ATHAYA -6-

2042 Kata
Aku masih duduk di balik meja kerjaku sambil memeriksa setumpuk laporan perkembangan beberapa cabang retail yang ada di Jakarta dan kota-kota di sekitarnya. Tapi, perhatianku tak pernah lepas dari benda pipih yang sedari tadi kupandangi. Aku tengah menunggu berita dari Andhika yang sengaja kuperintahkan untuk menemui perempuan pemilik toko kue itu. Aku benar-benar tak pernah menyangka kalau perempuan itu adalah anak dari satu pengusaha sukses di Indonesia. Bahkan, bidang usaha yang dijalankan keluarga mereka sudah lama menguasai pasaran peredaran perhiasan dan batu mulia di luar negeri. Yang kutahu, perhiasan yang mereka produksi diciptakan dengan desain khusus yang terkenal dengan kualitas maha sempurnanya. Layar komputer di hadapanku masih menampilkan deretan berita tentang Gibrayya Jewellery. Beberapa hari ini aku sibuk mencari tahu tentang keluarga mereka beserta usaha yang digeluti. Aku memang pernah beberapa kali bertemu dengan putra sulung keluarga Aditama, Gibran Aditama yang saat ini didapuk sebagai pemegang kekuasaan Gibrayya Jewellery di beberapa pertemuan pengusaha Indonesia. Selama ini, aku tak pernah tahu kalau keluarga Aditama mempunyai seorang putri karena memang keberadaannya tak pernah sekalipun nampak di pemberitaan. Jika diliat dari penampilannya, seorang putri Aditama itu terlalu sederhana untuk bisa dibilang seorang anak dari keluarga kaya raya dan terpandang. Dia sangat jauh berbeda dibandingkan dengan putri dari beberapa pengusaha yang kukenal. Mereka gemar berpakaian serba glamor dengan barang-barang bermerek yang sudah pasti mahal harganya. Tapi, Tsurayya berbeda. Dari yang kulihat saat itu, dia lebih suka memilih apa yang membuatnya nyaman. Bukan apa yang bagus dipandang orang lain. Rupanya Andhika sudah kembali setelah seharian kukirim dia untuk menemui Tsurayya di tokonya. Aku segera berdiri dan merasa sangat tak sabar untuk mendengarkan berita yang dibawanya. “Gimana? Berita apa yang lo bawa?” tanyaku dengan sangat penasaran. “Dia bilang apa?” Bukannya langsung menjawab, Andhika malah menjatuhkan tubuhnya di atas sofa yang ada di ruanganku. Aku mengikuti pergerakannya. Aku ikut mendudukkan diri di atas sofa. Andhika menghela napas seakan baru saja kembali dari perjalanan yang sangat jauh. “Lo bisa sabar dulu, nggak? Gue tuh capek banget. Biar gue ngaso  dulu. Bisa?” ucapnya. “Lo bisa istirahat setelah lo kasih tau gue berita apa yang lo bawa. Tsurayya bilang apa?” tanyaku lagi. Karena kesal, Andhika segera bagun dan menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa. Dibukanya kancing jasnya dan disampirkannya di sofa dengan sangat asal. Andhika membuka kancing lengan bajunya dan mulai menggulungnya sebatas siku. “Dia terima permintaan maaf dari lo,” ucapnya. Aku mengangguk. “Dan ... mereka nggak akan mau terima segala macam bentuk orderan dari llo dan pacar tercinta lo itu.” “Kenapa begitu? Mereka nolak rejeki, dong?” sahutku. “Lebih baik nolak rejeki daripada terlibat masalah lagi sama Natasha. Mereka cuma mau cari aman aja, Bang. Dia udah baik banget lho, Bang.” “Maksud lo?” “Kalo dia mau, dia bisa bawa kasus ini ke pihak yang berwajib. Cewek lo yang kebangetan itu bisa dikasusin. Kalo bukan Tsurayya yang digampar kemaren, mungkin cewek lo udah ngedekem di penjara, Bang.” Benar juga apa yang Andhika katakan. “Terus? Dia bilang apa lagi? Soal kontrak kerja Natasha sama Gibrayya Jewellery gimana?” “Dia bilang ke gue kalo dia nggak ada urusannya sama Gibrayya. Dan dia bilang, Natasha pasti tetap akan dipekerjakan di sana.” Andhika menggosok-gosok kedua telapak tangannya. “Dingin banget sih di sini. Kayaknya teh manis anget enak, deh.” Tanpa basa-basi, aku segera berjalan menuju mejaku dan meminta sekretarisku untuk menyiapkan dua cangkir teh manis hangat untukku dan Andhika melalui intercomm yang ada di sana. Aku kembali duduk di sofa untuk menyimak cerita Andhika. “Dia ada pesen apa lagi?” “Dia tanya kenapa nggak lo sendiri aja yang ke sana untuk ngomong langsung sama dia.” “Lo bilang apa?” “Gue nggak bilang apa-apa. Gue takut salah ngomong.” “Dasar bego. Lo kan bisa bilang kalo gue sibuk periksa laporan.” OoO Aku baru saja akan merebahkan tubuh di atas tempat tidur saat kulihat lampu pemberitahuan ponselku terus-terusan berkedip. Takut ada hal penting, segera kuusap layar ponsel dan membaca pemberitahuan yang baru saja masuk. Aku menghela napas kasar seraya mengusap wajah dengan satu telapak tangan. Natasha kembali berulah. Dia kembali menyalahgunakan kartu kreditku yang memang sengaja kuserahkan padanya untuk memuaskan dirinya. “Hallo, Athaya. Kok tiba-tiba kamu telepon aku. Ada apa?” “Apa kamu pikir aku bisa tidur nyenyak setelah ada notifikasi masuk ke handphone aku?” jawabku. “Kamu kenapa, sih?” “Mau ngapain kamu beli tiket business class round trip ke Korea? Delapan tiket! Kamu gila, Nat?” “Easy, Sayang. Aku pake kartu kamu cuma untuk nalangin dulu, kok. Nanti, temen-temenku bakal ganti semuanya. Kamu nggak perlu marah-marah.” “Dan kenapa kamu nggak bilang-bilang aku dulu kalo mau ke Korea? Kamu anggap aku apa selama ini, Nat?” “Athaya, kamu itu pacar aku. Bukan maksud aku nggak mau kasih tau kamu. Aku cuma belum sempet aja untuk kasih tau kamu. Aku terlalu sibuk seharian ini.” “Sibuk menghambur-hamburkan duitku, kan? Kalo aku nggak cinta mati sama kamu, mungkin aku udah nyerah ngadepin kamu, Nat.” “Lho, kok kamu jadi begini, sih?” “Kamu nggak pernah melibatkan aku di setiap pengambilan keputusan. Contohnya liburan ini. Kamu nggak ajak aku diskusi dulu. Tiba-tiba kamu udah booking tiket ke Korea untuk pergi sama temen-temen kamu.” “Athaya, aku capek berantem sama kamu cuma karena hal sepele kayak begini. Mendingan, kamu tidur. Ini udah malem. Aku mau istirahat. I love you. Bye.” “Nat!!” Saking kesalnya, kulempar ponselku ke atas tempat tidur dengans angat asal. Aku terlalu marah sampai akhirnya sulit untuk memejamkan mata. Aku bangun dan lebih memilih duduk di meja kerjaku. Kutarik handle laci untuk mengeluarkan sesuatu paling berharga yang kumiliki beberapa tahun terakhir ini. Lembar demi lembar kembali k****a. Meskipun aku sudah sangat hapal apa saja yang tertulis di dalamnya, itu sama sekali tak pernah membuatku bosan untuk selalu membaca buku ini. Buku ini bisa memberikan rasa tentram tersendiri saat membacanya. Mimpiku tak terlalu rumit. Aku tak butuh mobil berunit-unit. Mimpiku bahkan terlalu sederhana. Aku dan kamu, kita tertawa bersama. T.S Entah sudah berapa kali aku membaca bagian ini. Dan berkali-kali pula aku membayangkan duduk berdua dengan si pemilik buku ini, menatap indahnya langit malam dari balkon kamar dan berakhir tertawa bersama. Aku sangat merindukan dia, meskipun belum pernah sekali pun bertemu. Aku beralih ke lembar-lembar berikutnya. Aku tersenyum membaca sebait kata-kata yang dirangkai di sana. Tak bisa kubayangkan betapa jenakanya dia sampai bisa menulis bait konyol ini. Aku pernah berteman baik dengan stapler. Dia pernah satu kali menyelamatkan hidupku. Kenapa begitu? Bagian belakang rokku sobek parah. Semuanya terlihat. Teman-teman konyolku mulai mengenalkanku dengan stapler. Kamu tahu apa yang terjadi setelahnya? Aku harus berjalan dengan sangat pelan agar hubunganku dengan stapler tidak renggang. T.S Perutku sakit tiap kali membaca bagian itu. Dengan segala perkiraan yang kumiliki, kuasumsikan bahwa dia adalah seorang dengan pribadi yang sangat baik. Lembar itu bukanlah satu-satunya yang membuatku sakit perut. Saat itu, usiaku baru 7 tahun. Aku merengek meminta sepasang sandal baru. Mama menyerah. Padahal, belum lama aku dibelikan 3 pasang sandal baru. Aku terlalu bahagia. Berjalan mengitari halaman belakang dengan teman baru di kedua kakiku. Aku terlalu bahagia. Berlarian ke sana ke mari. Aku terlalu bahagia. Anak ayam usia 1 minggu milik Eyang harus pergi untuk selama-lamanya. Seketika aku bersedih. Aku tak sengaja menginjaknya dengan sepasang  teman baru di kedua kakiku. Sejak saat itu, aku takut untuk menjadi sangat bahagia. T.S Aku betah menghabiskan waktu hanya untuk mengulang lembar demi lembar yang ada di buku itu. Bahkan, sesekali kusemprot buku itu dengan parfum kesayanganku. Tapi, aku pernah menyesali itu semua. Saat pertama kali kusemprotkan parfum kesayanganku di buku itu, harum dari parfum si pemilik buku hilang dan digantikan dengan wangi parfumku. Tapi, aku masih hapal betul harum yang pernah melekat di buku catatan itu. Tak terasa aku tertidur pulas dengan buku itu di dalam pelukanku. OoO “Mas ...  bangun!” Teriakkan Seruni yang begitu nyaring seketika membuatku langsung terbangun. Kutatap jam dinding yang menempel di dinding kamarku. Astaga! Ini sudah terlalu siang. “Bangun, Mas! Mau tidur sampe kapan?” Aku berjalan terhuyung untuk membuka pintu. Kulihat Seruni yang sudah berpenampilan rapih. “Kamu mau ke mana?” tanyaku. “Aku mau les bikin kue. Aku lagi males naik kendaraan umum. Bisa anter aku ke sana nggak?” ucapnya. “Makanya, kamu belajar naik motor atau nyetir mobil,” sahutku. “Aku kan punya kamu. Jadi, aku nggak perlu ribet belajar naik motor atau nyetir mobil. Selama kamu belum berumah tangga, kamu bisa aku manfaatin, Mas.” “Sembarangan.” “Aku tunggu di bawah ya, Mas. Cepetan!” Mobilku berhenti di depan sebuah toko kue yang desainnya terlihat begitu cantik. Ada sebuah neon sign bertuliskan ‘Ayya’s Secret’ di bagian depannya. Aku masih di dalam mobil saat Seruni keluar dan berlari menghampiri seorang wanita yang mengenakan terusan biru muda dengan panjang di bawah lutut. Rambutnya digelung dengan ikat rambut yang pernah kulihat sebelumnya. “Mbak Ayya!” “Kok udah dateng, Run?” “Sengaja, Mbak.” “Kamu dianter?” Seruni mengangguk. Seruni menunjuk ke arah di mana mobilku terparkir, kurang lebih hanya 3 meter. “Dianter siapa?” “Supir, Mbak.” Sial. Supir katanya? Kupastikan keduanya sudah benar-benar masuk ke dalam toko. Aku masih menunggu selama hampir setengah jam di dalam mobil. Kuputuskan untuk masuk ke dalam toko. Kuamati keadaan di sekeliling toko. Belum terlalu banyak pengunjung yang datang. Kuambil sebuah nampan dan mulai berkeliling untuk memilih beberapa roti. Setelah memilih, kubawa nampan berisikan 2 bungkus roti ke meja kasir. Aku masih ingat laki-laki muda yang berdiri di hadapanku. Dia adalah laki-laki yang sama yang pergi ke restoran dengan Tsurayya saat itu. “Ada lagi yang mau dibeli, Pak?” tanyanya. “Atau Bapak mau coba cokelat panas special toko kami?” “Boleh, Mas.” “Ada tambahan lagi, Pak?” tanyanya. Pandanganku tertuju ke sebuah kue dengan toping buah-buahan segar di atasnya. “Mas, saya mau kue itu satu, ya?” Kutunjuk dengan jari telunjukku kue dengan taburan buah-buahan segar yang ada di dalam pendingin. “Ini kue khusus yang dibuat dari resep Mbak Ayya, pemilik toko ini. Semoga Bapak suka, ya.” Aku mengangguk. “Silakan duduk, Pak. Nanti cokelat panasnya saya antar ke meja Bapak. Mohon ditunggu ya, Pak.” Aku berjalan menuju ke arah sebuah meja yang letaknya agak menjorok. Kubuka plastik pembungkus roti dengan isi tuna pedas yang tadi kupilih. Gigitan pertama terasa begitu membahagiakan karena rasa ini benar-benar cocok di lidahku. Tuna pedas dengan bumbu sedikit pedas berpadu dengan tekstur roti yang lembut. Pesananku datang. Secangkir cokelat panas dan seiris kue dengan taburan buah-buahan segar di atasnya. “Silakan dinikmati ya, Pak.” “Terima kasih banyak ya, Mas.” “Maaf sebelumnya, Pak. Sepertinya saya pernah ketemu Bapak. Tapi, saya jadi kurang yakin karena cara berpakaian Bapak sedikit beda.” “Benar, Mas. Kita pernah ketemu. Saya Athaya. Kita pernah ketemu di restoran beberapa hari yang lalu. sayang nggak mungkin pake setelan jas untuk minum cokelat panas di toko kue kan, Mas?” “Bapak Athaya yang itu?” ucapnya terkejut. Aku mengangguk. Laki-laki di hadapanku ini berohria. “Kalau begitu, silakan dinikmati, Pak. Saya harus kembali ke depan lagi.” “Mas, saya mohon maaf untuk apa yang terjadi saat itu, ya.” Dia hanya menjawabnya dengan anggukkan dan berlalu pergi meninggalkanku. Kunikmati kue itu dengan sangat khidmat. Benar-benar enak. Tingkat kemanisannya sangat pas dan tidak berlebihan. Segarnya buah-buahan yang di tabur di atasnya menambah cita rasa segar saat dinikmati secara bersamaan. Dering ponselku yang terus-menerus berbunyi cukup mengangguku. Aku berniat untuk mengabaikan, namun setelah k****a nama penelepon yang tampak di layar, niatan itu hilang seketika. “Ada apa, Pak Thomas?” ucapku. Pak Thomas adalah manager salah satu cabang retail milik keluargaku. “Ada hal yang mendesak?” “Maaf, Pak. Bapak bisa ke sini?” “Ada apa, Pak?” “Bapak dan Ibu baru berkunjung ke sini. Mereka nggak sengaja ketemu sama keluarganya Mbak Natasha yang lagi belanja di sini.” “Gawat, Pak?” “Sangat, Pak. Bapak marah-marah karena lihat tingkah laku keluarga Mbak Natasha yang semaunya. Keluarganya Mbak Natasha belanja pake kartu Pak Athaya.” Tamat sudah riwayatku.      
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN