Bianca menghentikan napas kasarnya, menggertakkan giginya. Sembari menatap tajam ke arah Giandra. Bianca mengangkat tangannya, menunjuk wajah Giandra.
"Jangan kamu pikir kamu bisa seenaknya dengan wanita. Bukannya kemarin kamu pergi dengannya. Sekarang, akibat ulah jamu dia pulang dengan keadaan tidak baik-baik saja. Dia terus menangis. Bahkan dia sering melamun tak jelas," pekik Bianca.
"Apa kamu menodainya? Awas saja jika kamu berani menyentuhnya. Maka aku yang akan bertindak." kesal Bianca. Menarik telunjuk tangannya ke bawah lagi.
"Ada apa?" saut Diego.
"Entahlah! Aku tidak paham dengan apa yang dikatakan oleh wanita di depanku ini."
"Diego menatap ke arah Bianca. Dia menatap wajah wanita itu sudah memendam emosi tangannya sangat mengerikan baginya. Diego berbisik pelan pada Giandra.
"Apa yang kamu lakukan dengannya. Sampai membuat dia marah denganmu?" tanya Diego.
"Dia wanita aneh yang datang tiba-tiba marah. Kamu bawa dia pergi. Jangan ganggu aku." kesal Giandra.
"Sialan! Kamu minta aku pergi. Sekarang, katakan dulu. Kenapa kamu membuat Angel menangis?" tanya Bianca.
"Aku tidak membuatnya menangis," jawab Giandra. Dia mengeraskan suaranya.
Diego yang ada di sana, bersama dengan Damar. Mereka hanya bisa diam. Saling memandang satu sama lain. Lalu kembali menyaksikan wajah cantik Bianca saat marah. Mereka bertingkah seolah menunjukan tontonan yang lebih menegangkan daripada film horor.
"Sekarang, apa yang ingin kamu katakan?" tanya Giandra. Sambil menghela napasnya. Menangkan dirinya agar tidak terbawa emosi.
"Bukanya aku sudah tanya?"
"Bentar! Bentar! Bukanya aku ikut campur. Tapi, apa masalah sebenarnya?" tanya Damar pada Bianca.
"Dia yang membuat temanku menangis seharian. Bahkan dia mengurung dirinya di kamar. Dia terus melamun. Padahal kemarin dia pergi bersama dengan keadaan baik-baik saja," ucap Bianca. Memutar matanya malas, sembari mengerutkan bibirnya.
Samar melirik ke arah Giandra. "Apa yang kamu lakukan?" tanya Samar.
"Aku tidak melakukan apapun. Tapi, kamu bisa tanya pada mantan Angel. Dia masih berharap dengan mantannya," ucap Giandra.
Bianca mengerutkan keningnya. Dia Memutar matanya. Mencoba untuk mengingat kembali siapa laki-laki yang pernah menjadi mantan Angel.
"Mantan?" tanya Bianca.
"Apa yang terjadi dengan Angel?"
"Tidak perlu tau."
"Kenapa?" tanya Giandra.
"Tidak penting!" jutek Bianca.
"Aku juga ingin tau, lagian apa salahnya jika aku ingin tau. Apa benar yang kamu katakan? Angel menangis?" tanya Giandra lagi.
"Iya."
"Boleh aku melihatnya. Aku tidak akan biarkan seseorang menyakitinya." tegas Giandra. Seketika jantung Bianca berhenti berdetak sesaat. Dia mengangkat kepalanya. Menatap lurus wajah Giandra.
Entah apa yang ada di pikirannya. Hatinya begitu sakit saat mendengar ucapan Giandra. Dia sangat peduli dengan Angel. Namun, di lain sisi. Bianca juga merasa malu sudah menuduh Giandra.
"Apa kamu tahu tentang mantan, Angel?" tanya Giandra.
"Ada apa?"
"Dia bawa wanita lain. Dan, dia menyapa Angel kemarin. Setelah itu aku tidak tahu. Angel tiba-tiba menangis. Meski aku sudah memenangkannya meski hanya sesaat," ucap Giandra.
Bianca menarik napasnya dalam-dalam. Dengan wajah penuh rasa kecewa. Bianca tertunduk, mencoba menarik dua sudut bibirnya. Mengulurkan senyuman simpul di wajahnya.
"Aku boleh tanya sesuatu?" Bianca menatapi kembali kedua mata Giandra.
"Iya."
"Emm ... bentar, kenapa pembicaraannya jadi melenceng." tanya Damar.
"Bianca, gimana kalau kita main tenis?" tanya Diego. Bianca menggerakan kepalanya, menoleh ke arah Diego.
"Temanku di apartemen sedang tidak baik-baik saja. Hatinya masih terluka. Kamu ajak aku main?" tanya Bianca.
"Kamu pikir aku bisa meninggalkan temanku sendiri. Bersenang-senang dengan kalian." kesal Bianca.
"Bukan maksud aku seperti itu." kata Diego.
"Apa?" tanya Bianca kesal.
"Gimana kalau kita pergi ke apartemenmu" tanya Damar.
Giandra menatap ke arah Bianca. Dia bahkan lebih banyak diam. Daripada dua temannya yang terus mencoba cari cara agar Bianca tidak marah.
Giandra melangkah mendekati Bianca. Dia meraih tangannya. Dan, segera menariknya pergi tanpa sepatah katapun keluar dari bibirnya. Sementara Samar dan Diego. Mereka masih diam dengan tatapan bingung. Kedua mata mereka menatap ke arah Giandra dan Bianca pergi.
"Eh ... kenapa kamu bawa dia pergi?" tanya Damar.
"Dia main curang sekarang?" tanya Diego
"Main bawa gitu saja." gerutu Damar.
Mereka menghela nafasnya bersamaan. Dengan wajah kecewa. Kembali ke lapangan tenis. Sebelum bersiap untuk pergi. Smenetara Giandra terus mencengkeram pergelangan tangan Bianca. Menarik tubuh itu segera pergi dari sana.
Bianca hanya diam, Dia menatap Giandra dari belakang. Dirinya mulai bingung antara mau marah dan bahagia. Entah kenapa dia merasa sangat nyaman saat Giandra memegang tangannya.
"Bawa aku ke tempat mu," ucap Giandra.
"Memangnya untuk apa?" tanya Bianca bingung.
Hati yang semula senang. Seketika perasaan itu mulai redup.
"Aku ingin bertemu dengan, Angel." Giandra melepaskan tangan Bianca. Tepat saat mereka berdua berhenti di pintu masuk apartemen.
"Kamu mau melihat, Angel?" tanya Bianca memastikan.
"Iya."
Bianca menghela napasnya. Mau tak mau dia harus terima jika dirinya tidak berarti untuk Giandra. Dalam satu tarikan napasnya. Bianca mencoba untuk tetap tenang. Dia berusaha untuk tidak terlihat cemburu di depa semua orang.
"Ayo, jalan!" pinta Giandra.
Bianca tertunduk, tanpa pedulikan Giandra yang terus berjalan lebih dulu. Bianca berjalan pelan di belakangnya. Dia memalingkan wajahnya dari pandangan Giandra, yang sesekali menoleh ke belakang.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Giandra. Dia menghentikan langkahnya. Menoleh ke belakang melihat Bianca yang masih jauh darinya.
Sementara berbeda dengan Angel. Dia sedari tadi masih diam saja di kamar. Beberapa kali Angel mencoba menutup matanya. Menenangkan pikirannya. Tetapi, tetap saja tidak bisa.
"Aku tidak bisa seperti ini terus. Jika aku terus berharap dengannya. Sama saja aku kalah. Dia berhasil membuat aku mengingat kenangan itu lagi.
"Tidak, Angel. Kamu harus tunjukan padanya. Jika kamu bisa move on. Mungkin memang perlu bantuan dari Giandra. Iya, lebih baik aku minta tolong padanya." Angel seketika bangkit dari duduknya. Tatapan matanya lurus kedepan. Angel mengusap air matanya dengan punggung tangan kanan bergantian. Dia terus menghela napasnya. Berusaha untuk tetap tenang. Meski hati terasa sangat marah, cemburu, Ia merasa ada yang ganjal pada hatinya.
"Oh, ya! Bukannya aku tadi sedang memasak. Terus gimana sekarang masakanku?" gerutu Angel. Dia segera bangkit dari duduknya. Dan, berjalan cepat keluar dari kamar menuju ke dapur.
Kedua matanya melebar sempurna saat melihat masakannya masih belum juga selesai.
"Astaga ...." Angel terlihat kebingungan. Dia menyalakan kompor nya lagi. Dan, segera mencicipi masakannya. Masih normal. Tidak ada kurang atau lebih sedikitpun. Masakannya masih pas dengan lidahnya.
Angel segera melanjutkan masakannya. Dia segera berjalan menyiapkan lauk yang sudah Dimasak tadi di atas meja makan. Angel dnegan cepat menyiapkan piring kosong. Dan, sayur yabg masih belum matang. Dia lanjutkan memasaknya lagi.
Suara pintu terbuka seketika membuat Angel menghentikan maraknya. Dia mengangkat kepalanya menatap kedepan.
"Bianca." ucap Angel, dia segera meletakkan sayur ke dalam mangkuk kaca dengan ukuran besar.
"Angel.." teriak Bianca. Dia berjalan masuk ke dalam apartemennya. Tak lama, Giandra berjalan di belakang Angel.
"Bianca, kamu dari mana. Aku sudha masak semuanya. Ayo kita makan bersama." ucap Angel. Meletakkan mangkuk besar itu di atas meja makan.
"Kamu sudah baik-baik saja?" tanya Bianca.
"Aku gak papa. Memangnya aku kenapa?"
Bianca menakutkan kedua alisnya bingung. Dia berjalan pelan mendekati Angel. Memegang keningnya. Memastikan jika dia baik-baik saja.
Angel menyulitkan matanya. Dia melihat sosok Giandra di belakang Bianca.
"Kenapa dia kesini? Apa dia sengaja ingin melihatku?"