Penolakan Ibu

982 Kata
Wanita yang Diarak Keliling Kampung itu, Istriku Part 7 : Penolakan Ibu "Gimana kabar Ibu dan Bapak? Maaf, Arman udah lama nggak ada jenguk ke sana, soalnya kerjaan di toko lagi sibuk." Aku berusaha mengalihkan pembicaraan. "Ah, nggak usah mau mengalihkan topik pembicaraan deh, Man, pokoknya Ibu nggak sudi kalau harus menerima Wenny sebagai menantu lagi! Kesalahan Wenny tak termaafkan, dia wanita yang akan menjadi kerak api neraka!" Ibu terlihat berapi-api. Aku mengusap wajah, Ibu memang kurang suka dengan Wenny, ditambah pula mantan istriku dulu itu susah buat hamil sedangkan saudaraku yang lain sudah pada gendong anak. Dan satu lagi kesalahan yang dianggap fatal, tuduhan selingkuh dan diarak keliling kampung. "Belum tentu juga Wenny selingkuh, Bu, sepertinya ... semua itu hanya fitnah." Aku menghela napas berat. "Apa kamu masih mau sama wanita yang auratnya sudah dilihat semua warga, Man? Apa kamu sudah tak bisa mencari wanita lain? Apa kamu sudah tak laku, hah?!" Ibu terlihat meledak-ledak, dia memang selalu begitu, walau sebenarnya baik hati. "Belum tentu juga gimana, bukannya warga sudah memergoki dia sedang berzinah?!" Tak ada gunanya menjelaskan sekarang kepada Ibu, dia akan terus ngotot. Aku akan bisa membersihkan nama Wenny, jika hasil test DNA membuktikan dia hamil anakku. Ibu pasti luluh jika melihat cucu kembarnya itu. Untuk beberapa saat, aku dan Ibu sama-sama terdiam. Hingga akhirnya aku menyadari kalau jam kerjaku sudah telat setengah jam. "Bu, Arman harus pergi kerja. Ibu tinggal di rumah dulu, ya. Kalau mau masak, Ibu bisa belanja dulu sayurnya sama tukang sayur keliling, pukul 08.30 biasanya mangkal di depan kok." Kubuka dompet dan mengeluarkan uang seratus ribu lalu memberikannya kepada Ibu. Kalau aku sih, semenjak menduda, aku hampir tak pernah makan di rumah. Nggak ada yang masak dan tak ada bahan makanan juga. Jika pulang ke rumah, waktuku akan habis untuk memikirkan Wenny saja. "Iya, hati-hati kamu. Nanti siang pulang, ya, Ibu akan masak makan siang untuk kamu." Amarah Ibu terlihat mereda, ia mengantarku hingga depan pintu. "Assalammualaikum, Bu." Kucium punggung tangan wanita paruh baya yang telah melahirkanku juga tiga saudaraku lainnya. "Waalaikumsalam." Ibu menjawab sambil menepuk pundakku. Aku segera naik ke atas motor dan memacunya menuju toko tempatku bekerja . Hanya dengan menyibukkan diri dengan segala pekerjaan saja yang bisa membuatku lupa akan permasalahan hidup ini. Hmm ... terlebih rasa bersalah kepada Wenny karena telah menceraikannya dengan gegabah. Sungguh, aku takkan bisa memaafkan diriku sendiri jika semua tuduhan kepada Wenny hanyalah sebuah fitnah. *** [Bang, apa masih kurang puas perlakuanmu, pamanmu juga para warga kepadaku, sehingga kamu suruh pula ibumu untuk memakiku ke sini? Apa pun terjadi, aku takkan pernah rujuk denganmu. Kalian tak perlu risau dan takut, aku memang hina dan kotor, sehingga memang tak pantas bersanding dengan pria suci sepertimu. Hukuman sudah kuterima tanpa protes sedikit pun, seharusnya kalian puas! Lalu apalagi maumu? Aku capek, Bang, beban hidupku sudah berat. Apa aku harus bunuh diri juga, baru kamu bisa puas?!] Chat dari Wenny malam ini membuatku kaget, ternyata dia sudah mengirimkan chat sejak sore tapi aku baru membukanya ketika sudah bersiap tidur. Agghh ... Ibu, ternyata dia ke rumah Wenny tadi. Dia hanya menambah runyam masalah ini saja, padahal aku masih berharap Wenny tak bersalah dengan bukti hasil test DNA nanti. Aku segera beranjak dari tempat tidur dan keluar dari kamar, rasanya sudah tak sabar untuk memarahi Ibu atas tindakan bengisnya ini. Akan tetapi, saat membuka kamar tamu ditempati Ibu, aku tak tega saat melihatnya sudah terlelap pulas. Kuhela napas berat dan memutuskan untuk membahasnya besok saja. Aku kembali ke kamar, tapi perasaan malah gelisah. Wenny, aku ingin bertemu dengannya. Kulirik jam di dinding kamar yang menunjuk ke arah 20.58. Semoga saja Wenny belum tidur. Tanpa berpikir lagi, aku segera mengambil jaket kunci motor. Sesampainya di garasi, kudorong pelan motorku ke halaman lalu mengendarainya dengan kecepatan sedang. 20 menit kemudian, aku telah tiba di dekat rumah Wenny tapi tak berani langsung parkir di depan rumahnya. Aku hanya berani melihat dari seberang jalan--dari kejauhan. Aku menautkan alis saat melihat seorang wanita dengan perut buncit yang sedang berjalan mengelilingi halaman rumahnya. Itu Wenny dan tak salah lagi. Sedangkan Bu Wati--mantan mertuaku terlihat mengikutinya dari belakang dengan sesekali memegang lengan putrinya itu tapi mendapatkan tepisan. Karena penasaran akan apa yang sedang mereka lakukan,aku memarkirkan motor ke pinggir jalan lalu menyebarang mendekati halaman rumah Wenny. "Wenny, ayo masuk! Kamu nggak boleh terlalu capek! Ingat, Nak, kamu sedang hamil gede." Terdengar bujukan dari Bu Wati. "Pergi sana, jangan ganggu aku, Bu!" Wenny terdengar berteriak. "Nak, kamu sudah dua jam seperti ini, ayo masuk! Sudah saatnya kamu istirahat." Bu Wati masih berusaha membujuk Wenny. Wenny menghentikan langkahnya lalu duduk di halaman dengan memukul tanah dan menggerakkan kakinya. "Tidak! Jangan telanjangi aku! Tidakkk ... agghh!!" Wenny langsung menangis dan berteriak-teriak, sambil memegangi daster di tubuhnya. "Kumohon jangan! Aku tidak berzinah! Jangannn! Pergi kalian!!" Wenny menjerit histeris. Pak Wanto--ayahnya Wenny keluar dari rumah dan menghampiri Wenny. "Ayo, masuk, Nak, orang-orang yang memfitnahmu sudah pergi!" Pak Wanto membantu putrinya untuk bangun lalu memapahnya menuju rumah. "Mereka sudah pergi, Pak? Tapi ... pakaianku mana, Pak? Mereka membuang pakaianku, Pak. Mengapa aku telanjang begini? Aku malu, Pak." Wenny menghentikan langkahnya sambil memegangi d**a juga bagian bawah perutnya, ia merasa bugil walau nyatanya ada daster di tubuhnya. "Ayo, kita cari pakaian baru di rumah saja!" Pak Wanto merangkul Wenny masuk. Aku mendekati Bu Wati yang terlihat menangis, ia masih berdiri di halaman. "Assalammualaikum, Bu," ucapku. "Waalaikumsalam. Eh, sejak kapan kamu ada di sini dan mau apa?!" Bu Wati menoleh ke arahku sambil menghapus air mata di wajahnya menggunakan jilbabnya. "Bu, Wenny kenapa tadi?" tanyaku dengan rasa nyeri di hati. "Jika kamu melihat kejadiannya sejak tadi, maka kamu akan mengerti apa yang sedang terjadi padanya. Tak perlu bertanya atau juga mendengarkan jawaban dariku!" Bu Wati segera beranjak dan melangkah cepat menuju rumah. Kuhela napas berat, iya, aku tahu. Wenny mengalami depresi berat, dan semua karena kejadian malam. Lalu apa yang harus kulakukan sekarang? Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN