22. Gedung Terbengkalai

2028 Kata
Wira dan Melati masih berjalan untuk mengikuti hantu perempuan itu. Dalam perjalanannya, Wira bertanya-tanya dalam hati. Apakah hantu itu bisa berbicara? Kalau bisa, Wira ingin sekali bicara empat mata dengannya. Jangankan orang lain, Wira sendiri aja tidak mengerti dengan dirinya sendiri. Di hutan lebat belantara seperti ini, dia malah ingin mengajak makhluk gaib bicara. Mungkin Wira sudah frustasi dengan semua yang terjadi. Dia lelah melihat Sabrina kesakitan beberapa saat ini. Padahal sampai sekarang, Wira belum tahu kejadian dan masalah yang sebenarnya seperti apa. Melati yang menemaninya sedari tadi juga diam saja. Dia kelihatan sedih memandang sosok di depan sana yang seperti berjalan tak tentu arah. Arah angin sudah berbeda, hawa di hawa dingin yang begitu menusuk seakan-akan menunjukkan jika ini bukan dunia mereka. Belum lagi sosok-sosok yang mengamati mereka dalam diam. “Mas, jangan meleng!” bisik Melati lirih sambil meraih tangan Wira untuk ia genggam. Wira yang tersentak langsung menggeleng pelan. Sedari tadi, ada sesuatu yang ingin masuk dan merenggut kesadarannya. Terima kasih kepada Melati karena selalu menyadarkannya. “Ada yang mencoba memasuki saya,” “Jangan menoleh ke kanan ataupun ke kiri. Lihat depan saja.” “Tapi ke—HUAAA!” Wira menarik lepas tangannya dari genggaman Melati dan berlari sekencang-kencangnya untuk melepaskan diri dari hantu jeruk purut yang berdiri di sebelah Melati. Pakaiannya serba hitam, leher dan kepalanya berdarah-darah, lidahnya menjulur dengan mata yang mengeluarkan darah. Melati hanya mengembuskan napas pelan melihat Wira lari tunggang langgang. Dia sudah memperingatkan jangan menoleh, tapi tetap saja ngeyel. Melati bukannya tidak takut. Dia takut. Hanya saja, dia tidak ingin jika jiwanya sampai dibawa pergi ke lembah kematian. Karena kalau itu sampai terjadi, bukan hanya jiwanya yang akan hilang, raganya juga akan hilang di sana. Dia akan menghilang secara tiba-tiba dari dunianya sendiri. Dan Wira pun, dia akan mengalami hal itu juga jika dalam perjalannya dia gagal di tengah jalan. Bau busuk bak bangkai yang sudah berhari-hari, set-set seukuran ibu jari manusia dewasa memenuhi setiap jalan yang Melati pijak hingga langkahnya terasa berat begitu mahluk pengurai itu ia pijak dan meletuskan cairan-cairan busuknya. Melati menekan dadanya yang tiba-tiba sakit. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Melati menyikut kepala hantu jeruk purut itu hingga menggelinding ke belakang dan dieksekusi oleh set-set menjijikkan yang berjumlah puluhan ribu atau bahkan lebih. Sedang pemilik tubuhnya yang kehilangan kepala, murka dan berdiri si depan Melati, tangannya yang berlubang-lubang membusuk, terangkat untuk menjambak rambut Melati. Dan perempuan itu merasa kalau kepalanya akan copot saking kencangnya tahanan yang diberikan. Dia bahkan jatuh dan terseret-seret dari belakang karena rambut sepunggungnya dijambak. Hingga darah tiba-tiba merembes dari wajahnya dan Melati berteriak lantang sekuat yang dia bisa. “MAUNGGG!” Di seberang sana, langkah Wira berhenti. Dia baru sadar jika sudah berlari terlalu jauh meninggalkan Melati. Dia harus berbalik untuk menemui perempuan itu lagi. Pergi bersama, menghadapi hantu-hantu sialann itu bersama, pulang pun harus sama-sama. Wira tidak akan meninggalkannya meski apapun yang terjadi. Wira tidak akan meninggalkannya. Orang yang tidak sadar akan pelariannya, pasti tidak ingat jalan mana yang ia tempuh saat sibuk berlari tadi. Wira sampai bingung harus pergi ke arah mana. Malam semakin pekat, angin berembus semakin tidak manusiawi. Tangisan-tangisan pilu, tawa dan geraman mengerikan, semua mampu Wira dengar. Hantu-hantu melata seperti ular raksasa berkepala manusia bahkan terlihat jelas sedang memakan anak kecil. Wira membelalakkan matanya tidak percaya. Dengan tubuh bak robot yang kaku sekali, Wira menghadap arah lain dan berteriak histeris didatangi hantu jeruk purut tanpa kepala. Lehernya terus-menerus mengeluarkan darah segar dengan tubuhnya dikerubungi set-set. Jangankan berlari, membuka mulutnya saja Wira tak kuasa. Kakinya tiba-tiba lemas seperti jelly dan berakhirlah dia jatuh terjerembab dengan tubuh dihujani darah busuk dari sosok yang menjulang tinggi di atasnya ini. Bibirnya bergetar ingin berbicara, melawan ketakutannya sendiri. Sayangnya, begitu juga mendapati kepala hantu jeruk purut itu tiba-tiba jatuh dari atas dan berakhir di pangkuannya, Wira tidak bisa mempertahankan kesadarannya lagi begitu dihadapkan dengan kepala dengan lidah mmenjulur dan mata kanannya keluar dari tempatnya. Set-set busuk juga ikut mengerubungi Wira. Sedang hantu jeruk purut sendiri hanya membutuhkan kepalanya sendiri. Begitu mengambil kepalanya ia langsung pergi tak mengganggu Wira lagi. Melati yang mengamati sedari tadi baru berlari saat hantunya sudah pergi. Ada Maung yang berdiri di belakangnya untuk menjaga. “Mas?! Mas Wira?! Bangun, Mas! Ayo pergi dari sini!” Begitu mata Wira terbuka, dia menghembuskan napas lega saat mendapati wajah panik Melati. Tapi begitu melihat depannya, Wira kembali berteriak histeris hingga Melati harus menarik kepala pria itu dan menenggelamkan dalam dadanya. “Jangan teriak-teriak, nanti ada yang ke sini lagi!” cicit Melati agak panik dengan tatapan waspada. Wira membalas dekapan Melati begitu erat, mencoba melawan ketakutannya sendiri. Dan sekarang Wira baru sadar kalau dirinya selemah ini. “Saya cuma mau nyari obat buat Sabrina, kenapa seperti ini rintangannya?” Melati mencelos mendengar Wira menangis. Mungkin pria itu sudah lelah dengan semua keanehan yang terjadi. Hidupnya tidak pernah merasa tenang. Bisikan-bisikan setan tiap hari juga terus menerornya. Dia di dunianya sendiri tapi tangisan pilu dari dunia lain terus menghantuinya. “Saya mau pulang.” “Mas bangun dulu, dia Maung, tidak jahat. Mari saya kenalkan,” Ragu-ragu Wira melepas dekapan posesifnya pada Melati. Kemudian dengan tangan yang digenggam erat oleh Melati, Wira berani melihat sosok harimau raksasa di depannya ini. “Hikayat Prawira” panggil harimau itu dengan taring yang sengaja di dekatkan pada Wira. “Dia mau kenalan sama kamu.” Kata Melati. Wira tentu merasa horor sendiri. Lantas menyentuh taring itu dan geraman mengerikan seketika dikeluarkan oleh Maung yang membuat Wira ingin melarikan diri kembali. Namun, Melati terus memeganginya dan meyakinkan kalau tidak apa-apa. “Jangan lari, Mas. Jiwa Mas bisa tersesat dan kemungkinan tidak akan bisa keluar. Ayo, kita susul hantu perempuan itu lagi.” Wira menatap Melati sedih. “Kita kehilangan jejak.” “Maung akan menunjukkannya.” Dibantu oleh Melati untuk berdiri, Wira lantas berjalan bersama-sama dengan Melati, mengikuti Maung dari belakang yang beralih profesi sebagai petunjuk arah. Sepanjang perjalanan, mereka saling diam dengan tangan yang bertaut. Wira yang memulai lebih dulu. Dia takut jika kejadian tadi kembali menimpanya. Sekarang ada Melati di sampingnya, dia tidak takut lagi. Entah berapa kilometer jarak yang ditempuh, Maung berhenti dan geser ke samping, membiarkan Wira dan Melati melihat ke arah depan, yakni ke arah hantu perempuan tadi yang tengah jongkok dan mengais tanah sambil menangis begitu pilu. Rambutnya yang panjang sampai menyapu tanah, pakaiannya yang lusuh dengan tanah merah, membuat bulu kuduk Wira seketika berdiri. Dia menggenggam tangan Melati semakin erat. “Itu rumahnya,” kata Melati tiba-tiba. Wira menoleh ke arah Melati yang masih menatap arah hantu itu lurus-lurus. “Rumah?” “Iya. Itu rumahnya. Dia dikuburkan di sana.” Jujur saja Wira tidak percaya. Apa di dimensi lain juga ada tempat pekuburan? Kalau begitu, ada kehidupan normal juga di sana, seperti pasar yang pernah Wira lihat dulu? Belum sempat Wira mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan sendiri, Melati lebih dulu menariknya, “ayo!” Wira menurut, dia biarkan tubuhnya ditarik menuju ke arah hantu perempuan itu dan begitu Melati menyentuh pundaknya, Wira yang dipegang seolah ditarik kekuatan tak kasat mata dan begitu membuka matanya, dadanya berdetak tak beraturan begitu melihat gedung terbengkalai ada di sebelahnya ada Melati juga yang tengah terkapar tak sadarkan diri. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri. Seingat Wira, dia tadi berada di rumah sakit dan sengaja menyentuh darah Sabrina. Dan begitu disentuh, dia dibawa ke dimensi lain lagi. Tapi sekarang, dirinya malah terdampar di lahan gedung terbengkalai, dengan rumput-rumput yang begitu tinggi dan tangannya panas karena digigit hewan melata. Buru-buru Wira membangunkan Melati yang mungkin saja pingsan. “Melati, hai bangun?!” Butuh tiga kali percobaan sampai akhirnya Wira berhasil menyadarkan Melati. Sama dengan Wira, Melati juga sama terkejutnya begitu membuka mata sudah berada di tempat asing lagi. “Ayo pergi dari sini.” Dengan bantuan Wira, Melati berdiri. Mereka saling menjaga dengan bergandeng tangan satu sama lain. Wira membawa batang kayu, jaga-jaga jika ada hewan atau semacamnya yang mengancam dirinya dan Melati nanti. “Ini daerah mana, Mas?” Melati bertanya-tanya di sela-sela perjalanan mereka. Wira yang sibuk membelah rumput-rumput panjang agar tidak melukai dirinya dan Melati saat lewat juga bergumam tidak tahu. Hingga kalau tidak salah, mereka sampai di tepi jalan setapak yang muat dilintasi mobil pukul dua dini hari. Wira bisa tahu karena gelang jam dalam pergelangan tangan kirinya. Untung dompetnya masih tersimpan rapi di saku celana bagian belakang. Kalau sampai hilang atau jatuh di dimensi lain itu, Wira tidak tahu lagi bagaimana nasibnya akan pulang nanti. Udara yang begitu dingin membuat Wira menoleh ke arah Melati. Dia lepas jaketnya dan diberikan kepada Melati yang tengah bergidik, memeluk tubuhnya sendiri. "Dipakai, dingin," katanya. Melati langsung menerimanya karena memang kedinginan. Dan mereka terus berjalan dengan tautan tangan yang sama-sama dinginnya. Meski sudah sampai jalan sekalipun, tetap tidak ada kendaraan yang mereka dapati. Wira sampai bertanya-tanya pada dirinya sendiri, ada di mana dirinya sekarang. Sampai syukur beribu syukur, ada mobil lewat dan Wira menghentikannya dengan antusias. "Pak! Berhenti!" dia lambaikan tangannya. Mulanya, mobil itu terus berjalan, tapi lama-kelamaan, malah berjalan mundur dan berhenti tepat di depan mereka. Wira dan Melati saling menatap, saling melempar senyum penuh kelegaan. Tanpa membuang waktu lebih lama lagi, Wira dan Melati bergegas masuk ke jok penumpang. Akhirnya, mereka berdua bisa menyandarkan punggungnya yang lelah juga. "Terima kasih banyak ya, Pak." gumam Wira dengan senyuman tulus. "Tidak masalah." "Oh ya, Pak, ini di daerah mana ya kalau boleh tahu?" "Bandung, Mas." Wira hanya beroh ria dan berterima kasih kembali. Setelah itu hanya kebeningan yang terjadi. Saat menoleh, Wira mendapati Melati sudah tertidur dengan pulas. Wajahnya yang cantik terlihat kelelahan sekali. Wira jadi tidak tega dan memilih memalingkan wajahnya. Hampir dua jam perjalanan, Wira yang tidak bisa tertidur membangunkan Melati saat mereka hampir sampai di apartemennya. "Melati, bangun. Sudah sampai. Ayo!" panggilnya lembut. Perempuan itu melenguh pelan, kemudian membuka matanya perlahan, mencoba mengumpulkan nyawanya terlebih dahulu. "Sudah sampai, ayo?" Melati langsung menegakkan tubuhnya. Beberapa saat kemudian, Wira menoleh ke depan sambil mengatakan, "Pak di--" Wira tak mampu melanjutkan perkataannya lagi begitu melihat bagian driver kosong, tidak ada siapa-siapa dan mobil sedan yang dia tumpangi tadi berubah menjadi ambulans yang sudah sangat tidak layak pakai. Melati meraba paha Wira, meremasnya erat. "Mas?" Wira kembali menoleh ke arah Melati. Mereka meringis sambil tatap-tatapan dan berkahir dengan Wira mengeluarkan ultimatumnya. "Lompat! Cepat!" Dan, Melati langsung berjalan cepat dengan Wira menuju pintu belakang dan saat di buka, mereka jatuh berguling-guling di jalanan. Wira meringis pelan, susah payah menegakkan tubuhnya dan berjalan tertatih menghampiri Melati yang masih duduk sambil mengusap sikunya. "Are you okay?" tanyanya memastikan. Melati mengangguk mantap dan Wira segera membantunya berdiri. Menuntunnya menuju apartemen yang masih beberapa langkah lagi. Begitu sampai lobi, Wira baru melepaskan Melati karena perempuan itu bilang bisa sendiri. Mereka sama-sama diam sambil bersandar pada dinding lift, rasanya lelah sekali. Begitu sudah sampai di lantai unitnya, Wira menyandarkan Melati kembali. Dan berakhirlah mereka masuk ke dalam unit Wira. Hanya mereka berdua seorang. Begitu masuk, Wira langsung pergi ke kamar mandi dan begitu selesai, dia kaget melihat Melati masih berdiri di ambang pintu yang tertutup. "Lhoh, kamu ngapain masih berdiri di situ?" "Kan belum dipersilahkan duduk!" balas Melati kesal. Wira menggeleng tak percaya dengan senyum yang tiba-tiba merekah setelah perjalanan panjang yang baru saja mereka alami tadi. "Astaga...duduk saja. Kamu aneh sekali, kalau saya tidak keluar, apa mau terus-terusan berdiri menjaga pop pintu seperti itu?" Melati mengedikkan bahunya tak acuh dan ingin duduk, tapi ditahan Wira. "Ettt... sebentar!" katanya. "Jangan duduk dulu." Wira berlalu entah kemana. Dan saat keluar, dia membawa baju ganti untuk Melati, sepotong dress selutut milik Sabrina yang tertinggal di dalam apartemennya. "Ganti baju dulu, itu kamar mandinya, udah ada handuk sama sabun Sabrina, semoga cocok." Tak banyak bicara, Melati langsung mengambil baju itu dan masuk ke dalam kamar mandi. Wira yang menunggu, memutuskan duduk di sofa. Beberapa saat kemudian, begitu mendengar pintu kamar mandi terbuka, Wira menoleh dan berakhir menelan ludah susah payah begitu melihat Melati keluar menggunakan dress Sabrina dengan rambut basah yang tergerai. "Tadi aku minta shampoo," katanya. Wira buru-buru memalingkan wajah, tidak menyangka, melihat Melati begitu saja, adiknya langsung berdenyut nyeri meminta lebih. Sadar, Wir! SADAR! rutuknya dalam hati. Lama-lama, Wira gila betulan kalau terus-terusan begini
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN