10. Sebagai Rekan, Teman, dan Suami

1587 Kata
"Neng, lagi santai?" sapa Ayunda ketika melongok ke ruang kerja Noia siang itu. Jam-jam setelah pengantaran siang biasanya memang saat paling tenang bagi seluruh staf di WrapFit Kitchen setelah berjibaku dari subuh. Mulai dari menyiapkan pesanan pagi, pengantaran, lanjut persiapan pesanan siang dan pengantaran juga. Untuk pesanan malam, mereka punya lebih banyak waktu. Namun, meski jam kerja di WrapFit Kitchen terkesan panjang, Aksa sudah mengaturkannya sedemikian rupa agar tetap sesuai dengan aturan ketenagakerjaan. "Eh, Ambu datangnya cepat sekali hari ini?" balas Noia heran. Wajah Ayunda tampak menyimpan rahasia. "Mau ajak Neng pergi." "Ke mana, Mbu?" Alih-alih langsung menjawab, Ayunda berniat memastikan terlebih dahulu. "Neng lagi santai, 'kan?" "Iya, Mbu." Noia memang hanya sedang beristirahat saja. Melihat-lihat konten masakan yang sekiranya bisa menambah inspirasi. "Yuk, ikut pergi sama Ambu! Sebentar aja," ajak Ayunda bersemangat. "Mau ke mana, Mbu?" tanya Noia penasaran. "Nanti aja Ambu kasih tahunya." Ayunda segera menggamit lengan Noia dan mengajak wanita itu berlalu. Tentu saja benak Noia dipenuhi tanya, tetapi berkali-kali mengajukan pertanyaan pun tetap tidak dijawab. Ayunda hanya terus mengulum senyum sepanjang perjalanan yang entah akan menuju ke mana. "Ini mau ke SleepCabin, Mbu?" tanya Noia ketika mobil yang mereka naiki mulai menepi dekat SleepCabin Pajajaran. Ayunda menggeleng cepat. "Bukan, kita ke sebelahnya." Noia makin terbingung-bingung, tetapi Ayunda masih tetap enggan menjelaskan. Dia hanya mengajak Noia turun dan menggandengnya menuju ruko yang tepat berada di sebelah SleepCabin. "Tempatnya kosong, Mbu," ujar Noia ketika mereka telah menginjak sisi dalam ruko. "Sekarang masih kosong, tapi akan segera terisi," sahut Ayunda riang. "Gimana menurut Neng, bagus enggak?" Noia menatap berkeliling, lalu mengangguk ragu-ragu. "Bagus, Mbu." Sebenarnya, Noia bingung apa yang dimaksud ‘bagus’ oleh Ayunda? Apakah lokasinya, bangunannya, luasannya, atau apa? Jadi, dia menjawab sekenanya saja. "Suka sama tempatnya?" "Hm?" Kembali Noia dibuat bingung. Apa yang harus di tanggapi mengenai ruko kosong yang masih putih bersih ini? "Andai Neng bisa pakai ini buat jadi tempat katering, suka enggak?" Kini Noia mulai paham maksud Ayunda. “Neng,” tegur Ayunda karena Noia tidak langsung merespon. "Suka, Mbu.” Akhirnya Noia mengangguk. “Tempatnya luas, bersih, lokasinya juga bagus." Sekonyong-konyong Ayunda berkata, "Kalau gitu, Neng pindah sini ya?” "Eh, pindah?" Kebingungan Noia sejak tadi mendadak berubah menjadi keterkejutan. "Neng lagi cari ruko baru buat WrapFit, 'kan?" "Ngg … soal itu," gumam Noia terbata-bata. Dia memang tengah dilanda kebingungan karena hanya memiliki sedikit waktu tersisa. Entah lanjut atau pindah, semua harus selesai dalam tempo dua minggu. "Neng suka 'kan di sini? Cocok, 'kan?" desak Ayunda tidak sabar. "Tapi ini tempat siapa, Mbu?" "Ini tempatnya Ambu, Neng bisa pakai." Memang seniat itulah Ayunda jika sudah memiliki keinginan. Meski belum resmi menjadi milik Ayunda, ruko ini sudah dalam proses pindah tangan dan dalam waktu dekat segala urusannya akan selesai. Noia terlihat ragu-ragu, lalu bertanya dengan sangat hati-hati, "Kalau boleh tahu, harga sewanya berapa, Mbu?" Cepat-cepat Ayunda menggeleng. "Enggak usah pikirin harga, Neng." "Maaf, Mbu, tapi saya harus buat hitungan dulu,” sahut Noia apa adanya. “Takutnya enggak masuk sama anggaran." Senyum Ayunda mengembang tatkala menggenggam tangan Noia. "Biaya sewanya nol rupiah, Neng." Seketika itu juga Noia terbelalak. "Jangan begitu, Mbu." "Tiga tahun pertama bebas biaya sewa,” ujar Ayunda lagi. “Setelah itu nanti kita obrolin lagi." "Ambu, terima kasih sekali buat niat baiknya, tapi saya enggak bisa menerimanya," ujar Noia sungkan. Wajah Ayunda berubah sedih. "Kenapa?" "Rasanya terlalu enggak tahu diri, Mbu." Noia sudah pernah melakukan survei dan daerah ini jelas merupakan sesuatu yang tidak berani dia impikan. "Saya tahu kisaran harga di sini sangat mahal dan saya enggak mau memanfaatkan kebaikan Ambu juga Mas Dirga." "Neng jangan mikir begitu,” ujar Ayunda sedih. “Ambu itu hitung-hitung sedang investasi. Ambu yakin dalam tiga tahun usaha Neng akan berkembang, nanti Ambu bisa terima keuntungan juga." "Kalau memang begitu, kenapa enggak dari awal aja, Mbu?" "Neng pasti masih butuh banyak biaya." "Tapi saya lebih tenang begitu daripada menerima kebaikan Ambu dengan cuma-cuma." Sama seperti ketika Noia berkeras menolak bantuan dari kakaknya, demikian pula dia tetap mempertahankan prinsip yang mereka tanamkan bersama sejak awal. Noia dan Aksa tidak ingin menerima bantuan secara cuma-cuma karena hal itu tidak akan membuat mereka bertumbuh menjadi kuat. Cukup lama Ayunda terdiam. Bukan karena tersinggung atas penolakan Noia, tetapi dirinya jatuh sayang lebih dalam lagi kepada wanita itu. Ayunda mengagumi tekad dan prinsip Noia. Pada akhirnya, dia menyerah. "Oke, kalau begitu Ambu ikuti kemauan Neng, tapi berapa pun jumlah yang Ambu minta, Neng harus ikuti." "Kalau perjanjiannya begitu, saya jadi takut, Mbu," bisik Noia ragu-ragu. "Kenapa takut?" tanya Ayunda heran. "Nanti Ambu bisa ambil keuntungan sesuka hati,” celetuk Dirga yang entah sejak kapan sudah ada di sana dan ikut mendengarkan obrolan mereka. “Baiknya dari awal dibuat hitam di atas putih agar jelas." "Kalau gitu, Aa bantu buatkan surat perjanjiannya, bisa?" pinta Ayunda bersemangat. Dirga menggeleng geli melihat kelakuan ibunya. "Bisa, Mbu, tapi Noia mau dulu atau enggak?" Pandangan Dirga dan Ayunda otomatis terarah kepada Noia, menunggu wanita itu memberi tanggapan. Sontak saja hal itu membuat Noia salah tingkah. "Boleh saya tahu dulu sistem perhitungannya seperti apa?" "Ambu akan ambil dari keuntungan bersih saja 1% flat tanpa kenaikan," jawab Ayunda begitu cepat dan penuh keyakinan. Kening Noia berkerut dalam mendengar syarat dari Ayunda. "Apa Ambu enggak rugi kalau begitu?" "Daripada sama sekali enggak dipakai, Neng," balas Ayunda sedih. "Pikirkan dulu matang-matang baik buruknya kalau pindah ke sini, Noia,” saran Dirga bijak. “Enggak perlu buru-buru." "Aa bukannya dukung Ambu," gerutu Ayunda setengah merajuk. "Aa kan harus objektif, Mbu,” sahut Dirga apa adanya. “Noia harus perhitungkan dulu, pertimbangkan, baru ambil keputusan." "Memang buruknya apa?" tanya Ayunda dengan nada menantang. "Mungkin jarak,” jawab Dirga. Kebetulan dia memang sudah tahu lokasi tempat tinggal Noia karena pernah mengantarnya pulang. “Biasanya Kopo-Muara, kalau di sini berarti Kopo-Pajajaran, otomatis sedikit lebih jauh." "Baiknya apa?" tanya Ayunda lagi. "Lokasi lebih ramai, harga sewa lebih rendah, dan ada satu yang agak subjektif." Wajah Ayunda tampak sedikit waswas. "Apa tuh?" Senyum Dirga mengembang saat menjelaskan, "Pengiriman ke SleepCabin jadi mudah. Tinggal ke sebelah." "Nah, betul tuh!" seru Ayunda kesenangan karena Dirga menyebutkan tiga keuntungan sementara kerugiannya hanya satu saja. "Bisa dibuat kerja sama lain juga,” ujar Dirga lagi. “Mungkin paket promo, potongan harga untuk makan siang atau malam bagi tamu SleepCabin." "Wah, cakep tuh!" Ayunda bertepuk tangan kesenangan. "Itu dari sisi Aa, dari sisi Noia mungkin berbeda," ucap Dirga menanggapi kehebohan ibunya. Noia tertunduk dalam menahan gejolak emosinya. Dia tidak mampu berkata-kata menanggapi fakta demi fakta yang Dirga jabarkan. Terang saja diamnya Noia menimbulkan tanya bagi Dirga dan Ayunda. Perlahan Ayunda mendekat dan mendapati tubuh Noia bergetar menahan tangis. Seketika itu juga Ayunda memeluk Noia seraya bertanya kaget, "Neng, kenapa nangis?" "Saya cuma enggak menyangka aja bisa dapat kesempatan seperti ini,” sahut Noia tersendat-sendat. “Enggak terbayang bisa ketemu sama orang sebaik Ambu dan Mas Dirga, Abah juga." Ayunda mengusap-usap punggung Noia penuh kasih. "Neng jangan nangis, Ambu jadi sedih." "Makasih banyak ya, Ambu," bisik Noia terharu. "Neng, Neng itu anak baik, makanya Tuhan juga pertemukan sama orang-orang baik,” ujar Ayunda seraya menepuk lembut punggung Noia. “Susah buat enggak jatuh sayang kalau berhadapan sama anak semanis Neng." Ketulusan Ayunda bisa Noia rasakan dan pada akhirnya dia luluh. Prinsip untuk tidak menerima bantuan secara cuma-cuma akhirnya dia kesampingkan. Bagaimanapun juga, Noia harus bertahan demi janin dalam kandungannya, demi Sagita yang harus dia temani, juga demi staf di WrapFit Kitchen yang mau berjuang bersama dan tidak meninggalkannya sampai hari ini. "Mbu, saya janji akan berusaha sebaik mungkin untuk mengembangkan WrapFit supaya kepercayaan yang Ambu kasih enggak sia-sia." Dalam hati Noia bertekad akan mengembalikan semua kebaikan Ayunda kelak. Entah bagaimana caranya, dia pasti akan membalas semua bantuan ini. “Lega rasanya kamu mau terima,” desah Ayunda senang. "Jangan kerja terlalu keras, Noia,” ujar Dirga menasihati. “Kamu udah terlalu memaksa diri kamu akhir-akhir ini. Kerjakan aja semuanya dengan bahagia." Tanpa sadar air mata Noia malah tambah deras. "Makasih, Mas." Entah karena kebaikan Dirga dan Ayunda atau hormon kehamilan yang membuatnya cengeng, akhir-akhir ini Noia mendapati dirinya bisa menangis di hadapan orang lain. Menyadari suasana yang agak canggung itu, Dirga memilih menyingkir. "Mbu, Aa balik dulu ke sebelah ya.” Setelah Dirga berlalu, benar saja tangis Noia pecah. Entah apa yang salah dengan dirinya sampai menangis terus seperti itu. Namun, Ayunda tetap menemani dengan sabar sampai akhirnya tangis Noia reda. "Neng, nanti kita belanja ya,” ajak Ayunda setelah suasana hati Noia kembali terkendali. "Belanja apa, Mbu?" "Perlengkapan buat di sini." "Saya bisa bawa dari tempat lama, Mbu." "Enggak apa-apa, mungkin ada yang perlu ditambah biar lebih nyaman," sahut Ayunda bersemangat. Sudah lama rasanya dia tidak jalan-jalan bersama Disty dan Devina. Kedua putrinya sudah memiliki kesibukan masing-masing dan tidak ada waktu untuk menemani Ayunda. "Nanti sekalian minta bantuan Aa aja, Aa kenal banyak supplier furniture." Cepat-cepat Noia menolak. "Nanti ngerepotin Mas Dirga, Mbu." "Tenang aja, Aa enggak akan merasa direpotin," sahut Ayunda yakin. Tanpa sadar Noia malah mengiakan. "Iya sih, Mas Dirga memang baik sekali orangnya." "Menurut Neng begitu?" tanya Ayunda senang. "Iya, Mbu." "Neng senang kerja sama dengan Aa?" "Senang, Mbu. Aa banyak bantu,” sahut Noia apa adanya. “Kalau ada kesalahan juga sabar banget menyelesaikannya." Wajah Ayunda dipenuhi senyum berbalut penasaran. "Kalau sebagai teman, Aa baik enggak?" "Sepertinya begitu, Mbu,” sahut Noia hati-hati. “Sama saya yang baru kenal sebentar aja, Aa enggak segan-segan membantu. Perhatiannya juga seperti ke keluarga." Jawaban Noia membuat mata Ayunda dipenuhi harap, sampai-sampai dia berani mengajukan satu pertanyaan lagi, "Kira-kira, Aa baik enggak kalau sebagai suami?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN