ATHAYA -4-

4093 Kata
Sengaja kuambil cuti khusus untuk hari ini. Tak bisa lagi kubendung rasa bahagia untuk segera menyambut kepulangan Nathasha ke tanah air. Pesawatnya akan segera mendarat dalam beberapa jam ke depan. Tapi, kecamuk rasa bahagia sudah begitu sangat menyesakkan d**a. Menunggu sang pengobat rindu memberikan penawarnya. Ah, aku memang sebegitu cintanya pada seorang Natasha Kamilla. Untuk menyambut kepulangannya, aku bahkan sudah menyiapkan beberapa kejutan kecil yang tentunya akan membuatnya bahagia. Kusiapkan semua barang yang menjadi kesukaannya. Dari mulai rangkaian bunga, minuman cokelat dengan 100% gula diet rendah kalori dan sepasang sepatu bermerk limited edition yang memang sempat dimintanya beberapa hari yang lalu. Aku masih punya waktu selama beberapa jam ke depan sebelum berangkat ke airport untuk menjemputnya. Semua orang yang ada di rumah tampak bingung melihatku yang masih ada di rumah di hari kerja, terutama Bunda. Bahkan, Bunda berkali-kali masuk ke kamarku untuk memastikan bahwa yang dilihatnya tengah bergelung di balik selimut memang benar-benar aku. Aku sengaja berpura-pura seakan masih nyenyak tertidur waktu Bunda mengintip dari balik pintu kamar. “Mas, kok nggak ngantor? Nggak ada kerjaan atau gimana?” ucap Bunda saat akhirnya kuputuskan untuk bangun dari tidurku. Berlagak seakan baru saja terbangun dari tidur yang sangat menyenyakkan sambil sesekali menguap pun aku lakukan. Kenyataannya, aku sama sekali tidak bisa tidur sejak semalam karena saking bahagianya membayangkan pertemuanku dengan Natasha setelah kurang lebih satu bulan lamanya kami tidak bertemu satu sama lain. “Nggak, Bun. Lagi pengen cuti aja. Capek setelah kerja berhari-hari. Mau istirahat sebentar.” ucapku dengan suara serak khas orang baru bangun tidur. Bunda segeraa mendudukkan dirinya di atas tempat tidurku. Kukucek kedua mataku dengan kedua telapak tangan. “Bunda tumben banget ke kamarku. Ada apa, Bun?” “Emangnya harus ada apa-apa dulu baru Bunda boleh masuk ke sini?” ucap Bunda. “Nggak gitu sih, Bun. Biasanya kan Bunda cuma ngintip dari balik pintu aja. Mastiin aku udah bangun atau belum.” “Bunda lagi kangen aja sama anak bujang.” Bunda mengurai rambutku dengan jari-jemarinya. “Anak Bunda udah dewasa banget, ya. Udah pantes banget punya istri dan gendong anak. Bunda bakalan kesepian kalo nanti Mas udah nikah.” “Bunda, apa-apaan, sih? Aku nggak akan nikah besok juga kali, Bun. Aku masih mau dimanja sama Bunda.” “Mas, apa yang diucapin Ayah waktu itu bener-bener serius. Coba kamu pikirin lagi, ya. Ayah sama Bunda cuma mau yang terbaik untuk kamu. Kami nggak mau sampe kamu salah pilih pasangan.” “Tapi, buka berarti calon pasangan pilihan Ayah dan Bunda yang terbaik juga, kan?” timpalku. “Inshya Allah dia baik untuk kamu, Mas.” Bunda menepuk-nepuk punggung tanganku.“ Aku hanya bisa berteriak dalam batin. Entah konflik apa yang akan muncul di kemudian harinya. Kedua orangtuaku sudah sangat mantap untuk mengatur perjodohan yang kesekian kalinya, sementara hati dan perasaanku masih mantap dan tertaut hanya pada Nathasa seorang. Menjadi satu-satunya anak laki-laki di keluarga ini memang membuatku tak punya pilihan sama sekali. Pernah suatu ketika aku berandai-andai lahir di sebuah keluarga sederhana yang mungkin akan bebas berjodoh dengan siapa saja tanpa harus melalui tahapan perjodohan konyol yang diatur orangtua. Tapi, jika itu terjadi mungkin aku juga tak akan pernah ditakdirkan untuk bertemu dengan Natasha. “Mas, Ayah dan Bunda udah tua. Kami merindukan hadirnya cucu di hidup kami. Untuk saat ini, cuma kamu yang bisa mewujudkan itu semua.” “Anak Bunda sama Ayah kan nggak cuma aku,” ucapku lirih. “Ada Runi.” “Runi masih muda, Mas. Dia masih sibuk meraih mimpi-mimpinya. Sementara kamu udah stabil dengan kedudukan kamu. Apa kamu juga punya mipi yang masih belum bisa kamu raih?” tanya Bunda. Aku terpaksa menggeleng. Akan konyol rasanya jika aku mengangguk dan menjawab kalau mimpiku yang belum bisa kuraih adalah menikahi Nastaha dengan restu dari keduanya. “Tolong kamu pikirkan lagi, ya.” Aku mengangguk. Memang hanya itu yang bisa kulakukan. Meresapi semua perkataan Bunda membuatku terdiam dan terpaku. Bunda benar. Keduanya memang sudah tua dan seharusnya sedang merasakan bahagia menimang cucu. Tapi, mereka berdua malah dibuat sibuk dengan keadaanku yang masih saja betah melajang. “Mas ada acara hari ini? Ada rencana mau pergi?” tanya Bunda. Aku mengangguk. “Katanya mau istirahat?” “Perginya annti sore, Bun. Aku mau ketemu sama beberapa temen di luar. Kenapa, Bun?” tanyaku. Bunda menggeleng. “Nggak apa-apa, Mas. Yaudah, sekarang kamu bangun. Mandi dulu, terus sarapan.” OoO “Andhika, semuanya udah siap?” tanyaku. Andhika mengangguk. Aku tahu sebenarnya dia keberatan untuk menemaniku menunggu kedatangan Natasha di pintu kedatangan bandara. Ekspresi kesal jelas nampak di wajahnya. Andhika adalah salah satu dari sekian banyak orang yang menentang hubunganku dengan Natasha. Dia bukan hanya seorang asisten bagiku, tapi dia layaknya seorang teman yang rela mendengar semua curahan hatiku di setiap waktu. “Sudah, Pak. Untuk sepatu saya simpan di mobil. Bapak bisa kasih ke Mbak Natasha kalau nanti sudah masuk ke mobil. Atau mau saya ambilkan sekarang?” ucapnya. Aku menggeleng. “Nggak usah. Nanti aja biar saya kasih ke dia kalo kita udah di mobil aja.” “Bang, gue balik aja, ya.” Aku dan Andhika memang sudah sangat sedekat itu. Hubungan atasan dan asisten hanya berlaku selama kami berada di kantor. Jika kami sedang di luar, aku memang memintanya untuk berbicara lebih santai. “Kenapa nggak dari tadi ngomong santai?” sahutku. “Kebiasaan. Masih kebawa sampe sini. Gue balik aja, ya.” Aku menggeleng. “Apa gunanya gue di sini, Bang? Cuma suruh nontonin lo sama dia mesra-mesraan aja, gitu?” “Ya nggak gitu juga. Lo kan asisten gue. Kemanapun gue pergi, lo harus ikut.” “Gue asisten lo di kantor. Bukan asisten rumah tangga lo,” dengusnya kesal. “Masak iya kalo lo mau makan gue juga harus nyuapin lo?” “Ya nggak gitu juga, Dhik. Gue iseng aja nunggu di sini sendirian.” “Sendirian gimana. Lo nggak liat ada banyak orang di sini? Mereka juga sama kayak lo, nungguin orang. Udah ah, gue mau balik.” “Potong gaji ya, Dhik? Gimana?” “Kenapa, sih? Dikit-dikit potong gaji. Tega banget lo. Orang kaya kalo bercanda nggak ngenakkin banget. Bisa habis gaji gue kalo dipotong. Masih banyak cicilan yang harus dibayar.” “Makanya, nurut sama gue. Apa susahnya, sih?” “Iya, Bang. Iya. Lo mah suka maksa. Jelas-jelas lo tau kalo gue nggak suka sama cewek lo. Dan cewek lo juga nggak suka sama gue. Masih aja lo suruh gue nemenin lo.” “Kalian cuma butuh waktu untuk saling memahami. Itu aja.” “Ogah banget. Sampe gumoh gue ngadepin cewek lo.” Andhika menyerahkan buket bunga dan sebuah paper bag dengan beberapa batang cokelat diet yang tengah digenggamnya. “Nih.” “Pegangin dulu. Nanti, kalo dia udah dateng baru deh lo kasih ke gue,” ucapku. Andhika menggeleng. “Lo pegang sendiri. Gue mau ke toilet. Pulang kerja cepet kirain mah bisa istirahat di rumah. Nggak taunya disuruh lembur ke bandara.” “Yaudah. Lo ke toilet. Cuci muka dulu biar lo nggak terus-terusan ngomel. Nanti balik ke sini lagi kalo udah seger. Kalo lo mau, lo boleh ngopi dulu ke coffeeshop itu. Nanti gue WA kalo Natasha udah dateng.” “Gue maunya balik, Bang,” rengek Andhika sambil memegangi ujung lengan kemejaku. Aku yang merasa risih karena beberapa orang tengah menatap kami segera menginjak kakinya. “Sakit. Bang!” “Lo aneh-aneh aja. Kita diliatin orang, tuh. Mereka pasti ngira yang nggak-nggak.” “Dasar bujangan tua. Terlalu overthinking.” Andhika segera berjalan menjauh dan masuk ke dalam coffeeshop yang tadi kurekomendasikan padanya. Aku masih setia menunggu kedatangan Natasha. Belum juga ada tanda-tanda pemberitahuan pesawatnya yang mendarat. Ini bahkan sudah molor satu jam dari jadwal seharusnya. Tak lama, ada sebuah pemberitahuan bahwa pesawat yang ditumpangi Natasha harus terpaksa berbelok dan mendarat darurat di Singapura karena keadaan cuaca yang memburuk. “Udah dateng?” tanya Andhika dengan membawa satu cup kopi dari coffeeshop yang dikunjunginya. Aku menggeleng. “Lama banget.” “Masih di Singapura. Cuaca buruk. Seharusnya setelah transit Athena lanjut ke Qatar pesawat langsung ke sini. Tapi, karena terlalu beresiko mereka mendarat dulu di Singapura. Sementara itu, belum ada pemberitahuan lagi,” jelasku. “Mau nunggu sampe kapan, Bang? Flight Singapura ke sini kan lumayan, kurang lebih bisa sampe 2 jam. Kita nggak pulang dulu aja, Bang?” “Tungguin aja, lah. Semoga cuacanya cepet baik dan pesawat bisa langsung take off.” “Susah emang kalo ngadepin orang yang bucin mampus kayak lo.” Ada sebuah pesan notifikasi masuk ke ponselku. Dari Natasha, rupanya. Tak bisa lagi kutahan senyum bahagia. Segera kubuka pesan itu dengan perasaan bahagia yang meluap-luap. [Baby : Aku transit di Singapura. Ini pake wi-fi bandara. Kemungkinan nunggu dulu sampe cuacanya bagus. Kata pihak airlines, mungkin sekitar satu jam pesawat take off.] [Athaya : Aku tunggu sampe kamu dateng, Sayang. Aku kangen banget sama kamu.] [Baby : Aku juga kangen banget sama kamu. Kamu di bandara, kan?] [Athaya : Iya, aku udah di sini sejak 2 jam yang lalu.] [Baby : Sama siapa di sana?] [Athaya : Sama Andhika. Kenapa?] [Baby : Sama dia? Kamu nggak bisa ngajak orang selain dia? Kamu kan tau aku nggak suka sama dia. Dan, dia juga nggak suka sama aku, kan?] [Athaya : Tapi, dia yang udah bantuin kita di hubungan ini.] [Baby : Ah, bodo amat.] [Athaya : Jangan ngambek. Kabarin aku kalo kamu mau take off, ya.] [Baby : Yaudah. Aku mau istirahat dulu.] [Athaya : See you soon, Sayang.] [Baby : Ya.] “Lo WA-an sama siapa, Bang? Natasha?” tanya Andhika sesaat setelah dia melihatku memasukkan ponsel ke saku kemeja. Aku mengangguk mengiyakan ucapannya. “Beneran di Singapura?” “Iya. Kemungkinan satu jam lagi pesawatnya take off ke sini.” “Berati kita kudu nunggu di sini kurang lebih 3 jam?” Aku mengangguk. Andhika menghela napas kesal. “Lama banget, ya.”  OoO Aku menjadi begitu antusias ketika pengumuman pesawat yang ditumpangi Natasha sudah mendarat di tanah air. Buket bunga dan cokelat yang sudah kusiapkan khusus untuknya sudah kugenggam dengan sangat erat. Andhika yang melihat sikapku cukup dibuat keheranan. Pandanganku tertuju ke arah pintu keluar dari gerbang kedatangan. Setiap orang yang melewati pintu itu tak luput dari pengamatanku. Cukup lama aku menunggu Natasha munccul dari pintu itu. Sampai akhirnya ... “Athaya!” Natasha berlari berhamburan ke arahku. Kupeluk dia dengan sangat erat seakan tak ingin lagi melepasnya. “I miss you, Athaya. Akhirnya, aku bisa pulang dan ketemu kamu.” “Welcome home, Sayang.” Kuserahkan buket bunga dan cokelat yang kubawa padanya. “Aku udah siapin ini semua khusus untuk kamu.” Natasha menghidu aroma wangi yang menguar dari rangkaian bunga segar di buket itu. Dia juga menelisik isi di dalam papaer bag yang kuberikan. “Bunganya wangi banget. How romantic you are. Ini cokelat diet premium yang biasa aku makan, kan?” ucapnya. Aku mengangguk. “Ribet banget. Diet tapi tetep mau makan cokelat,” gumam Andhika. Natasha yang mendengar gumaman Andhika seketika langsung berubah muram. Segera kusenggol tangan Andhika dan memintanya untuk dia. “Gemes gue, Bang.” Demi meredam amarahnya, kuraih pinggang Natasha dan mengajaknya berjalan keluar bandara, sementara April dan Andhika mengekori kami di belakang. Andhika masih saja menggerutu karena kuminta untuk mendorong troli dengan beberapa koper milik Natasha dan juga April di atasnya. “Sukurin. Emang enak,” ucap Natasha puas saat melihat ekspresi Andhika yang sedang mendorong troli dengan beban berat itu. “Shhht,” sahutku. “Jangan begitu. Andhika yang nemenin aku dari tadi. Dia juga yang udah nyiapin semua kejutan ini untuk kamu.” “Aku nggak peduli. Kamu mau bilang dia yang udah apapun itu, aku tetep nggak suka sama dia.” “Terserah kamu deh, Nat. Aku sendiri udah bosen liat kamu sama Andhika perang dingin setiap kali kalian ketemu. Kalian tuh cuma butuh waktu untuk saling mengenal aja.” “Males banget. Aku nggak perlu kenal sama dia,” ucap Natasha ketus. Kuakui Natasha memang sudah sangat kelewatan dalam memperlakukan Andhika. Natasha melarangku membantuk Andhika mengangkat koper-koper saat akan memasukkan semuanya ke dalam bagasi mobilku. Akibatnya, Andhika menjadi sangat kewalahan. “Biarin aja. Biarin dia yang angkat-angkat sendiri. Kerjaan dia tuh terlalu enak. Jadi asisten kamu selama ini udah bikin dia besar kepala, ditambah gaji yang kamu kasih ke dia di luar akal sehat. Kurangin aja gajinya.” “Kamu ngomong apa sih, Nat? Dia yang kerja sama aku. Aku tau gimana kinerjanya dia. Aku yang bayar dia, bukan kamu. Bukan kapasitas kamu ngatur-ngatur aku membayar gaji pegawaiku,” sahutku kesal. “Tuh, kan. Kamu malah belain dia.” “Udah, Nat. Andhika mau masuk ke mobil. Nggak enak kalo sampe dia denger obrolan kita,” ucapku saat kulihat Andhika yang sudah selesai memasukkan koper-koper dan menutup pintu bagasi mobil. “Biarin aja. Biar dia tau diri.” “Nat ... please.” Andhika membuka pintu mobil dan langsung duduk di balik kemudi. Dipakainya sabuk pengaman sebelum menyalakan mesin mobil. Andhika menatapku dari spion depan. “Kita kemana dulu, Bang?” tanyanya. “Sebentar.” Kutatap Natasha yang bersandar di sebelahku sambil memainkan ponsel. Rupanya dia tengah melihat foto-foto selama dia di Yunani. “Kita mau kemana dulu, Nat?” “Langsung ke apartemen aja. Aku mau istirahat. Aku lagi mode jetlag. Nggak mood kalo diajak kemana-mana.” “Kamu nggak mau makan dulu?” tanyaku. Dia menggeleng. “Kamu sengaja banget nanya begitu? Kamu kan tau aku diet. Aku harus jaga badan.” “Bukan berarti nggak boleh makan kan, Sayang. Kamu juga harus makan.” “Dan bikin badan aku gendut. Kamu suka kalo aku nggak laku lagi jadi model?” ucapnya kesal. Aku menelan ludah dengan kasar. Entah kenapa kurasa Natasha menjadi sedikit kasar sejak di bandara tadi. “Yaudah. Kita ke apartemen kamu, ya.” Penyikasaan terhadap Andhika tak berhenti sampai di situ. Aku merasa tidak enak karena harus melihat Andhika yang terpaksa bolak-balik unit apartemen Natahsha-mobil untuk membawa seluruh koper. Natasha langsung bergelayut manja mengajakku masuk ke apartemennya., tak memberikan celah sedikitpun agar aku bisa membantu Andhika dengan seluruh koper yanga da di bagasi kami. Sesampainya di apartemen, Andhika yang terlihat begitu lelah segera menjatuhkan dirinya di atas sofa. April, manager pribadi Natasha menyodorkan segelas minuman dingin berwarna merah ke arah Andhika. Andhika meneguk is gelas itu sampai benar-benar tandas. “Oh, iya. Aku masih punya satu kejutan lagi untuk kamu,” ucapku. “Kejutan apa lagi?” sahut Natasha sumringah. “Mana? Kejutannya ada dimana?” “Sebentar. Kamu tunggu di sini. Aku mau ke mobil dulu. Kayaknya kejutannya lupa kebawa.” “Nggak usah kamu repot-repot ke mobil. Apa gunanya kamu punya asisten. Kerjaan dia udah terlalu enak.” Andhika yang tengah tenang bersandar di sofa langsung menegakkan tubuhnya dan mengarahkan tangannya ke jejeran koper-koper di ujung sana. “Lo nggak usah ke mobil. Udah gue bawa. Di sana.” Memang benar kulihat paper bag berisikan kotak sepatu milik Natasha ada di antara jejeran koper-koper itu. Aku segera berjalan dan mengambil paper bag itu. Kurogoh isi di dalamnya. Kukeluarkan kotak sepatu dengan ukiran logo merk sepatu yang sudah pasti menghadirkan binar bahagia di kedua mata Natasha. “Athaya! Kamus eriusan beli ini untuk aku?” ucapnya sumringah. Aku mengangguk. “Padahal aku iseng doang minta ini sama kamu. Ternyata beneran dibeliin, dong. Aku seneng banget! Thank you!” Dengan semangatnya seakan melupakan rasa lelah setelah perjalanan udara selama belasan jam lamanya, Natasha mengeluarkan sepatu itu dari dalam kotak dan langsung memakaikannya di kedua kakinya. Berjalan berlenggak-lenggok bak di atas runway, langkah kaki Natasha menghadirkan bunyi gemeretak seiring bersinggungannya ujung heels dengan lantai apartemen. “Bagus banget! Aku suka. Kamu kenapa nggak bilang kalo kamu beli ini untuk aku, Athaya?” ucapnya. “Ini kejutan, Sayang. Kalo aku kasih tau kamu, itu bukan kejutan lagi namanya.” April sudah masuk ke dalam kamar untuk beristirahat. Hanya ada aku, Natasha dan Andhika yang sudah tertidur lelap karena saking lelahnya di sofa. Aku dan Natasha saling melepas rindu. Aku rindu kedua bibirnya yang selalu menghadirkan rasa manis yang memabukkan. tak mempedulikan keberadaan Andhika yang tengah tertidur pulas, aku dan Natasha saling memagut dan membiarkan daging tak bertulang milik kami berdua saling membelit dan berpesta pora di rongga mulut. “Aku kangen banget sama kamu, Nat. Sangat.” “Aku juga.” “Nat, ada yang harus kita bicarakan.” “Apa?” Natasha memandang ke arahku dengan tatapan tidak suka. Sepertinya dia sudah tahu apa yang akan kubahas dengannya saat ini. “Kamu mau ngomong apa? Masalah perjodohan yang diatur sama orangtua kamu lagi?” Aku mengangguk. “Iya.” “Nggak ada bahasan lainnya? Aku baru banget sampe dan kamu langsung ngajak untuk ngebahas masalah nggak guna kayak begini. Kamu nyebelin banget, sih.” “Bukannya kamu sendiri yang bilang kalo kita akan bahas masalah ini setelah kamu pulang ke Indonesia? Dan sekarang, kamu udah pulang.” “Nggak sekarang juga dong, Athaya. Aku tuh capek. Harusnya, kamu ajak aku ngobrolin hal-hal yang bikin aku seneng. Bukannya malah bikin aku bad mood kayak begini. Nyebelin banget. aku pikir, setelah kurang lebih satu bulan kita nggak ketemu kamu bisa bikin aku seneng. Nggak taunya ... kamu malah bikin aku nyesel balik ke Indonesia.” “Kok kamu malah ngomong kayak bgitu, Nat? Aku itu berusaha ngajak kamu diskusi tentang masa depan hubungan kita, Nat. Masalah ini bukan masalah nggak guna kayak apa yang kamu bilang tadi. Ini masalah besar, Nat. Nggak main-main.” “Aku udah pernah bilang ke kamu. Silakan kamu terima perjodohan itu. Tapi, aku nggak akan mau putus dai kamu. Kamu paham?” “Aku nggak pernah paham sama jalan pikiran kamu. di sini, aku ngerasa kamu malah jadiin aku sebagai korbannya. Aku menerima perjodohan itu dan tetap berhubungan dengan kamu? Kamu mikir nggak kalo ini semua konyol banget?” ucapku kesal dengan nada sedikit kencang. Kulihat Andhika yang tertidur menggeliat karena nampaknya merasa tergangguk. “Berisik banget, ya,” ucap Andhika dengan suara parau. “Ganggu orang tidur aja, sih.” Andhika segera bangun dari tidurnya dan berjalan menuju ke toilet di dekat dapur. “Mereka yang berantem, gue yang haus.” “Daripada kita sibuk berdebat soal masalah perjodohan ini, lebih baik kita bahas hal yang lebih penting. Masalah paste ulang tahun aku. Udah sampe mana persiapannya?” ucap Natasha. Aku menghela napas kesal. Bukannya mencoba untuk mencari jalan keluar masalah ini, Natasha malah membelokkan topik pembicara ke arah yang lain. “Semuanya udah beres kan, Athaya?” “Udah. Semuanya udah selesai. Besok, kita ke restoran untuk cek dekorasi dan makanan-makanan yang akan disediakan selama berlangsungnya acara.” “Masala kuenya gimana? Kamu udah pesen, kan?” tanya Natasha lagi. Aku mengangguk. “Udah. Mereka juga udah kirim sample base cake ke kantor beberapa hari yang lalu.” “Kualitas kue mereka enak? Aku nggak mau kalo sampe mengecewakan. Aku nggak mau sampe malu di pesta ulang tahunku nantinya, ya.” “Enak. Bahkan, kue dari toko mereka lebih enak dibandingkan kue-kue yang biasa kamu beli di toko mahal itu.” “Okay. Aku percaya sama kamu. Kamu tau selera aku, kan. Aku nggak akan menolerir ketidaksempurnaan.” “Aku lakukan yang terbaik sebisa aku untuk bikin kamu bahagia, Nat.” OoO Rupanya, aku pulang ke rumah terlalu larut. Kuperhatikan langkahku agar tak membuat suara bising saat masuk ke dalam rumah. Jam dinding di ruang tengah rumah sudah menunjuk angka 12. Betapa terkejutnya aku saaat kulihat Bunda yang tengah tertidur di sofa ruang tengah. Bunda terlihat begitu lelap dalam tidurnya. Kudekati Bunda dan kucoba untuk membangunkannya dengan sangat lembut. “Bun ... bangun.” Tak butuh waktu lama untukku bisa membuat Bunda terbangun dan sadar sepenuhnya. Bunda langssung terduduk begitu melihatku berjongkok di depannya. “Kok jam segini abru pulang, Mas? Kamu kemana aja?” tanya Bunda. Aku yang dihujani dengan pertanyaan-pertanyaan itu hanya bisa membalasnya dengan sebuah senyuman. Bunda mengusap kedua pipiku. “Kamu udah makan malam belum?” “Belum, Bun.” “Makan dulu, ya. bunda temenin kamu sampe selesai makan.” Aku mengangguk dan mengiyakan permintaan Bunda. Aku memang sangat lapar. Karena mengikuti Natasha, aku terpaksa menahan rasa lapar yang mendera lambungku. Andhika pun terpaksa kuberikan uang agar dia bisa membeli makanan apapun yang dia inginkan setelah seharian lelah menemaniku. Masih ada beberapa potong ayam goreng rempah yang biasa dibuat bunda dan semangkok sambal goreng kentang di atas meja makan. Bunda mengambilkanku 2 centong nasi, beberapa sendok sambal goreng kentang dan sepotong ayam goreng bagian paha bawah lengkap dengan remah rempah garing efek penggorengan. Syukurlah, tak kutemukan satupun irisan tomat di setiap masakan. Aku merasa tenang karena tak harus susah payah pergi ke kamar mandi untuk memuntahkan isi perut karena menemukan tomat saat makan. Aku benci tomat. Melihatnya saja akan membuatku merasa mual. Sebuah pengecualian jika tomatnya diolah sedemikian rupa sampai aku sendiri tak menyadari bahwa itu adalah tomat, aku baru bisa memakannya. “Bunda kok tidur di ruang tengah?” tanyaku basa-basi. Aku sudah tahu jawaban dari pertanyaan ini. Bunda akan selalu meunggu apabila salah satu dari anaknya belum pulang ke rumah lewat dari jam 11 malam. Dia tidak akan pernah bisa tidur nyenyak sebelum memastikan anak-anaknya sudah sampai di rumah dalam keadaan selamat tanpa kekurangan satu apapun. “Bunda nggak bisa tidur karena kamu belum sampe rumah, Mas. Kamu kemana emangnya?” “Maaf, Bunda. Aku asik ngobrol sama temen-temen sampe lupa waktu. Maaf karena udah buat Bunda nunggu dan ketiduran di sofa.” “Nggak apa-apa. Kamu makan dulu, ya. Tadi nggak sempet makan waktu ngumpul sama temen-temen?” tanya Bunda. Aku mengangguk. “Kenapa?” “Kami cuma ngopi-ngopi aja sama makan beberapa camilan. Nggak sempet pesen makan.” “Yaudah, makannya dihabisin. Setelah itu, kamu tidur. Kamu mau minum apa? Biar Bunda buatin.” Bunda segera bersiap untuk bangkit dari duduknya. “Mau teh manis anget?” Aku mengangguk. “Boleh, Bunda. Gulanya jangan banyak-banyak, ya.” “Nanti, istri kamu yang akan mengambil alih ini semua. Dia yang akan melayani kamu. Menunggu kamu pulang ke rumah kalian. Menyiapkan makanan, menemani sampe kamu selesai makan dan membuatkan teh manis anget kesukaan kamu. Seenggaknya, Bunda akan ngerasa seneng kalo kamu bisa dapet istri yang bisa mengambil alih tugas ini dengan baik, Mas.” Bunda masih mengaduk gula di dalam teh manis hangatku. Memastikan semuanya benar-benar larut dan tercampur dengan rata. “Berarti, nanti aku nggak bisa dimanja lagi sama Bunda?” Bunda menaruh teh manis hangat yang dibawanya di atas meja, kembudia dia kembali duduk di sebelahku sambil memperhatikanku melahap makanan yang ada di piringku. “Bisa, Mas. Tapi, jangan lupa kalo kamu juga punya tugas setelah jadi seorang suami nantinya. Kamu juga harus manjain istri kamu. Jadikan dia ratu di rumah kalian.” “Bun, masalah perjodohan itu ... .” “Kenapa, Mas?” sahut Bunda. “Perempuan kayak gimana yang akan dijodohkan sama aku?” “Nanti ya, Mas. Kalau saatnya tiba, kalian akan dipertemukan. Untuk saat ini, orangtuanya belum bilang kalo dia mau dijodohin sama kamu. Yang Bunda tau, dia pernah merasakan pengkhianatan dari mantan pacarnya yang dulu. Kayak kamu, Mas. Bunda harap, karena kalian berdua sama-sama pernah merasakan sakitnya sebuah pengkhianatan, itu bisa bikin kalian berdua ikhlas menjalani hubungan ini untuk akhir yang bahagia ke depannya.” “Aku kenal orangtua dari perempuan ini?” tanyaku. Bunda mengangguk. “Siapa, Bun?” “Nanti. Kamu juga akan tau sendiri. Bunda harap, kamu bisa menerima perjodohan ini. Menerima dia sebagai istri kamu dan ibu dari anak-anak kamu nantinya.” “Bunda yakin dengan perjodohan ini?” “Insya Allah. Dia jauh lebih baik dari Natasha. Bahkan yang terbaik.” Aku hampir saja tersedak karena mendengar ucapan Bunda. Bunda langsung menyodorkan teh manis hangat yang dibuatkannya untukku. “Minum dulu.” “Maksud Bunda?” tanyaku sambil berusaha menahan rasa pedas dari sambal goreng kentang yang menguar di dalam mulutku. Bunda menepuk pungungku karena tiba-tiba aku bersendawa. “Minum, Mas.” Setelah kurasa keadaanku membaik, kulanjutkan ucapanku. “Maksud Bunda gimana?” “Mas, Bunda itu seorang ibu. Bunda tau kapan anaknya jujur dan kapan anaknya bohong. Selama ini, Bunda tau kalo kamu bohongin Bunda dan Ayah. Kamu nggak pernah putusin Natasha, kan?” tanya Bunda. Aku hanya bisa terdiam. “Jawab  Bunda, Mas!” Aku mengangguk. “Sekuat apapun kamu coba bohong sama Bunda, itu nggak akan pernah berhasil. Keputusan Bunda tetep sama, Mas. Bunda nggak akan pernah merestui hubungan kamu sama Natasha. Mungkin kamu bisa bohongin Ayah, tapi kamu nggak bisa bohongin Bunda.” Aku merasa bagaikan seorang yang bodoh. Susah payah kututupi semua ini selama bertahun-tahun, tapi ternyata semuanya percuma.          
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN