Wira mencintai Sabrina. Dia sangat mencintainya. Hanya saja, hatinya terlanjur terluka. Namun, tak pernah sekalipun dia merasakan rasa sakit yang teramat sangat seperti ini saat melihat Sabrina diambang mati.
Kecewa yang dirasakannya nyata. Bagaimana dia bisa lupa jika sudah banyak hari yang terlewatkan? Bagaimana dia bisa lupa dengan kenangan indah yang sering kali mereka lalui bersama.
Sedari dulu, Wira berupaya sangat untuk membuat Sabrina bahagia. Apapun dia lakukan untuk membuat perempuan itu tersenyum. Namun sekarang, dia seperti kehilangan segalanya saat melihat dengan mata kepalanya sendiri jika Sabrina tengah kritis.
Wira tidak ingat sama sekali dengan semua yang terjadi sebelum ini. Yang dia ingat, tahu-tahu Sabrina sudah kesakitan dengan memegangi dadanya. Dan saat tim dokter datang, Sabrina dinyatakan kritis.
Pria itu benar-benar menangis sejadi-jadinya. Tak apa jika dirinya dikatai cengeng atau apa, dia hanya ingin menangis. Menangisi perempuan yang begitu banyak ia cintai. Perempuan yang selama ini selalu ada untuknya. Menemaninya tanpa kenal rasa lelah. Padahal, mereka belum memiliki hubungan yang resmi. Dan Sabrina tetap setia kepadanya. Tak sekalipun Sabrina pernah meninggalkannya meski sesaat saja.
Lalu sekarang, sebagai seorang pria, Wira tidak bisa melakukan apa-apa. Dia tidak bisa melakukan apapun untuk meringankan beban yang ditanggung Sabrina. Dia juga tidak bisa membuat perempuan itu tersenyum seperti sedia kala. Jika dia yang bersalah, maka tolong hukum dirinya saja, bukan Sabrina seperti ini.
Tak punya tempat mengadu selain hanya kepadanya, Wira berjalan lunglai menuju masjid dan salah dua rekaat di sana. Begitu. Begitu usai dan melantunkan dzikir-dzikir sesudah sholat, Wira mengadahkan tangannya. Menyebut asma Allah yang selalu membuatnya tentram.
Dia tumpahkan segala keluh kesahnya selama ini. Menangis tergugu dalam doanya. Memohon agar diberikan petunjuk dari permasalahan yang sedang dihadapinya. Memohon pula agar Sabrina diberikan kesembuhan seperti sedia kala.
Hingga menit-menit yang berlalu, matanya sampai bengkak karena terus menangis sedari tadi. Rasanya lelah sekali. Wira seolah-olah bisa merasakan rasa sakit yang tengah Sabrina rasakan meski Wira yakin kalau Sabrina lebih terluka dari semua orang.
Dan malam itu, Wira memutuskan untuk tidak tidur. Dia terus duduk dan memohon maaf atas semua kesalahannya dan meminta petunjuk untuk semua permasalahan yang menimpa hidupnya selama ini.
***
Wira benar terjaga hingga pagi. Doanya satu, Sabrina sudah lebih baik lagi. Dia tidak akan tega jika harus melihat Sabrina kesakitan apalagi sampai ditempatkan dalam posisi antara hidup dan mati seperti kemarin.
Andai saja sakitnya bisa dipindahkan, andai saja dia bisa mendapatkan obat untuk membantu kesembuhan Sabrina, Wira akan melakukan semua itu. Terlepas entah bagaimana kejadian yang sebenarnya, Wira tidak peduli.
Bisa jadi, Sabrina memang sudah mengkhianatinya tapi dirinya yang buta karena terlalu cinta. Bisa jadi juga, Sabrina tidak salah apa-apa dan menjadi korban yang paling dirugikan dari semua yang terjadi.
Selama bekerja, Wira banting tulang untuk mengumpulkan uang demi melanjutkan hidupnya. Tak lupa ia sedekahkan yang menjadi hak saudaranya yang kesusahan di luar sana. Tak lupa juga ia tabung untuk masa depan anak dan istrinya kelak.
Namun sekarang, apalah artinya semua itu kalau hidupnya malah seperti ini. Wira bukannya tidak bersyukur, bukan seperti itu. Dia hanya menyayangkan kenapa semua ini harus terjadi. Namun, Wira tidak bisa berbuat banyak karena memang ini yang ditakdirkan untuknya. Memang ini yang terbaik untuknya. Karena sudah jelas, Tuhan tidak akan memberikan cobaan diluar batas kemampuan hamba-Nya sendiri. Dan Wira percaya kalau dirinya dan semua orang mampu menghadapi ini semua.
Wira tahu Allah tidak pernah tidur. Dia selalu mendengar doa hamba-Nya yang bersungguh-sungguh. Dia juga tidak akan menyia-nyiakan doa hamba-hamba-Nya yang tulus dan murni, penuh kerendah hati.
Waktu kedua orang tuanya meninggal dulu, Wira masih sangatlah kecil. Dia tidak paham saat ditinggal pergi oleh kedua orang tuanya. Dan juga, Wira sudah terbiasa sendirian sedari kecil. Tapi…tapi tetap saja rasanya begitu mengerikan jika ia sendirian. Rasanya begitu mengerikan hingga Wira takut membayangkan jika suatu saat nanti dirinya pergi dalam keadaan sendirian pula. Karena itu dia bahagia memiliki Sabrina. Meskipun dulunya sama-sama sibuk, mereka kerap kali meluangkan waktu untuk menghabiskan waktu bersama sekadar mengisi perut yang tak pernah merasa kenyang.
Sekarang, Wira sudah sampai di ruangan rawat Sabrina. Langkahnya begitu berat saat melihat Aris sudah berada di kursi ruang tunggu dan mendekap wajahnya sendiri. Dan dalam otak Wira yang paling liar sekalipun, dia tak pernah membayangkan jika Sabrina akan meninggalkannya lebih dulu.
Perempuan itu tangguh. Dia tidak pernah mengeluh. Bahkan kalau pernah, Sabrina hanya akan mengeluh pada Tuhannya. Wira bahkan sering kali merasa tidak berguna karena Sabrina memang tidak pernah menceritakan tentang hari lelahnya. Sabrina yang selalu mendengarkannya mengeluh, dan dia tidak pernah menghakimi Wira ini itu.
Dengan hubungan yang sudah hancur seperti ini, Wira juga akan berpikir berulang kali jika diminta untuk menjalin hubungan lagi dengan perempuan lain. Rasanya begitu dalam pada Sabrina. Dan Sabrina memanglah yang pertama baginya, bukan yang lain.
Wira menggeleng pelan, masih berusaha keras mengusir semua pikiran buruk yang mendadak melintas dalam benaknya. Dia yakin Sabrina akan baik-baik saja. Allah akan menjawab doanya. Wira percaya itu.
Dengan langkah yang begitu pelan, layaknya kakinya yang tegap dibebani beban ribuan ton beratnya, Wira menghampiri Aris. Dia tepuk bahunya pelan. Dan saat Aris tersentak akan tepukan itu, dia langsung memberikan tatapan berkaca-kaca pada Wira dan langsung memeluk tubuh pria itu begitu saja. “Sabrina, Wir?” tangisnya pilu disertai dengan isakan yang sangat menyayat hati.
Wira tidak bisa merasakan apa-apa selain kebas di seluruh susunan tubuhnya. Seumur-umur, dia tidak pernah melihat Aris sampai menangis seperti ini. Sabrina…dia baik-baik saja, kan? Perempuan itu pasti baik-baik saja. Wira yakin itu. Sabrina akan mendapatkan obatnya.
“Keadaannya menurun, Wir. Dokter bilang, dokter bilang—” Wira memejamkan matanya dalam-dalam saat Aris seperti anak kecil yang mengadu pada ibunya. Dan saat itu juga Wira semakin sadar jika perkataan baik-baik saja untuk sekarang memang tidak ada. Tidak ada yang baik-baik saja. Sabrina tidak baik-baik saja.
“Nggak ada kesempatan lagi, Wir. Kalau keadaan Sabrina menurun lagi, nggak ada kesempatan lagi buat Sabrina!” Aris mengadu lagi. “Gue gagal cari obat buat Sabrina. Gue gagal, Wir.”
Mendengar perkataan Aris yang penuh keputusannya, Wira jadi tidak suka. Dia melepas pelukan mereka secara paksa dan mengguncang bahu pria itu keras. “Lo ngomong apa, ha?! Sabrina baik-baik aja. Jangan mikir yang aneh-aneh! Gue yang bakal bawa obat buat Sabrina. Lo tenang aja. Sabrina bakalan sembuh.”
Aris menyeka kasar air yang menggenang di pipinya. Dia tatap Wira serius, kemudian berujar lirih yang syukurnya masih mampu Wira dengar.
“Gimana kalau Sabrina setuju tukar nyawa sama lo, Wira?”
“Tukar nyawa?” awalnya Wira menyerngit bingung, kemudian mengulang kalimat Aris lagi.
“Iya, tukar nyawa.”
Wira lantas diam. Dia seakan mencerna dan beberapa saat kemudian, dia seolah mengerti maksud dari perkataan Aris barusan.
“Kalau memang bisa,dan kalau Sabrina bisa sembuh dengan semua itu, maka tukarlah dengan nyawa gue sekarang juga.”
Bibir Aris bergetar. Matanya menyorotkan duka yang amat dalam saat menatap Wira. Tanpa pikir panjang, dia kembali menarik Wira dalam dekapannya dan meminta maaf yang Wira rasa Aris tidak perlu mengatakannya.
Sekarang, Wira sudah mendapat obat untuk Sabrina. Yaitu nyawanya.
***
Usai pembicaraan serius yang menguras emosi bersama Aris, Wira pamit undur diri karena merasa dadaanya sesak bukan main. Dia kembali merasa sesak yang dia sendiri tidak tahu penyebabnya apa. Jelas Wira bukanlah perokok. Dia juga tidak punya riwayat masalah pernapasan. Jadi, dia menangguhkan sakitnya ini adalah rasa sakit yang murni. Akhir-akhir ini, Wira sering sekali berpikiran negatif dalam banyak hal, termasuk pada dirinya sendiri.
Bicara soal nyawa, Wira masih bingung nyawanya mau dibawa kemana. Maksudnya, bagaimana proses bertukar nyawa itu sendiri. Dan semakin ke sini, Wira semakin sadar jika Aris tahu banyak hal dan mungkin sengaja tidak memberi tahunya.
Mereka sudah berteman sedari kecil. Wira tahu betul karakter Aris. Aris adalah orang yang tidak bisa menjaga rahasia barang sedikit. Jadi, mendengar beberapa perkataan Aris yang tidak masuk di akal beberapa saat lalu, Wira sadar jika dirinya sudah dibodohi selama ini. Jawabannya sangatlah mudah, tanpa mencari tahu sendiri, dia bisa bertanya pada Aris apa yang sebenarnya terjadi.
Sayangnya, Wira sudah terlanjur kecewa. Dia tidak mau bertanya pada Aris dan lebih memilih mencari tahu sendiri. Dia menganggao jika Aris sudah tidak terbuka lagi dengannya. Jadi, untuk apa Wira bertanya dan Wira pun yakin jika Aris tidak akan langsung menjawab. Hanya saja, rasa penasaran itu tetap ada. Kenapa semua orang memperlakukannya seperti ini?
Baiklah kalau memang orang luar, orang lain yang belum dan tidak mengerti hidup Wira selama ini. Tapi ini berbeda. Masalahnya, Aris adalah sahabat terdekat Wira sedari kecil, begitupun sebaliknya. Dan pengalaman selama hidupnya, jika Aris benar-benar diam dan tidak mau menceritakan masalah yang sebenarnya, itu artinya permasalahan yang terjadi tidak sesederhana yang dipikirkan ataupun perkirakan selama ini.
Wira mulai dijauhi setahun setelah kecelakaan di proyek. Setelah itu, di dunia ini dia seperti hanya memiliki Aris dan Sabrina. Kalaupun ada orang lain yang mendekatinya, itu hanya sebagai simbolis belaka, untuk keinginan perseorangan pula. Jadi, Wira tidak pernah peduli dengan orang lain yang hanya memanfaatkannya. Selagi tidak merugikan dan mengganggu kehidupannya, Wira masih bisa menerimanya. Dia tidak akan masalah dengan itu semua.
Sekarang, otaknya selalu saja diperuntukkan untuk berpikir keras. Tubuhnya seperti tak sebugar dulu, padahal, Wira bari 32 tahun. Ya seperti yang dia rasakan, akhir-akhir ini, rasa tubuhnya begitu tidak enak. Bukan manja atau bagaimana, terkadang, jika sakit, harus bilang sakit. Kalau tidak, ya jangan disakit-sakitkan.
Wira hanya pernah sakit parah sekali dalam hidupnya, yaitu saat kecelakaan di proyek tiga tahun ynag lalu, yang membuat dirinya tidak bisa membuka mata kurang lebih tiga hari, yang membuat Sabrina tidak punya pilihan lain selain menangisinya.
Rasanya Wira rindu kehidupannya yang dulu, yang damai, yang tentram dan tidak memiliki masalah seserius ini. Mungkin benar jika hidup di dunia ini tempatnya menerima ujian, dan Wira berusaha untuk mengatasi masalahnya yang sekarang. Dia tidak ingin membuat semuanya semakin kacau jika terus mengabaikannya seperti ini.
Guna mengurangi sedikit beban yang sedang Wira rasakan sekarang, dia memutuskan untuk pergi menemui Dokter Jonson, siapa tahu Dokter Jonson memiliki solusi untuk masalahnya yang kian hari, kian tak tentu arah ini.
Menunggu hampir setengah jam karena Dokter Jonson juga sedang ada pasien, Wira duduk di luar dengan pikiran yang berlarian tak tentu arah. Bisikan-bisikan di telinganya kembali datang dengan intensitas lebih banyak dari sebelumnya.
Jika dulu hanya memanggil 'Mas' dengan perkataan memengaruhi lainnya, sekarang malah disertai tangisan-tangisan yang begitu mengganggu di setiap malamnya. Kadang WIra juga lelah seperti ini. Namun bagaimana jika takdirnya memang haru seperti ini. Seingin apapun mengelek, dia tidak akan pernah bisa menghindar dari takdir yang sudah digariskan untuknya. Jadi kesimpulannya sudah jelas. Wira tidak akan bisa lari dari masalah ini karena ini menyangkut banyak orang.
Andai saja Wira seegois itu, dia pasti tidak peduli dan masa bodoh dengan semua ketidaknormalan yang dia alami selama ini, pasti salha satu kematian dari mereka sudah terjadi beberapa saat lalu. Kemauan Wira untuk mengungkap semua ini seolah memperlambat kepergian salah satu dari mereka tapi Wira sendiri juga tidak paham.
Untung saja, belum sempat otaknya berpikir kejauhan, ada sepasang muda-mudi keluar dari runagan Dokter Jonson, jadi Wira langsung masuk saja. Nanti kalau ada pasien lagi, dia akan keluar karena sadar tidak mambuat janji terlebih dahulu hari ini.
"Lhoh Wira?" Dokter Jonson terkejut melihat Wira yang masuk saat pintu terbuka. Tapi, beliau malah tersenyum dan mempersilahkan Wira untuk duduk. "Sekarang apa lagi?" tanyanya santai.
Wira mendengus pelan sebelum menjawab. Tiga tahun bersama Dokter Jonson seperti sudah keluarga sendiri. Mereka tidak sekaku dokter dengan pasiennya. Malah kalau boleh jujur-jujuran, mungkin mereka sudah merasa seperti saudara sendiri.
Pada awalnya, Wira mempertahankan kebungkamannya. Tapi lama-lama, dia menatap Dokter Jonson dan berkata serius mengingat percakapannya dengan Aris tadi. Ya memangnya Wira harus curhat pada siapa lagi selain Dokter JOnson yang menjadi pendengar terbaiknya sedari dulu. "Saya mau tukar nyawa, Dok. Tapi saya tidak tahu prosedurnya gimana. Terus saya juga butuh jaminan jika tukar nyawa itu akan berhasil 100%."
Jangankan orang lain, Dokter Jonson saja sampai berpikir keras dengan yang dikatakan Wira. Memang benar Dokter Jonson selalu menggunakan perasaannya ketika menghadapi pasien-pasiennya, berusaha menjadi pendengar yang sebaik mungkin. Tapi kasus yang ini, pembicaraan yang baru saja Wira bawakan sekarang, dia tidak tahu jawabannya karena takut jika sampai salah bicara.
"Kata Dokter, saya bisa sembuh kalau saya mati. Jadi, daripada saya mati sia-sia, mending nyawa saya ditukar buat Sabrina, biar saya yang mati dan Sabrina yang hidup."
"Wira?" Dokter Jonson menatap pria di depannya tidak percaya.
"Saya capek, Dok. Saya mau tidur lama saja."