31. Peristiwa Tersembunyi

2025 Kata
Wira membuka matanya dengan napas yang berkejar-kejaran. Dia menengok ke kanan dan ke kiri kebingungan, tidak bisa mengingat apapun sampai sekelebatan kenangan maya mengingatkannya pada satu hal. “Sabrina?!” sebutnya panik. Sekali lagi, Wira menoleh ke kanan dan ke kiri. Mencari perempuan yang Wira sendiri tidak yakin apakah dia bisa menemukannya lagi atau tidak. Namun Wira percaya, Sabrina akan baik-baik saja. Perempuan itu akan baik-baik saja seperti janjinya. Dia bangun seperti orang linglung. Dia ingat betul kalau tadi sedang menunggui Sabrina di ruangannya. Tapi sekarang Wira sendiri tidak tahu dia di mana dan bagaimana bisa tubuhnya tiba-tiba berganti posisi. Namun apapun itu Wira tidak peduli. Dia lebih peduli dengan Sabrina. Karena itu dia bangkit lagi dan mencari Sabrina sebisanya. Ruangan yang Wira masuki begitu asing. Seperti tapi bukan rumah, layaknya gudang tapi tidak berantakan. Dia tadi masih di rumah sakit dan masih ingat dengan jelas dimensi lain yang ditunjukkan oleh kekuaatan tak kasat mata yang membawanya. Apa Wira sudah mati dan sekarang ada di neraka? Ya Tuhan… Seperti ini akhir hidupnya? Belum apa-apa Wira ingin menangis. Dia belum tahu keadaan Sabrina. Dia tidak tenang kalau pergi seperti ini. Biadab nian hantu-hantu k*****t itu menjebaknya seperti ini. Wira tidak pernah menganggu mereka, tapi dia diperlakukan seperti ini. Bahkan sekadar untuk berpamitan untuk yang terkahir kali, dia tak diberi izin. Mengepalkan tangannya kuat-kuat, Wira tendang apapun yang dia lihat. Meja, kursi, entah apa dedaunan di bawah kakinya. Hingga matanya diperlihatkan sepasang muda-mudi yang tengah tertawa bersama sedang berjalan melewati semak belukar. Wira lantas diam, bukan bermaksud mencuri dengar, tapi dia hanya ingin mendapat informasi. Siapa tahu mereka bisa membantunya keluar dari sana. “Mas kerja di desa saja. Tidak enak tahu ditinggal sendirian terus.” Kata si perempuan. Sang pria yang Wira tebak adalah suaminya tersenyum tipis dan merengkuh bahu istrinya. “Kan di kota bayarannya lebih banyak, Dek. Kalau di sini juga cuma jadi kuli panggul. Kapan kita bangun rumahnya kalau begitu terus. Kamu juga tidak mau diajak ke kota.” “Kan aku juga jagain ibu kamu, Mas. Kalau ditinggal kan kasihan.” “Kan udah mas kasih solusi, kita bawa ibuk juga. Pasti mau kok kalau kita kasih pengertian.” “Ya sudah, nanti kita bicara dengan ibuk lagi.” Dan mereka terus berjalan hingga sampai jalan setapak yang tidak begitu ramai tapi ada beberapa warung tamaram yang masih buka. Wira terus mengikuti mereka, bersikap seperti orang yang berjalan biasa. Namun lama berjalan, dia merasa aneh pada dirinya sendiri. Dia tidak memiliki bayangan yang membuat Wira lantas menyentuh jantungnya sendiri, mencari detak jantungnya. Namun nahas, Wira tidak menemukan detak jantungnya sendiri. Wira hampir saja berteriak tapi tidak jadi mengingat apa yang pernah Melati katakana jika dia berada di tempat asing. Beberapa kali Melati sempat berpesan kalau ada kalanya dia tidak bisa datang dan Wira harus mengatasi masalahnya sendiri. Dan Melati juga berpesan kalau jangan panik karena orang lain tidak aka nada yang melihat raganya. Karena itu, Wira kembali santai. Dia malah mengecek kebenaran itu sambil berteriak-teriak dan benar saja tidak ada yang mendengarkannya. Kalau ada yang mendengar, sudah pasti dia menjadi pusat perhatian dikira orang gila lepas dari rumah sakit. Sambil berjalan yang entah kenapa tidak sampai-sampai, Wira baru sadar kalau dia memakai jam tangan. Dan saat dilihat, itu pukul 19.47 WIB yang berarti belum terlalu malam. Wira jadi berpikir kembali kalau dirinya sedang time treveling. Sejauh kaki melangkah sedari tadi, dia seperti di pedesaan seperti waktu ia masih kecil dulu. Pendengarannya hanya mendengar suara jangkrik yang berpesta atau kawin malam-malam begini. Sampai akhirnya langkah Wira memelan begitu melihat kedua orang yang mereka ikuti tadi berhenti di sebuah rumah sederhana. Yang tidak bagus-bagus amat, tapi ya tidak buruk untuk ditinggali. Lingkungannya bisa dibilang padat penduduk dengan jarak rumah satu ke rumah lainnya cukup dekat. Dan bisa dibilang juga, rumah kedua orang yang Wira ikuti tadi yang paling bagus dari deretan rumah-rumah yang ada di sana. Dengan sok tahunya, Wira coba-coba ingin menembus pintu, dan alhasil lolos. Dia selamat begitu saja. Sudah seperti film di TV-TV, layaknya hantu yang bisa melakukan itu. Menembus dinding semaunya, pergi ke manapun tinggal terbang-terbang sesuka hatinya. Ataupun menakuti orang-orang yang jahat. Ataupun menyesatkan agar ikutan sesat juga seperti hantunya makanya kesepian dan ingin  mencari teman. Baiklah kembali ke kedua orang itu lagi. Begitu masuk, Wira berdiri di depan pintu menatap mereka dalam diam yang sedang duduk di ruang tamu dengan sang ibu-ibu yang mereka bahas tadi sedang minum teh hangat. “Lhoh sudah pulang ternyata. Istri kamu lho, ibuk tidak dikasih tahu. Kalau tahu kan tadi Ibuk masakin masakan kesukaan kamu.” kata sang ibuk. Wanita yang disebut-sebut ini hanya tersenyum tipis. “Ya diminta sama Mas Aryo, Buk. Katanya tidak boleh dikasih tahu, nanti Ibuk masak, takutnya kecapaian.” “Ya sudah itu suami kamu dilayani, pasti capek habis perjalanan jauh. Ibuk mau ke rumah mbakmu dulu, tadi ngeluh perutnya sakit terus. Kasihan Intan nggak ada yang nemenin.” Si Ibuk yang berusia kurang lebih 60 tahunan ini lantas pergi. Wira sedikit minggir saat ibu itu lewat, padahal dia diam saja tubuhnya akan tembus begitu saja. Tapi baru beberapa langkah, langkah ibu itu berhenti. Dia melongok di depan pintu sambil berujar. “Melati, nanti kalau jam sembilan Ibuk belum pulang, pintunya kunci ya, mau tidur nemenin Intan sekalian. Eh—langsung kunci aja lah, mau tidur di sana saja.” “Iya, Buk.” Dan…Wira merasa jantungnya jatuh sampai ke perutnya. Melati? Melati yang bersamanya selama ini? Melati yang pertama kali ia lihat tiba-tiba datang di depan matanya dan bersikap sok tahu yang membuat Wira jengah? Astaga? Wira menajamkan penglihatannya, agaknya dia yang salah lihat, salah mendengar atau bagaimana, dia sendiri tidak paham. Namun dengar langkah pasti, Wira mendekat. Dia melihat ke arah Melati ini serius. Dia amati perempuan itu yang sedang berbincang mesra dengan sang suami. Wira masa bodoh, dia hanya fokus pada wajah Melati, mencoba memastikan. Namun, dengan penglihatannya yang masih sangat jelas dan normal, Melati yang ia kenal dengan Melati yang ada di hadapannya ini jauh berbeda. Dan kalau boleh jujur, malah lebih cantik Melati yang ada di hadapannya ini. Wajahnya polos tanpa dipoles apapun tapi tetap cantik. Wira sampai mundur teratur saat kedua orang itu merasa dunia milik mereka sendiri. Wira paham bagaimana beratnya orang yang berhubungan jarak jauh. Terkadang, dia yang hanya pergi satu bulan saja rindu setengah mati dengan Sabrina karena memang hanya Sabrina dia tuju, dia tidak memiliki siapa-siapa lagi. Dan ada di hadapannya sekarang adalah pasangan suami istri yang Wira tebak sudah tidak bertemu beberapa bulan, terlihat sekali kerinduan yang menggebu-gebu di antara keduanya. Bak orang bodoh, Wira jelas bukan orang yang polos-polos amat. Dia juga pria yang paham betul dengan kebutuhan biologisnya sendiri. Dia hanya menatap dalam diam bagaimana kedua orang itu b******u sampai akhirnya terjatuh di ranjang. “Mas—Mas nggak makan dulu?” tanya Melati di sela-sela napasnya yang ngos-ngosan karena gairah yang sudah membakarnya. Tapi dia juga tahu betul kalau suaminya pasti lelah dan Melati tidak mau egois. “Mau makan kamu saja,” katanya dan langsung menyerang Melati lagi dengan ciuman yang memabukkan. Wira tak memalingkan matanya sama sekali. Dia menikamti apa yang ia lihat dan dalam hati menyerapah kalau suatu saat nanti dia juga akan melakukan ini dengan istrinya kelak, lihat saja nanti. Ya—kalau Tuhan masih memberinya kesempatan untuk hidup. “Mas—tunggu!” Melati memekik pelan, menahan d**a suaminya yang sudah tidak dibungkus kemeja. Dengan wajah memerah Aryo melihat Melati dengan tatapan seolah bertanya ada apa? “Itu—“ Melati nampak salah tingkah, wajahnya bersemu. Aryo lantas sedikit menjauh, “kamu sakit?” tanyanya. Dia bahkan sampai menyentuh kening Melati tapi dia tak merasakan panas sama sekali. Suhu tubuh istrinya ini rendah. Beberapa saat kemudian tangan Melati turun, meraih tangan suaminya dan mendaratkan telapak tangannya itu ke atas perutnya yang. “Bisa mengerasain nggak, Mas?” tanya Melati berbinar. Butuh waktu lama sampai akhirnya Aryo sadar. Matanya berkaca-kaca, dia menyetuh perut Melati lebih dalam, penuh perasaan. “Ini—kamu—kamu hamil?” tanyanya antusias. Perempuan itu mengangguk pelan. “Jalan 17 bulan, Mas.” “Yang terakhir kemarin, berarti kamu isi, ya?” tanyanya memastikan. Dia memang pergi selama empat bulan. Melati mengangguk antusias yang langsung dihadiahi kecupan di perut kemudian naik ke keningnya. “Terima kasih, Sayang. Terima kasih.” Katanya penuh haru. Senyum Melati merekah lebar. Dia terima semua balasan cinta dari suami yang juga sangat ia cintai. Akhirnya setelah satu tahun, mereka diberikan kepercayaan untuk menjadi orang tua. Besar harapan mereka untuk jabang bayi akan lahir kelak. “Besok ke dokter, ya? Sekalian cek kesehatan kamu sama dedeknya.” Melati mengangguk saja dan malam itu mereka habiskan untuk mensyukuri anugerah yang sudah Tuhan berikan dengan penuh syukur. Dan Wira memutuskan keluar, duduk di kursi sambil bertopang dagu yang entah mengapa tidak membuatnya jatuh. Padahal, dia menyentuh saja tidak bisa. Entahlah, yang terjadi tidak bisa dipikir dengan nalar. Dia terus diam dengan pikiran melalang buana. Dia memikirkan semua yang terjadi tapi masih belum mendapat jawaban kecuali jalan buntu. Mungkin sudah ada, tapi Wira tidak sadar. Huft, pria itu menghela napas berkali-kali, berharap semua ini segera berakhir. Namun sedihnya, Wira tidak bisa tertidur. Dia hanya meratapi keheningan malam dengan suara backsong orang melepas rindu dengan suara jangkrik yang nampak tak mengganggu sama sekali. Selama bermenit-menit berlalu, Wira tak sekalipun berhenti berpikir. Dimana dirinya sekarang dan bagaimana orang-orang dalam masanya. Sekali lagi Wira menatap jam tangan di pergelangan kirinya degan dengusan napas berat. Dia jadi ingat perkataan Melati tentang perbedaan waktu di dunia manusia biasa dengan dunia lian yang saru jamnya di dunia lain sama dengan satu hari di dunia manusia. Tapi Wira sendiri tidak paham ini dimensi lain atau dia hanya sedang throw back saja.  Kalau ini dunia lain, itu tandanya dia sudah tidak kembali selama beberapa hari karena ini sudah pukul sebelas malam saja. Dia tidak tahu kalau dirinya sedang mengalami kejadian ini, raganya yang di alam normal sedang apa. Pingsan kah, disembunyikan kah, atau tetap bisa melakukan sesuatu. Entahlah Wira tidak tahu dan dia juga bingung harus bertanya pada siapa di saat-saat seperti ini.  Sampai akhirnya Wira teringat sesuatu yang membuat harapannya kembali menyala. Dia duduk tegak, memfokuskan pikirannya untuk memanggui Melati yang dirinya kenal. Wira akan bertanya maksud dari semua ini itu apa.  Lama memanggil Melati dalam hati, nyatanya Wira tak mendapat balasan sama sekali. Dia hanya melihat kegelapan dan mendengar kesunyian. Wira juga jadi ingat, apa mati akan seperti ini, benar-benar sendiri hingga jiwa pun kebingungan harus bagaimana.  Wira ingin salat, ingin mengadu pada Tuhan-nya. Tapi dia tidak tahu caranya. Sampai akhirnya dia nekat memutar keran yang ternyata bisa menyala. Matanya berbinar sampai ingin menangis, tapi Wira tak membiarkan dirinya menangis lebih dulu. Dia mengambil air wudhu dan menunaikan kewajibannya sebagai seorang Muslim. Usai salat, tangisan Wira benar-benar pecah. Dia ingin pulang, dia ingin bertemu Sabrina, Melati, Aris, dan bekerja normal seperti biasanya. Tempat ini sangat asing. Wira tidak suka. Sungguh dia ingin pulang. Apa yang harus dia lakukan agar bisa terlepas dari belenggu tak berujung ini.  Dulu dia seakan dibuang setiap hari karena tuduhan tak beralasan orang-orang kepadanya. Lalu Sabrina meninggalkannya dan pelahan juga muncul berbagai kejadian aneh di luar nalar akal pikirannya. Hutan terkutuk, lembah kematian, dan sekarang Melati lain lagi. Dan entah kemana Melati yang ia kenal sampai tidak bisa menjawab responnya. Wira butuh petunjuk. Dia takut kalau tubuhnya terlalu lama ditinggalkan, dia tidak bisa menyelamatkan siapapun. Dia takut jika datang terlambat menemui Sabrina.  Mungkin tidak apa jika Wira terlambat menyelamatkan dirinya sendiri asalkan Sabrina kembali sehat seperti sedia kala. Dan sampai detik ini, satu yang mulai Wira pahami. Bukan Sabrina yang bermasalah, tapi dirinya.  Jujur saja WIra tidak tahu. Tiba-tiba saja kepalanya menyimpulkan hal semacam itu. Dan begitu melihat Melati yang baru--dia merasa pernah melihatnya sebelumnya, tapi lupa. Dan Aryo--suaminya Melati ini, Wira akui kalau wajahnya hampir mirip dengan wajahnya sendiri. Jadi, karena itu kesimpulan yang bisa Wira tarik sekarang. Entah benar atau salah, dia juga tidak tahu.  Kalaupun benar memang dirinya yang bermasalah, itu artinya Wira harus segera mendapat kebenaran dari semua yang terjadi dan segera mencari jalan keluar untuk pulang. Sabrina menunggunya untuk berpamitan, untuk mengucapkan kata perpisahan yang terakhir kalinya.        
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN