Usai menceritakan kejadian itu pada Melati, Aryo pamit pergi ke kamar mandi sementara Wira masih di sana, memandangi Melati dalam diam. Masih banyak pertanyaan dalam benaknya yang ingin ia temukan jawabannya. Hanya saja Wira bingung harus memulai dari mana lagi kalau sumber-sumber informasinya hilang begitu saja.
Dia tidak mungkin kembali ke tanah kosong itu lagi untuk menemui hantu tanpa kepala itu lagi, kan? Wira bisa kena serangan jantung melihat hantu seperti itu. Melihat tadi saja rasanya sudah mau pingsan. Mana tadi sempat dia peluk hantunya. Belum lagi sudah beberapa hari ia di sini dan belum mendapat petunjuk lebih jauh. Entah sebenarnya apa dia dilempar ke sini. Dia tak menemukan apa-apa selain kebahagiaan seorang suami istri.
Nekat mengajak berkomunikasi, Wira duduk di tepi ranjang mumpung Aryo belum kembali, dia mencolek lengan Melati pelan yang langsung ditoleh dan Wira merasa kalau jantungnya jatuh sampai dasar saat mendapati menatapnya tepat di mata, seakan-akan perempuan hamil ini bisa melihatnya.
"Kamu...kamu bisa lihat saya?" Wira tergagap, sudah mundur di detik Melati menatapnya yang menurut Wira, terlihat mengerikan sendiri padahal perempuan itu tidak berekspresi apa-apa. Hanya melihat datar.
"Kok merinding, ya?" Melati masih melihat ke arah Wira dengan gumaman pelan, kemudian mengusap perutnya dan membaca doa setelahnya yang membuat Wira bernafas lega. Kalau Melati bisa melihatnya, itu berarti Melati setan. Kalau tidak bisa, Melati adalah manusia. Hanya saja, tadi tatapannya tepat di mata yang membuat Wira yakin seratus persen kalau Melati tadi seperti melihatnya.
Dan saat Aryo datang, pria itu langsung merebahkan diri untuk memeluk istrinya yang menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. "Pengap, Yang. Ngapain ditutup sampai kepala?"
Melati lantas membuka selimut tebal yang menyelimuti tubuhnya dan beralih meringkuk ke arah Aryo, seakan meminta perlindungan pada suaminya itu. "Merinding, Mas."
"Makanya jangan suka dengerin cerita kayak gitu. Lain kali kalau ada yang bahas, nggak usah di dengerin, kalau perlu, menjauh dulu daripada kamu takut pas Mas udah balik, yang meluk kamu siapa, hm? Repot nanti.
Benar juga. Perempuan hamil itu hanya tertawa cengengesan. Dengan usapan lembut yang dilakukan Aryo di perut Melati membuat perempuan hamil itu lantas tertidur dengan nyenyak dalam dekapannya.
Melihat keharmonisan mereka membuat wajah Wira mendadak muram. Dia tidak tahu apa yang terjadi di dunianya sekarang. Bagaimana nasib Sabrina, lalu Melati? Wira merindukan mereka. Wira bahkan sampai lupa kenangan terakhir yang dia lakukan sebelum akhirnya terdampar di tempat asing ini.
Namun ya sudahlah. Wira hanya bisa menerima dan mencari informasi seadanya. Karena sungguh, dalam kepalanya ada yang terus-menerus berbisik untuk memintanya tetap tinggal di sana. Sementara Wira saja bingung bagaimana caranya pulang. Tanpa ditahan pun, sangsi Wira bisa pulang ke alamnya secepat yang dibisikkan dalam kepala dan kupingnya.
Daripada menganggur dan pikirannya tak tentu arah, Wira salawatan saja, siapa tahu diberi petunjuk lagi lewat mimpi atau apapun itu asalkan Wira bisa segera menyelesaikan teka-teki tak berujung ini hingga kepalanya tidak begitu terasa berat.
Saat memutuskan keluar dan duduk di meja makan seperti yang sudah-sudah, Wira malah seperti dipertontonkan bioskop saat melihat depan. Bagaimana tidak? Di depan sana terlihat jelas seakan ada layar yang menampilkan perjalanan hidupnya bersama Sabrina bahkan di saat mereka belum menjadi siapa-siapa. Hingga peristiwa mengerikan yang Wira alami membuat pria itu langsung merasakan sakit di dadanya. Dia sentuh d**a itu seakan ada luka yang menganga lebar di sana. Lalu, sakit itu hilang saat di layar berganti Melati yang dikenalnya, bukan Melati yang ada di sini.
Mendapat petunjuk seperti ini, Wira berupaya untuk mengaitkan berbagai kemungkinan yang ada. Dia ingat baik-baik sejak kapan dirinya dicap aneh oleh orang-orang. Kemudian Sabrina meninggalkannya dengan tangisan yang tersedu-sedu lalu Melati datang yang seakan membasuh lukanya di kala semua orang memilih menjauhinya karena dianggap tidak waras lagi.
Sampai saat ini, yang terlintas di kepala Wira hanyalah pikiran kalau ada orang yang membencinya dan mengirimkan sesuatu yang berhubungan dengan perdukunan meskipun Wira sendiri tidak percaya dengan hal-hal tak masuk akal seperti ini sebelumnya. Hanya saja memang ini yang terlintas di kepalanya.
Namun, selama ini Wira tidak memiliki musuh. Dia hidup damai selama bertahun-tahun dan hidupnya mulai tidak sesuai harapannya setelah kecelakaan itu. Kecelakaan yang membuatnya tidak sadar beberapa waktu yang saat membuka matanya, Wira ingat betul tangisan Sabrina langsung pecah saking terharunya setelah dokter mengatakan kalau kesempatan Wira sangat kecil mengingat kecelakaan yang dialaminya terlalu patah dan fatal menganggu fungsi kepalanya karena Wira memang terluka paling parah di kepala saat kejatuhan reruntuhan itu. Belum lagi nyeri di d**a yang Wira pendam dalam diam selama ini karena tidak mau membuat orang khawatir dan selalu memilih menemui dokter sendiri tanpa ditemani Sabrina.
Menemaninya di Dokter Jonson saja Sabrina sedih tiap kali Wira terlihat frustasi pada dirinya sendiri. Wira tidak mau membuat perempuan itu sampai kepikiran lebih parah dari sebelumnya. Wira juga tidak mau menjadi beban Sabrina meskipun Sabrina tulus melakukan semua itu. Perempuan itu tak sekalipun pernah meminta imbalan. Kalaupun pernah, itu hanya satu. Sabrina hanya meminta kesembuhan Wira. Biar pria itu juga tidak sedih saat dijauhi oleh orang-orang tanpa alasan yang jelas.
Lalu, perempuan itu pergi dengan sendirinya, bahkan sampai memohon agar Wira tidak mendekatinya lagi. Harus disebut apa perempuan seperti itu? Kalaupun Sabrina matre, tidak mungkin dia meninggalkan Wira di saat uang pria itu sudah banyak. Dan Wira sendiri juga tidak bisa menyebut Sabrina matre karena perempuan itu tidak pernah memorotinya.
Namun ada satu pikiran yang terlintas di otaknya selama ini. Sabrina tidak ingin memiliki pasangan dengan gangguan mental seperti dirinya.
Jangankan Sabrina, Wira saja tidak paham dengan dirinya sendiri. Tidak ada orang tua yang bisa ia ajak bicara. Hanya satu dan satu-satunya tempat Wira berkeluh kesah, yaitu hanya kepada Tuhan-nya yang membuatnya ingin bertahan hidup sampai sekarang dan mencoba mencari kebenaran tentang hidupnya lebih keras lagi.
Melihat Sabrina diambang maut berkali-kali di depan matanya, memotivasi pria itu juga untuk membasmi hantu-hantu kurang ajar yang berani mengganggu Sabrina. Wira jelas meskipun samar-samar mengingat saat ada hantu yang menunggui Sabrina. Kalau bisa dihajar dengan tangan telanjang, sudah Wira hajar habis-habisan hantu itu. Dasarnya setann, kerjaannya mengganggu manusia.
Puas menikmati tontonan gratis di depannya, Wira masih berupaya mengingat-ingat lagi kenangannya dengan Sabrina sebelum ini. Sepertinya Wira sudah melupakan banyak hal karena terlalu lama di dunia orang seperti ini. Dia harus segera kembali sebelum semuanya makin memburuk dan tidak ada yang bisa diselamatkan lagi.
Kali ini, Wira berusaha untuk memusatkan pikirannya. Ia mencoba berkomunikasi dengan Melati lagi, berharap banyak kalau Melati akan membalasnya. Dan...
"Mas Wira..."
Mendengar suara yang pertama kali ia dengar dulu untuk pertama kalinya Wira dibuat kesal, sekarang pria itu malah senang bukan main. Perlahan-lahan matanya bisa melihat Melati dengan jelas.
"Melati... Saya mau pulang." Rengeknya seperti anak kecil, yang kalau tidak ditahan, mungkin Wira sudah menangis saking lelahnya.
"Mas apa kabar di sana?"
Wira terus saja menggeleng, "saya mau pulang!" ujarnya lagi. "Di sini banyak hantunya, masak saya habis peluk hantu tanpa kepala, besok-besok apa lagi?" tanyanya frustasi.
"Mas yang sabar, ya? Saya juga lagi cari cara."
"Apa kamu mendengar kabar tentang Sabrina? Bagaimana keadaannya? Dia baik-baik saja, kan? Perasaan saya tidak pernah tenang."
Pria itu mengembuskan napas kasar saat melihat Melati hanya diam. "Ya? Jangan diam saja? Dia masih bertahan sampai saya pulang, kan? Sampai saya nemuin obat buat dia kalau seandainya bertukar nyawa nggak cukup buat Sabrina membuka matanya lagi."
Hampir lima menit menunggu Melati mengatakan sesuatu, Wira seperti mendapat jawabannya saat Melati di seberang sana menatapnya nanar. "Mas hanya perlu jaga diri di sini sedikit lama lagi. Sebentar lagi, Mas akan dapat jawabannya. Dan jangan khawatir dengan Sabrina, seandainya dari kalian ada yang berpulang, maka masih ada kesempatan untuk berpamitan satu sama lain."
Wajah Wira langsung berubah pucat pasi. "Jadi, betul ada yang harus mati di antara kami?"
Melati menunduk dengan tangisan yang coba ia sembunyikan namun sia-sia. "Hanya ada satu nyawa, tapi kalian selalu melempar nyawa untuk dipersembahkan di lembah kematian sana."
Pria itu semakin mencelos mendengar perkataan Melati yang rasanya tidak masuk akal, tapi dia juga yang mengalaminya sendiri.
"Kalau begitu, seret saya ke sana sekarang juga. Saya mau menghadapi iblis terkutuk di sana. Saya sudah berkali-kali di sana, tidak apa-apa. Saya saja." Wira seakan merasa kalau pikirannya sudah paling benar. Dia bahkan dengan percaya diri mengajukan dirinya sendiri untuk dipersembahkan kepada para iblis--yang entah Wira sendiri tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya kelak.
"Tidak bisa, Mas." Melati menggeleng lirih dengan tatapan yang begitu nanar ke arah Wira. "Saya minta maaf," sesalnya.
"Kenapa minta maaf? Justru saya yang seharusnya berterima kasih sama kamu karena mau menemani saya di masa-masa sulit seperti ini. Jangan meminta maaf, saya banyak berhutang sama kamu." Wira tidak main-main. Dia tulis mengatakan semua itu. Kalau tidak, dia tidak akan memanggil Melati jika dirinya memang menyesali pertemuan mereka sejak awal di bangku taman kala itu.
"Saya akan tetap minta maaf karena saya tidak bisa mempertahankan Sabrina."
Wira kembali terdiam dengan wajah yang berubah pias saat melihat keputusasaan perempuan di seberang sana.
"Sejak awal, Sabrina yang bersedia mempersembahkan dirinya sendiri agar Mas tetap bernafas. Jadi..."
"Tidak mungkin!" Wira menggeleng tidak percaya dengan yang Melati katakan. Ini pasti tidak benar. Kenyataan macam apa ini?
"Maaf, Mas. Saya tidak bisa membantu banyak untuk hal ini. Mungkin ada orang di luar sana yang memiliki kekuatan lebih dan bisa membuat kalian berdua bertahan lebih lama lagi?"
"Bertahan lebih lama lagi?" Wira mengulangi perkataan Melati. "Jadi kalau tidak salah satu, saya dan Sabrina akan menjemput ajal bersama?"
Wira hanya terdiam dengan seluruh tubuh yang serasa kebas saat melihat Melati menangis pilu di sana seraya menyalahkan diri sendiri karena tidak bisa membantu lebih banyak lagi.
"Sudah, tidak apa-apa. Jangan menangis."