Tiga tahun kemudian ...
Tangguh sudah berhasil menyelesaikan studi S3 -nya di Amerika. Hari ini ia akan membereskan semua barang -barangnya yang akan dibawa ke Indonesia.
Tangguh melihat beberapa potret wanita yang ia simpan dihalaman buku paket. Lembaran foto itu ia jadikan sebagai pembatas buku.
"Apa kabarmu, Yura? Kenapa hari itu kamu tidak mengabariku?" tanya Tangguh dalam hati.
Sejak kejadian malam itu, Tangguh menjadi pribadi yang baik namun minim bicara. Tangguh lebih suka menyendiri dan memilih kehidupannya sendiri agar tidak terlalu dicampuri orang urusan pribadinya.
Banyak yang bilang ia adalah seorang gay atau penyuka sesama jenis, karena dinginnya sikap Tangguh terutama pada wanita.
Tangguh menutup kembali buku paketnya dan memasukkan ke dalam kardus untuk dipaketkan ke rumah.
"Hei ... Mau balik malah ngelamun aja," sapa Azkia yang duduk di atas ranjang Tangguh.
Tangguh mengangkat wajahnay sekilas dan kembali sibuk menata semua barang -barangnya.
"Hmm .. Ngomong sama kamu itu, kayak ngomong sama batu. Hanya dilihat sekilas lalu diam saja tanpa ada kata -kata. Kayak susah mau ngomong sesuatu. Padahal S3 lho ..." Azkia terus berceloteh dengan nada kesal.
"Udah makan malam?" Suara Tangguh membuat Azkia tersenyum lalu bertepuk tangan dengan senang.
"Nah ... Gitu dong. Aku seneng banget kalau kamu akhirnya bersuara," ucap Azkia dengan sneyum melebar.
Tangguh kembali megurus kardus besarnya yang kemudian dilakban dan diikat kencang. Besok tinggal dibawa ke tukang paket untuk ditimbang dan langsung dikirim ke rumah orang tuanya.
"Selesai. Makan malam diluar, yuk?" aj Azkia pada Tangguh.
"Oke." Tangguh mengangguk kecil sambil menghembuskan napasnya perlahan. Tubuhnya sedikit lelah setelah seharian membereskan kamar ini. Kamarnya sedikit berantakan. Banyak kardus dan koper yang sudah siap diangkut kembali ke negara asalnya.
Azkia melingkarkan tangannya dilengan tangguh. Usianya mereka hanya terpaut dua tahun. Azkia juga baru lulus S2 dan besok ikut kembali bersama Tangguh ke Indonesia.
"Mau makan apa?" tanya Tangguh dengan suara lembut.
"Burger aja. Aku mau santai aja. Sekalian ada yang mau aku omongin sama kamu," ucap Azkia pada Tangguh,
"Oke." Lagi -lagi, Tangguh hanya menjawab singkat tanpa ada respon lain dari mimik wajahnya.
Keduanya sudah duduk disalah satu kursi yang ada dilantai paling atas. Disana adalah tempt terbuka yang bisa menatap seluruh kota Amerika yang indah. Rasanya sangat dekat sekali jarak anatar bumi dan langit. Mungkin kalau bisa meloncat ditempat, semua bintang -bintang indah itu bisa digapai denganmudah dengan tangan besar Tangguh.
Pesanan makanan mereka juga sudah datang. Dua burger, dua es kopi dan dua kentang goreng. Azkia mulai nimati kentang gorengnya dan menatap Tangguh dengan serius.
"Aku mau nanya," ucap Azkia pelan.
"Apa?" Tangguh begitu santai dan tenang. Ia memilih sibuk memasukan beberapa saos ditengah burger yang ingin ia santap dengan nikmat. Mumpung burger itu masih hangat.
"Tiga tahun tanpa pacar ternyata kamu bisa ya? Padahal dulu di Jakarta, kamu itu playboy abis," ucap Azkia dengan jujur.
Tangguh menggigit burgernya lalu mengunyah makanan itu hingga halus di dalam mulutnya.
"Setiap orang berhak berubah kan?" jawab Tangguh santai.
"Benar sekali. Tapi, ada hukum sebab akibatnya lho ..." Azkia sengaja menyelami jawaban Tangguh dan ingin mengetahui lebih lanjut.
"Hukum sebab akibat? Betul. Itu memang ada." Tangguh kembali menggigit burger itu dengan gigitan yang lebih besar agar cepat habis dan bisa pulang lebih awal.
Cuaca disini sangat dingin sekali. Tangguh lebih memilih dirumah dan beristirahat atau main dengan laptopnya. Dari pada harus nongkrong diatas begini hanya untuk menikmati makan malam yang sederhana. Mungkin tergantung dengan siapa mereka pergi juga. Kalau dengan orang yang mereka harapkan, tentu kejadiannya akan berbeda.
"Apa?" Azkia begitu lantang penuh semangat ingin tahu penyebab Tangguh bisa berubah total seperti ini.
"Karena udah malas aja." tangguh terlihat serius menjawab dengan pasti dan yakin.
"Hanya itu?" Azkia meyakinkan Tangguh bahwa tidak ada alasan lain.
"Yes." Tangguh menyeruput es kopi dengan nikmat lalu mulai menghabiskna kentang gorengnya.
Azkia kembali mengunyah burgernya yang sejak tadi belum habis. Ia sibuk bertanya hingga makan malamnya tertunda. Apalagi jawaban tangguh sama sekali tidak memuaskan rasa penasaran Azkia.
tangguh menyandarkan punggungnya disandaran kursi besi dan mengedarkan pandangannya. Ia melihat banyak orang yang sedang bermesraan ditempat terbuka. Bayangan Yura terus menari dalam pikiran Tangguh. Bagaimana rupa gadis itu sekarang? Hal pertama yang akan dilakukan Tangguh adalah mencari Yura setelah sampai di Jakarta nanti.
"Boleh nanya lagi?" Azkia kembali ingin bertanya dan meluapkan uneg -unegnya.
Tangguh mengangguk lagi dan menunggu Azkia bertanya.
"Kenapa kamu gak marah, saat teman -teman kamu menyebut kamu gay? Kamu kan gak begitu. Malah menyusahkanmu kan?" tanya Azkia lagi.
"Aku sudah gak peduli soal itu Azkia. Aku hanya peduli sama pendidikan aku dan aku lulus dengan cepat lalu kembali lagi ke Jakarta. Saatnya aku menunjukkan kalau aku juga bisa seperti yang lainnya, sukses dan dibanggakan oleh orang tua."
Azkia terdiam sambil mengunyah makanan. Ia begitu tertegun dengan jawaban Tangguh yang terdengar sangat serius.
***
Tiga tahun telah berlalu. Yura harus membesarkan putranya sendirian dikamar kos yang tidak besar. Ia harus bekerja juga untuk membiayai hidup dirinya sendiri dan putranya yang baru berusia dua tahun lebih.
Yura sedang menidurkan putra semata wayangnya. Pikirannya kembali pada masa lalu tepatnya saat kejadian malam itu. Kartu nama lelaki itu juga hilang entah kemana saat kamarnya diacak -acak oleh Ayahnya untuk mencari siapa pelaku atau lelaki yang menyentuhnya.
"Pergi kamu anak durhaka! Aku pikir kamu kuliah dengan benar! Ternyata kamu malah mengecewakan kedua orang tuamu ini! Dasar anak tidak tahu diuntung!"
Setelah itu semua keadaan Yura berubah total.