau aku kasih tau sesuatu nggak?” “Apaan?” “Aku pulang terlambat karena baru selesai anter pesenannya si Natasha itu, Mas. Dia ngadain pesta ulang tahun di restoran. Cowoknya pesen kue ulang tahun di tokoku. Ada insiden kecil,” bisikku. “Insiden apa?” tanya Mas Gibran penasaran. “Natasha marah gara-gara kue yang dipesen nggak sesuai sama keinginan dia. Perkara warna krim. Cowoknya nggak kasih revisi ke kita. Kita udah buat sesuai detail yang diminta. Eh, Natasha ngotot katanya semua salah pihak kita.” “Cowoknya diem aja?” sahut Mas Gibran. “Nggak, sih. Cowoknya marah pas ... .” “Pas apa?” sahut Mas Gibran. “Natasha nampar pipi ...” "Pipi sipa yang ditampar?" tanya Mas Gibran dengan nada serius. aku terdiam. "Pipi siapa, Ayya?" "Pipiku, Mas." Sebuah gebrakkan membuat jantungku hampir saja mencelos keluar. Mas Gibran terlihat sangat marah setelah mendengarkan ceritaku. “Kamu ditampar sama Natasha?” ucapnya. Aku mengangguk. “Terus, kamu diem aja?” “Tadinya, aku diem aja. Sampe akhirnya aku nggak tahan lagi. Dia tanya siapa aku. Pas aku sebutin, dia langsung pucet.” “Biar aku yang urus. Besok aku bakal bilang orang kantor untuk putusin kontrak sama dia. Perusahaan kita nggak akan jatoh bangkrut karena kehilangan model nggak tau diri kayak dia,” ucap Mas Gibran. “Udah lah, Mas. Nggak usah diperpanjang. Aku nggak kenapa-kenapa, kok. Nggak enak kalo sampe Papa tau.” “Kamu yakin nggak mau memperpanjang masalah ini? Ini udah tindak kriminal lho, Ay. Kamu udah diperlakukan tidak baik di muka umum.” Aku menggeleng pelan sambil berusaha menurunkan emosi Mas Gibran. “Tenang aja. Aku okay. Selama dia nggak cari-cari masalah lagi sama aku, aku udah anggap selesai.” “Yaudah kalo itu mau kamu. Buruan makannya. Udah malem. Kalo udah, jangan lupa matiin lampu. Langsung masuk ke kamar. Istirahat, ya,” pesan Mas Gibran saat akan kembali ke kamarnya dengan membawa segelas penuh air minum. OoO Sesampainya di toko, aku dikejutkan dengan pemandangan yang ada di hadapanku. Mala dengan kaki dan tangan yang dibalut perban elastis cokelat. “Kenapa, Mal?” tanyaku. “Ternyata semalem dia balik dijemput sama head bakernya Sugar Catle, Ya. Mereka berdua boncengan naik motor,” sambar Sarah yang baru saja selesai memasukkan beberapa loyang roti ke dalam oven. “Kalian berdua jatoh dari motor?” tanyaku lagi. Mala menjawabnya dengan anggukkan. “Di mana?” “Di perempatan depan, Mbak. Jalanan licin banget. Dikta oleng bawa motornya,” ucapnya. “Dikta juga luka kayak lo?” tanyaku. Mala kembali mengangguk. “Terus, ngapain lo dateng ke sini kalo tangan sama kaki lo aja kayak begini, Mal?” “Gue nggak enak sama lo dan Mbak Sarah. Gue ke sini biar kayak ada bukti nyata gitu kalo gue lagi sakit,” ucapnya. Kusentil kening Mala dan dia mengaduh. “Sakit, Mbak!” “Lagian. Lo aneh-aneh aja. Lo balik aja. Istirahat di rumah. Nanti, boleh balik kerja kalo udah sembuh.” “Ya, lo mau tau kabar yang bisa bikin kita sedikit kaget nggak?” ucap Sarah. “Ada kabar apa lagi?” sahutku. “Tadi Dito bilang, Bu Maya telepon ke sini. Kita dapet big order untuk tiga hari ke depan.” “Big order apaan, Sar?” “Roti,” jawa Sarah. Matanya melirik ke arah Mala yang duduk sambil memijit-mijit pelipisnya. “Tukang rotinya aja lagi keseleo. Gimana dong ini?” “Berapa banyak pesenannya?” “Tiga ribu roti untuk lima jenis. Maksud gue, masing-masing roti enam ratus biji, Ya.” Hampir saja aku dibuat senam jantung karenanya. “Yaudah. Nanti kita pikirin gimana caranya, ya. Hari ini, kita jual aja roti-roti yang bisa dijual. Kalo stoknya habis, ya nggak apa-apa. Nggak usah diadain lagi. Daripada nanti kita keteteran.” Dan benar saja. Beberapa pengunjung yang memang sudah sering datang untuk beberlanja di sini dibuat kaget karena rak roti tidak terisi penuh seperti biasanya. Setelah kusampaikan pada mereka bahwa Mala sedang dalam kondisi yang sangat tidak memungkinkan untuk membuat roti, barulah mereka bisa memaklumi. Seharian ini, aku sibuk memutar otak mencari cara untuk menggarap pesanan 3 hari ke depan. Biasanya, kami berempat yang akan menggarap jika ada pesanan dalam jumlah besar. tapi, baru kali ini kami mendapat pesanan dalam jumlah yang sangat besar seperti ini. Teringat bahwa aku selalu bisa mengandalkan salah seorang teman baik sesama pemilik bisnis toko kue yang kutemui secara tidak sengaja di sebuah pelatihan menghias kue setahun yang lalu. Olivia namanya. Dia selalu bisa diandalkan setiap kali aku membutuhkan tenaga tambahan di dapurku. OoO Aku dan Sarah mantap memutuskan untuk meminta pertolongan dari sahabatku itu. Keberuntungan berpihak pada kami. Dengan senang hati Olivia akan mengirimkan dua orang pekerjanya untuk membantu di dapurku. Akhirnya, satu masalah berhasil diselesaikan. Aku hanya perlu semuanya untuk mengerjakan 3000 roti untuk lusa. Sepulangnya dari toko kue Olivia, aku dan Sarah dikejutkan karena melihat Andhika yang sudah duduk di salah satu meja di dalam toko. Sepertinya, Andhika sudah cukup lama menunggu kedatangan kami di toko. Itu bisa kulihat dari 2 buah cangkir yang ada di atas mejanya. “Eh, Mas Andhika. Udah lama, ya?” tanyaku berbasa-basi. Andhika hanya menjawabnya dengan anggukkan. Dia bangun dari duduknya, menyalamiku dan juga Sarah. “ Silakan duduk lagi, Mas. Maaf ya udah bikin lama nunggu. Saya sama Sarah baru dari toko temen. Ada apa ya, Mas?” “Sebelumnya, saya ke sini sebagai utusan dari Bapak Athaya, Mbak. Bapak Athaya minta saya untuk menyampaikan permintaan maaf yang sebesar-besarnya atas apa yang terjadi saat itu di restoran. Semua itu benar-benar di luar dugaan.” “Kenapa nggak Pak Athayanya aja yang ke sini sendiri, Mas?” sahut Sarah. “Apa jangan-jangan dia lagi dikekepin sama pacarnya?” Kusenggol lengannya untuk membuatnya diam. “Sekali lagi saya sampaikan permintaan maaf kami yang sebesar-besarnya ya, Mbak.” “Mas Andhika, sebelumnya saya ucapkan terima kasih banyak, ya. Mas Andhika sudah beritikad baik untuk datang ke sini dan menyampaikan permintaan maaf. Permintaan maafnya saya terima,” ucapku. “Terima kasih banyak, Mbak Ayya ... Mbak Sarah,” sahutnya. “Saya jamin kejadian seperti ini nggak akan terulang lagi.” “Kami yang lebih dulu menjamin, Mas,” sambar Sarah. “Setelah insiden kemaren, kami sepakat nggak akam mau terima orderan dari Natasha ataupun Bapak Athaya lagi.” “Saya mengerti, Mbak. Sekali lagi, saya minta maaf.” “Apa yang barusan dibilang Sarah benar, Mas. Kami nggak mau terlibat masalah lagi dengan Natasha,” tambahku. “Iya, Mbak Ayya,” imbuhnya. “Sebelumnya, saya mau memastikan sesuatu. Mbak Ayya benar anak dari Bapak Hardianto Aditama selaku pemilik Gibrayya Jewellery?” “Benar, Mas. Beliau papa saya. Ada apa ya, Mas?” tanyaku menyelidik. “Saya sebagai perwakilan dari Bapak Athaya. Bapak Athaya meminta saya untuk menyampaikan hal ini ke Mbak Ayya.” Sepertinya, aku sudah paham ke mana arah pembicaraan ini akan dibawa. Kenapa laki-laki itu malah mengirim Andhika untuk menyampaikan hal ini padaku? Sesibuk itukah dirinya sampai tak sempat untuk menemuiku dan lebih memilih untuk mengirim asisten pribadinya? “Kalo masalah kontrak kerja Natasha dengan Gibrayya, itu bukan urusan saya. Dan saya bisa pastikan Natasha masih bisa dipekerjakan di sana. Saya bukan tipe orang yang suka mencampuradukkan urusan pribadi saya dengan membawa-bawa orangtua.” “Terima kasih banyak, Mbak Ayya. Saya nggak tau lagi harus bilang apa.” “Masih ada yang mau dibicarakan lagi, Mas?” tanyaku. Andhika menggeleng. “Kalau begitu, saya pamit dulu ke dalam. Oh, iya. Saya hampir lupa. Sampaikan salam saya untuk Bapak Athaya. Tolong bilang ke Bapak Athaya kalau dia bisa langsung datang ke sini apabila masih ada hal yang mengganjal dan perlu untuk dibicarakan secepatnya.” "Baik, Mbak. saya akan sampaikan pesan dari Mbak Ayya pada Pak Athaya."     
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN