Pagi-pagi buta sekali Melati sudah bangun. Dia melakukan semua pekerjaan rumah setelah bersih-bersih diri. Suaminya—Aryo masih tertidur lelap di peraduannya—agaknya kelelahan. Wira sendiri masih menyangga kepala di meja makan. Dia perhatikan Melati yang sibuk mondar-mandir untuk mengambil sesuatu di dalam lemari pendingin kemudian kembali ke dapur, mulai masak yang beberapa saat kemudian Wira bisa mencium bau yang sangat harum hingga membuat perutnya keroncongan.
Dari film hantu yang pernah Wira lihat—itupun karena demi menemani Sabrina—Wira ingat kalau makanan yang disuguhkan oleh bangsa lain semacam belatung. Tapi kali ini, itu bukan belatung, melainkan sayuran segar dan lauk pauk lainnya. Sungguh, perut Wira keroncongan tapi sepertinya tidak bisa makan juga, cara mencerna makanannya bagaimana, orang menyentuh saja tidak bisa. Untuk semalam dan tadi waktu subuh dia bisa menyalakan keran.
Sebenarnya Wira merasa kalau dia bisa dan dia juga melihat air, juga bisa berkumur. Jadi apapun itu, niatnya baik dan nyatanya dia diberikan kemudahan juga untuk melakukan kewajibannya. Seburuk apapun Wira, dia tidak akan pernah meninggalkan salat. Itu yag dia pegang teguh sedari dulu. Karena hanya dengan salat dia merasa lebih tenang, dia merasa bebannya seakan terangkat. Tuhan-Nya tidak akan pernah meninggalkannya. Sudah menjadi kewajibannya pula yang harus dilaksanakan.
Sambil menunggu, Wira masih menyangga kepalanya. Dia melihat Melati yang ada di hadapannya sekarang dalam diam—mencoba mengingat-ingat dimana dia pernah melihat wajah ayunya itu. Namun dari samalaman berpikir dan sampai pagi ini, Wira tak kunjung ingat siapa dan dimana dia bertemu dengannya. Wajahnya masih terasa asing.
Namun kegiatan Wira yang sedang berupaya untuk mengingat jadi terjeda saat Melati ini pergi ke kamar mandi dan muntah-muntah sampai wajahnya yang tadi merona kini tak terlihat warnanya lagi. Beruntung suaminya—Aryo sudah bangun. Pria itu menghampiri istrinya dan membantu memijat tengkuk leher istrinya. “Kalau mual istirahat saja, biar aku yang masak. Ibuk belum pulang, kan?”
Melati menggeleng pelan, kemudian kumur-kumur dan memutuskan duduk. Dia kira tidak apa-apa karena tadi tidak merasa mual. Tapi, begitu menumis bumbu yang dia cincang tadi dan aromanya sampai kemana-mana—mendadak membuat Melati mual bukan main. Dan sekarang, dia malah lemas, merasa akan mutah kembali kalau dipaksa berdiri.
“Istirahat saja.” Putus sang suami. Dia meninggalkan Melati untuk bersih-bersih dan setelah itu menyelesaikan tugas Melati untuk memasak. Melati hanya membantu menanak nasi menggunakan rice cooker, sedangkan Aryo betulan masak seperti istri yang biasanya memasakkan suaminya. Dari temptanya duduk, Melati mengusap perutnya penuh haru. Merasa beruntung bisa dicintai oleh suaminya sendiri.
“Kamu nggak nyidam sesuatu gitu, Yang?” tanya pria itu di sela-sela memasaknya.
Melati sendiri agak berpikir, dia hanya beberapa kali nyidam. “Ada.”
“Apa? Sini aku cariin.”
Perempuan muda itu cengengsan yang seakin cantik dengan perut berisinya walau belum terlalu besar. Aryo saja tadi malam waktu dijemput tidak sadar karena baju Melati yang besar ditambah dengan jalanan yang tamaram.
“Maunya sama, Mas. Semalam aku mual, tapi bau tubuh Mas nggak jadi muntah.” Ungkapnya jujur.
“Ah—kalau itu mah maunya kamu.”
“Lhoh aku beneran jujur, nggak bohong.”
Dan Wira hanya geleng-geleng kepala sendiri. Merasa salah ditempatkan. Dia malah seperti dipertontonkan film romance, Haduh-haduh, mana Wira jomlo merana sejak ditinggal Sabrina. Capai deh dia melihat kebersamaan pasangan suami istri ini. Kalau saja bisa, Wira akan berteriak di wajah mereka dan meminta mereka berhenti saling melontarkan kata cinta yang menurut Wira sangat menggelikan.
Sambil melihat mereka yang sepertinya—masih dalam acara melepas rindu, Wira terkadang memilih keluar dan berjalan-jalan layaknya hantu gentayangan dan sesekali berniat mengganggu warga di sana yang malah dia takut sendiri karena tiba-tiba melihat poci—alias pocong berwarna hitam dengan rambut putih tahu-tahu di dalam warung makan.
Menurut Wira—yang tidak ahli dalam ilmu perhantuan—dia menebak kalau hantu yang dilihatnya ini bukan sebagai penglaris karena pocinya tidak meludahi makanan orang-orang yang beli. Dulu pernah sekali dia bersama teman-teman ingin makan di salah satu warung makan. Belum sampai masuk—baru sampai parkiran saja, kalau tidak salah Aris atau siapa begitu langsung menahan semua orang dan mengajak ke warung makan yang lain.
Waktu itu malam belum begitu larut, masih pukul setengah delapan malam juga. Jadi—mereka mengiyakan saja dan betulan pindah ke warung makan yang lain. Selama perjalanan—Aris tidak menjawab dan selalu mengalihkan pembicaraan. Berhubung Wira sudah berteman sedari kecil dan sebenarnya tahu kalau Aris ini peka terhadap sosok astral—jadilah saat sampai warung makan lain dia berbisik, mempertanyakan yang dilihat pria itu saat di warung makan sebelumnya.
Pada awalnya, Aris tetap tidak mau menjawab—takutnya mematikan rejeki orang lain. Sayangnya—teman-teman yang lain ada yang mendengar dan jadilah heboh itu mereka ramai-ramai memaksa Aris untuk mengatakan apa yang dia lihat.
Dan pada akhirnya—dengan berat hati—dia mengatakan kalau ada penunggunya di warung itu. Sosok poci yang diminta tuannya sebagai penglaris. Bergidik ngeri lah itu semua orang. Namun—Aris tetap berpesan untuk tidak menyebar luaskan.
Pada awalnya juga, mereka memprotes tidak terima. Namun pada akhirnya, mereka sadar kenapa Aris melarangnya. Dan kalau ada yang ingin tahu, sebenarnya Aris ini punya kemampuan melihat dunia lain sejak kecil. Sayangnya—dia tidak pernah mau mengasah kemampuannya itu dan sengaja tidak mau melihat.
Dulu sekali—waktu kecil, Aris pernah mandi dan air yang keluar dari keran adalah darah. Sekali, dua kali, Aris histeris. Tapi setelahnya, dia seperti biasa sendiri dan semuanya kembali normal. Dia hanya bisa melihat jika dirinya sendiri mengizinkan. Kalau tidak mau, ya, tetap saja Aris tidak akan bisa melihat apa-apa.
Dan berbicara soal penglaris—warung makan yang dulunya laris manis hampir selalu dipenuhi semua orang—kini beritanya bangkrut karena pemiliknya sakit-sakitan. Jadi ya dapat disimpulkan sendiri kalau mencari uang dengan cara yang haram—pasti endingnya mendapat musibah sendiri. Tuhan tidak pernah tidur. Dan itulah untungnya punya teman bisa melihat mereka yang terlihat—jadinya tidak makan di tempat yang sebenarnya menggunakan jasa penglaris.
Yang dialami Aris memang melihat poci. Tapi di tempat lain ada sosok lain lagi juga, tidak melulu poci. Jadi setiap makan harus membaca doa terlebih dahulu, semoga terhindar dari keburukan dan makanan yang dimakan menjadi berkah—menjadi bentuk syukur juga kepada Tuhan Yang Maha Pemurah.
Kembali kepada Wira, dia sudah ingin pergi, tapi nahasnya malah tiba-tiba poci itu melompat dengan tubuh mencondong ke arahnya—tapi tiba-tiba berganti dengan sosok pemuda tampan—ala-ala bule.
“Kamu kenapa bisa tersesat di sini? Ini bukan duniamu.”
Pada mulanya, Wira masih agak bingung, tidak tahu harus mencerna yang terjadi di depannya sekarang seperti apa. Sampai akhirnya poci yang berubah jadi pemuda tampan itu berujar lagi. “Wujud yang berwarna hitam tadi adalah wujud asliku. Tapi yang kamu lihat sekarang juga rupa asliku saat masih perjaka.”
Wira menggut-manggut saja meski belum mengatakan sepatah katapun. Sampai akhirnya, Wira yang malah bicara sampai repot-repot bertanya, siapa tahu mendapat petunjuk. Padahal, ini masih pagi, tidak menyangka siang bolong begini diperlihatkan dengan sosok dari dunia lain yang ada di sana. Hanya saja, masih ada yang mengganjal.
“Nama Anda siapa? Saya Wira.” Wira mengulurkan tangannya yang hanya dilihat saja. Padahal, dia sudah berbaik hati ingin berkenalan.
“Saya Edward Kita tidak bisa bersentuhan.” Jelas pria itu akhirnya yang membuat Wira akhirnya paham. “Kamu kenapa sampai tersesat di sini?” tanyanya lagi.
“Tidak tahu, tiba-tiba saja saya membuka mata ada di tempat asing seperti ini. Kalau boleh tahu, ini daerah mana dan tahun berapa, ya?”
“Ini daerah Lembang, sekitar tahun 1950. Memangnya, kamu berasal dari abad ke berapa?”
“21.” Jawab Wira mantap.
“Ada kepentingan apa datang ke sini? Biasanya—orang yang datang ke sini demi memiliki harta banyak rela bersekutu dengan iblis. Padahal kalau pengen kaya ya bekerja, bukannya malah meminta-minta pada iblis yang derajatnya bahkan lebih rendah.”
Wira belum menjawab, dia hanya mendengarkan dengan seksama. Pada awal melihatnya tadi, Wira kira sosok poci ini adalah sosok yang jahat. Tapi ternyata, tidak. Dia bahkan ramah dengan Wira. Namun—tidak ada yang tahu apakah sosok ini tulus ataupun tidak karena Wira juga baru pertama bertemu. Tidak bisa langsung menjudge sosok astral langsung baik atau jahat begitu saja.
“Saya sudah di sini sejak tahun 1910, hidup bersama salah satu perempuan Indonesia yang sangat saya cintai.” Sosok ini terlihat sedih sekali saat mulai bercerita. Padahal, Wira tidak bertanya.
Sampai akhirnya—entah bagaimana, Wira tiba-tiba ditarik ke tempat lain lagi. Ke masa penjajahan dulu. Matanya membola begitu melihat sosok tadi saat masih hidup. Dia memiliki istri orang asli Indonesia yang sangat cantik.
Sayangnya—saat itu Indonesia tengah dijajah. Istrinya yang cantik dijadikan rebutan tentara kompeni yang berhasil menangkap dirinya karena dituduh penghianat dengan jatuh cinta dan menikah secara diam-diam.
Karena Edward ditanggap dan ingin dieksekusi oleh pihak negaranya, istrinya ini ingin dilecehkan. Tapi daripada disentuh orang lain yang bukan suaminya, si perempuan ini memutuskan untuk melarikan diri sejauh mungkin, berharap masih diberi kesempatan untuk bertemu sang suami—yaitu Edward. Tapi dalam pelariannya, perempuan itu bertemu dengan tentara pribumi yang mau membantunya untuk membebaskan Edward, sekaligus bersedia menjadi informasi tentang markas musuh—dengan syarat kalau suaminya tidak boleh diapa-apakan.
Tentara pribumi memegang janjinya. Tapi saat hari penyergapan, banyak dari tentara pribumi dan termasuk perempuan itu tertangkap lantas dijadikan tawanan. Di markas musuh, setidaknya mereka bersyukur karena bisa dipertemukan lagi meski keadaannya sangat meprihatinkan sekali. Seluruh badan Edward bengkak karena dipukuli.
Hingga suatu pagi yang begitu dingin, Edward terbangun dan terkejut melihat istrinya yang tertidur di sampingnya tiadk kunjung terbangun saat dipanggil. Susah payah Edward membangunkannya, sampai matanya yang terasa berkunang-kunang membola melihat bagian bawah tubuh istrinya berdarah-darah. Dan ternyata, istrinya mengalami pendarahan dan tidak ada yang mau mengeluarkannya dari tahanan itu sekadar untuk diperiksa. Edward sendiri pingsan hampir 24 jam saat itu, jadi tidak bisa memohon pada tentara negaranya sendiri.
Dan pada akhirnya, dengan kesedihan yang Edward bawa sampai akhir hayatnya, dia menjadi seperti ini.
Wira yang seakan tersasar mundur satu langkah karena tubuhnya limbung. Teringat sesuatu, dia melihat sosok Edward yang masih di depannya nanar. Kisahnya sedih sekali. Padahal, mereka hanya saling mencintai. Penjajahan memang membawa duka yang tidak ada habisnya. Terkadang—membca sejarah saja sesaknya bukan main. Apalagi melihat film dokumenternya yang membuat air mata tak bisa dibendng lagi melihat perjuangan para pahlawan untuk memerdekan bangsa ini. Semoga para pahlawan yang telah gugur di temptakan di tempat terbaik di sisi-Nya.
“Dia sangat mencintaimu.” Wira memberi tahu.
“Siapa?” sosok Edward bertanya.
“Istrimu. Dia terus menangis saat kamu tidak sadarkan diri. Sampai ya—dia pendarahan dan tidak ada yang menolong.” Dengan berat hari Wira mengatakannya.
“Saya bahkan tidak tahu kalau dia sedang hamil saat itu.”
Wira menatap nanar sosok Edward yang tengah menangis ini. Ingin menenangkan tapi Wira bukan orang yang pandai berkata-kata. Alhasil, dia diam saja sampai tangisan Edward yang begitu pilu berhenti dengan sendirinya.
Pria itu kira kalau hantu ya sukanya menakut-nakuti orang. Tapi yang dilihat Wira sekarang, jangankan menakutkan, yang ada dia ingin ikut menangis melihat kisahnya yang begitu tragis. “Kamu merindukannya?”
“Sangat. Saya sangat merindukannya. Dia perempuan yang sangat baik dan pengertian. Harusnya dia tidak jatuh cinta dengan tentara bodoh seperti saya.”
“Apa kamu pernah melihatnya lagi setelah mening—maksudku setelah kalian berpisah?”
Dia menggeleng. “Saya hanya memohon pada mereka untuk menguburkan istri saya dengan layak. Dan sebagai gantinya, saya yang dibantai habis-habisan.”
Masihkah harus Wira mengeluh sekarang? Dia yakin dia masih hidup di dunianya. Jadi, dia masih punya kesempatan sebelum kematian ini benar-benar menjemputnya. “Apa kamu bisa membantu saya untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi pada saya sehingga bisa tersesat di sini? Saya sungguh tidak tahu harus bagaimana dan tidak tahu pula jalannya pulang.”
Edward yang sudah tenang lantas mengangguk mengiyakan. “Pertama kali mendarat di sini, siapa yang kamu temui atau lihat kehidupannya?”
“Melati dan Aryo—yang tinggal di sana.” Wira menunjuk arah rumah mereka, berharap sangat dia akan menemui titik terang dari semua pertanyaannya selama ini.
“Pantas saja—wajahmu memang mirip Aryo.” Edward berkomentar.
“Mak-maksudnya?”
“Ada sesuatu dalam tubuhmu yang berkaitan erat dengan mereka yang ada di sini.”
Wira menggeleng, kepalanya tiba-tiba pusing setelah beberpa waktu lalu tidak bisa merasakan apa-apa. Sampai entah mendapat pemikiran darimana dia bisa mengeluarkan pernyataan yang tak pernah terpikirkan sebelumnya olehnya. “Apa... apa saya mengalami reinkarnasi?”