Wira hampir lupa caranya menghitung saat melihat Sabrina perlahan menghilang bersama api yang terbakar itu. Saking murkanya karena tempat terkutuk itu menunjukkan hal yang begitu kejam padanya, Wira sampai berteriak mengalahkan sang raja rimba agar ultimatumnya didengar.
Segala hal yang dia pertanyakan dia teriakkan. Kenapa Sabrina disakit? Kenapa dirinya bisa diseret di sini? Dan siapa sebenarnya yang membencinya agar permasalahan ini bisa diselesaikan secara gentle, tidak lempar batu sembunyi tangan seperti ini. Sungguh pengecut sekali yang mencari gaga-gara dengannya tapi tidak mau menunjukkan rupa yang sebenarnya.
Wira memang manusia biasa dan itu adalah benar. Namun dia juga punya hak hidup. Hak yang diberikan langsung oleh Tuhan dan siapapun tidak bisa mencabutnya. Lalu apa-apaan itu tadi, saat dirinya diperlihatkan Sabrina yang masih begitu ia cintai dibakar hidup-hidup di depan matanya, Wira bukan yang takut lagi. Dia malah dibuat semakin murka dengan semua ketidakjelasan yang terjadi di hidupnya beberapa tahun terakhir ini dan terasa begitu berat di akhir-akhir ini.
Tidak apa jika dirinya seorang yang diusik. Masalahnya, semuanya makin melebar dan tak jelas asal usulnya bagaimana bisa ini semua terjadi. Ada banyak hal yang tak kunjung bisa Wira pahami sampai sekarang. Kalaupun dirinya yang menjadi sumbernya, kenapa Sabrina yang diganggu? Berarti Sabrina yang bermasalahkan? Tapi kalau Sabrina yang bermasalah, memangnya apa yang sudah dia lakukan? Meski sebenci apapun Wira pada Sabrina, dia tidak akan mengatakan hal yang buruk tentang Sabrina karena perempuan itu memang tidak pernah macam-macam.
Okay, baiklah, dia bukan Tuhan yang bisa tahu secara dalam orang ini baik, orang ini busuk. Hanya saja, hati kecil Wira yang mengatakan. Bukankah kalau diberi pilihan antara logika dengan hati harus memilih logika tapi endingnya memperoleh penyesalan. Entahlah, ada kalanya berpikir menggunakan logika adalah benar dan berpikir menggunakan hatu juga benar. Kesimpulannya sudah jelas. Semua akan baik jika yang digunakan sesuai dengan kebutuhan atau sesuai dengan keadaan.
Namun, Wira kembali memiliki harapan ketika melihat Sabrina terlihat berupaya untuk menggerakan kakinya yang begitu berat. Perempuan itu tiba-tiba berada di ujung jalan dengan keadaan tengkurap dan tubuh sudah kotor karena gelesotan di tanah. Wira buru-buru berlari, menghampiri Sabrina, menarik tubuhnya dalam pelukan dan mendekapnya begitu erat takut jika sampai Sabrina menghilang lagi.
Sayangnya, Wira tidak sadar jika apapun bisa terjadi di sini. Tubuhnya tiba-tiba menenang begitu mendapati rambut Sabrina yang panjang dan kaku. Belum lagi bau yang begitu wangi, tanpa mau membuka matanya, Wira malah berteriak histeris hingga nyawanya seperti dilempar ke alam lain lagi
***
Bernapas, tidur, makan, bangun, bermimpi dan melihat masa depan. Wira rasa pekerjaannya bukan lagi menjadi seorang arsitek, tapi sudah ganti haluan menjadi pembaca masa depan karena itu yang selalu ia alami belakangan ini. Apalagi apa yang baru dia lihat tadi, terakhir memejamkan matanya, rasanya mengerikan sekali. Dia tidak akan bisa membayangkan apa yang terjadi jika hal mengerikan itu menjadi sebuah kenyataan yang sampai merenggut nyawa orang lain.
Dan begitu Wira sudah sadar jika dia sudah kembali ke alamnya sendiri, Wira lega melihat Melati ketiduran dan kepalanya terletak begitu saja di samping Wira. Wira meratapi Melati dalam diam. Rasanya sesak sekali untuk meninggalkannya sendirian. Namun, Wira sadar ada yang harus segera diselesaikan. Dia harus menemui Sabrina, selain ingin tahu keadaannya, Wira juga ingin bertanya atau apapun itu yang sekiranya bisa membuat bebannya sedikit terangkat daripada terus-terusan dihantui perasaan tak tenang seperti ini. Layaknya dirinya memiliki hutang yang begitu besar saja.
Susah payah Wira bangkit. Dia bahkan tidak mau tahu sakitnya apa sampai sesak di d**a kemarin. Menurutnya, dirinya sudah baik-baik saja, karena itu masih bisa bernapas dengan baik dan benar tanpa bantuan alat apapun. Tipe pekerja keras seperti Wira tidak akanmenganggap serius rasa sakitnya. Yang ada, kalau bisa, malah sengaja dilupa-lupa padahal itu tidak baik untuk dirinya sendiri. Bagaimana kalau sebenarnya ada penyakit yang serius tapi malah diabaikan karena merasa baik-baik saja atau lebih tepatnya tidak mau diperiksa karena takut tahu penyakitnya apa.
Sabrina yang pendiam saja sampai angkat bicara tentang kebiasaan buruk Wira.
Apabila di depan pria itu sudah disediakan sketchbook, penggaris dan pensil 2B, 2H, maka jangan tanya apa yang bisa Wira buat, berbagai tata ruangan pasti bisa ia garap menjadi begitu aesthetic dalam waktu semalaman suntuk.
Terkadang, Sabrina lebih cemburu dengan sketchbook daripada melihat Wira yang tidak sengaja terlibat project dengan perempuan cantik dari divisi lain atau saat mendapat klien pribadi seorang wanita. Wira kalau sudah memegang alat-alat gambarnya, pria itu bisa lupa dengan segalanya dan fokus pada dunianya sendiri.
Sampai suatu ketika, sebelum kecelakaan tiga tahun yang lalu, Wira pernah hampir kehilangan nyawanya karena terlalu sibuk menggambar hingga tidak sadar jika dirinya telah diselimuti bahaya
Sudah berkali-kali Sabrina mengingatkan, tapi serasa masuk kuping kiri keluar kuping kanan, Wira abai begitu saja. Katanya, hidup dan mati seseorang di tangan Tuhan. Jadi tidak perlu khawatir akan hari itu sendiri karena tanpa dicari, hari itu akan tetap datang dengan sendirinya.
Namun yang menjadi poin tersendiri bagi Sabrina, Wira terlalu abai, Sabrina tidak suka. Apalagi saat pria itu kerap kali makan mie instan yang setiap harinya bisa sampai makan dua atau tiga porsi. Parahnya lagi suka menyemil mie instan yang belum dimasak. Sabrina sampai ingin menangis karena Wira nyeyel sekali dibilangi.
Kadang aneh juga saat menghadapi orang terpelajar tapi keras kepala. Belum apa-apa, Sabrina seringnya kalah kalau sudah dihadapkan Wira yang mode babat habis lawan bicaranya.
Sampai langkahnya yang berat berhenti begitu melihat Sabrina tengah memandangnya tanpa berkedip. Dalam rangka pembicaraan baik-baik ini, Wira bersedia untuk mengalah. Dia akan mendengarkan Sabrina pertama kali, baru akan berkomentar jika diberikan kesempatan. Karena itu Wira memilih bungkam pertama kali.
Sayangya, hampir setengah jam berlalu Wira duduk diam di samping ranjang Sabrina, perempuan itu baru mengeluarkan perkataannya. Sudah begitu dia tidak berani melihat ke arah Wira berada. Yang benar, Sabrina malah memejamkan matanya dalam-dalam. Takut jika apa yang sering mengganggunya tiba-tiba muncul dan tanpa sengaja membuat Wira semakin terluka dengan semua yang terjadi.
“Aku minta sama, Mas. Tolong jangan temui aku lagi, ya?”
Bukan ini yang ingin Wira dengar dari hasil menunggu setengah jam sedari tadi. Detik itu juga, rasanya petir tengah menggelegar. Pepohonan yang dulunya damai, kini diterpa angin berembus yang begitu besar. Daun-daun miring ke salah satu sisi, begitu rendah hingga mudah sekali dipetik hanya untuk mencari kepuasan sendiri.
“Kamu bercanda, Sab?” Wira menatap Sabrina tidak percaya. Seperti ingin menjaga tapi akhirnya saling menyakiti.
Jelas sekali Wira melihat kepedihan di mata Sabrina yang sayu. Namun dia juga enggan bertanya untuk hal yang sama berulang kali. Bagi Wira, kebungkaman Sabrina adalah bukti kalau Sabrina memang sengaja ingin pergi darinya. Mungkin juga, hantu-hantu yang dilihatnya dalam kurun waktu yang singkat beberapa saat ini bukanlah nyata. Wira hanya delusi.
Baiklah, Wira dadar kalau dirinya tidak seharusnya memaksa seseorang melakukan sesuatu yang tidak digemarinya. Jadi, Wira hargai keputusan Sabrina dengan kepergiannya detik itu juga.
“Sudah?” tanya Wira kemudian. “sudah itu saja?”
Sabrina jelas sekali enggan menjawab. Dia selalu melihat ke arah lain saat Wira menatap matanya. Dan Wira sendiri tidak bisa berbuat terlalu banyak. Dia hanya berharap jika Sabrina tetap baik-baik saja meski sedang sekalipun.
“Kalau begitu, saya juga punya permintaan.”
Sabrina tergugu dalam diamnya sendiri. Dia tidak menyangka jika Wira berkata se-formal itu. Sabrina sadar jika ini sudah menjadi keputusannya. Artinya, hubungan yang pernah mereka lalui benar-benar akan mati.
“Anda tidak ingin mengabulkannya?” Sabrina tersentak saat Wira kembali berbicara. Dia terlalu tidak berani mendengar permintaan Wira yang kedengarannya akan sangat menyakitkan.
“Boleh, Mas.”
Pada akhirnya, Sabrina memang harus bersuara. Mau bagaimana lagi? Hidupnya dulu juga sudah seakan terikat dengan Wira. Tapi demi kebaikan agar semua yang tidak benar ini berhenti, Sabrina akan tetap bertahan sekuat yang dia bisa.
“Mati, Sab! Mati kamu!”
Sabrina tiba-tiba merasakan sakit yang teramat sangat. Yang dia rasakan sekarang malah hanya kesakitan. Wira seolah membacakan mantra kematian untuknya. Tapi, apa tujuannya, dia tidak tahu. Yang pasti, Sabrina kesakitan setengah mati.
Andai saja kakinya mampu digerakkan sedikit saja, Sabrina akan pergi dari sini. Sayangnya, dia menjadi pihak paling lemah. Jangankan bangun, duduk saja dia tidak bisa. Tubuhnya seperti sudah lumpuh dan Sabrina tinggal menunggu kematiannya.
“Pati! Pati! Pati!”
Lagi. Sabrina benar-benar semakin lemah saat Wira memantrainya ini itu. Hingga, Sabrina sadar jika waktunya memang sudah ditakdirkan sesingkat ini saat sosok hantu perempuan yang begitu mengerikan wajahnya tiba-tiba muncul di samping Wira. Wajahnya yang hancur lebur membuat Sabrina menggelengkan kepalanya pelan.
Wira yang sedari tadi berpikir bukan dari pikirannya sendiri, hanya tersenyum tipis melihat Sabrina. Senyum tipis yang begitu menusuk dan sarat akan kelicikan.
Tangannya yang kekar terulur untuk menyentuh pergelangan tangan kanan Sabrina. Begitu disentuh dan diremasnya pelan, Sabrina merasa ada sesuatu yang begitu besar dan sedang menghajar dadanya habis-habisan.
“M-Mas—” Sabrina terengah, napasnya putus-putus.
Tak puas, dengan senyuman devil makin lebar, Wira juga semakin mengeratkan cengkeramannya hingga tanpa mampu dicegah, Sabrina muntah darah saat ini itu juga.
Suara batuk yang begitu tercekat memenuhi ruangan rawat Sabrina. Tidak ada yang menolongnya karena dia sendiri kesulitan untuk sekadar bersuara. Bell yang biasanya menyala automatis ketika detak jantungku mengalami penurunan atau peningkatan drastis, kini seolah tidak berfungsi. Sabrina hanya bisa mengandalkan doanya dalam hati. Tidak ada tempatnya bergantung selain kepada-nya, sang Tuhan pemilik alam semesta beserta isinya.
Kemarin-kemarin, Sabrina pendarahan lewat hidungnya, sekarang mulut, entah besok apa lagi. Yang jelas, rasa sakit ini akan semakin melemahkan Sabrina.
Wira masih sama, dia duduk tagak dan memperhatikan Sabrina yang tengah dihampiri maut dalam diam. Dia tersenyum, seakan-akan kematian Sabrina adalah hal yang ia damba-dambakan sedari dulu.
“Mas—unghh” Sabrina tersedak, yang tadi darah bersih, sekarang gumpalan yang mengerikan yang keluar dari muntahannya. Dia meringis pilu, air matanya sudah melebur dengan rasa sakit, peluh dan darah yang tak bisa ia cegah.
Sampai di ambang maut itu, Sabrina tetap berupaya untuk berbicara sekali lagi. “I—ingat Allah, Mas.”
Sorot mata Wira yang semula kemerahan tajam berangsur merah berkaca-kaca. Tangannya refleks melepaskan tangan Sabrina dan menatap Sabrina kalang kabut karena wajahnya sudah pucat pasi layaknya mayat hidup. Hanya matanya yang terlihat. Itupun berlahan-lahan hendak terpejam hingga Wira berdiri panik dan meminta perempuan itu untuk tetap membuka matanya.
“Sab, come on, open your eyes!”
Sayangnya, mungkin Wira sudah terlambat untuk meminta Sabrina agar tetap membuka matanya. Perempuan itu sudah kehilangan banyak darah karena muntah sedari tadi.
Sampai pintu yang terdobrak tiba-tiba dari luar tak membuat Wira bergeming sama sekali. Dia tetap fokus pada Sabrina dan meminta perempuan itu untuk tetap tersadar bagaimanapun keadaannya. Karena jujur, Wira mungkin kecewa, sangat kecewa, tapi dia tidak sanggup dan tidak akan bisa melihat Sabrina meregang nyawa di depan matanya sendiri. Wira tidak bisa.
“Sabrina?!” Aris membelalakkan matanya tidak percaya melihat kondisi Sabrina yang lebih parah dari waktu dia terjatuh beberapa hari lalu. “Dokter?! Suster?!”
Wira tergeser oleh posisi Aris yang langsung berdiri di dekat Sabrina, menepuk pipinya, berharap Sabrina kembali membuka matanya walau hanya sekejap saja. “Demi Tuhan, Sabrina, bangun? Jangan kalah!” wajahnya pias, ketakutan setengah mati.
Wira yang mematung tidak bisa melihat apa-apa selain ketulusan yang Aris tunjukkan pada Sabrina. Harusnya dia memang tidak berusaha memperbaiki apa yang seharusnya tidak diperbaiki. Sabrina selalu susah saat berada di dekatnya. Harusnya Wira sadar sedari dulu. Keberadaannya hanya menjadi sebab penderitaan bagi Sabrina. Harusnya, dia sudah berhenti sedari dulu dan membiarkan Sabrina bahagia dengan orang lain yang tak lain adalah sahabat karibnya sendiri.
Seandainya benar dia mencintai Sabrina, seharusnya dia tidak akan keberatan saat diminta untuk meninggalkan Sabrina sekalipun. Karena sedari awal, Wira mencintainya bukan hanya obsesi semata. Wira paham konsep itu. Hanya saja, dia tidak suka dengan kalimat cinta tak harus memiliki. Hanya saja, dia tidak terlalu setuju dengan pernyataan jika tingkat mencintai yang paling tinggi adalah mengikhlaskan.
Lalu, sekarang Wira harus menghidupkan yang mana? Dua-duanya berarti kehilangan. Mungkin suatu hari nanti, Wira akan menemukan tambatan hatinya yang lain, yang akan menemaninya sampai hari tua. Bukan Sabrina yang dianggap selingkuh, bukan pula Melati yang dianggap aneh.
Bicara Melati, tiba-tiba Wira malah merindukan perempuan itu. Bahkan di saat dirinya mengaku masih mencintai Sabrina dan ingin yang terbaik hanya untuk Sabrina, Wira malah diam saja saat melihat tubuh Sabrina mulai menguning lagi dengan tatapan mata yang benar-benar sayu.
Seperti hari lalu, dia malah balik badan dan pergi. Entah sengaja atau tidak sengaja dia tidak tahu. Namun yang pasti, Melati mungkin yang akan menjadi pelabuhannya.