Udara dingin dengan gerimis yang perlahan turun membasahi bumi menyadarkan Wira dari lamunan panjangnya. Begitu tersadar, dia menoleh ke kamar tamu. Melati sudah memejamkan matanya sejak selesai membasuh tubuhnya tadi.
Lalu, Wira kembali tepekur dengan mata terpejam rapat. Kepalanya terus berputar-putar sedari tadi. Belum lagi nyeri di bagian tertentu tubuhnya kian menjadi-jadi.
Kepingan kejadian yang dialaminya tadi bersama dengan Melati membuat otaknya terus bekerja menciptakan berbagai kemungkinan. Ada yang masih tidak ia pahami sampai sekarang. Termasuk juga dengan siapa dalang dari semua ini? Murni hantu perempuan itu kah atau karena kiriman dari orang lain?
Kalau diingat-ingat, Wira tidak pernah mencari gara-gara dengan orang lain. Maka dari itu, dia tidak mengerti dengan semua yang terjadi. Namun, dia harus tetap memecahkan teka-teki ini.
Bahkan saat suara benda pecah belah dari arah dapur tak mampu menyadarkan Wira dari lamunannya. Otaknya terus-terusan dipenuhi dengan kejadian di rumah sakit juga, saat Sabrina yang mulanya menerima kehadirannya dengan senang hati, tiba-tiba berteriak histeris dan mengusir pergi.
Pria itu menggeleng pelan, menekan batang hidungnya berkali-kali dengan tujuan sakitnya dapat terbagi. Namun sayang, sakitnya tetap enggan pergi.
Hingga waktu beberapa jam yang masih tersisa, menyadarkan Wira kalau sebentar lagi pagi. Karena itu dia bergegas pergi ke kamarnya sendiri dan baru ingat untuk menghubungi Aris. Tadi saat sampai, tahu-tahu handphone dalam sakunya baterainya sudah habis. Mungkin karena efek sudah melewati jalur dimensi lain, makanya begitu cepat daya penggunaannya. Atau apapun itu, Wira juga tidak tahu alasan pastinya.
Sambil duduk di tepi ranjang menunggu handphonenya dinyalakan, Wira kembali mengurut batang hidungnya sekilas. Begitu merasakan getaran tanda handphonenya sudah menyala, Wira bergegas untuk melihat handphonenya dan lari ke menu kontak untuk memanggil Aris.
Wira mengembuskan napas berat saat panggilannya tak kunjung terjawab. Dia butuh tahu keadaan Sabrina. Wira juga tidak mungkin meninggalkan Melati sendirian, karena itu dirinya tidak bisa pergi. Alasannya sudah jelas, Wira merasa kalau dirinya sudah menarik Melati terlalu jauh dalam masalahnya. Wira hanya tidak ingin ini semua sampai berlarut-larut.
Setidaknya butuh panggilan sampai sepuluh kali orang di sebelah sana baru terangkat. “Ris, hallo, Ris?”
“Buset dah lu kenapa pake acara ngilang segala?”
Wira yang mendengar pekikan Aris hanya mengernyitkan dahinya. “Ngilang gimana, orang gue di rumah!”
“Ini tanggal 27 Wir, sedangkan lo di kamar Sabrina waktu itu tanggal 24. Pergi ke mana aja lo?”
“Sabrina gimana?” Wira tetap saja balik bertanya. Mulai berpikir jika satu jam di sana sama dengan satu hari.
“Diagnosis tim medis beda lagi. Katanya Sabrina kena paru-paru basah. Terus maaf ini, Sabrina mendadak suka gatal-gatal. Nangis terus karena nggak betah sama gatalnya.”
Kalau bisa, Wira ingin pergi ke rumah sakit begitu sadar sudah sampai tempatnya. Tapi dia tidak mungkin meninggalkan Melati sendirian dalam apartemennya. Karena itu, mumpung sebentar lagi pagi, Wira memutuskan pergi sekarang juga.
Sebelum pergi, Wira menyempatkan diri menulis pesan untuk Melati perihal kepergiannya ke rumah sakit untuk menemui Sabrina dan Aris.
Begitu membuka kamar yang dulunya sering digunakan Sabrina untuk tidur, bahkan banyak sekali barang Sabrina di sana, Wira terdiam cukup lama di ambang pintu. Dia melihat ke arah Melati yang masih tertidur pulas. Begitu masuk, menaruh kertas itu di nakas, Wira langsung pergi lagi.
Dia membutuhkan waktu perjalanan sekitar setengah jam untuk sampai rumah sakit karena seringnya diganggu oleh makhluk tak kasat mata. Begitu mendengar azan Subuh berkumandang, Wira menepikan mobilnya di dekat masjid. Dia ingin melaksanakan kewajibannya dulu. Jangan sampai dia meninggal di saat dirinya belum salat pada kurun waktu lima yaitu, Subuh, Dzuhur, Asar, Magrib, Isya’
Dalam salatnya, Wira khusyuk sekali. Sering kali matanya berkaca-kaca menahan sesuatu yang begitu menghimpit rongga dadanya. Nama Sabrina ada dalam lantunan doanya. Bagaimanapun, jasa perempuan itu sangat banyak dalam hidupnya.
Begitu selesai, Wira kembali melanjutkan perjalanannya. Beberapa saat kemudian, dia sampai. Butu-buru Wira pergi ke ruangan Sabrina yang seperti ia ketahui di awal.
Di sana Wira terkejut melihat banyak sekali orang-orang berbadan tinggi besar dengan memakai jubah hitam mengitari ruangan Sabrina. Ada Aris yang Wira amati tengah tepekur dalam lamunannya sendiri.
Tak peduli dengan sosok-sosok itu, Wira berjalan cepat menghampiri Aris dan menanyakan apa yang terjadi sebenarnya.
“Ris?”
Pria itu mendongak, menatap Wira dengan tatapan linglung. “Wira?” lirihnya.
“Iya. Kenapa?” tanyanya kalut. Sesaat kemudian, Wira melihat depan dan kembali menghadap Aris. “Di sini banyak banget yang jaga kamar Sabrina, tinggi besar tapi kayak cuma pakai jas nggak ada yang makai.”
Mendengar bisikan Wira, Aris langsung menegakkan tubuhnya yang terasa berat karena dipaksa untuk menjaga Sabrina sendirian.
“Mereka mau ngapain?” tanya Aris panik, tapi dia berusaha untuk tidak terlihat takut.
“Nggak tau, tapi yang pasti kita jangan sampai ninggalin Sabrina sendiri. Harus ada yang ketiga.
Mereka saling tatap-tatapan sejenak, seolah bisa bertukar pikiran hanya dengan saling bertatap-tatapan dalam diam seperti itu. Dan seolah memang bisa, mereka sepakat untuk diam dan menyebut asma-asma Allah, melantunkan ayat-ayatnya begitu lirih hingga semua sosok itu entah bagaimana bisa pergi dengan sendirinya.
Wira yang sadar langsung memerintahkan Aris berhenti. “Ris, mereka sudah pergi.”
Aris tidak merespon, hanya menuruti pesan Wira. Dan saat dirinya sudah siap memejamkan mata karena langit dari jendela sudah terlihat agak terang, Aris berpesan pada Wira. “Wira, tolong jagain Sabrina sebentar, ya, gue ngantuk banget, dari semalem ngga bisa tidur, takut Sabrina kejang-kejang. Beberapa hari ini tuh dia kejang-kejang. Gue takut kalau dia kenapa-kenapa.”
Wira menatap Aris prihatin. Dia berikan tepukan pada pundaknya pelan. “Makan dulu, gue beliin.”
“Eh, nggak usah!” Aris menahan bahu Wira agar pria itu tidak pergi ke mana-mana. “Gue bisa ketiduran. Ini juga mau tidur di mobil aja.”
Karena Aris sendiri yang tidak mau, Wira juga tidak bisa memaksa. Tapi, sebenarnya ada banyak pertanyaan dalam benaknya tentang kejadian Sabrina jatuh itu. Mungkin nanti Wira akan bertanya dengan Aris lagi. Dia tidak tega melihat sahabat karibnya sudah mirip zombie seperti itu.
***
Wira tidak ingat bagaimana hubungan mereka sang semula sangat erat, tiba-tiba hancur bercerai berai, dan sekarang, tahu-tahu, mereka kembali dekat, seakan rela mati demi satu sama lain seperti ini.
Padahal saat hubungan Wira dengan kedua orang itu sedang hancur-hancurnya, tak sekalipun ia yang pertama kali mencari gara-gara.
Menarik napas pelan, Wira meloloskan napasnya yang tertahan sedari entah karena apa. Rasanya sesak sekali melihat keadaan yang terjadi.
Aris masih tidur di dalam mobil yang berada di parkiran. Terlalu jauh kalau sampai harus membayar hotel atau penginapan. Lagi pula, Aris tipe orang yang bisa tidur di berbagai tempat dengan nyaman.
Sudah puluhan menit berlalu, Wira hanya menunggu dalam diam. Pria itu tidak berani masuk ke dalam ruangan Sabrina. Terakhir kali, perempuan itu kembali celaka. Wira hanya tidak ingin kalau kehadirannya membuat Sabrina lebihnya susah lagi.
Kalau dihitung-hitung, ini sudah dua jam lebih dan Aris belum kembali juga. Mungkin pria itu benar-benar kelelahan. Wira jadi merasa bersalah karena dulu sempat berpikir yang tidak-tidak. Dirinya terlalu cepat menyimpulkan sesuatu hingga tidak sadar kalau kesimpulannya bukan lebih mirip kenyataan tapi malah menjurus kepada tuduhan yang tidak beralaskan.
Mengembuskan napas pelan, Wira mencoba membagi sesak yang menghimpit dadanya. Tidak tahu kenapa, rasanya dia lelah sekali. Apa di dunia lain tenaganya diserap sampai rasanya begitu lelah seperti ini padahal dirinya hanya tidak tertidur semalaman. Sebelum-sebelum ini, Wira lhoss dalam menjaga kesehatannya sendiri. Tapi memang dasarnya dia terbiasa bergadang meski ia sebenarnya orang yang mudah tertidur juga seperti Aris.
Ini bukan hari libur, tapi Wira tidak tenang jika harus menunggu lebih lama untuk bertemu dengan Sabrina, karena itu dia sudah mempersiapkan izinnya dan akan memberikannya nanti kalau sudah waktunya. Sementara ini, Wira ingin menjaga Sabrina meski dari kejauhan. Baginya, nyawa perempuan itu lebih berharga daripada pekerjaan yang masih bisa dicari lagi jika dirinya di PHK. Tapi sepertinya untuk saat ini tidak mungkin mengingat Wira memegang banyak proyek. Bisa bangkrut perusahaan jika harus mengganti rugi karena dari perusahaan yang terlihat tidak berkompeten sumber dayanya.
Sambil menunggu, Wira memejamkan matanya dalam-dalam. Terpejam seperti itu dia masih sempat-sempatnya berpikir. Otaknya benar-benar tidak bisa berhenti ia paksa berpikir. Rasanya ada sesuatu yang memenuhi kepalanya dan meminta perhatiannya untuk dipikirkan.
Baru saja matanya terpejam seperti itu, Wira merasa kalau seluruh tubuhnya diselimuti kabut hitam yang begitu tebal hingga membuka matapun, dia tak kuasa. Jangankan membuka mata, menggerakan tangan, kaki, membuka mulut untuk berbicara selirih apapun, Wira tak kuasa. Hingga suara yang begitu mengerikan tiba-tiba begitu dekat dengannya dan kembali menarik tubuhnya ke tempat yang terasa begitu jauh.
"Heh?! Sadar!" Aris memekik sambil menepuk keras bahu Wira yang seperti orang kesetanan.
Wira menarik napas dalam-dalam begitu melihat lingkungan rumah sakit dan Aris yang sudah berdiri di depannya bingung, dia berpikir kalau akan membuka mata di tempat terkutuk itu lagi. "Kenapa kayak orang nahan sesuatu gitu? Mau buang air besar?" tanya Aris tidak tahu lagi.
Sebagai balasan, Wira hanya menggeleng pelan. "Kalau nggak lo bangunin, mungkin gue ditarik ke sana lagi."
Aris melihat Wira yang menunduk sambil mengusap wajahnya gusar dalam diam. Dia juga sama bingungnya. Hanya saja, baru sekarang dipertemukan dengan Wira lagi. Jadi, dia baru bisa bertanya sekarang.
Lima menit berlalu, Aris kembali membuka suaranya. "Lo beberpa hari ini ngilang kemana? Sengaja ngehindar?"
Wira buru-buru menoleh ke arah Aris. "Ngilang gimana?" tanyanya bingung.
"Habis bikin Sabrina kritis, lo tiba-tiba ngilang."
"Ngilang gigi lo! Orang gue di sana terus ditarik dedemit!" Wira membela diri meski terkesan sia-sia. Sudah jelas-jelas Aris tahu kalau hari itu dirinya diam di dalam sana. "Emang gue tiba-tiba ngilang gitu?"
Aris melambaikan tangannya, "bukan lagi, seisi ruangan heboh lo tiba-tiba hilang."
"Gue nyentuh darah Sabrina, terus ditarik ke sana terus digangguin. Untung ada Melati, gue ditemenin."
"Melati siapa? Jadi lo tiga hari ini sama perempuan lain di saat Sabrina habis lo buat sekarat?!" Aris menatap Wira tak habis pikir. "Wah kurang ajar, lo! Berani-beraninya--"
"Emang gue ngilang berapa hari sih? Orang gue cuma ngilang nggak ada sehari, kemakan pas malem juga, balik dulu ke apartemen karena bawa anak orang."
Mendengar cerita Wira, Aris malah tidak percaya. "Lo kalo ngarang yang becus dikit, dong. Lo tuh ngilang tiga hari dan baru keliatan hari ini. Nggak jelas banget sih lo, Wir. Kalo nggak mau jaga Sabrina bilang, gue bisa jaga sendiri. Jangan malah lo bikin susah dia."
Wira memilih mengecek tanggal dalam ponselnya daripada mendengarkan makian Aris. Ada hal yang lebih berharga daripada mendengar hal yang menjatuhkan seperti itu. Wira paham, mungkin Aris kecewa. Tapi, Wira juga tidak bisa menyalahkan Aris begitu saja karena Aris tidak tahu dan tidak akan paham kalau tidak mengalaminya sendiri. Yang ada, nanti Wira malah dikira gila karena berbicara yang tidak-tidak padahal memang itu kenyataannya.
Sementara Aris terlarut dalam lamunannya sendiri, Wira berpikir keras. Kalau dalam kurun waktu semalam saja dia sudah menghilang dari dunianya selama tida hari, bisa dihitung setiap satu jam di sana, sama dengan satu hari di dunia manusia. Perbedaan waktunya sangat banyak sekali. Kalau ada sesuatu, berarti sudah jelas waktu yang menjadi penghalang bagi Wira.
Wira bingung harus mengatakan apa pada Aris. Dia ingin bercerita tapi takut lebih dulu jika Aris menolak dan tidak mau mendengarkan. Dan tadi, baru cerita sedikit saja, Aris sudah terlihat emosi kepadanya. Pria itu menahan napasnya selama beberapa saat, berharap sesaknya menguap entah kemana. Sungguh, dia benar-benar lelah hari ini. Rasanya ingin tertidur saja agar dia tidak perlu memikirkan sesuatu yang berat lagi. Namun, ada kemungkinan dengan mimpi yang datang dalam tidurnya.
"Mending pergi aja kalo nggak niat, kalo lo masih nganggap gue sama Sabrina main belakang."
Sudahlah, Wira bahkan sudah tidak bisa mendefiniskan perasaannya sendiri. Dia serba salah. Hidup salah, mati apalagi. Dia tidak minta untuk dimengerti, cukup jangan diganggu dengan kata-kata yang menjatuhkan karena akhir-akhir ini dia sensitif sekali seperti perempuan ynag mendapat tamu bulanannya.
"Gue di sini. Kalo lo mau sarapan, sarapan dulu aja, biar gue dulu yang jagain Sabrina. Ada yang mau gur bicaraan sama dia."
Aris langsung menatap Wira dengan tatapan tidak bersahabat. "Mau ngapain lagi sih, Wir? Jangan dulu lah, Sabrina makin parah entar kalo lo temuin lagi. Nggak-ngak," Aris menggeleng tegas, "Jangan ketemu sama Sabrina dulu sampai keadaannya membaik."
"Takutnya gue mati duluan, Ris. Gue takut nggak punya kesempatan buat bicara sama dia." kata Wira pelan, tak minta dikasihani, dasarnya sudah lelah saja.
"Lo ngomong apa?!" pekik Aris kebingungan dan khawatir di waktu bersamaan.
"Siapa tau, kan. Kemarin ada yang bantuin gue, kalo sekali atau dua kali lagi gue pergi sendiri, mungkin setelah tidur, gue nggak akan bangun lagi."
Dan Aris yang mendengar penuturan sahabat karibnya ini hanya bisa menelan ludah.