29. Pemilik Bisikan Sebenarnya

1225 Kata
Ingatkan Wira jika dia lupa bagaimana caranya menghitung. Karena yang pasti, mulai sekarang dia wajib untuk mengingat waktu yang tersisa, waktu yang masih ia miliki di dunia ini.  Sejak tadi, kepalanya yang berat bertambah makin berat. Bagaimana tidak, hantu perempuan itu tidak kunjung pergi juga meski sudah Wira usir. Ya memang wajahnya sudah tidak menyeramkan lagi. Tapi yang namanya hantu, tetap horor juga. Mau secantik apapun seseorang, kalau sudah beda dunia tetap saja rasanya tidak enak. Wira tentu masih sayang dengan nyawanya sendiri. Dia juga tahu betul apa yang dimaksud dengan kodratnya sebagai manusia. Sedari tadi, dia mengirim pesan pada Melati dan meminta bantuan agar ditemani di apartemennya. Dia takut kalau tidur, tiba-tiba bangun sudah jadi hantu karena dibunuh ketika tertidur. Namun, tetap saja hanya pesan Melati yang sampai, tidak dengan orangnya. Katanya, dia juga takut, jadi membantu Wira dari kejauhan saja. Sama saja bohong! Lantas, Wira menoleh ke arah sosok beda alam itu. Dia melihat ke meja makan dan menyadari jika dia juga sedang menatapnya, tapi buru-buru memalingkan wajahnya ke arah lain hingga membuat Wira menghela napas pelan. “Tidak bisakah berganti wujud lagi? Berubah menggunakan pakaian yang biasa saja, jangan yang berwarna putih seperti itu? Satu lagi, rambutmu tidak pernah dipotong apa bagaimana sampai sepanjang itu? Ngeri lah lihatnya.” Jujur saja, Wira hanya mencoba menenangkan dirinya sendiri, mencoba melawan ketakutannya sendiri. Tapi, begitu usai mengeluarkan unek-unek asalnya, dia lebih terkejut melihat sosok itu berubah seperti yang Wira katakan. Dia berubah penampilan dengan berpakaian kasual biasa, seperti Sabrina kalau diajak Wira keluar ke mall atau ke tempat makan seperti itu. Tapi tetap saja, wajahnya yang jelita masih terlihat pucat, Wira tidak mungkin memintanya untuk memakai pewarna bibir, kan? Lama-lama Wira bisa dicekik jika banyak maunya. Tapi ya mau bagaimana, Wira sendiri juga takut. Ini sudah pukul sebelas malam dan Wira yang memang tipe orang muda tertidur sudah sangat mengantuk sekali. Normalnya, orang yang melihat hantu akan takut meski yang sebenarnya tidak perlu takut karena manusia adalah makhluk Allah yang paling sempurna, yang diberikan organ berupa otak yang bisa digunakan untuk berpikir dari makhluk-makhluk lainnya. Kalau hantu, Wira tidak tahu hantu memiliki otak atau tidak, tapi melihat wajah murung hantu yang ada di depannya sekarang, Wira bisa menebak jika sodok di depannya ini begitu sedih. Wira mencoba mengingat-ingat. Mungkin, sebelum ini, dia tidak sengaja melakukan kesalahan yang mengusiknya atau bagaimana. Namun yang pasti, Wira percaya kalau tidak ada akibat jika tidak ada sebabnya. Kemungkinan sekarang ada dua. Dia yang pertama kali mencari gara-gara, atau memang hantunya saja yang suka cari gara-gara. Malam-malam berpikir berat seperti ini membuat kepala Wira makin pening. Alhasil, dia mengabari Melati lagi, meminta sarannya, jika dirinya tidur, besok masih bisa bangun sebagai manusia yang bernyawa atau tidak. Dan sebagai balasan, Melati juga menjawab sama tidak tahunya. Memangnya dia siapa sampai bisa melihat masa depan. Ya mungkin sebelum-sebelumnya dia sering melihat masa depan tapi bukan berarti setiap hari dia akan melihat masa depan orang lain juga. Pada akhirnya, Wira ketiduran di ruang tamu apartemennya. Dia tertidur nyenyak sekali hingga bangunnya kesiangan dan membuat Wira kelimpungan sendiri. Begitu bangun di pagi hari, Wira bersyukur karena hantu itu tidak ada di sekitarnya lagi. Dan Wira kira juga, hari ini akan berjalan seperti biasanya. Tapi begitu masuk kamarnya, Wira tercengang melihat kamarnya berantakan sekali. Semua barang yang ada di meja kerjanya jatuh ke lantai. Dan saat melihat ke arah ranjang, sudah ada Melati yang tiduran di sana. Sebagai orang yang rasional, Wira percaya jika datang karena panggilannya semalaman suntuk tapi Melati salah baca mantra, makanya kamar Wira jadi seperti kapal pecah. Dan untuk mencari aman, Wira langsung pergi ke rumah sakit saja. Bisa jadi yang lain kesusahan. Wira bahkan seperti melupakan pekerjaannya sendiri. Padahal, dia yang paling anti bekerja setengah-setengah dirinya selalu totalitas dalam bekerja. Termasuk totalitas mencintai Sabrina yang berujung duka seperti ini.  Dan bicara tentang Sabrina, Wira tidak mendengar kabarnya lagi. Sepertinya sudah lama sekali Wira tidak mendengar kabar tentang Sabrina, padahal dulu, apa-apa yang terjadi, mereka akan memberi tahu satu sama lain sebelum diberitahukan oleh orang lain. Komunikasi mereka pernah begitu apiknya di waktu dulu. Kalau sekarang tidak perlu ditanyakan, Wira bahkan sempat berpikir semakin yang tidak-tidak akhir-akhir ini. Bermodalkan nyawa dan pakaian kemarin, lengkap dengan dompet, handphone dan kunci mobil, Wira pergi ke rumah sakit. Pekerjaannya sudah terbengkalai beberapa hari dan Wira tidak peduli. Saat ini, dia hanya ingin melihat Sabrina. Ingin memastikan apakah Aris melakukan tugasnya sebagaimana mestinya apa tidak. Beberapa saat mengendarai mobil, akhirnya Wira sampai juga di rumah sakit. Di sana, dia menghentikan langkahnya begitu melihat keluarga Sabrina sudah berada di kursi tunggu dan berpelukan dengan Aris, seperti orang yang sedang membagi duka dan sama-sama menguatkan. Wira sendiri mengepalkan tangannya begitu erat dengan rahang yang mengeras. Dia tidak terima Sabrina pergi seperti ini. Harusnya, perempuan itu menunggunya datang terlebih dahulu. Wira ingin minta maaf mengingat mimpinya semalaman, saat dirinya menyumpahi Sabrina untuk mati saja. Lalu sekarang, saat Wira ingin meminta maaf ya sebesar-besarnya atas kesalahan yang tidak sadar ia lakukan, kenyataan menghancurkan harapannya. Sabrina, perempuan yang masih belum bisa ia lupakan sampai sekarang, sudah menghadap sang…. “Dokter! Suster, dokter tolong!” Aris tahu-tahu berteriak histeris dan membuat semua orang yang ada di sana heboh. Tadi, Wira sempat bingung saat Sabrina tidak ada di ruangannya yang dulu. Kemudian saat bertanya ke resepsionis, mbak di sana mengatakan jika pasien dengan nama Sabrina Septi sudah dipindahkan ke ruang isolasi dikarenakan penyakitnya didiagnosis TBC setelah kemarin-kemarin gonta-ganti apa sakitnya. Dan di sana, Wira tak bisa melangkahkan kakinya lebih jauh. Dia hanya diam di lorong sambil berpegangan pada dinding, mengingat baik-baik bagaimana wajah Sabrina. Wajah perempuan yang selalu tersenyum cerah kepadanya. Dan lebih dari apapun, daripada berduka, Wira ingin marah pada orang. Dia ingin menghajar seseorang dan kalau bisa, dia ingin menghajar dirinya sendiri. Namun beberapa detik kemudian, Wira seperti mendapat sebuah petunjuk saat ada anak perempuan kecil yang melambai-lambai kepadanya dan mengajaknya masuk ke sebuah gerbang yang Wira sendiri tidak tahu itu apa. Seakan lupa dengan Sabrina dan sekitarnya, Wira masuk ke dalam gerbang itu bersama anak perempuan kecil tadi. Dan begitu masuk, Wira kaget dirinya berada di tempat lain lagi, yang belum pernah dia datangi sebelumnya. Di sana, dia diperlihatkan banyak perempuan maupun laki-laki yang setiap orangnya diikat pada pohon dan menangis minta tolong tanpa terkecuali. Wira kira, dirinya akan dipertemukan dengan Sabrina lagi. Tapi dia salah. Justru, dia dipertemukan dengan hantu perempuan yang kemarin mendatangi apartemennya juga tengah diikat di salah satu pohon. Tubuh bagian bawahnya berdarah-darah seperti orang pendarahan. Tak tahu apakah pilihannya benar atau salah, Wira pergi menghampiri perempuan itu. Wajahnya terlihat begitu tersiksa, ada rasa iba yang begitu mendalam. Sampai-sampai, Wira merasakan mati rasa di kakinya yang membuat dia tidak bisa berjalan sama sekali. Tubuh tegapnya ambruk, jatuh tepat di depan hantu perempuan itu yang seolah juga sedang menangisinya. “Mas Wira…” Bisikin itu. Itu adalah bisikan yang selalu menyuarakan keinginannya di telinga Wira. Dan begitu Wira mendongak untuk melihat perempuan itu lagi, ada sosok tinggi besar dari arah belakang yang menariknya kasar, bahkan menyeret kakinya hingga Wira meraung-raung menyebutkan satu nama yang entah kenapa tiba-tiba terlintas dalam pikirannya. “MELATI!” Hanya Melati yang ada di pikiran Wira saat ini. Melati, perempuan asing yang tidak lama baru dia temui, tapi banyak membantunya dalam melewati masa-masa sulit. Bahkan, posisi Sabrina seperti tersingkirkan begitu saja. Layaknya, perempuan itu tidak pernah berarti untuknya. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN