Wira masih sama seperti beberapa saat yang lalu saat mengatakan kegundahan hatinya. Bertukar nyawa yang artinya mati. Dokter Jonson yang mendengar saja jadi ikut terdiam. Antara kasihan dan bingung juga memberi respon tentang prosedur bertukar nyawa itu seperti apa. Ya jelas beliau juga tidak tahu. Bertahun-tahun menjadi dokter, dia tidak pernah mendengar yang namanya prosedur bertukar nyawa.
Namun melihat Wira yang seperti kehilangan semanagt hidup seperti ini, Dokter Jonson tidak bisa diam saja. Sebagai dokter, beliau juga ingin melakukan yang terbaik untuk kesembuhan pasiennya meski dalam kasur Wira, dia tidak sakit mentalnya.
"Kamu sudah bicara dengan Aris atau Sabrina?"
Wira hanya mengangguk sebisanya. Dia sudah berbicara, tapi tetap saja tak kunjung mendapat jalan tengah apalagi jalan keluar. Semuanya terasa abu-abu dalam pandangannya. Terkadang dia merasa paling benar dan kadang-kadang juga, dia merasa yang paling bersalah dari semua yang terjadi.
"Mereka bilang apa?"
"Aris minta saya tukar nyawa sama Sabrina, Dok. Dan Sabrina minta saya buat menjauh dari dia. Jadi saya memutuskan untuk pergi saja."
Dokter Jonson menghela napas pelan. Ingin menghujat ya kasian, dia diam dan tidak merespon juga lebih kasihan mengingat Wira hanya sebatangkara di dunia yang kejam ini.
"Sekarang kamu mau bagaimana?" tanya Dokter Jonson lagi.
"Ya tukar nyawa, Dok." kata Wira setengah kesal karena Dokter Jonson bertanya lagi padahal tadi sudah dijelaskan.
Menyadari suasana hati Wira yang buruk, Dokter Jonson memutuskan untuk diam. Terkadang, dalam suatu keadaan, diam adalah emas bagi kedua belah pihak. Andai saja Dokter Jonson tahu jawabannya, dia akan dengan senang hati memberi tahu. Masalahnya, dia juga tidak tahu dan malah berakhir mengirim pesan pada Aris, mempertanyakan maksud perkataannya pada Wira tentang bertukar nyawa.
Kalau bicara soal permasalahan yang terjadi, sebenarnya Dokter Jonson sudah tahu kebenarannya seperti apa. Dia diam karena mengira kalau Sabrina dan Aris tahu permasalahan yang sebenarnya. Beliau juga berpikir kalau Wira akan diberi tahu. Namun sampai sekarang, beliau juga masih bingung kenapa Wira tidak tahu dengan permasalahan yang terjadi.
Karena itu pula, Dokter Jonson sampai meminta bertemu Aris secara empat mata, tapi Aris menolak dengan alasan menjaga Sabrina, takut jika sesuatu yang buruk terjadi lagi. Memakhlumi alasan yang Aris beri, Dokter Jonson berbaik hati menyempatkan diri untuk menemui Aris di depan ruang tunggu tempat Sabrina dirawat.
Hampir satu jam perbincangan serius itu berlangsung dan Dokter Jonson baru paham karena ada Sabrina yang masih berjuang melawan ketidakberdayaannya. Akan sangat tidak adil jika memilih salah satu dan membiarkan yang lainnya tiada. Tidak ada yang bisa mereka pilih selain menunggu waktu dan lama-kelamaan, tertebak juga siapa yang akhirnya akan pergi lebih dulu dari mereka bertiga.
"Apa tidak mengajak Wira bertemu dengan kekek kamu saja, Ris? Beliau seorang indigo, Wira bisa ditunjukkan kebenarannya seperti apa. Kalau kalian memilih bungkam seperti ini terus, bisa-bisa Sabrina yang--" Dokter Jonson tak melanjutkan kalimatnya. Dia menyebut dalam hati, hampir saja berbicara yang buruk untung tidak sampai ia ucapkan. "Sabrina akan baik-baik saja kalau Wira baik-baik saja. Jadi kalau salah satu dari mereka ada yang pergi, saya rasa percuma melakukan apapun itu. Pasti ada jalan keluar."
Aris juga maunya seperti iti. Dia juga membenarkan apa yang dikatakan Dokter Jonson. Namun masalahnya, Sabrina takut. Perempuan itu sudah terlanjur mengajukan syaratnya dan dia juga sudah bersedia menerima apapun yang terjadi nanti. Tapi Aris yang tidak terima jika Sabrina yang harus pergi. Tidak seharusnya perempuan itu menanggung duka yang seharusnya tidak menjadi dukanya. Masalahnya lagi, kalau bukan Sabrina yang menanggungnya, mungkin Sabrina juga sudah hancur lebih dulu. Aris jadi tidak tahu harus bagaimana lagi. Keadaannya sudah kritis. Baik Sabrina maupun Wira, mereka sama-sama kritis, sama-sama sekaratnya.
***
Ada suatu waktu yang membuat Wira terus saja bertanya-tanya akan keberadaannya sendiri. Dia anak siapa? Rumahnya di mana? Dan bagaimana bisa hidup seorang diri seperti ini?
Tumbuh besar tahu-tahu tidak ada yang mendampinginya membaut Wira harus dirawat oleh ibu panti beserta teman-teman kurang beruntung lainnya.
Saat beranjak dewasa, Wira begitu mendambakan keluarga. Dan Karena itu pula, dia terkenal posesif pada Sabrina.
Pada suatu masa, Wira takut jika yang lalu terulang kembali kepadanya. Dia mungkin percaya dengan Sabrina, ya dia percaya. Hanya saja, ketakutan ditinggalkan seorang diri membuat Wira melakukan segala cara untuk membuat Sabrina tetap berada di sampingnya.
Apakah Sabrina terima begitu saja? Tentu saja. Dia tahu kalau sebenarnya inner child dalam diri Wira yang meronta-ronta. Jiwanya takut ditinggalkan. Jadi Sabrina memakluminya. Dan hal itu pula yang selalu mengingatkan Sabrina kalau dirinya harus selalu bersyukur karena masih dikaruniai keluarga yang utuh.
Kalau membicarakan kejiwaan orang memang rasanya berat. Butuh pemahaman yang benar. Karena sering kali, seseorang salah kaprah mengartikan sikap orang lain. Padahal, dia saja yang tidak tahu dulu kehidupan orang yang dikomentari seperti apa.
Di detik ini, Wira hanya diam di sofa seperti orang yang kurang kerjaan. Dia memikirkan perkataan Aris yang memintanya untuk menukar nyawanya dengan nyawa Sabrina, pun dengan perkataan Dokter Jonson tentang dirinya.
Kalau boleh jujur, Wira tidak keberatan sama sekali. Hanya saja, dia ingin tahu apa yang membuat semuanya makin berlarut-larut seperti ini. Karena dirinya sendiri kah, atau karena memang orang lain.
Padahal kemarin, Wira meminta Sabrina pergi saja dari dunia ini. Tapi sekarang lihatlah, dia berbeda lagi. Bahkan serius sekali saat mengatakan jika dirinya bersedia bertukar nyawa.
Apa Wira kemarin kerasukan? Tapi sepertinya tidak. Dia masih berwujud Wira yang semua orang kenal meski perkataannya bukan Wira sama sekali.
Daripada terus over thinking seperti ini, Wira bangkit dari sofa ruang keluarga dan langkahnya mendadak terhenti begitu melihat sosok hantu perempuan itu berdiri di pojokan dapur. Wajahnya tertutup oleh rambut, pun tidak ada bau wewangian yang tercium. Wira hanya merasakan hawa yang begitu dingin hingga giginya bisa bergemeletuk jika terus bertahan di sana.
Mungkin karena sudah gila, hilang akal, terlalu lelah dengan semua yang terjadi, Wira bukannya pergi malah berjalan ke kanan, menghampiri hantu itu.
Setelah menjaga jarak aman kurang lebih tiga meter, Wira baru mulai bersuara. “Mau apa kamu sebenarnya?”
Hantu itu tidak menjawab.
“Kenapa mengganggu saya di saat saya sendiri tidak pernah menganggu Anda.” Wira menjeda perkataannya sejenak baru memulainya lagi. “Siapa Anda sebenarnya? Adakah salah yang saya lakukan hingga dihantui seperti ini? Tolong dijawab dan saya akan bertanggungjawab jika memang saya yang bersalah.”
Masih tetap tidak ada respon.
Wira memejamkan matanya sejenak. Kemudian membuka matanya dan tubuhnya refleks mundur hingga menghantam meja makan. Dia terkejut melihat perempuan cantik berdiri di depan matanya. Pakaiannya serba putih seperti hantu perempuan tadi.
Sambil menegakkan tubuhnya, Wira juga menegakkan pikirannya sendiri. “Jadi ini wajahmu yang dulu?” tanya Wira kemudian.
Perempuan ini benar-benar cantik dan Wira mengakuinya. Hidungnya bangir, matanya lebar dengan bibir tipis namun wajahnya pucat pasi. Matanya yang sayu menyiratkan kepedihan yang amat dalam. Begitu melihat ke bawah, Wira menelan ludah susah payah begitu melihat kaki perempuan di depannya ini mengambang di udara, tidak memijak pada lantai seperti orang normal pada umumnya.
“Siapa kamu? Kenapa mengganggu saya?” Wira bertanya lagi sambil mundur beberapa langkah untuk menjauh.
“Mas membenci saya,” lirih hantu itu.
Wira tiba-tiba malah menggeleng, menolak pernyataan yang dituduhkan kepadanya itu. “Bagaimana saya bisa membenci sedangkan saya sendiri tidak tahu siapa kamu dan apa urusannya dengan saya.”
“Saya pengikut, Mas.” Kalau Wira punya kelainan jantung, yakin, dia mungkin sudah anfal sedari tadi karena terlalu syok diajak makhluk gaib berbicara.
“Kamu memakai raga saya untuk menyakiti orang lain.”
Perempuan itu menggeleng. “Mereka jahat, jadi harus diberikan pelajaran. Kalau tidak, mulut mereka tidak akan berhenti berbicara yang tidak-tidak tentang Mas Wira.”
“Kamu tidak punya hak untuk menghakimi orang lain. Kamu bukan Tuhan.” Balas Wira agak tidak bersahabat. Kepalang muak dia dengan semua yang terjadi. Rasanya sangat tidak nyaman sama sekali jika terus-menerus seperti ini. “Jadi, kenapa kamu mengikuti saya?” Wira bertanya lagi. “Apa yang kamu mau dari orang yang sekarat ini?”
“Mas jangan berkata seperti itu. Saya hanya perempuan yang tidak beruntung yang kemudian menemukan Mas dengan harapan besar yang Mas memiliki. Jadi, tolong jangan usir saya pergi.”
Belum sempat Wira melakukan apa-apa, tiba-tiba pintu apartemen terbuka dan muncul lah sosok familier di penglihatan Wira. “Melati?” sebutnya.
Wanita yang dipanggil namanya ini hanya sekilas tersenyum dan melihat ke arah hantu perempuan. Dia mendekatinya, kemudian memejamkan matanya sambil menyentuh bahu hantu itu.
“Dia orangnya, Mas.” Melati melirih pelan yang disambut kebungkaman oleh Wira. Pria itu syok, tidak paham maksud dari, “dia orangnya” itu apa.
Sampai belum siap bertanya, tiba-tiba Melati hilang begitu saja di depan matanya sendiri. Wira yang mungkin sudah melihat kejadian ini beberapa kali saja tetap terkejut. Dia khawatir jika Melati ditarik ke dimensi lain dan sampai disakiti oleh makhluk-makhluk yang ada di sana.
“Di mana kamu membawa Melati pergi?”
Wira kira, hantu tidak memiliki perasaan. Namun saat dirinya diam saja, tak berniat membalas setiap perkataan hantu perempuan ini, dia terlihat sedih sekali. Ya Wira memang tidak tahu sebab tangisannya karena apa. Tapi yang jelas, dia merasa kasihan.
“Saya cantik, kan?” hantu itu berujar tiba-tiba yang membuat Wira sampai melongo. Tidak habis pikir dengan apa yang dilihatnya sekarang. Entah karena memang dirinya yang terlalu tidak peka atau bagaimana.
Sadar jika jawabannya ditunggu karena wajah hantu di depannya ini terlihat menunggu, Wira sampai menjambak rambutnya frustasi. Beberapa detik kemudian dia mengangkat tangannya dan menampar pipinya sendiri dengan begitu keras. Nahasnya, hantu itu tetap tidak pergi ke mana-mana. Dia masih setiap di depan Wira dan menatap penuh harap layaknya anak kecil yang menunggu diberikan permen oleh orang tuanya.
“Ya, seandainya saja kamu orang betulan.” Kata Wira akhirnya. Lama-lama, malah dia jadi stress sendiri mengahadapi hantu di depannya ini.
“Kalau begitu, Mas harus terbiasa dengan saya mulai sekarang. Karena saya tidak akan pergi kemana-mana.”
Wira membelalakkan matanya melihat hantu ini tersenyum manis. Bukan karena terpesona akan kecantikannya bukan, tapi pernyataan yang baru saja dikatakan. “Bagaimana bisa?” pekiknya tidak terimu. “Saya dan kamu beda alam. Dan saya memiliki perempuan yang sangat saya cintai.”
“Dia akan mati!” jawab hantu itu lantang. Wira yang mendengar nada dingin tak bersahabat semacam itu hanya bisa menghela napas berkali-kali. Agaknya, dia benar-benar sinting. Mana dan orang normal mengalami semua ini? Dia pasti sedang bermimpi. Tapi kenyataannya ini bukanlah mimpi. Wira jadi khawatir mengingat Melati seorang diri perginya. Namun, dia kembali tenang mengingat ada Maung yang senantiasa menjaga Melati.
Lama diam karena tenggelam dalam pikirannya sendiri, Wira menggeleng saat sadar. Kemudian, dia melihat ke arah hantu itu yang hampir membuat jantung Wira copot. Bagaimana tidak, hantu perempuan itu malah duduk di atas rak dapur yang secara tidak langsung benar-benar mengonfirmasikan jika dirinya memang hantu betulan, bukan manusia jadi-jadian. Dan Wira, dia rasa dirinya lah yang akan mati nanti, bukan Sabrina, bukan pula Aris, apalagi sampai orang lain.
"Kamu mau lihat saya terkena serangan jantung?" tanya Wira tidak paham lagi. "Turun tidak?!"
Tahu begini cara jalannya yang melayang-layang, Wira lebih baik menutup matanya saja. Dia tidak perlu ditunjukan hal mengerikan semacam itu. Sudah cukup hidupnya yang suram. Jangan sampai kehidupan orang lain yang suram turut menambah beban hidupnya.
Hantu itu sudah turun dan menatap lantai nanar. Mungkin Wira sudah gila, karena itu dia mendekat dan meminta hantu perempuan tadi untuk menonton siaran lokal bersamanya. Sudahlah, Wira memang sedang ahli profesi jadi orang gila, biar nanti kalau hari bertukar nyawa itu tiba, tidak akan bersedih dengan kepergiannya.
Ayolah, memangnya siapa yang siap jika diri sendiri tahu kapan sang kekasih akan pergi meninggalkan dunia ini? Kalaupun ada yang siap, maka bukan Wira orangnya. Dia tidak siap kehilangan meski Sabrina bukan lagi kekasihnya.
Hah, andai saja dirinya tidak membuang-bunag waktu untuk emlamar Sabrina, pasti tidak akan seperti ini kejadiannya. Pasti, dia sedang menunggui Sabrina yang sekarang tengah berjuang untuk tetap bernapas di setiap menitnya. Tapi yang aneh, Wira selalu merasa aman saat Melati ada di sampingnya. Apakah, dia sudah berpaling dan mulai menaruh hati pada Melati? Tapi Wira rasa, ini terlalu dini untuk mengatakan jika dirinya menyukai Melati. Lagipula, Wira juga tidak bisa melupakan Sabrina.
Selalu saja seperti ini. Wira selalu saja seperti diombang-ambingkan oleh hati dan pikirannya sendiri. Dulu, dia orang yang terkenal konstan, terkenal pula orang yang tegas, tidak pernah sekalipun drama-drama labil dalam menyelesaikan pilihan yang sulit. Tapi sekarang, setelah sedari tadi seolah siap jika dijadikan orang yang bertukar nyawa dengan Sabrina, Wira malah memikirkan Melati yang nantinya akan ia tinggalkan.