12. Mengikat Diri

1681 Kata
“Gimana hari-hari di tempat baru?” Noia sedikit terkejut ketika Dirga tiba-tiba melongok di pintu ruang kerjanya. Belum lama dia beristirahat setelah berjibaku sepanjang pagi hingga siang. “Sejauh ini semua lancar, Mas.” Sebenarnya, dua hari pertama di tempat baru, Noia dan semua staf di WrapFit Kitchen cukup kerepotan. Bukan karena pesanan yang mendadak banyak, melainkan mereka masih perlu beradaptasi dengan tempat baru. Namun, semua bisa teratasi dengan baik dan setelah hampir satu minggu, mereka mulai terbiasa. “Syukurlah.” Dirga mengangguk lega. “Semoga tempat ini membawa perubahan yang lebih baik untuk usaha kamu ya.” “Terima kasih banyak, Mas.” “Siang ini kamu senggang, ‘kan?” ujar Dirga yakin. “Mas Dirga kok, bisa tau?” balas Noia heran. “Saya udah tanya jadwal kamu sama Dina.” Wajah Noia terlihat cukup kaget, tetapi dia tidak mengatakan apa-apa. “Jangan salah paham, Noia.” Melihat perubahan di wajah Noia, cepat-cepat Dirga menjelaskan, “Saya bukan mau mengawasi kamu, cuma kebetulan hari ini saya ada urusan yang berkaitan sama kamu.” “Urusan apa ya, Mas?” tanya Noia hati-hati. “Saya mau ajak kamu ke dokter.” “Dokter?” Dirga mengangguk kecil seraya tersenyum. “Hari ini jadwalnya kamu kontrol kandungan.” “Astaga!” desah Noia kaget. Dia benar-benar lupa jika satu bulan telah berlalu sejak pertama kali dirinya diketahui hamil. “Kenapa saya bisa lupa begini?” “Kamu pasti lupa karena terlalu sibuk mengurusi pindahan,” ujar Dirga maklum. Meski kenyataannya demikian, tetap saja Noia merasa bersalah. Seharusnya, dia lebih memerhatikan kehamilannya. Seharusnya, dia menjaga dengan baik janin yang Aksa titipkan. Satu bulan ini saja, Noia terus dilanda perasaan bersalah karena tidak menyadari kehamilannya lebih awal. Sebenarnya, wajar jika Noia tidak menduga dirinya hamil. Pertama, siklus menstruasinya memang kerap tidak teratur. Kedua, ini merupakan pertama kalinya bagi Noia. Ketiga, di saat Aksa telah pergi demikian jauh, Noia tidak menyangka dirinya akan hamil. Melihat Noia begitu dibebani perasaan bersalah, Dirga berujar lagi, “Enggak semua hal harus kamu urus sendiri, Noia. Sesekali enggak ada salahnya dibantu orang lain.” Noia menggeleng seraya mengembuskan napas berat. “Iya, tapi soal ini harusnya saya urus sendiri.” Tidak ingin membiarkan Noia berlarut-larut dalam perasaan bersalah, Dirga segera mengalihkan pembicaraan. “Kita berangkat sekarang?” “Hm?” Dirga melirik jam tangan, kemudian menjelaskan, “Jadwal praktiknya jam 1, kalau datang terlambat sedikit aja antrian langsung penuh.” Noia mengangguk patuh. Tanpa membantah lagi, dia segera bersiap untuk pergi bersama Dirga. Nyatanya, keputusan mereka memang tepat karena dokter yang Dirga pilihkan untuk Noia sangat laris didatangi pasien. “Datang sebelum jam satu pun ternyata antriannya udah banyak.” Dirga menggeleng tidak percaya ketika melihat nomor antrian yang mereka dapatkan. Noia akan menjadi pasien ke 19, padahal saat ini dokternya saja belum mulai praktik. “Mas Dirga tinggal aja, biar saya sendiri,” ujar Noia tidak enak hati. Melihat nomor antriannya, Noia perkirakan bisa berjam-jam mereka menunggu. Namun, Dirga langsung menggeleng santai. “Saya temani aja.” “Maaf ya, Mas, saya bikin repot terus.” “Kamu itu minta maaf terus, padahal enggak buat salah apa-apa,” sahut Dirga sedikit gemas. “Menemani saya begini pasti buang waktu, apalagi antriannya panjang.” Diam-diam Dirga jadi teringat dengan kedua adiknya. Jika disandingkan dengan Noia, mereka sangat jauh berbeda. Disty yang tegas, berani, dan selalu mengutarakan keinginannya tanpa ragu. Kemudian Devina yang manja dan selalu meminta, merengek, dan merajuk tanpa malu-malu. Di mata Dirga, wanita ini sangat dewasa meski umurnya masih sangat muda. “Bulan depan kita datang lebih awal ya.” Noia menoleh terkejut akibat ucapan Dirga. Seolah-olah bisa memahami hal yang mengganjal hati Noia, Dirga segera bicara lagi, “Selama kamu berniat ke dokter sendiri, biar saya yang temani. Kecuali kamu berencana ke dokter sama orang lain.” “Apa enggak aneh Mas Dirga temani saya terus?” Jujur saja, tidak ada orang lain yang ingin Noia ajak untuk menemaninya ke dokter. Tentu sebenarnya ada, tetapi sosok itu sudah tidak bisa mendampinginya lagi. “Saya pernah kok menemani adik saya waktu dia sempat cekcok sama suaminya. Sekitar tiga bulan seingat saya.” Jawaban Dirga ini bukan karangan semata, tetapi memang nyata. Disty pernah kabur meninggalkan suaminya saat hamil karena sebuah kesalahpahaman yang cukup fatal. Untungnya, hal itu dapat diluruskan dan kini rumah tangga Disty baik-baik saja. “Ke dokter sendirian saat hamil, saya tahu bagaimana sedihnya. Jadi, anggap aja saya kakak kamu dan enggak perlu merasa sungkan.” Mendengar penjelasan Dirga, Noia merasa sedikit lebih tenang. “Makasih ya, Mas.” Dahulu, Noia memang pernah mendambakan memiliki seorang kakak laki-laki. Sayang, hanya Yuta yang dia punya. Namun, untungnya suami Yuta dapat sedikit mengisi kerinduan Noia akan sosok kakak laki-laki. Ritz sangat baik dan kerap memanjakan Noia. “Noia, kita makan dulu yuk!” ajak Dirga tiba-tiba. “Giliran kamu masih jauh, lebih baik kita cari makan.” “Mas Dirga belum makan?” “Saya udah, tapi kamu sepertinya belum,” ucap Dirga setengah menebak. “Udah sih, Mas, cuma memang enggak banyak,” jawab Noia jujur. “Apa karena mual?” Noia mengernyit, lalu mengangguk. “Lumayan, Mas.” Dua minggu terakhir ini, Noia memang cukup kesulitan dalam mengonsumsi makanan, padahal sebelumnya tidak. Sebelum hamil, Noia bukanlah orang yang rewel dalam urusan makanan. Sejak kecil dia sudah dibiasakan untuk memakan apa saja yang tersedia. Ketika masa awal-awal kehamilan, sebenarnya Noia mulai merasakan kehilangan selera makan. Namun, dia mengira itu karena sedih yang mendalam akibat kehilangan Aksa. Sekarang, Noia baru tahu itu karena perubahan hormon dalam tubuhnya. Anehnya, dua minggu terakhir ini rasa mual itu kian hebat. Dipaksa seperti apa pun, Noia tetap sulit menelan. Rasa mual bahkan membuatnya mulai takut melihat makanan. “Makanan apa yang membuat kamu mual?” Noia mencoba mengingat-ingat, lalu menjawab pasrah, “Kayaknya hampir semua.” “Udah coba makan masakan Indonesia?” Seketika itu juga Noia bergidik. “Bau bumbunya yang kuat aja langsung bikin pusing, Mas.” Kening Dirga berkerut seraya dirinya berpikir keras. “Kalau yang standar seperti ayam goreng atau ikan goreng?” “Belum coba sih, Mas.” “Kita coba ya?” ajak Dirga bersemangat. Melihat kesabaran Dirga yang luar biasa, Noia jadi teringat pertanyaan Ayunda beberapa waktu lalu. "Kira-kira, Aa baik enggak kalau sebagai suami?" Noia hanya mampu terbelalak kaget mendengar pertanyaan Ayunda. Sadar jika ucapannya mungkin membuat Noia resah, Ayunda segera menambahkan, “Maksud Ambu, menurut Neng, Aa itu kalau jadi suami bakal baik enggak sama istrinya? Soalnya Ambu bingung lihat Aa kok, enggak juga laku-laku, padahal perasaan Aa itu baik.” Ketika itu, Noia tidak bisa menjawab, tetapi kini dia jadi memikirkannya. Jika melihat betapa besar perhatian Dirga kepada rekan kerja dan keluarga, seharusnya sebagai suami pun dia baik. Namun, Noia tidak memikirkan perkara itu lebih lanjut karena Dirga segera mengajaknya menuju bagian luar rumah sakit untuk mencari-cari di tempat makan sekitaran sana. Untungnya, tempat makan di sekitar rumah sakit cukup berlimpah. “Gimana, apa bisa dimakan?” tanya Dirga harap-harap cemas ketika Noia mencoba menyantap nasi putih dengan ayam goreng kuning. Tanpa sadar Noia tersenyum karena rasa makanan itu cukup bersahabat di mulutnya. Hangat, lembut, dan tidak berbau tajam. “Ternyata lumayan, Mas.” “Syukurlah,” desah Dirga lega. Jujur saja dia khawatir karena melihat wajah Noia sangat pucat hari ini. Dirga tahu betapa pentingnya asupan makanan bagi ibu hamil juga janinnya. “Mas Dirga kok, bisa kepikiran ini?” tanya Noia takjub setelah suapan demi suapan berhasil ditelannya dengan lancar. “Pengalaman waktu menemani adik saya. Dengar-dengar cerita sepupu juga.” Noia mengangguk paham. Tidak heran sebenarnya melihat Dirga sedemikian perhatian. Keluarga Dirga memang sangat hangat dan penuh perhatian. Dibesarkan di keluarga yang demikian tentunya membentuk Dirga menjadi sosok seperti itu juga. “Kamu sabar ya, katanya ini enggak lama lagi juga berlalu,” ujar Dirga mencoba menghibur. “Nanti kalau kehamilannya tambah besar, makan udah enak lagi.” Kembali Noia mengangguk. Rasanya memang sangat terhibur sekaligus menenangkan mendengar ucapan Dirga. Entah mengapa, Noia jadi tidak merasa sendirian. Ucapan Dirga membuat Noia sadar jika ibu hamil lain pun mengalami hal yang sama. “Saya salut kamu bisa bertahan di dapur dengan kondisi mual-mual begini.” Noia meringis kecil ketika menjawab, “Cukup terbantu sama makser, Mas.” “Staf kamu di WrapFit sepertinya belum ada yang tau soal kehamilan kamu.” “Saya memang enggak membahas masalah ini sama mereka, tapi dari mana Mas Dirga tau?” “Kalau mereka tau kamu sedang hamil, mereka pasti akan sangat hati-hati menjaga kamu,” sahut Dirga yakin. Dia bisa melihat betapa besar loyalitas yang dimiliki oleh staf Noia. Mereka terlihat menyayangi wanita itu dengan tulus. “Benar juga ….” “Kenapa enggak kasih tau mereka, Noia?” tanya Dirga bingung. “Saya rasa itu bukan sesuatu yang perlu ditutupi.” Tanpa sadar Noia mengembuskan napas berat. “Saya cuma khawatir mereka jadi ketakutan.” “Ketakutan kenapa?” “Mungkin mereka jadi berpikir kalau WrapFit bisa aja enggak dilanjutkan.” “Gimana kalau kamu beri tahu mereka sekalian pastikan tentang masa depan WrapFit?” usul Dirga setelah memikirkannya beberapa saat. Noia tampak tidak paham dengan maksud Dirga. “Masa depan gimana maksudnya, Mas?” “Sampaikan ke mereka kalau WrapFit Kitchen akan terus bertahan.” Ucapan Dirga membuat Noia tersenyum sedih. “Saya juga ingin bisa bilang begitu ke mereka, Mas, tapi sayangnya saya sendiri enggak yakin.” “Apa kamu berniat berhenti setelah melahirkan?” “Tentu enggak, Mas. Andai bisa, saya mau terus mempertahankan WrapFit.” “Kalau begitu apa yang membuat kamu enggak yakin?” “Banyak hal, Mas,” ujar Noia berberat hati. “Saya takut enggak bisa mengembangkan WrapFit dengan baik dan membuatnya bisa terus bertahan. Saya takut kehabisan modal dan enggak bisa mendapatkan pinjaman bank. Saya takut muncul banyak pesaing yang jauh lebih baik.” Cukup lama Dirga terdiam sebelum kembali bicara, “Gimana kalau saya mengusulkan sesuatu?” “Apa, Mas?” “Kita saling mengikat diri,” tutur Dirga penuh kemantapan. Seketika itu juga Noia mengerjap kaget dan suaranya begitu lirih ketika berguman, “Mengikat diri, maksudnya …?”

Cerita bagus bermula dari sini

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN