30. Berdansa dengan Kematian

2068 Kata
Wira kira, menjadi manusia hanya dengan bernapas saja sudah cukup. Tapi semakin ke sini, dia semakin sadar jika hidup bukan berarti bernapas saja. Ada banyak hal yang mesti dilakukan untuk bertahan hidup di dunia ini. Wira juga sadar, manusiawi jika dirinya sedih, kecewa ataupun marah pada sesuatu yang tidak sesuai dengan harapannya. Nyatanya memang benar jika rasa sakit itu muncul karena ekspektasi yang tidak sesuai dengan realita. Harapan yang terlalu tinggi pada diri sendiri yang akhirnya membuat jatuh pada luka batin juga. Memangnya apasih harapannya Wira? Dia hanya ingin punya keluaga dengan orang-orang yang dia cintai. Terlalu tinggikah harapan seperti itu? Sepertinya setiap orang harapannya hampir sama dengan Wira dan mereka yang di sana terlihat baik-baik saja dan hidup bahagia. Lalu, kenapa dengan Wira? Kenapa hidupnya malah jadi seperti ini? Dia hanya ingin hidup tenang. Kenapa tubuhnya yang tak lagi setegap dulu malah dilempar ke tumpukan gelondong kayu yang ada di hutan. Dia bahkan tak bisa mendefinisikan apa yang dia rasakan karena saking sakitnya. Bahkan hanya untuk mengucapkan sepatah kata, sulitnya bukan main. Wira bahkan tidak bisa melihat apa-apa, matanya seperti ditutupi sesuatu tapi dia tidak tidur karena bisa merasakan tubuhnya bisa dicengkeram sesuatu yang begitu besar. Dia juga mendengar raungan yang meneriakan namanya. Sama seperti bisikan yang baru dia ketahui siapa pemiliknya tadi. Hingga menit-menit berlalu, dalam kegelapan yang begitu memenyiksa, Wira mendengar tangisan pilu orang-orang yang sangat dia kenal. Dan lebih jelasnya, mereka menangisi Sabrina. Detik itu juga, Wira merasa jantungnya seakan berhenti berdetak. Dia tidak bisa bernapas dengan benar. Seluruh tubuhnya seolah bergetar dan menolak sesuatu yang Wira sendiri tidak tahu kebenarannya seperti apa. Semakin besar usahanya untuk tetap membuka mata, semakin besar pula kekuatan besar tak kasat mata yang membuat mata Wira tetap tidak bisa dibuka. Dia tida tahu dimana dirinya berada di sekarang. Itu bukan di hutan terkutuk Wira yakin itu meski dia belum menjelajahi hutan itu semakin dalam. Yang dia ingat, rasanya berbeda. Itu yang menjadi Patokan bagi Wira. Ditambah lagi, di sini, di tempatnya sekarang, baunya identik harum bunga yang membuat sebagian orang mual jika tidak terbiasa, sama seperti Wira. Bukan di hutan terkutut itu, yang maunya anyir seperti darah, pembakaran dan bau tidak sedap lainnya. Wira sudah berusaha semampu yang dia bisa. Bahkan, dia hampir melewati batas yang dia miliki sendiri demi bisa membuka matanya lebar-lebar dan mencuri dengar apapun yang terjadi. Dia tidak suka seperti ini. Dia tidak suka diikat dalam kegelapan seperti ini. Dia ingin mendengar nama Sabrina disebut lagi. Dia ingin mendengar suara semua orang lagi. Kegelapan ini sangat menyiksanya. Dia benci kesendirian. Dia merindukan beradu argument dengan Sabrina. Dia rindu berdebat tidak penting dengan Aris. Dia rindu ricecoki oleh Dokter Jonson. Dan yang menjadi aktivitas barunya akhir-akhir ini, dia juga rindu dengan Melati, perempuan yang berhasil membuatnya sadar jika Wira tidak sendirian di dunia ini meski Sabrina dan Aris meninggalkannya. Tak sanggup ditempatkan pada keadaan seperti ini, Wira berteriak dalam hati, menyebut penyelamat yang tak pernah mengabaikannya. Siapa lagi kalau bukan Tuhan-nya? Tuhan sang pemilik alam semesta. Dan beribu syukur Wira panjatkan, dia tiba-tiba disadarkan lagi di tempat rumah sakit dan sedang ditunggui oleh orang yang kebetulan lewat. “Mas gak papa? Tadi Mas kayak orang mau pingsan,” kata mas-mas yang kebetulan lewat itu. Wira tersenyum tipis dan berterima kasih banyak karena sudah disadarkan. Kalau tidak, Wira pasti melewatkan banyak hal lagi mengingat waktu satu jam di sana, sama dengan satu hari di dunia. “Terima kasih, Mas.” “Kalau sakit istirahat saja, Mas. Itu wajahnya Mas, pucat. Atau perlu saya antar?” “Tidak usah, Mas. Saya baik-baik saja,” paling sebentar lagi mati, tambah Wira meringis dalam hati. Selepas orang itu pergi, Wira menggelengkan kepalanya pelan kemudian di sadar kenapa dia bisa sampai di dekat ruang isolasi ini. Begitu melihat ke arah depan, ke arah dimana tadi semua keluarga Sabrina berada, buru-buru Wira menyusul ke sana. Dan begitu sampai, ibu Sabrina malah histeris dan memeluk Wira begitu saja. Pria itu terdiam dengan tatapan tidak mengerti ke arah semua orang. Aris menunduk dalam dengan wajah yang merah, mungkin usai menangis sedari tadi. Ada juga adik laki-lakinya Sabrina yang lebih tampak tegar. “Sabrina…kenapa, Tan?” Wira bertanya lirih. Sungguh, dia tidak tahu apa yang terjadi. Bahkan, dia bisa saja berpikir jika Sabrina mungkin saja sudah meninggal. Namun tidak. Wira bahkan tidak bisa berpikir sama sekali. Dia seperti orang lupa. Dia juga seolah melupakan apa yang terjadi padanya saat di tempat asing bersama hantu yang terjerat tadi. “Yang sabar ya, Nak.” Wira sedikit menundukkan wajahnya untuk melihat ibu dari sang kekasih yang sedang menangis dalam pelukannya. Salah—ralat—mantan kekasihnya maksudnya. Dia betulan bingung sampai disabar-sabarkan. “Sabrina kenapa, Tan?” ulang Wira lagi yang membuat tangisan wanita paruh baya itu makin menjadi-jadi. “Ris?” pria itu gantian menatap Aris yang masih saja menunduk dalam. “Sabrina kenapa, jawab!” Mama Sabrina melepaskan diri, kemudian terduduk lemas di kursi tunggu, di samping Aris yang masih saja tidak bersuara. Wira yang merasa tidak perlu minta izin untuk masuk ke dalam ruangan Sabrina, langsung masuk ke dalam ruangan itu begitu saja. Dia memang tidak bisa menahan apapun yang berkaitan dengan Sabrina. Saat masuk ke dalam, dia menatap ayah Sabrina yang tengah duduk di samping tempat tidur. Perempuan itu tertidur lelap sekali. “Om?” Wira menengur pelan sambil menatap papanya Sabrina dalam diam. Siapa tahu, ada yang berkenan menjawab kebingungannya sekarang. “Kamu dari mana saja?” tanya pria paruh baya itu lemah. Wira diam, dia seolah tahu kalau ayahnya belum selesai mengatakan maksudnya. “Kamu tahu? Saya selalu bermimpi yang menjadi wali nikah untuk putri saya, nanti.” “Ya…Om akan menjadi wali nikah Sabrina,” balas Wira yang masih tidak bisa membaca keadaan sekitarnya sedari tadi. Namun sayang, bukan keoptimisan yang Wira dapatkan dari pria baruh baya di hadapannya ini. Beliau malah menggeleng dan terdesak oleh isakan tertahannya sendiri. “Sabrina sudah terlalu lama tersiksa, Wira. Om nggak akan nahan Sabrina kalau memang takdirnya harus pergi. Om tidak tega melihat putri yang sangat Om sayangi menderita terus-terusan seperti ini.” Selama hubungannya berakhir dengan Sabrina, dan selama Sabrina sakit pula, Wira tidak pernah melihat anggota keluarga perempuan itu yang menemaninya. Lalu, apa yang Wira dengar sekarang? Terus-terusan. Itu berarti, mereka sudah tahu kalau Sabrina sakit-sakitan selama ini. Tapi, kenapa Wira tidak pernah melihat mereka? Wira hanya melihat Sabrina selalu berdua dengan Aris.  "Maksud Om apa?" tanya Wira yang masih saja tidak paham. Bahkan kalau ada orang lain sekalipun, mungkin Wira akan dikatai sok bodoh karena hal sederhana ini saja dirinya tidak mengerti. Padahal, memang dasarnya Wira tidak bisa berpikir apapun. Raga dan jiwanya seolah kosong, seperti penghuninya telah pergi jauh ke sana.  Bukannya jawaban yang Wira dengar, ayahnya Sabrina malah menepuk bahu Wira pelan. "Pamitan sama Sabrina, Wir. Cuma kamu yang belum dia pamiti." "Pamit apa?! Memangnya Sabrina mau pergi ke mana?" tanya Wira tak habis pikir lagi. Dia tidak suka dengan orang yang betele-tele padahal mereka bisa mengatakan yang sebenarnya, tidak dengan terus-terusan memberikan teka-teki tak berujung seperti ini.  Masih tidak mau menjawab, Wira juga tidak ambil pusing saat ayahnya Sabrina keluar dari ruangan. Dan begitu hanya tinggal dirinya seorang bersama Sabrina, tahu-tahu tatapan Wira terpaku pada wajah jelita Sabrina yang pucat pasi, sama seperti hantu perempuan itu yang dia lihat waktu dijerat kakinya. Perlahan Wira mendekat, mengambil langkah lebar untuk menghampiri Sabrina yang kian hari kian membengkak tubuhnya. Katanya, dia terkana TBC, tapi tubuhnya masih saja menguning. Entahlah, Wira tidak terlalu paham dengan pelajaran Biologi. Waktu diajar dulu, dia seringnya tertidur. Jangan ditiru, ya! Begitu sudah sampai di samping Sabrina yang tertidur nyenyak dengan bantuan selang yang menempel di bibirnya, Wira sedikit mencondongkan tubuhnya, sengaja mengamati Sabrina lekat-lekat. Barang kali dia tidak memiliki kesempatan untuk melihat Sabrina lagi setelah ini. Tentu saja dia masih mengingat perihal bertukar nyawa. Wira sudah mengiyakan maka itu yang harus terjadi. Wira sudah memutuskan. Sabrina harus bahagia. Maka itu harus terjadi. Dia tidak ingin jika berhentinya detak jantungnya tidak memiliki effort sama sekali untuk Sabrina. Semua harus seperti yang Wira harapkan. Perempuan itu harus sembuh bagaimanapun caranya. Mungkin, bisa dibilang jika Wira menyalahi takdir. Tapi mau bagaimana lagi? Raga yang sedari awal bukan miliknya sendiri, sekarang malah diambil alih beserta jiwa-jiwanya. Orang lemah seperti Wira bisa apa? Dia masih bisa bernapas dengan normal sampai sekarang saja sudah bersyukur sekali. Terkadang, memang harus ada pengorbanan yang lebih besar untuk hasil yang lebih besar pula.  Wira mengusap rambut Sabrina pelan, berharap sangat jika perempuan yang ada di depannya ini membuka matanya dan tersenyum ceria lagi seperti sedia kala.  "Kamu tahu, Sab? Aku udah jalan jauh tanpa kamu akhir-akhir ini. Dan kamu tahu?" Wira sengaja menjeda kalimatnya, berharap sangat jika tiba-tiba Sabrina membuka matanya dan semua mimpi buruk yang terjadi selama ini tetap menjadi bunga tidur semata. "Aku udah dapet obat buat kamu, Sab. Kamu harus bangun." bisik pria itu lirih. "Aku minta maaf buat semua kesalahan yang udah aku lakuin ke kamu. Aku minta maaf, Sab." Hanya angin sunyi yang menyambut Wira. Sabrina masih enggan membuka matanya. Mungkin, Sabrina sudah nyaman terpejam dan lebih memilih menyerah tanpa banyak kata. Ayahnya benar, Sabrina sudah menderita terlalu lama. Dan mungkin, ini sudah saatnya Sabrina berhenti bertahan. Meskipun jiwanya berontak tidak terima, tapi raganya sudah diluluhlantakkan, Sabrina bisa apa? Wira marah pun, Sabrina tidak akan kembali begitu saja dengan percuma.  Menjadi sakit adalah pilihan Sabrina sendiri. Jadi, meskipun Sabrina tahu jika akhir dari semua ini adalah kematian dan dia tidak keberatan, itu artinya dia memang tidak main-main dengan keputusannya. Dan kalaupun Sabrina tengah tersadar saat ini, tidak akan ada yang bisa mengubah keputusannya apapun yang terjadi. Karena mengganti, sama saja menemui pati. Jadi, tidak ada yang bisa Sabrina pilih sedari awal karena ujung-ujungnya juga pergi dari dunia yang sudah dia tinggali kurang lebih seperempat abad hidup di dunia ini.  Tapi tetap saja, meski Sabrina sendiri memilih menyerah, Wira tidak akan membiarkannya begitu saja. Dia tidak terima jika Sabrina pergi meninggalkannya dengan cara yang seperti ini. Akan lebih baik jika Sabrina berselingkuh betulan. Jadi, Wira bisa menghabiskan waktunya untuk membenci Sabrina sampai mati. Tapi kalau akhirnya begini, daripada benci dengan Sabrina, Wira malah lebih membenci dirinya sendiri kalau Sabrina sampai pergi.  "Sab, come on, seenggaknya kamu harus nikah dulu, bahagia, punya anak, besarin anak-anak, sampai kakek nenek sama suami kamu nanti, jangan kayak gini." lirih Wira lagi.  Dan setelahnya Wira hanya bungkam. Dia kehilangan kata-kata saat melihat napas Sabrina yang terputus-putus pelan, setalah itu, Sabrina terlihat semakin lelap dalam tidurnya. "Sab? Hai?" Wira menepuk pipi Sabrina beberapa kali hingga dia mendengar dengkuran pelan. Wira bernapas lega. Tapi sepertinya, kelegaan Wira tidak akan bertahan lama karena kejadian itu berulang lagi. Sabrina seperti ingin pergi, tapi Wira selalu memanggilnya di saat pria itu sadar jika detak jantung Sabrina hampir berhenti.  Hampir sepuluh kali berupaya membangunkan Sabrina yang seakan ingin pergi, Wira malah menjatuhkan kepalanya yang berat di ceruk leher Sabrina dan menangis di sana seperti anak kecil seperti beberapa saat yang lalu, ketika Sabrina diambang kematian juga. Tapi sekarang rasanya berbeda, dadaa Wira kebas sekali hingga ia tidak bisa merasakan napasnya sendiri. Kehampaan yang terjadi terlanjur mencekiknya hingga ke urat nadir.   "Kamu harus baik-baik saja, Sab. Jangan menyiksaku dengan rasa bersalah seperti ini. Ayo bangun, aku belum dapat jawaban dari kamu." Namun tetap saja, terpejam dalam kegelapan yang Wira sendiri tidak tahu ujungnya di mana sudah menjadi pilihan Sabrina. Perempuan itu sudah lelah, benar-benar lelah hingga sekadar membuka matanya saja sudah tidak sudi.  "Kamu nggak boleh ninggalin aku kayak gini, Sab. Jangan tingalin semua orang kayak gini." Rasanya, Wira sudah berbicara banyak. Dia yang irit bicara termasuk banyak bicara demi membuat Sabrina terjaga. Demi membuat perempuan itu membuka matanya kembali. Tapi sayangnya, Sabrina tetap keras kepala.  Sebelum semuanya benar-benar berakhir dan tenggelam dalam penyesalan, Wira mengangkat wajahnya yang dipenuhi air mata. Dia kecup kening Sabrina yang dingin lama. Ia ingat baik-baik setiap kenangan indah bersama Sabrina dulu. Dan detik setelahnya, Wira berupaya memanggil Melati sebisanya. Dalam kegelapan itu, Wira justru diperlihatkan setengah jiwa Sabrina yang masih tertinggal di raganya dibawa paksa oleh pasukan ibkis-iblis terkutuk. Tidak terima, Wira mengelak, dia tahan mati-matian jiwanya yang kabur bersama Sabrina. Karena dengan cara seperti ini, Wira bisa menemani Sabrina sampai akhir, yakni menuju gerbang kematian. Bukan hanya sekadar mengantarnya, tapi bertukar nyawa di sana, di depan gerbang yang menjadi saksi bisu tangisan darah Sabrina begitu Wira dibawa pergi seperti debu yang tersapu angin. Semuanya...musnah begitu saja di hadapannya.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN