11. Harap yang Belum Dapat Diucap

1703 Kata
“Mbak Noia, ada mobil box dari jasa pindahan!” seru Putri dari meja depan. Gerak tangan Noia yang tengah memindahkan peralatan masak ke dalam dus seketika terhenti. “Siapa yang panggil jasa pindahan?” “Bukan Mbak Noia memangnya?” tanya Neta polos. Kening Noia mengernyit. “Aku enggak panggil kok.” Dina menangkap kebingungan bosnya, lalu segera bicara, “Seingat Dina juga Mbak Noia bilang kita bakal pindahan gerilya kayak semut, ‘kan?” Noia mengangguk membenarkan, lalu buru-buru berdiri. “Coba aku cek dulu.” Noia bergegas menuju ke depan untuk menemui Putri dan betapa terkejutnya dia melihat tiga orang lelaki berseragam dari jasa pindahan mulai mengangkat dus-dus milik WrapFit Kitchen yang telah disegel dengan baik. “Put, ini kenapa barang kita dikasih ke mereka?” “Mau dipindahin, Mbak,” jawab Putri tanpa dosa. “Siapa yang suruh?” “Kirain Mbak Noia.” Cepat-cepat Noia menghampiri mobil jasa pindahan itu dan berbicara dengan petugasnya, “Pak, maaf. Kami enggak panggil jasa pindahan.” Salah satu lelaki itu segera memasukkan dus milik WrapFit Kitchen ke dalam mobil, lalu mengambil surat tugas yang tadi dia terima. “Di sini betul WrapFit Kitchen, ‘kan?” “Iya betul.” Noia mengangguk ragu-ragu. “Pimpinannya Ibu Eunoia?” Kembali Noia mengangguk. “Betul, itu saya.” “Berarti enggak salah, Bu,” jawab lelaki itu yakin. “Tapi saya enggak pernah menghubungi jasa pindahan,” sahut Noia kebingungan. Lelaki itu segera mengangsurkan surat tugasnya ke tangan Noia. “Coba Ibu lihat dulu!” “Pak Dirga …,” gumam Noia ketika membaca nama pemohon. Lelaki itu mengangguk yakin. “Iya, kata Pak Dirga, kami diminta bantu Ibu pindahan ke Pajajaran.” “Sebentar, saya telepon Pak Dirga dulu,” ujar Noia setengah linglung. Dia segera mengambil ponsel untuk menghubungi Dirga. “Mas, maaf mengganggu. Ini saya mau tanya soal jasa pindahan yang datang ke WrapFit, katanya dikirim sama Mas Dirga. Apa benar, Mas?” “Aduh, Noia!” desis Dirga di ujung sana. “Maaf saya lupa kasih tahu kamu dulu. Tadi saya mau telepon, tapi ada meeting dadakan dan ini baru selesai.” “Jadi, benar Mas Dirga yang panggil?” ujar Noia memastikan. “Iya, betul.” “Padahal enggak usah, Mas.” Terang saja hal ini membuat Noia jadi tidak enak hati. Rasa tidak enak hatinya kepada Dirga dan Ayunda sudah bertumpuk-tumpuk dan tidak terbendung lagi. Begitu banyak kebaikan yang dia terima dari mereka dan Noia tidak sanggup membalasnya. “Pindahan pakai motor itu pasti repot, Noia. Belum lagi bahayanya.” Dirga pernah menanyakan hal ini pekan lalu dan jawaban Noia membuatnya terkejut. Bayangkan saja, bagaimana caranya mengangkut semua perabotan di WrapFit Kitchen dengan menggunakan motor? Hening. Untuk beberapa saat Noia tidak bisa langsung merespon. Namun, seolah-olah dapat menebak respon Noia, Dirga segera berkata lagi, “Jangan enggak enakan ya? Biarin mereka bantu, bukan cuma untuk pindahin barang, tapi sekalian beberesnya juga. Mereka jasa pindahan profesional, pekerjaannya bisa diandalkan.” “Makasih banyak ya, Mas.” Hanya itu yang dapat Noia sampaikan saat ini. Dia pun sadar, terlalu memaksakan jika membawa semua perabotan di dapurnya menggunakan motor. Barang-barang dalam dus kecil memang bisa, tetapi perabotan berukuran besar macam kulkas, kompor empat tungku, belum lagi lemari-lemari, mana mungkin diboyong dengan motor? “Maaf saya belum bisa datang bantu langsung,” ujar Dirga lagi. “Moga-moga sore ini bisa ke sana.” “Eh, enggak usah, Mas!” tolak Noia cepat. “Ambu juga minta maaf katanya belum sempat datang.” “Iya, Mas, tolong sampaikan ke Ambu enggak perlu repot-repot.” Akhirnya, setelah panggilan dengan Dirga berakhir, Noia membiarkan ketiga petugas dari jasa pindahan itu membantu pekerjaan mereka. Jujur saja, semua jadi terasa lebih cepat dan mudah karena mereka memang profesional dalam urusan ini. Tidak lama berselang, seruan Putri kembali terdengar. “Mbak Noia, ada kiriman dari Ambu!” Kali ini, bukan hanya suaranya, tetapi Putri juga ikut muncul dengan dua kantong plastik besar di tangan. “Kiriman apa?” Entah mengapa, perasaan Noia sudah tidak enak. “Makanan, Mbak,” jawab Putri ceria sembari mengendus-endus aroma makanan yang menguar dari dalam kantong. “Astaga!” desah Noia pusing. Bukan dia tidak suka, hanya saja hatinya terus dibebani perasaan tidak enak. Ayunda pasti mengirimi makanan karena tahu mereka sangat sibuk mengurus pindahan. WrapFit Kitchen saja sampai tutup selama tiga hari demi mengurusi semua ini. “Kenapa, Mbak?” tanya Dina yang tiba-tiba sudah ikut berdiri di dekat Noia. “Aku tuh jadi ngerasa enggak enak,” sahut Noia serba salah. “Mas Dirga sama Ambu terlalu baik.” “Disyukuri aja, Mbak,” ujar Dina menyemangati. “Keliatannya Ambu sama Pak Dirga tulus kok.” Noia mengangguk setuju. “Mereka memang tulus, Din.” Perlahan Dina menggandeng lengan Noia, lalu berujar tulus, “Mbak Noia itu orang baik, makanya dipertemukan sama orang-orang baik juga.” *** Setelah tiga hari yang melelahkan, akhirnya urusan pindahan WrapFit Kitchen rampung juga. Siang itu, untuk pertama kalinya Noia menjejakkan kaki di ruko baru mereka yang berada tepat bersebelahan dengan SleepCabin. Dua hari kemarin, Noia memercayakan segala urusan di ruko baru ke tangan para staf lelaki, sementara mereka yang perempuan sibuk di tempat lama. “Ah, Neng Cantik udah datang!” Sambutan hangat dari Ayunda langsung terdengar, bahkan sebelum Noia melangkah masuk. “Ambu kapan datang?” “Ambu dari pagi udah di sini, Neng,” jawab Ayunda riang. “Dari kemarin malah,” celetuk Dirga yang muncul di belakang Ayunda. “Hush, rahasia!” tegur Ayunda galak. “Ambu ngapain aja?” tanya Noia curiga. “Mengerjakan proyek rahasia,” celetuk Dirga lagi. “Aa!” protes Ayunda gemas. Perasaan Noia mulai kembali tidak enak. Pikirnya, apa lagi yang kini Ayunda siapkan? “Proyek rahasia apa, Mbu?” “Enggak ada kok, Neng,” bantah Ayunda cepat. “Ambu cuma bantu bersih-bersih aja di sini biar tempatnya langsung siap begitu Neng datang.” Wajah Noia tampak gusar ketika berkata, “Ambu, kenapa repot-repot banget buat bantu saya?” “Enggak, Ambu beneran enggak repot,” bantah Ayunda ngotot. “Cuma ngisi waktu aja.” “Saking fokusnya ngisi waktu sampai enggak sempat ke mana-mana,” goda Dirga geli. Seketika itu juga tangan Ayunda melayang ke pinggang Dirga. “Aw, sakit!” erangan kecil lolos dari bibir Dirga merasakan perihnya cubitan sang ibu. Segera Ayunda menggamit Noia masuk. “Ayo, kita masuk, Neng!” Baru saja melangkah masuk, Noia langsung tercengang. “Ambu, ini kenapa jadi begini?” Bagian dalam ruko yang tadinya putih polos, kosong blong tanpa hiasan sama sekali, tiba-tiba saja sudah berubah. Ada kertas-kertas dinding berpadu aksen kayu yang membuat suasana di dalam terasa hangat. Lantai pun dilapisi bahan kayu yang membuat suasana makin terkesan nyaman. “Neng enggak suka?” tanya Ayunda khawatir. “Masih bisa diganti kok.” Cepat-cepat Noia menggeleng, lalu berbisik, “Bukan enggak suka, Ambu, tapi ini terlalu bagus.” Seketika mata Ayunda berbinar-binar. “Jadi, Neng suka?” Tanpa sadar Noia mengangguk-angguk sembari matanya kembali menatap sekeliling. “Suka, Mbu, bagus sekali.” Dari area depan, Ayunda mengajak Noia masuk lebih jauh. Tepat di sebelah ruang kerja Noia, ada sebuah ruangan kecil yang tampak nyaman dilengkapi sofa dan televisi. “Sekarang ada ruang istirahat buat kalian.” Noia tidak mampu berkata-kata. Hanya matanya saja yang menyiratkan betapa dia sangat berterima kasih kepada Ayunda. Kemudian, begitu mereka tiba di dapur, Noia kembali tercengang. Kali ini, mau tidak mau dia harus bertanya, “Kenapa ada ini, Mbu?” Noia menunjuk dua kompor baru yang tampak jauh lebih canggih dari miliknya, lalu sebuah kulkas dan freezer baru yang ukurannya jauh lebih besar dari sebelumnya. “Ambu pikir bisa buat tambah-tambah perlengkapan dapur. Bisa terpakai enggak, Neng?” tanya Ayunda ragu-ragu. “Tentu terpakai, Mbu, tapi ini harganya mahal sekali.” “Enggak apa mahal, yang penting terpakai.” Ayunda mengangguk senang. “Kalau mau usaha kita berjalan baik, memang modalnya pun enggak bisa sedikit.” Sampai di sini, Noia tidak kuat lagi. Air mata yang sejak tadi coba dia tahan, akhirnya mengalir juga. Melihat Noia meneteskan air mata, Ayunda langsung dilanda kepanikan. “Kenapa Neng nangis?” “Saya enggak tau harus bilang apa.” Noia menggeleng berkali-kali sambil berusaha mengendalikan diri. “Ini semua terlalu bagus, Ambu.” “Syukurlah kalau Neng suka.” Perlahan Ayunda meraih tubuh Noia dan memeluknya hangat. “Ambu udah khawatir pilihan Ambu enggak cocok sama selera Neng.” “Saya sama sekali enggak kepikiran mau bikin tempat yang kayak gini,” bisik Noia. “Mimpi aja enggak berani.” “Neng boleh kok bermimpi,” ujar Ayunda lembut. “Kalau pengin apa-apa, bilang sama Ambu. Siapa tahu Ambu bisa bantu wujudkan.” Noia langsung menggeleng. “Jangan Ambu, ini udah lebih dari cukup.” Ayunda melepas pelukannya, lalu menatap Noia sungguh-sungguh. “Neng, jangan sungkan sama Ambu.” “Mbu, gimana caranya saya bisa balas kebaikan Ambu?” Ayunda tersenyum manis, kemudian merangkum wajah Noia. “Ambu enggak minta balasan dari Neng. Lagian, anggap aja ini hadiah satu tahun berdirinya WrapFit Kitchen.” “Ah, benar! Kemarin ulang tahunnya WrapFit,” desah Noia. Saking sibuknya mengurus pindahan, dia sampai melupakan tanggal penting itu. Sebenarnya, lebih tepat dikatakan jika Noia sibuk mengurus hidupnya yang mendadak jungkir balik dalam tiga bulan terakhir ini. Segala sesuatu jadi terasa tidak nyata dan membuat Noia sulit fokus. Andai Aksa masih bersamanya, pasti saat ini mereka tengah mengadakan pesta meriah, berbahagia bersama merayakan pencapaian satu tahun berdirinya WrapFit Kitchen. Mungkin sambil merayakan kehamilannya juga. “Tapi sebenarnya Ambu punya sebuah harapan.” “Apa itu, Mbu?” Untuk beberapa saat, Ayunda hanya terdiam memandangi Noia. Dia sempat ragu sejenak, tetapi akhirnya menggeleng yakin. “Sebaiknya enggak sekarang Ambu katakan.” “Kenapa, Mbu?” tanya Noia heran. Perlahan, Ayunda mengembuskan napas berat. “Ambu takut harapan Ambu akan jadi beban buat Neng.” Sebesar apa pun keinginan Ayunda saat ini, dia tahu dirinya harus sabar menunggu. Ayunda tidak ingin tergesa-gesa dan malah menghancurkan semuanya. Dia ingat sudah salah bicara beberapa waktu lalu dan membuat Noia terkejut bukan main. Kali ini tidak boleh terulang lagi. “Nanti aja ya, Neng,” ujar Ayunda seraya mengusap lembut pipi Noia. “Suatu saat Ambu akan kasih tahu harapan Ambu.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN