Hampir satu jam lebih Wira diam menunggui Melati yang menangis. Wanita itu menangisinya seakan-akan dirinya telah tiada atau hampir tiada. Wira ingin protes, tapi dirinya tak kuasa melihat kesedihan yang begitu kental di mata Melati yang bengkak parah. Wajahnya benar-benar berantakan. Dan ajaibnya, Melati tidak merasa malu sama sekali.
Seperti ini perempuan yang Wira cari, yang tidak mengerti apa itu ilfeel. Ingin menangis ya menangis, tidak gegayaan menangis yang alay, lebay. Wanita di depannya ini benar-benar tidak tahu apa itu yang disebut malu. Entah memang sepolos itu atau hanya pura-pura, tapi Wira percaya jika Melati tulus peduli kepadanya.
Sedari tadi, wanita itu bercerita tentang perkembangan di dunia lain padanya. Lima menit dia berhentu dan digunakan untuk menangis. Usai dengan itu semua, dia melanjutkan ceritanya lagi. Daripada untuk mencari perhatian, Wira lebih percaya jika Melati melakuka semua ini demi menghibur dirinya. Mungkin kasihan dengan keadaan Wira yang memprihatinkan seperti ini.
Jangankan melihat Wira sakit, melihat Wira sehat dan bersedih saja sudah membuat Melati ingin memangis. Pecah sudah tangisannya kalau Wira sampai jatuh sakit seperti ini.
"Mas tahu?" Melati terisak. Wira hanya meringis melihat wajahnya yang merah padam bak tomat terlalu matang. "Saya tahu penyebab Mas sampai seperti ini." akunya.
Mendengar itu, Wira tidak terkejut sama sekali. Dia sudah menebak jika Melati tahu tapi memilih diam saja karena tidak tega jika menceritakan yang sebenarnya. Kalau boleh jujur, Wira saja takut mengetahui kebenaran yang sesungguhnya. Dia takut jika diirnya yang menjadi penyebab semua ini. Dia takut jika dirinya lah yang membuat banyak orang sampai menderita seperti ini.
Sedari dulu Wira selalu merasa kalau dirinya sangat menyusahkan. Lalu sekarang, dia semakin membenci hidupnya sendiri jika mengetahui kalau akar permasalahan yang terjadi ada pada dirinya. Sudah jauh dia berpikir akhir-akhir ini, bahkan sejak Sabrina meninggalkannya seorang diri, Wira tak kunjung mendapat jawaban yang pasti.
Ada kalanya, dia percaya jika sudh mendapat jawaban. Ada kalanya pula lima detik kemudian dia merasa bimbang dan menangguhkan pikirannya sendiri. Entahlah, Wira merasa kalau bukan dirinya sendiri. Kebiasaannya yang lupa membuat dirinya lebih mudah dilanda kebingungan.
Masalah hantu perempuan itu, Wira belum bisa memastikannya. Hanya saja, hatinya mengatakan jika hantu itu yang menjadi sumber permasalahan ini. Tapi masalahnya, apa benar? Kalau benar, kenapa hantu itu sampai menngganggu mengingat mereka tidak pernah neko-neko selama ini. Mereka anak baik-baik yang tidak pernah mencari gara-gara dengan orang lain. Paling hanya bercanda dan berakhir tertawa cekikikan sendiri.
Apakah ada yang sakit hati karena perkataan menyinggung yang tidak sengaja Wira katakan dan Wira tidak sadar dan dirinya belum sempat mengucapkan kata maaf? Kalau iya, Wira malah ingin kembali ke tanah terkutuk itu lagi agar mendapat petunjuk lebih jelas. Atau kalau tidak, Wira ingin ditarik untuk melihat masa yang sudah berlalu biar dia tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tanpa ada yang menambahkan ataupun mengurangi kejadian yang sebenarnya. Dia ingin melihat dengan mata kepalanya sendiri. Dia tidak bisa diam berpangku tangan seperti ini terus-menerus.
"Mas mau dengar?" tanya Melati lirih. Wajahnya diliputi duka yang amat dalam. Perempuan di depannya ini terlhat berat sekali mengatakannya hingga Wira tidak tega jika tetap egois dengan mengatakan iya.
"Kamu keberatan?"
Bibir Melati malah bergetar hebat. Mendung langsung menghajar wajahnya dan menghadiahinya tangisan pilu yang lebih pilu dari sebelumnya. Wira hanya bisa menelan ludah berkali-kali, tenggorokannya sakit sekali. Dadanya juga masih sesak hinga tanpa sadar Wira meringis yang tertangkap oleh Melati.
Melati hanya menangis. Kepalanya tertunduk dalam dan tangannya tergerak ke arah d**a kiri Wira, merabanya pelan dan menetap di sana untuk beberapa saat. Untuk sesaat, Wira terpaku. Jantungnya seolah kembali hidup saat Melati menyentuh di bagian sana. Padahal tadi, Wira berpikir kalau dirinya akan pergi karena sesak napas meski dirinya bukan perokok aktif. Wira hanya sesekali merokok, di saat pikirannya benar-benar oenuh dengan kebisingan dunia. Dan cara Wira untuk meringankan sedikit beban yang ada di kepalanya, dia akan merokok yang nyatanya maah menempatkan hidupnya semakin berbahaya.
Ternyata lelah juga melihat orang menangis. Setelah merasa lebih baik, Wira menatap Melati yang masih saja betah menangis. "Melati, apa tidak pusing menangis terus?"
Melati menggeleng dengan gerakan sesenggukan. Beberapa saat kemudian, tangisannya tumpah lagi yang membuat Wira lama-lama kesal sendiri.
"Saya pusing dengar kamu menangis."
Dan benar saja, Melati menatap Wira dengan bibir gemetar dan cucuran air mata ynag siap terjun bebas. Wira tidak paham salahnya di mana sampai Melati sampai bisa sehisteris ini. Apa perempuan itu menyukainya? Ah tidak mungkin. Tapi, bisa jadi, kan? Duh, tidak. Wira tidak bisa kepedean seperti ini. Masih syukur Melati suka menolongnya selama ini. Kalau tidak ada Melati, Wira yakin kalau dirinya tidak akan sekuat sekarang.
"Mas harus ke sana lagi,"
"Gimana?"
Sambil menyeka air matanya, Melati menatap Wira nanar penuh keputusasaan. "Mas harus ke sana. Mas dipanggil," Wira menunduk untuk melihat tangan Melati yang menggengam tangannya begitu erat. Dan detik itu juga, perasaan Wira semakin tidak enak. Di sini, keadaannya memperhatiknkan seperti ini. Kalau nanti dia berada di sana, apakah dirinya akan sakit seperti ini? Kalau iya, bagaimana bisa dia menghadapi makhluk-makhluk mengerikan di sana? Belum apa-apa, Wira sudah pesimis lebih dulu. Nyalinya menciut akhir-akhir ini. Perasaannya terus-terusan tidak enak. Pikirannya selaku dipenuhi dengan Sabrina dan Melati. Kadang malah Melati yang yang terlalu mendominasi pikirannya. Astaga, belum apa-apa Wira sudah ingn gila seperti ini. Entah sampai kapan dia bisa bertahan. Langkah kakinya sudah terasa berat, seakan-akan sedang dihuni beban tak kasat mata ribuan ton beratnya.
Usai menarik napas sedalam yang ia bisa dan mengembuskannya secara perlahan, Wira tersenyum tipis pada Melati yang tidak pernah lelah menemaninya. Jika memang ada kehidupan selanjutnya. Dan jika dirinya tidak berjodoh dengan Sabrina, Wira berharap bisa dipertemukan dengan orang yang penyayang seperti Melati. "Bantu saya ke sana, hm?"
Air mata Melati menjadi sambutan. Mata indah perempuan itu terpejam, dan Wira turut memejamkan matanya, bersiaga menuju tempat yang tak seharusnya dia datangi bahkan setelah kematian. Itu bukan tempat manusia. Itu tempat para iblis yang suka menggoda manusia untuk berbuat kejahatan. Dan Wira harap, setelah ini, matanya masih mampu terbuka.
***
Tanah terkutuk negeri lain harus kembali Wira pijak. Entah berapa kali lagi dia harus terjebak dalam situasi seperti ini?
Langkahnya begitu berat untuk pergi. Napasnya kian sesak dengan pemandangan yang tidak jelas sama sekali. Kepalanya seperti dipitar-putarkan.
Ini bagian yang dia benci. Tiap kali menutup mata dan mulai tertidur, selalu saja dirinya ditarik ke dunia lain. Wira tidak tahu tujuan dan noble purpose dari semua ini apa, tapi yang pasti, Wira mencurigai satu hal. Namun untuk sekarang, dia lebih memilih diam.
Pikirannya selalu menyeruakkan jika ada orang lain di balik semua ini. Ada orang yang benci padanya dan menginginkan penderitaannya dengan mengirimkan sesuatu ke kediamannya seperti ini.
Dulu, Wira pernah mendengar saat temannya semasa kuliah bercerita tentang kos-kosan yang ditinggali. Salah satu temannya ini diganggu oleh sosok ular hingga tubuhnya gatal-gatal dan ganti kulit di seluruh tubuhnya seperti ular kalau sedang ganti kulit, seluruh tubuhnya tanpa terkecuali.
Karena mengingat hal itu, Wira jadi berpikir kalau yang terjadi pada Sabrina adalah kiriman seseorang. Pasalnya, sakitnya tidak terdeteksi sama sekali dan si penderita mengalami keanehan selain bertemu dengan makhluk astral. Yakni saat Sabrina mengeluh kakinya yang sakit dan minta diamputasi saja, ditambah dengan perjalanan Wira yang melihat kaki kanan Sabrina diikat disuatu pohon yang begitu besar dan dijaga oleh sosok berjubah hitam. Hal ini mulai membuat Wira percaya jika sakit yang diderita oleh Sabrina memanglah tidak wajar.
Mungkin Wira terlalu dini untuk bilang seperti itu. Dia juga kurang banyak mencari informasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan itu semua. Namun dia sudah terlanjur percaya dan ingin mencari tahu sendiri karena dia tidak bisa selamanya menggantungkan bantuan pada Melati. Perempuan itu juga pasti memiliki kesibukan sendiri. Dan beberapa waktu terakhir ini, dia sudah sangat merepotkan Melati dengan semua masalahnya yang tidak jelas. Kadang, Wira ingin marah tapi bingung harus meneriaki wajah hantu yang mana.
Sebut saja Wira konyol dengan menantang hantu. Tapi ya mau bagaimana lagi? Mereka yang mengganggu pertama kali. Seharusnya tidak salah jika Wira balik mengganggu demi bisa keluar dari semua ketidakbenaran ini. Mereka, para mahkluk tak kasat mata harusnya tidak menganggu manusia.
Wira pernah mendengar seseorang berkata seperti ini. “Jangan menganggu kalau tidak mau diganggu.”
Lalu, apa yang terjadi pada dirinya sekarang? Dia bukan hanya diganggu, tapi sudah dirugikan dalam banyak hal. Dia kehilangan teman, kehilangan orang yang disayang, hampir kehilangan dirinya sendiri juga. Apa-apaan tulisan itu, nyatanya Wira diganggu padahal selama ini, dia saja tidak percaya dengan hal seperti itu.
Sebenarnya percaya ya percaya, dia percaya jika ada makhluk gaib ciptaan Allah. Hanya karena dia tak pernah diganggu dan mengalami kejadian aneh sendiri, Wira jadi mengabaikannya dan lama-lama seperti hilang sendiri tentang hantu dan semacamnya. Padahal, yang ada hanyalah jin, bukan hantu yang kerap kali menampakkan diri dan seringnya membuat orang-orang menjadi takut.
Sepanjang itu Wira berpikir, akhirnya sadar juga dia dari lamunannya sendiri. Pria itu menggelengkan kepalanya yang masih berat kasar. Meski tubuhnya terasa ringan, tapi langkahnya tetap terasa berat. Napasnya, penglihatan, gerak tubuhnya, pemikirannya, semua seperti diperlambat minus berapa kali seperti itu.
Demi meraih kesadaran dan kewarasannya kembali, Wira menepuk pipinya berkali-kali. Begitu lebih nampak seperti orang yang bernyawa, Wira menyudahi aksi menepuk pipinya sendiri. Dia butuh sesuatu yang harus selalu mengingatkannya jika perbedaan dua dunia sangatlah berbeda. Semakin lama Wira di dunia lain, semakin lama pula dirinya melewatkan banyak hal di bumi. Bisa jadi, belum sempat kembali ke dunianya sendiri, Wira sudah kehilangan saat dirinya masih terjebak dalam hutan terkutuk ini.
Sebelum semua yang ia takutkan benar-benar terjadi, Wira berupaya untuk mencari jalan keluar lagi dengan melangitkan doa agar dipertemukan dengan Sabrina kembali. Dia ingin mengajak perempuan itu pulang agar tidak disiksa di sini lagi.
Hingga perapian yang begitu besar tiba-tiba terlihat dari jarak yang lumayan dekat membuat Wira merasa kepanasan dan sesak di waktu bersamaan. Matanya yang semula blur melihat depan, kini matanya dengan jelas bisa menangkap sosok-sosok berpakaian serba hitam entah berapa jumlahnya, Wira bingung menghitung dari kejauhan seperti ini.
Berdasarkan dari pengamatannya, Wira berpikir jika mereka sedang melakukan ritual gaib yang dia sendiri tidak tahu tujuannya untuk apa. Namun yang pasti, melihat banyaknya bunga kemerahan yang terlihat, ditambah nyanyian absurd yang sama sekali tidak jelas di pendengaran Wira, mengingatkan Wira pada cerita tentang sekte-sekte yang Wira sendiri tidak tahu kebenarannya.
Daripada penasaran setengah mati karena tidak tahu apa yang sedang sosok-sosok itu lakukan, entah mereka itu manusia ataupun manusia jadi-jadian, Wira merasa kalau dirinya harus menghampiri tempat itu dan melihat apa yang dibakar hingga baunya begitu harum mewangi. Mungkin karena batang pohon atsiri yang dibakar. Tapi apapun itu, Wira tidak peduli dan ingin melihatnya sendiri.
Syukurnya, sosok-sosok itu tiba-tiba menghilang dengan sendirinya di tengah kegelapan yang sangat mencekam. Wira yang seperti tidak memiliki rasa takut langsung berlari kecil untuk menggapai objek itu.
Mulanya, Wira tidak mengerti meski sudah berdiri di tempat yang paling dekat dengan sumber api itu. Namun mendengar tangisan pilu dan teriakan minta tolong, Wira menoleh ke kanan dan ke kiri untuk mencari sumber suara dari yang didengarnya barusan. Begitu tak menemukan siapa-siapa, Wira kembali menoleh ke arah depan dan napasnya seperti direnggut paksa begitu melihat sosok pocong tinggi besar dan tak segan menampilkan wajahnya yang begitu mengerikan. Wajahnya berlubang, matanya bahkan dibuat untuk sarana hidup binatang pengurai. Baunya yang busuk hampir membuat Wira jatuh pingsan.
Namun anehnya, Wira sudah tidak takut lagi. Yang ada, dia malah menatap pocong itu dingin dan kalau bisa, ingin sekali dia menghantam wajahnya agar tidak songong lagi saat jadi hantu.
Begitu geser ke kiri untuk menghindari pocong tersebut, Wira tersentak begitu melihat Sabrina yang tengah merangkak dalam peti mati dan peti itu yang tengah dibakar.
“Sabrina? Ya Tuhan, Sabrina…”
Wira berupaya untuk mendekat. Matanya memerah dahsyat melihat tangisan pilu Sabrina di dalam sana. Perempuan itu meminta tolong untuk dilepaskan. Tapi, Wira tidak tahu caranya memadamkan api di saat si sekitarnya sendiri tidak ada air sedikitpun. Namun Wira tidak menyerah. Dia ambil tanah yang ia pijak, kemudian dengan menyebut asma Allah, dia lemparkan ke sumber api tersebut.
“Jangan!”
Detak jantung Wira kian menggila saat melihat Sabrina semakin kesakitan. Dia meremas rambutnya frustasi, kemudian berusaha berpikir jernih. Siapa tahu Sabrina juga dapat membantu dirinya sendiri.
“Sab, sabrina dengar?” Wira mengangkat kedua tangannya, mengisyaratkan agar Sabrina melihat ke arahnya. “Apa ada air di sekitar sini? Beri aku petunjuk di mana tempatnya?”
Wira tidak bisa mendengar apa-apa. Tangisan Sabrina sudah tidak terdengar lagi. Lirihan minta tolongnya bahkan sudah berhenti dengan tangisan pilu tanpa suara.
Jujur saja, Wira belum bisa mendefinisikan apa yang terjadi padanya sekarang. Mimpi kah, atau memang seperti ini di sana. Namun yang pasti, Wira sudah bersumpah untuk membawa Sabrina pulang dari sana. Wira pastikan ini. Dirinya sendiri yang membawa Sabrina keluar dari tanah terkutuk itu.