21. Menuju Kebenaran

2037 Kata
Gara-gara Wira yang heboh, Dokter Jonson jadi ikut susah juga. Beliau sampai ikut Wira untuk menemui Aris yang katanya kesurupan seperti anak kecil. Begitu sampai di depan Aris yang tak merubah posisinya sedari tadi, mereka ikutan bingung sendiri.  "Tuh, dok, malah dia yang kesurupan. Berarti saya sudah sembuh ya, dok. Setannya pindah ke dia, kan?" Nggak gitu konsepnya, Wira! Dokter Jonson lantas duduk di samping Aris, mengajaknya bicara. "Kamu siapa? Mau apa?" Aris hanya menatap Dokter Jonson sambil melengos. Persis seperti dengan anak kecil yang suka ambek  pada banyak orang terutama pada dengan orang dewasa. Namun Dokter Jonson tidak mengambil hati. Dia malah mengajaknya bicara lagi. "Saya punya air buat kamu." Wira menyerngit heran melihat Aris yang senyam-senyum saat meminum air sampai tumpah-tumpah. Hingga teguran Dokter Jonson menyadarkan Wira dari keterkanjutannya. "Sama kayak kamu kalau lagi ketempelan. Aris masih mending, dia cuma minta minum. Kalau kamu?" "Memangnya saya minta apa?" "Minta nyawa orang." jawab Dokter Jonson serius.  Wira langsung meringis dalam senyumnya. "Dokter mah, bisa aja becanda." "Saya serius." Dan detik itu juga, Wira memilih diam daripada makin panjang urusannya. Yang ada, dia mulai memikirkan perkataan Dokter Jonson barusan. Mungkin, selama ini Dokter Jonson sering bercanda. Tapi melihat wajah seriusnya tadi, Wira tahu kalau Dokter Jonson tidak sedang main-main akan perkataannya.  Di sisi lain, begitu Aris selesai minum air, tiba-tiba pria itu sudah sadar dengan sendirinya. "Lhoh, Dokter Jonson? Lagi ngapain, Dok? Jenguk Sabrina, ya? Maaf ya, dia masih tidur." katanya saat sadar tahu-tahu ada Dokter Jonson di sampingnya.  Dokter Jonson mengangguk saja. "Kalau begitu, saya permisi dulu. Kalian saling jaga, ya. Hanya itu yang bisa membuat kalian keluar dari semua ini dengan selamat." Aris menyerngitkan keningnya, kebingungan dengan yang Dokter Jonson katakan barusan. Tapi dia tiak bertanya malah memilih menatap Wira dengan raut penuh tanda tanya. "Kenapa?" tanyanya.  Wira mengangkat bahunya tak acuh dan kembali duduk. Sedetik kemudian, dia menoleh lagi ke arah Aris. "Lo juga suka kesurupan, Ris?" "Hah, kesurupan gimana?" "Lo tadi aneh, minta air terus kayak anak kecil gitu. Untuk masih siang, kalau udah malem udah gue tinggal lari lo." Sekarang Aris mengerti. "Ya ketularan lo. Tapi kata kakek gue, dia mah nggak ganggu, cuma minta minum doang. Tapi bahaya kalau kambuhnya waktu nyetir, bisa kecelakaan." "Sejak kapan?" Wira bertanya lagi. Sejak lo makin parah, Wir. "Baru-baru aja. Dia bakalan pergi kalau induknya pergi." "Induk?" Wira memekik. "Emaknya dong?!"  "Lah kan yang nempelin lo emaknya, Bambang! Makanya sadar lu! Sadar!" Aris balas mengatai. Susah kalau tiga-tiganya tidak sehat semua. Bicarapun tak tentu arah.  Daripada membalas, Wira lebih memilih diam dan mengamati Sabrina yang tertidur pulas. "Gue boleh nemuin dia, nggak?" "Masuk aja. Tunjukin juga tuh hasil rekamannya." Wira menunduk, melihat handikam yang sudah dia genggam. "Seriusan nggak papa?" "Kagak. Udah masuk aja sana. Dia cuma merem itu, matanya sakit lihat yang silau-silau." Apalagi liat lo, Wir. Tambah itu sakit-sakitnya. *** Arah angin sudah tak sama lagi. Sabrina tak tahu harus meminta bantuan pada siapa lagi saat kegelapan perlahan-lahan menguasai dirinya. Tidak ada yang bisa ia mintai tolong kecuali Tuhan. Jiwanya disiksa dan raganya kesakitan. Badannya bahkan masih bengkak dengan kaki yang--syukurnya--perlahan sudah bisa digunakan sebagaimana mestinya. Jangankan ingin menggerakkan untuk berjalan, tidak sengaja tersenggol sedikit saja Sabrina langsung menangis hebat karena memang sesakit itu rasa sakitnya. Beberapa saat lalu juga pernah minta jika kakinya dipotong saking sakitnya. Dokter yang mendengar saja sampai tercengang. Menurut hasil pemeriksaaan oleh para tim medis, Sabrina menderita penyakit kuning, makanya tubuhnya kekuningan dan bengkak karena menampung banyak cairan. Tapi yang membuat mereka bingung adalah saat ditanyai, Sabrina selalu mengeluhkan kakinya yang sakit dan minta diamputasi saja. Mereka tidak tahu sesakit apa yang dirasakan Sabrina sampai meminta hal yang semengerikan itu. "Bang, tolong naikin selimutnya, dong, dingin." Aris mengangguk saat dimintai tolong oleh Sabrina. Begitu menarik selimut, Aris tidak sadar dia juga ikut menarik kaki Sabrina dan perempuan itu memekik dan berakhir menangis sambil memegangi pahanya yang tertutup selimut.  "Sab?" Aris meringis. "Maaf, aku nggak sengaja. Sorry banget." sesalnya sambil menyentuh kaki Sabrina. Tapi Sabrina malah menjerit tertahan hingga Aris terkejut sendiri.  Jika ada yang menantangnya, dan jika memang bisa dipindah-pindahkan rasa sakit itu dari satu tubuh ke tubuh yang lain, maka dengan senang hati Sabrina berikan beserta duka-dukanya. Dia juga lelah, tapi lebih memilih memendam dalam diam. Lebih kepada takut jika ada hal buruk lagi yang terjadi.  Sebelum-sebelumnya, rasa sakitnya tidak sampai setajam ini. Tapi akhir-akhir ini, bukan lagi tajam, tapi sangat sakit sekali. Panas, Sabrina selalu merasakan panas yang menyelimuti tubuhnya begitu menyiksa. Terkadang ada keinginan untuk menangis. Tapi kenyataannya, menangis tidak membantu apa-apa. Yang ada rongga dadanya makin sesak. Bahkan saat Wira datang dan menghampirinya secara pribadi pun, semakin menambah sesak di rongga dadanya.  Kata orang, yang menyakiti, yang berpotensi juga untuk menyembuhkan. Tapi kenapa begini sekali nasib Sabrina.  “Feel better, Sab?” tanya Wira yang sudah berani duduk di sebelah Sabrina. Kalau kemarin-kemarin, boro-boro. Wira mau mendekati Sabrina saja susahnya bukan main. Perut mulas lah, kembung, pengin muntah. Tidak ada yang benar sama sekali. Kebetulan juga, Sabrina sedang berbaik hati karena intensitas rasa sakitnya berkurang, jadi dia membalas perkataan Wira dengan senyuman. “Ya, Mas.” Wira mengangguk paham, kemudian menatap tubuh Sabrina tidak masih berwarna kekuningan. “Masih ada keluhan lagi, nggak?” Sabrina yang setengah tertidur lantas menggeleng. Ketahuilah jika setiap orang itu memiliki ambang rasa sakit yang berbeda. Jadi, orang yang satu dengan yang lainnya tidak bisa disamaratakan. “Nggak ada, paling cuma lemes.” Wira mengangguk lagi sebagai balasan. “Aku punya sesuatu buat kamu, Sab. Kata Aris, kamu boleh lihat.” “Apa?” “Mau lihat?” Wira balik bertanya, memastikan kembali, takut salah langkah malah diirnya yang disalahkan ;lagi.  “Boleh.” Balas Sabrina kemudian. Tanpa menunggu lebih lama, Wira berikan handikam yang ia bawa kepada Sabrina. Dan Sabrina sendiri dengan senang hati menerimanya. Namun, begitu melihat di bagian kamar Wira, Sabrina langsung menutup handikam itu. Dan begitu melihat ke arah Wira, Sabrina berteriak histeris hingga saat mencoba menjauhi pria itu, Sabrina jatuh dari ranjang rumah sakit. Wira tentu sudah terkejut sejak Sabrina berteriak kepadanya. Dia berdiri, bergeser ke sebelah kiri untuk meraih Sabrina. Tapi perempuan itu semakin didekati semakin ketakutan hingga entah kenapa, hidungnya tiba-tiba mimisan. “PERGI! JANGAN MENDEKAT!” “Sab? Ini aku, Wira. Tenang,” Wira berupaya menenangkan. Tapi yang Sabrina lihat sekarang bukan lah sosok Wira yang tampan. Tapi hantu perempuan yang tahu-tahu muncul di penglihatan Sabrina. Semakin Wira mendekat, semakin mendekat pula hantu terkutuk itu. Wajahnya yang hancur lebur, ingin sekali Sabrina hantaman ke dinding agar musnah dari dunia dan tidak mengganggu orang lain lagi. Tapi jangankan merealisasikan keinginannya, mempertahankan kesadarannya saja Sabrina tidak kuasa. Apa lagi darah itu tetap mengucur deras dari hidungnya. Semua yang terjadi saat ini terlalu cepat hingga Aris yang masuk saja sudah terkejut bukan main melihat Sabrina di lantai dengan darah di mana-mana. Darahnya seperti keran yang sedang diputar, mengucur dengan deras. “Sab? Sabrina? Ya Gusti…” Aris panik, berupaya untuk membangunkan Sabrina tapi perempuan itu sudah terlalu nyaman dengan kegelapan yang menyelimuti tubuhnya. “Wira bantuin!” Aris memekik saat Wira hanya diam saja di ujung tempat tidur sambil duduk. Karena tak kunjung dibantu, Aris menoleh keras ke arah Wira lagi. “Woi bantuin!” bentaknya agak memaksa. Itu di depannya benar-benar darah yang sudah mengapung di atas lantai, kontras sekali dengan warna putih. “Gue sekarat, Ris.” Lirih Wira putus asa dengan tatapan lurus ke arah Sabrina. Perempuan yang terkulai lemah di depannya sekarang ini benar-benar pucat pasi. “Alamak,” Aris bangkit dari posisinya, kemudian berlari untuk mencari bantuan. Meninggalkan Sabrina yang terkulai seorang diri dengan Wira yang juga sama sekaratnya.  Wira sendiri tidak berani mendekat. Dia hanya mengusap kaki sebelah kanan Sabrina yang paling dekat untuk dijangkaunya. I am sorry, Sab. I am sorry for loving you. “Ayo cepetan sus, temen saya gawat ini!!” teriak Aris dari ambang pintu dengan wajah panik yang kentara sekali.  Perawat yang dipanggil Aris berbondong-bondong masuk dan segera mengangkat tubuh Sabrina ke ranjangnya kembali. Aris yang berdiri menunggui dengan cemas saat para perawat memasangkan alat-alat yang terlepas dari tubuh Sabrina. Sedangkan Wira, dia masih terduduk di kaki ranjang, menatap darah Sabrina yang sampai menggenang. Kemudian, tanpa pikir panjang, Wira mencondongkan tubuhnya untuk menyentuh darah itu dengan ujung jarinya. Dan detik itu juga, Wira seperti akan dijatuhkan ke dalam lembah kematian karena terlalu dahsyat tarikan yang membawanya. “Mau bermain-main dengan saya?” itu yang pertama kali Wira ucapkan begitu sampai di dimensi lain dan di depan matanya sudah berdiri sosok wewe atau kuntilanak atau apapun itu, Wira tidak memperdulikannya. Kepalang lelah dia dengan semua yang terjadi. Wira jelas ingat betul jika hantu yang dilihatnya sekarang juga hantu mengganggu Sabrina malam itu.  Sosok ini lantas berbalik seperti yang Wira tawarkan, ‘bermain-main’. Saking terbiasanya melihat wajah hancur hantu tersebut, Wira tidak takut ataupun terkejut lagi sekarang. Sudah dia babat habis ketakutannya. Wira tidak akan mundur lagi.  “Siapa kamu sebenarnya?” tanya Wira dingin. “Kenapa mengganggu Sabrina?” Hantu itu hanya diam. Wajahnya masih saja mengerikan. “Apa kamu sedang menertawakan saya? JAWAB! Untuk apa mendiami tubuh saya?!” Mungkin, Wira sudah gila karena mengatakan hal agak menantang makhluk di depannya ini. Tapi mau bagaimana lagi, Wira sudah kepalang muak. Tidak habis pikir dengan semua yang terjadi sekarang. Rasa takut itu tetap ada, tapi Wira lebih memilih mengabaikannya. Dia tidak bisa terus-terisan diam seperti ini.  “Bisa bicara tidak?! Bisu?" Wira benar-benar gila.  Tahu-tahu, Melati datang dari arah belakang dan mengode Wira untuk diam saja dengan mengajungkan jari telunjuknya di depan bibir. Wira lantas fokus ke arah Melati dan mengangkat dagunya seolah bertanya ada apa. “Di depan kamu itu hantu.” “Saya juga tahu dia hantu.” Balas Wira cuek. Wajahnya yang datar semakin tak berekspresi apa-apa. “Ja—” Melati tidak melanjutkan perkataannya begitu mendengar sosok ini menangis sambil berjalan menjauh. Dan Wira dan Melati malah berakhir tatap-tatapan, sama bingungnya. “Ikutin yuk, Mas.” “Nggak mau, buat apa?" balas Wira tidak tertarik. "Tidak ada untungnya bagi saya.”  Melati mendengus mendengar jawaban tak berbobot dari Wira. “Ya untuk diselidiki lah. Siapa tahu dapat petunjuk, kan? “Gimana bisa kamu tahu?” Wira malah memicing curiga, padahal Melati datang karena ingin membantu. “Mimpi. Kalau mau bukti, aku panggilkan Maung, ya?” Melati tersenyum, sudah siap memejamkan matanya untuk memanggil Maung.  “Jangan!!” Wira memekik keras. Beberapa hari ini dia bermimpi bertemu dengan harimau yang berukuran sebesar gajah dewasa dengan taring yang begitu panjang dan yang satu patah sebelah. “Terus maunya gimana?’ tanya Melati kemudian. “Setannya keburu kabur, tuh.” perempuan itu melongok ke belakang lagi dan si hantu sudah berjalan semakin jauh.  Wira menoleh, menatap hantu itu yang berjalan menapak, tidak terbang lagi. Dan Wira semakin paham kalau dia berada di dunia lain, bukan di bumi manusia lagi.  “Ya udah ayo!” kata Wira agak memaksa. Melati hanya memutar bola matanya tapi tetap mengikuti hantu itu dari belakang. Dan selama perjalanan itu pun, Wira berpikir keras, tidak paham sama sekali dengan apa yang sedang terjadi di depan matanya sesekarang. Oh ayolah, orang rasional macam Wira mana pernah percaya dengan hal semacam ini. Tapi lihat lah sekarang, dia malah mengikuti kuntilanak demi mendapatkan jalan keluar atas ribuan pertanyaannya selama ini. Melati yang berada di sampingnya juga diam saja. Dia terlihat serius melihat hantu yang tampak lusuh itu. "Mas jangan nyari masalah di negara orang!" peringat Melati halus saat Wira berniat mencari batu untuk menimpuk hantu perempuan di depannya.  "Suruh siapa ngeselin?" tanya Wira tajam. Dia kembali menatap depan datar begitu sikapnya ditegur oleh Melati padahal Melati juga berniat baik. Bagaimanapun, mereka sedang berada di dunia lain sekarang. Jangan sampai mereka belum mendapat informasi apa-apa, mereka malah berakhir mati di sana dan tidak bisa kembali ke dunianya sendiri.  "Pilih sendiri. Mau mati di dunia sendiri, apa mati di dimensi lain kayak gini?" Wira lantas menghentikan langkahnya untuk menoleh pada Melati. "Kok malah bahas sampai ke sana?" "Ya mas kan lagi di dimensi lain ini! Kalau Mas sendiri, mah, nggak papa. Saya masih mau hidup kali." Pria itu akhirnya diam saja. Memang benar yang dikatakan Melati. Lebih baik mati di dunia sendiri daripada di dunia para setann terkutuk seperti ini. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN