Wira sedang menempuh perjalanan ke kediaman Melati dan Aryo dengan tangan kosong karena Edward tiba-tiba hilang begitu saja. Padahal, Wira belum mendapatkan jawaban dari pertanyaannya. Apa mungkin kalau reinkernasi atau terlahir kembali itu memang ada di dunia?
Kalau dia terlahir kembali, berarti dulu dirinya adalah sosok Aryo? Dan Melati? Siapa Melati? Apa benar melati adalah Sabrina, atau Melati yang mendatanginya saat suasana hatinya sedang terpuruk?
Ya Tuhan…Wira benar-benar pusing. Dan saat perjalanan menuju ke sana, tahu-tahu sudah malam—Wira malah dipertontonkan sosok tanpa kepala sedang berjalan pelan ke arahnya. Dengan pikiran paling normal sekalipun, Wira ingin pergi, ingin berlari sekencang yang ia bisa.
Sayangnya, kakinya bak dipasung di tempat hingga ia tak bisa pergi kemana-mana. Ingin berteriak pun, Wira tak bisa membuka mulutnya. Kalau memang Wira sudah tiada dan tersesat di masa lalu, harusnya sekali berpikir ingin ke sana, ingin ke sini, setidaknya Wira langsung menghilang bak punya kekuatan sihir.
Namun sekarang, dia benar-benar tidak bisa melakukan apa-apa. Sampai akhirnya dia terdiam dengan mata yang ia pejamkan rapat-rapat dan menangis karena takut bukan kepalang. Ini dia benar-benar sendirian di tempat yang agak rimbun dengan rumput-rumput yang tinggi. Nama Tuhan-Nya ia sebutkan dalam kegelapan, berharap diberikan pertolongan di saat genting seperti ini.
Hingga bau anyir yang begitu menyengat membuat bulu kuduk Wira meremang. Dia tak mendengar apa-apa, hanya saja udara di sekitarnya terasa panas sekali hingga dirinya yang seakan ruh dalm perjalanan mencari kebenaran, seperti akan mandi keringat saking panasnya.
Hingga lagi-lagi nama Melari terbesit dalam pikirannya. Pria itu setengah memohon memanggil perempuan itu. Dia tidak berani membuka matanya. Takut pingsan kalau melihat hantu tanpa kepala yang dilihatnya tadi. Lagi pula apa urusannya sampai hantu itu harus repot-repot menghampiri Wira di saat Wira sendiri serasa ingin kencing di celana.
Oh ayolah, namanya juga takut. Masih untung pria itu tidak tiba-tiba terkena serangan jantung dan mati di sana hingga jiwanya terperangkap dan tidak bisa kembali pulang lagi. Hingga entah bagaimana bisa, Wira mendengar seseorang memanggil namanya. Namun masalahnya, dia seakan lupa dengan suara itu. Seakan mendengar setiap hari, tapi Wira bingung antar suara Melati atau Sabrina. Apakah tersesat membuat ingatannya menjadi dangkal? Entahlah, Wira hanya ingin pulang.
Sampai ada sesuatu—seperti dingin menyentuh tangannya yang terkepal sedari tadi. Wira langsung lupa kalau tadi dia memejamkan matanya. Dan mendapat sensasi dingin itu, Wira malah membuka matanya hingga membuatnya bisa melihat Melati yang ia kenal tengah tersenyum tipis ke arahnya.
Demi kutub Utara dan kutub Selatan yang dinginnya nauzubillah, Wira menghela napas lega dan langsung menubruk tubuh perempuan itu saking leganya. Wira seolah menemukan tambatan hatinya setelah sekian lama. “Kamu kemana saja? Kenapa tidak pernah datang waktu kupanggil?!” Tak ada balasan yang berarti, tapi Wira bisa merasakan elusan tangan hangat di punggungnya.
Wira melihat depan, dan detik berikutnya, dia bahkan tidak bisa terpejam sebagaimana mestinya. Matanya terbuka lebar-lebar melihat hantu tanpa kepala tadi tepat di depan wajahnya dengan leher yang seperti mencipratkan darah kemana-kemana. Dan detik setelahnya gelap.
Yang Wira tahu, dia tiba-tiba sudah berada di Kediaman Melati dan Aryo dengan detak jantung yang terasa begitu menggila. Dia seperti habis terkena serangan panik, sempat tidak bisa bernapas hingga merasa kalau akhir hayatnya akan segera tiba. Berbagai kenangan indah menari-nari di kepalanya bak kaset rusak hingga Wira merasa lebih baik tidak memiliki kepala daripada sakitnya bukan main seperti ini.
Sampai suara yang begitu lembut seakan membuat rasa sakitnya mereda. Seakan-akan, di sana letak obatnya berada. Napasnya sudah tak sesesak tadi, kepalanya juga terasa kosong tak sepenuh tadi. Begitu tersadar sepenuhnya, Wira langsung menoleh ke arah suara, terlihat Melati tengah membangunkan suaminya yang tengah terlelap damai.
“Mas? Mas Aryo bangun?” bisiknya lirih, seakan takut kalau ada orang lain akan mendengar.
“Hm, masih malam lah, Dek? Ngantuk banget aku,”
Melati cemberut saat suaminya ini tak mau bangun. “Mas mau makan mie?” katanya lagi.
“Besok, ya? Lagian nggak baik makan mie terus.”
“Tapi aku pengen!” Melati bersikeras, mengusap perutnya layaknya kelaparan plus itu sepenuhnya keinginan si bayi. “Mienya habis, aku nggak berani beli sendiri.” Rengeknya lagi.
“Warung juga udah tutup, Ti. Besok ya?”
“Yaudah nasi goreng aja.”
Aryo menghela napas pelan, lantas bangkit dan duduk yang langsung disuguhi senyuman oleh Melati. Pada akhirnya, pria yang sebentar lagi akan menjadi ayah itu bangun dan mencuci wajahnya terlebih dahulu. Takut-takut, tangannya yang ia gunakan untuk mengorak-arik nasi dalam wajan saking ngantuknya. Sedangkan Melati seperti tuan puteri yang duduk di meja makan dengan anteng, sesekali mengajak si kecil berbicara saat merasakan pergerakan kecil di sana.
Ibu yang tertidur saja sampai terbangun dan bersin karena bumbu yang Wira tumis sampai ke dalam kamarnya. Bukan hanya Melati yang tertawa, Wira yang di sana juga tertawa. Dia malah ikutan lapar. Tapi sayang, tidak ada makanan yang bisa masuk dalam tubuhnya. Aryo sendiri fokus membuat nasi goreng.
Makhlum saja, dia kan jarang di rumah, sebentar lagi juga akan berangkat ke kota lagi. Jadi apapun yang melati mau, selama ia di rumah, akan berusaha Aryo penuhi semuanya. Kecuali yang mie tadi, tidak baik untuk kesehatan Melati kalau makan makanan instan seperti itu.
Setelah jadi, Aryo langsung memberikannya pada Melati dan ibu hamil itu makan dengan lahap sekali. Padahal malam tadi, sudah makan dengan porsi yang bisa dibilang banyak. Tapi tak apa, asalkan istrinya bahagia dan anaknya sehat, dia akan melakukan apapun.
“Udah kenyang?” tanya Aryo memastikan, seraya menarik piring yang sudah tidak bersisa lagi. Kemudian bangkit dan mencucinya. Melati yang memang kenyang lantas mengantuk. Sesederhana itu untuk membuat istrinya senang.
Usai mencuci perobotan yang digunakan untuk memasak tadi, Aryo mengecup bahu Melati pelan dan meminta perempuan itu untuk kembali ke kamar. Sayangnya, sampai di kamar, Melati malah tidak bisa tertidur yang membuat suaminya ini mendesah lelah.
“Sayang? Tidur ayo, udah malam ini, besok pusing kalau tidurnya kemaleman?”
“Nggak bisa tidur.” Melati malah menyingkirkan selimut yang menutupi tubuhnya, merasa gerah.
“Mikirin apa sampai nggak bisa tidur. Sini cerita, aku dengerin, nggak jadi tidur deh.”
Ini yang membuat Melati sangat mencintai Aryo. Pria itu sangat sabar dan pengertian sekali terhadapnya. Meski ya—ada yang tidak Melati sukai, yaitu sifat cemburuan suaminya yang terkadang seakan kambuh tanpa alasan.
Sambil mendekatkan tubuhnya, membiarkan kepalanya bersandar di d**a bidang suaminya, tak lupa memeluk perut pria itu, Melati mulai bercerita. “Aku tiba-tiba kepikiran yang diomongin tetangga tadi, Mas. Yang jalan pojok.”
Aryo menghela napas pelan saat paham dengan yang dibicarakan oleh istrinya ini. Apa lagi kalau bukan hantu tanpa kepala yang sukanya gentayangan dan tak segan menakut-nakuti orang yang jalannya tak menapak tanah, tapi agak melayang dan bisa secepat kilat sampai di depan seseorang sesuka hatinya. “Astaga, nggak usah dipikirin. Kenapa malah mikir ke sana, fokus aja sama kehamilan kamu. Mulai sekarang nggak usah jemput mas kalau pulang biar Mas yang pul—“
“Nanti kalau Mas disamperin gimana? Kemarin tetangga kita yang lihat sampai sakit.” Melati memberi tahu.
“Si Dadi?”
“Iya.” Jawab Melati pelan. “Dideketin.”
Aryo menghela napas pelan. Istrinya ini tidak tahu saja. “Nggak usah dipikirin, nggak serem-serem amat kok?”
“Nggak serem gimana orang—” tanpa sadar Melati memekik, sedetik kemudian dia malah merinding sendiri dan berakhir semakin erat memeluk suaminya. “Mas, merinding?” adunya.
“Ya kan tadi udah aku ingetin lhoh, jangan dibahas.”
“Aku khawatir kalau Mas pergi sendirian. Aku malah baru tahu berita itu baru-baru ini. Biasanya aku kalau jemput Mas kan lewat deket sana, tapi nggak pernah tuh diganggu sama sekali.”
“Bahas beginian sama orang hamil pamali nggak, sih, Dek?”
Melati jadi agak berpikir, dan Wira yang memang takut karena kejadian tadi juga ikutan menunggu di kamar mereka sambil berdiri layaknya patung pancoran di dekat lampu tidur. “Nggak tau,” akhirnya jawab perempuan itu.
“Aku udah pernah lihat sosoknya,” kata Aryo pelan setelah sedari tadi menimbang-nimbang mau cerita atau tidak. Sama dengan Melati yang matanay membila, terkejut, Wira semakin mendekat seakan takut kalau dia dikejar sampai ke rumah ini. Pasalnya, dia sampai di sini dengan selamat saja tidak tahu bagaimana caranya.
“Mas?” Melati malah merengek, seperti orang ingin menangis.
“Ya udah makanya tidur.” Kata Aryo agak memohon agar perempuan dalam dekapannya ini segera istirahat. Besok, mereka harus bangun pagi.
“Tapi Mas nggak papa, kan?” Melati mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Tidak tahu kenapa dia mendadak takut seperti ini.
“Enggak, orang Mas sadar langsung lari.”
“Sadar? Emang Mas pingsan?”
Semuanya mengalir begitu saja tanpa bisa Aryo cegah. Dia malah bercerita meski tanpa menyebut bentuk hantu itu seperti apa. “Pas lewat sana masih sekitar jam 9 malam. Waktu itu aku lihat ada orang jalan dari arah berlawanan, agak jauh sebenernya, ya aku santai aja orang ya aku nggak ganggu. Eh—jarak limabelas meter kalo nggak salah, baru sadar kalau itu sosok yang selalu dibicarain warga.”
Pas itu jalannya sepi banget dan gelap, tapi kayak ada sesuatu yang buat mas bisa lihat dia. Mulanya mas benar-benar nggak bisa jalan, ngomong aja kayak mulut dikasih lasban, nggak bisa kebuka sama sekali. Sampai nggak tahu kenapa, tiba-tiba sadar gitu kalau dianya mendekat, langsung lari sambil baca doa—“
“Ayat kursi ya, Mas?” tanya Melati ingin tahu, seraya menatap wajah suaminya yang teduh.
“Bukan…orang mas baca doa buka puasa, Itupun cuma dua ayat pertama, ayat seterusnya lupa. Terus pas agak jauh, udah agak ramai, mas ketawa sendirian di jalan. Baru kinget salah baca doa.” Ceritanya. Sedangkan melati sendiri sudah tertawa sejak Aryo mengatakan kalau dirinya membaca doa berbuka puasa untuk mengusir hantu. Wira yang berada di sana tak kalah ngakak. Setidaknya, lebih keren cerita Aryo daripada dirinya sendiri.
Wira—Wira, semua orang di sana rindu denganmu. Pulang lah?