Bab 1
Perploncoan untuk mahasiswa baru sudah selesai. Malam ini adalah malam puncak yang dikenal sebagai malam akbar pelepasan mahasiswa dan mahasiswi baru.
"Yura! Selesai acara ini, kita kesana," ucap teman sekelompok Yura yang diikuti anggukan oleh gadis polos itu.
"Oke." Yura kembali duduk dan mengikuti acara itu hingga selesai.
Selesai acara, Yura pun mendatangi tempat yang diberitahukan oleh temannya tadi. Ia pikir ini adalah tempat penggojlokan terakhir. Ternyata Yura masuk ke dalam ruangan penuh dengan lelaki yang sedang party.
Bau alkhohol dan asap rokok membuat Yura pening dan terbatuk hingga beberapa orang lelaki menatap ke arah Yura dan tersenyum lebar ingin segera memangsanya.
"Hei ... Ini jatahku. Kalian masih ada lagi disana," ucap Tangguh dengan suara parau langsung mencengkeram tangan Yura dengan keras lalu menarik Yura ke dalam kamar.
Yura berteriak dan memberontak. Namun sayang, tubuhnya yang mungil tak bisa menghalau lengan dan telapak tangan besar yang terus menyertenya hingga masuk ke dalam ruangan kamar tidur.
Tangguh masuk dan menutup pintu kamar itu lalu mengunci rapat. Ia sudah dikuasai oleh alkhohol hingga tak bisa berpikir jernih.
Ia melepas satu per satu pakaiannya sendiri. Lalu menarik Yura yang ketakutan dengan kasar dan dijatuhkan ke atas anjang yang empuk.
Tangguh sengaja membuat party dengan teman -teman anggota genk motornya. Setelah ini ia akan pergi ke luar negeri melanjutkan kuliah S3 untuk menjadi dosen.
Tubuh Yura yang mungil sudah terhempas diatas kasur. Dengan cepat, Tangguh melucuti smeua pakaian Yura hingga tubuh gadis itu polos tanpa sehelai benang yang menempel.
Yura sudah berusaha keras berteriak, memberontak dan menangis dengan keras. Namun, Tangguh tidak peduli. Ia menulikan telinganya dan tetap ingin merasakan apa yang telah dirasakan anak buahnya.
Tangguh frustasi karena dianggap anak yang tak sukses. Ia ingin menunjukkan pada keluarga bahwa ia layak menjadi dosen.
"Tolong! Jangan renggut mahkotaku." Yura menangis dengan nada memohon.
Tangguh hanya tersenyum sengit dan terus meneroboskan pusaka keramat yang baru keluar dari museum.
"Jangan, Pak. Yura mohon," teriakan Yura yang meyayat hati itu tak membuat Tangguh merasa iba.
Tangguh tetap melakukannya demi kepuasan. Tubuh mungil yang berada dibawahnya hanya bisa diam dan menangis saja meratapi nasibnya.
Tangguh tersenyum lebar saat ia melihat Yura kepayaan. Tentunya ia mersakan sangat susah sekali menembus gua gelap milik Yura.
Kalau mendegar teman- temannya bercerita sepertinya tak sesulit ini. Kenapa kali ini sunguh sulit sekali. Tangguh tidak peduli, yang terpenting ia bisa merasakan apa yang orang lain pernah lakukan juga dimasa mudanya.
Tubuh Tangguh tergolek lemah disamping Yura. Yura masih tetap terjaga dan tak berani keluar. Dia keluar bisa jadi santapan leli biang kerok yang ada di depan. Hidupnya bisa lebih hancur lebur.
Pagi menjelang, Yura pun sempat tertidur karena kelelahan. Tangguh terbangun lebih dulu dan mengucek kedua matanya. Ia menatap gadis yang ada disampingnya dengan tubuh polos hanya tertutup selimut. Begitu juga dengan dirinya yang masih polos dengan beberapa bagian tubuh yang terasa lengket.
Tangguh terbangun dan memijat keningnya untuk mengingat kejadian semalam. Ia melihat bercak noda merah disprei putih. Tangguh juga menemukan identitas Yura sebagai peserta acara pelepasan maba yang diselenggrakan ditanah lapang samping markasnya ini.
Tangguh menoleh ke arah Yura dan emnatap gadis yang begitu polos dan manis. Ternyata semalam ia salah sasaran. Tangguh kira, Yura adalah wanita yang biasa melayani mereka disaat party. Tapi, Gadis ini adalah gadis baik -baik.
Yura mulai terbangun. Hawa panas mulai menyelimuti kamar itu. Matanya mulai mengerjap dan kedua matanya terbuka pelan menatap samar orang yang masih ada disampingnya.
Yura terkesiap dan segera duduk sambil meringis kesakitan dibagian intinya.
"Tolong .. Jangan paksa saya lagi," pinta Yura dengan nada melemah.
"Eh ... Enggak. Saya yang mau minta maaf." kesalTangguh merasa bersalah. Yura mengambil pakaiannya yang tercecer dilantai lalu memakainya dengan cepat.
"Pak ... Tolong saya. Saya harus pulang. Saya tidak mau jadi mangsa lelaki yang ada di depan," pinta Yura lagi. Raut wajahnya begitu ketakutan sekali.
Tangguh memengang tangan Yura. "Saya antar pulang."
"Jangan Pak! Tidak usah." Yura segera mengambil name tagnya dan berdiri disamping pintu kmaar menunggu Tangguh selesai memakai pakaian.
Tangguh mengambil kartu nama dan memberikannya pada Yura.
"Namaku Tangguh. Ini kartu namaku, nama kamu siapa?" tanya Tangguh lembut.
"Yura." Yura menjawab singkat sambil menunduk.
Rasanya tak kuasa melihat lelaki tinggi, tampan dan besar di depannya itu. Lelaki yang sudah merenggut kesuciannya.
Tangguh mengeluarkan dompet dan mengambil beberapa lembar uang merah untuk Yura.
"Ini untuk kamu. Kalau kurang, kamubisa hubungi aku dinomor itu," ucap tangguh sambil menunjuk ke arah kartu nama yang ada digenggaman tangan Yura.
Kedua mata Yura basah. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan pada Ayah dan Ibunya nanti.
Yura menepis tangan Tangguh dan menatap tajam lelaki di depannya.
"Aku bukan perempuan bayaran, Pak! Hargai saya sebagai perempuan bukan untuk pelampiasan! Tidak semuanya bisa diukur dengan uang!"
Yura nampak marah seklai. Ia membuka pintu dan menatap ke arah depan yang masi dipenuhi laki -laki yang begitu banyak. Yura menutup pintu kamar itu lagi dan menatap Tangguh dengan tatapan mengiba. "Tolong keluarkan saya dari sini."
Tangguh mengangguk kecil. Baru kali ini ia merasakan rasa bersalah yang teramat dalam. Tanggh meraih tanagn Yura dan menggenggam tangan Yura dengan erat.
"Maafkan saya, Yura."
Tangguh menggandeng Yura berjalan menuju depan dan membantu Yura untuk mendapatkan taksi. Ia tidak bisa mengejar Yura dengan motornya. Ia hanya berpesan pada Yura untuk menghubunginya sesampai dirumah. Jika terjadi sesuatu, Tangguh siap bertanggung jawab.