Benarkah?

963 Kata
Wanita yang Diarak Keliling Kampung itu, Istriku Part 6 : Benarkah? "Jadi, kalian bertamu ... dengan pintu rumah yang terbuka, begitu?" Aku masih masih mencoba memastikan, sebab cerita Paman Asri alias Pak RT sungguh bertolak belakang dengan cerita Fatur. Jika dilihat dari segi statusnya, Fatur ini adalah tersangka, jadi pastinya dia akan membela diri. "Bukan bertamu sebenarnya, aku hanya menumpang toilet saja. Yang membuat tuduhan semakin tak terbantahkan, saat rombongan warga nyelonong masuk ... aku sedang memakai baju yang basah akibat keran kamar mandi yang rusak." Fatur terlihat menghela napas berat. Aku menautkan alis, memang benar, keran kamar mandi yang di dapur memang rusak dan aku belum sempat membenarkannya. Untuk beberapa saat, kami sama-sama terdiam. Fatur lalu menyeruput habis kopi di gelasnya, ia terlihat sudah bersiap mau pergi. "Fatur, aku belum selesai bertanya .... " Aku menatapnya. "Apa lagi, Arman? Aku sudah bercerita dengan versi, tinggal terserah kamu saja mau percaya atau tidak," jawabnya sambil melambaikan tangan pada pelayan kafe. "Hmm ... jadi ... janin yang dikandung Wenny itu .... " Aku masih mencoba mencerna semua kenyataan yang sungguh berbeda dengan yang terlihat malam itu. "Anakmu, Arman, Wenny hamil anakmu dan dia juga baru menyadari saat dua bulan setelah perpisahan kalian. Ternyata saat penggerebekan itu terjadi, dia sedang hamil satu bulan. Dan kini kandungannya sudah masih usia 6 bulan, anak kalian kembar ... makanya kandungan dia terlihat lebih gede dari ibu hamil kebanyakan. Sudah, ya, aku sudah menjawab semua pertanyaanmu dengan jawaban terbenar versiku. Aku masih ada pekerjaan penting." Fatur menerima bill minuman dari pelayan kafe lalu membayarnya. "Jadi ... Wenny mengandung ... anakku?" Aku menelan ludah yang terasa tersangkut di tenggorokan. "Untuk membuktikannya, kamu bisa melakukan test DNA setelah Wenny melahirkan nanti, masih tiga bulan lagi," ujar Fatur. Pria dengan kemeja abu-abu yang rambutnya disisir rapi itu segera berlalu dari hadapanku. Satrio yang sedari tadi hanya menjadi pendengar itu, menoleh ke arahku. "Menurutmu ... Fatur jujur atau sedang mengarang kebohongan, Sat?" tanyaku. "Sepertinya dia berbohong, mana ada pencuri mau mengaku, Man." Satrio menjawab cepat. Ah, sepertinya aku harus berpikir sendiri sebab orang-orang di sekitarku tak bisa dipercaya. "Memangnya, kalau Fatur berkata yang sebenarnya, kamu mau apa, Man?" Satrio bertanya. "Kalau ternyata tuduhan pada Wenny hanya fitnah, pastinya aku akan memohon untuk rujuk. Apalagi kalau memang benar Wenny mengandung anakku--anak yang sudah dua tahun ini kami nantikan. Tak alang-alang, Sat, Tuhan memberikan dua anak sekaligus, aku senang mendengarnya." Aku tak dapat menyembunyikan kebahagiaan ini, jika benar yang sedang dikandung Wenny adalah benihku. "Ya sudah, terserah kamu saja, Man, ayo pulang!" Satrio bangkit dari kursinya. Okelah, sebaiknya kami pulang dulu dan penyelidikan sampai di sini untuk hari ini. *** Sore ini, aku sengaja pulang agak awal dari toko, dengan maksud hendak mampir ke rumah Wenny. Aku bekerja di sebuah toko elektronik terbesar di kampungku ini, di bagian service. Hmm ... walau hati ini masih dilema, antara mempercayai perselingkuhan itu atau tidak, aku tetap ingin menemui Wenny. Sedangkan setiap warga yang kutanyai, jawabannya tetap sama seperti penuturan Pak RT. Ada dendam apa sebenarnya warga dengan Wenny? Sehingga fitnah kejam ini ia tuduhkan kepadanya. "Assalammualaikum." Aku mengucap salam ketika tiba di depan rumah orangtua Wenny. Satu menit, dua menit, tak ada jawaban. "Assalammualaikum." Aku kembali mengucap salam. "Waalaikumsalam." Ayahnya Wenny yang keluar dari arah ruang tengah, dan menyambutku dengan wajah masam. "Pak." Aku hendak meraih tangannya buat salim tapi pria paruh baya itu menepis tanganku. Aku berusaha tersenyum, walau sambutannya sangat terlihat jelas kalau tak suka melihat kedatanganku. Aku akui, aku memang salah, jika kejadian malam itu hanya fitnah. Akan tetapi jika semua itu bukan fitnah, maka aku akan terlihat bodoh di mata warga karena masih berharap pada istri yang sudah berzinah dan diarak keliling kampung. "Mau apa lagi kamu ke sini? Sebaiknya jangan pernah datang ke sini lagi!" Pak Wanto--mantan mertuaku itu berkata ketus. "Maafkan saya, Pak, saya hanya ingin silahturahmi. Hmm ... saya ... mau bertemu Wenny," ujarku. "Tak perlu ada silahturahmi lagi, biarkan Wenny hidup tenang tanpa bayang-bayang masa lalu yang sangat teramat pahit untuk dikenang ini. Pulanglah dan jangan pernah ke sini lagi!" ujar Ayahnya Wenny. "Pak, maafkan kekhilafan saya waktu itu ... saya menyesal ... saya ... masih mencintai Wenny." Aku berlutut di kaki mantan mertuaku itu. "Arman, jangan seperti ini!" Dia mundur ke belakang. "Anggap saja jodohmu dan Wenny hanya sampai di sini saja. Terima kasih atas fitnah kejam dari pamanmu dan para warga, kalian sungguh hakim yang hebat!" Mertuaku itu mendorongku keluar lalu menutup pintu. Aku tersenyum getir, mereka tak salah memperlakukanku seperti ini jika semua itu hanya fitnah. Baiklah, sepertinya aku harus lebih bersabar lagi hingga Wenny melahirkan lalu melakukan test DNA. Jika memang benar anak itu benihku, maka pastinya tuduhan Pak RT juga warga hanyalah fitnah dan aku akan melaporkan mereka semua ke pihak yang berwajib. Sungguh, aku tak terima atas perlakuan ini. Walau kesadaran dan penyesalanku ini pastinya sudah terlambat, tapi tak ada salahnya jika aku ingin memperbaiki semua ini. Aku yakin, suami mana pun mungkin akan melakukan hal yang sama jika di posisiku. Dalam hancurnya rumah tanggaku ini, Paman Asrilah yang paling andi. *** Pagi ini, terdengar gedoran dari depan pintu. Aku yang sudah bersiap untuk berangkat kerja segera melangkah menuju pintu lalu membukanya. "Ibu!" sambutku pada wanita berjilbab putih itu. Ibu langsung nyelonong masuk. "Ibu sama siapa?" tanyaku sambil mengedarkan pandangan keluar. "Sendiri, naik bus," jawab Ibu. Hmm, iya, rumahku dan beda kabupaten dengan jarak tempuh dua jam. "Arman, Ibu sengaja datang jauh-jauh ke sini, hanya mau mengatakan kalau Ibu tak setuju jika kamu rujuk dengan Wenny—istri tukang selingkuh yang sudah diarak keliling kampung dengan tanpa busana itu!" Ibu menatap tajam ke arahku. Aku menelan ludah, dari mana Ibu tahu kalau aku mau rujuk dengan Wenny? Padahal aku saja masih bimbang, masih menunggu keputusan final yaitu hasil test DNA nanti. Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN