9. Mendadak Jantungan

1315 Kata
Sagita berdiri ragu di depan pintu kamar Noia. Saat ini sudah lewat tengah malam, tetapi lampu kamarnya masih menyala. Perlahan dia membuka pintu untuk memeriksa, kalau-kalau Noia tidak bisa tidur akibat bermimpi buruk lagi. “Yaya, kenapa belum tidur?” tanya Sagita lembut. Tidak ada balasan. Sagita membuka pintu lebih lebar dan menemukan Noia tengah duduk di kursi kerja dengan posisi menelungkup. “Ternyata ketiduran sambil kerja," gumam Sagita iba. Segera saja dia mendekat untuk membangunkan Noia. "Ya, ayo, pindah ke ranjang. Jangan tidur di sini, nanti kamu sakit." Noia langsung terbangun mendengar suara Sagita. Dia berusaha membuka mata dan melihat jam di ponsel. "Mama belum tidur?" "Mama tadi bangun sebentar, mau ke kamar mandi. Terus Mama lihat lampu kamar kamu masih menyala." "Mama tidur lagi ya, Yaya juga mau tidur." Noia segera berpindah ke tempat tidur untuk melanjutkan lelapnya. Namun, dia tidak kunjung mendengar langkah kaki Sagita menjauh. Akhirnya, Noia kembali membuka mata dan menemukan Sagita masih berdiri di dekat meja kerja, memandangi laptop dan berkas-berkas yang terbuka di sana. "Ma, lagi liatin apa?" tegur Noia dengan suara mengantuk. "Yaya, semua ini …," bisik Sagita tertahan. Seketika itu juga Noia teringat apa saja yang tadi tengah dikerjakannya. Cepat-cepat dia bangun lagi dan menutup laptop serta berkas-berkas di meja. "Enggak usah diliat, Ma. Enggak penting ini." Namun, Sagita sudah terlanjur membaca semuanya. "Kamu lagi berusaha mengajukan pinjaman, Ya?" Hilang sudah kantuk Noia saat ini. "Yaya, coba jujur sama Mama," desak Sagita resah. Sebenarnya, Noia tidak ingin Sagita tahu masalah ini. Namun, sekarang sudah terlanjur dan dia tidak bisa berbohong. "Udah waktunya perpanjang sewa ruko, Ma." Sagita menatap Noia, lalu bertanya penuh hati-hati, "Dananya enggak cukup?" "Harga sewanya naik hampir dua kali lipat, Ma." Andai harga sewa ruko tidak mendadak naik, dana yang sudah Noia siapkan seharusnya cukup. Bulan ini, sewa ruko yang mereka bayarkan tepat satu tahun lalu akan habis. Jika ingin lanjut, tentu harus diperpanjang. Mirisnya, hadiah satu tahun berdirinya WrapFit Kitchen bukanlah kejutan menyenangkan, melainkan tagihan harga sewa yang melonjak. "Wah?" "Kalau maksain buat bayar sewa, Yaya takut enggak cukup buat biaya operasional sehari-hari sama bayar pegawai." Perlahan Sagita meraih tangan Noia, lalu mengajaknya duduk di tepi tempat tidur. "Yaya mau pakai uang Mama?" "Jangan, Ma," tolak Noia tanpa perlu berpikir sama sekali. "Kenapa?" Noia tersenyum lebar, kemudian menjawab pasti, "Buat tabungan Mama aja." "Tabungan Mama cukup, Ya." "Yaya tetap enggak mau, Ma." "Kenapa sih?" tanya Sagita tidak habis pikir. "Daripada pinjam ke bank, mending pakai uang Mama. Tabungan Mama juga enggak terpakai." Andai solusinya adalah pinjam uang, tentu Noia bisa mendapatkannya dengan mudah. Kakaknya pasti bisa memberi dengan mudah, apalagi kakak iparnya yang memiliki kekayaan tidak terbatas. Namun, Noia tidak menginginkan itu. Selama masih bisa, dia akan berjuang dahulu sebelum lari meminta pertolongan. "Ma, harusnya Yaya yang kasih ke Mama, bukan malah sebaliknya." "Kata siapa harusnya begitu?" balas Sagita sebal. "Kan Yaya anak Mama." "Enggak ada aturan begitu, Ya," bantah Sagita jengkel. "Pokoknya Yaya tetap enggak mau, Ma," putus Noia keras kepala. Sagita kembali meraih tangan Noia, lalu menggenggamnya erat-erat. "Ya, kamu enggak perlu kerja mati-matian seperti ini." "Yaya enggak gitu kok, Ma." "Mama tahu semua yang kamu lakuin, Ya," ujar Sagita sedih. "Mama tahu gimana kerasnya kamu bekerja setelah Aksa enggak ada. Apalagi setelah kamu hamil." "Yaya cuma mau melanjutkan apa yang udah dirintis bersama Aksa, Ma." "Mama tahu, Ya, tapi apa harus sampai sebegininya?" "Kalau Yaya enggak kerja keras, terus WrapFit enggak bisa lanjut, banyak yang Yaya pikirin, Ma," sahut Noia sembari tertunduk sedih. "Gimana mimpi Yaya sama Aksa, gimana nasib anak-anak WrapFit, gimana hidup kita selanjutnya, gimana biaya buat bayi ini nanti?" "Yaya, semua itu memang penting, tapi kesehatan kamu juga penting." Sagita tidak tahan mendengar ucapan Noia dan segera merangkul wanita itu. "Diri kamu itu penting, Ya. Kalau kamu sakit, kamu kenapa-napa, semua jadi percuma, Ya." Noia tertunduk makin dalam. Dia sadar, ucapan Sagita memang benar. "Pokoknya, Mama enggak mau lihat kamu jungkir balik kayak begini lagi," ujar Sagita tegas. "Tapi Yaya enggak mau nyerah sama WrapFit, Ma." "Mama enggak suruh kamu berhenti, Ya. Mama cuma minta, jangan kerja terlalu keras." Sagita merangkum wajah Noia dan memaksa wanita itu menatapnya. "Ada dua hal yang bisa kamu lakuin. Pertama, cari tempat lain yang harganya sesuai, atau tetap di tempat lama dan terima bantuan Mama." "Tapi nanti-" "Jangan mikirin nanti uang Mama habis." Sagita menggeleng tegas dan memotong ucapan Noia. "Tabungan Mama cukup, Ya. Setiap bulan masih terima gaji. Mama juga punya dana pensiun." Sampai hari ini, Sagita memang masih aktif bekerja sebagai guru di sebuah sekolah menengah atas. Masih ada enam tahun sampai dirinya harus pensiun di usia 55 nanti. "Yaya cuma enggak mau ngerepotin Mama." "Mama juga bisa bilang hal yang sama," balas Sagita gemas. "Mama enggak mau ngerepotin kamu, jadi kamu enggak perlu menemani Mama lagi." "Mama jangan gitu!" protes Noia kaget. "Makanya kamu juga jangan gitu!" sahut Sagita penuh kemenangan. Dia tahu ancamannya akan berhasil karena Noia memang tidak pergi dari rumah ini meski Aksa telah tiada. "Ayo, sekarang tidur lagi!" *** "Ambu, mau ambil pesanan ya?" sapa Putri begitu melihat Ayunda melangkah masuk. Dalam beberapa waktu terakhir, kehadiran Ayunda setiap sore sudah menjadi hal yang pasti di WrapFit Kitchen. Semua staf di sana sudah mengenal Ayunda dengan baik dan sering bercakap-cakap santai juga. "Iya, Neng," balas Ayunda hangat. "Duduk dulu aja, Mbu, tapi Mbak Noia lagi enggak ada." "Wah, Noia lagi pergi?" Ayunda kelihatan terkejut karena biasanya Noia selalu ada di tempat saat dia datang. "Iya, Mbu." "Tumben," guman Ayunda heran. "Tadi mendadak diajak ketemu sama agen properti gitu," tutur Putri. Kening Ayunda mengernyit. "Agen properti?" Putri mengangguk cepat, lalu menjelaskan dengan murah hati, "Itu, Mbu, Mbak Noia lagi cari tempat baru buat WrapFit." Berita ini membuat Ayunda makin terkejut. "Kalian mau pindah?" Wajah Putri tampak mendung ketika mengangguk. "Rencananya begitu." "Kenapa pindah?" "Harga sewanya …." Putri membuat gerakan mencekik lehernya sendiri, kemudian bergidik. "Bikin merinding pokoknya, Mbu." "Naik?" "Dua kali lipat," ujar Putri dramatis. Kemudian, gadis itu mendengkus sebal. "Jahat banget orangnya, padahal tau Mbak Noia habis kena musibah." Berhubung Noia tidak ada, Ayunda pun tidak berlama-lama di WrapFit Kitchen sore itu. Tanpa menunggu Dirga menjemput, dia segera meninggalkan tempat Noia. Alih-alih pulang, Ayunda malah mendatangi SleepCabin Pajajaran, tempat Dirga tengah berkantor hari itu. Alhasil, Dirga terkejut bukan main saat ibunya tiba-tiba saja muncul. "Ambu kenapa ke sini?" "Enggak boleh?" balas Ayunda santai. Dirga menggeleng melihat tingkah ibunya. "Tumben aja, biasanya selalu minta jemput di tempat Noia." Sejak dahulu, Ayunda memang tipikal orang yang tidak bisa diam. Selalu punya banyak kesibukan, selalu pergi ke mana-mana, dan selalu ramah berbincang dengan siapa saja. Namun, beberapa tahun terakhir sepertinya kebiasaan Ayunda makin parah. Andai tidak takut disebut kurang ajar, mungkin Dirga akan melabeli ibunya 'hiperaktif'. "Noia hari ini enggak ada," jawab Ayunda lesu. Sehari saja tidak berbincang dengan wanita muda itu, rasanya ada yang kurang dalam hari Ayunda. Maksud hati ingin mendekatkan Dirga dengan Noia, ujung-ujungnya malah dia sendiri yang makin terpikat. Diam-diam Dirga tersenyum geli. "Pantas Ambu langsung ke sini." Ayunda tidak peduli dengan wajah menyebalkan putranya saat ini karena dia sudah tidak sabar untuk mencari tahu sesuatu. "A, ruko sebelah masih kosong?" "Masih, Mbu, memang kenapa?" Wajah Ayunda kini berbinar. "Mau disewa atau dijual?" "Katanya sih mau jual kalau harganya cocok." Sekonyong-konyong Ayunda mengajukan pertanyaan. "Aa enggak mau beli?" "Buat apa?" Jelas saja Dirga melongo mendengar pertanyaan ibunya yang diucapkan dengan sangat santai. Pikirnya urusan beli properti macam pesanan katering? "Memperluas SleepCabin." "Enggak, Mbu," jawab Dirga tegas. "Mending Aa cari lokasi lain karena SleepCabin di sini udah maksimal." Dirga memiliki standar sendiri mengenai luas bangunan dan kapasitas kamar untuk membangun SleepCabin. Jadi, dia tidak akan sembarang memperluasnya karena hal itu akan menyalahi konsep. "Kalau gitu Ambu aja yang beli," putus Ayunda cepat. Sontak saja Dirga mendelik kaget. "Buat apa?" Ayunda tersenyum lebar, lalu menjawab tanpa beban, "Buat Noia." "HAH?" Dirga hanya bisa melongo saking kagetnya. Ibu super aktif ini memang selalu berhasil membuat jantungan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN