Terpaksa Dipending

721 Kata
Wanita yang Diarak Keliling Kampung itu, Istriku Part 8 : Terpaksa Dipending Semalaman mataku enggan terlelap sedikit pun, pikiran ini selalu terbayang tingkah menyedihkan Wenny di halaman rumahnya semalam. Dia trauma berat atas kejadian itu dan aku merasa sangat berdosa karena tak bisa menghentikan aksi warga, terlepas dari dia benaran berzinah atau tidak. Ah, Ibu, dia juga semakin memperkeruh semuanya dengan mendatangi dan memaki Wenny. Kasihan sekali mantan istriku itu, masalah demi masalah tak hentinya menerpa kehidupannya. Jika benar semua yang terjadi kepada Wenny hanya fitnah, maka aku adalah suami yang gagal. Kuusap wajah kesal. "Bu, kemarin ke rumah Wenny, ya?" tanyaku saat duduk di depan meja makan, berhadapan dengannya yang sedari tadi sudah berteriak mengajak sarapan. "Oh, selain tukang selingkuh, mantan istrimu itu juga tukang adu domba, ya." Ibu melengos sambil mengambilkan nasi goreng ke piringku. "Kenapa Ibu mesti ke rumah Wenny dan memaki dia? Gunanya untuk apa, Bu? Wenny sedang sakit, dan dia depresi karena kejadian itu. Jadi, Arman mohon ... Ibu jangan pernah ke sana lagi, kasihan Wenny, Bu." Aku menatap Ibu. "Wenny itu wanita tidak berguna. Dulu aja susah hamil waktu sama kamu, sekali dia selingkuh, eh malah langsung hamil tapi kena azab dia ... hamil tanpa suami dan agak stres gitu kalo Ibu lihat. Ibu sih nggak kasihan, malah syukur. Tuhan begitu baik karena begitu cepat memberikan azab untuknya." Ibu terus saja mengoceh. Kuhela napas berat, selera makan mendadak hilang karena mendengar kata-kata pedasnya untuk Wenny. Mau marah kepadanya dan membela Wenny, nanti Ibu malah tambah marah. "Hey, kok malah pergi?" tanya Ibu saat aku sudah beranjak dari depan meja makan dan tak jadi sarapan. "Udah telah ini, Bu, udah di-wa atasan. Ada costumer yang mau ambil barang." Aku berbohong. "Oh gitu, ya udah Ibu masukin kotak makan saja. Tunggu, ya!" ujarnya lagi. Aku tak menjawab dan melangkah meninggalkan dapur. Saat sudah duduk di atas motor, Ibu berlari dengan tergesa-gesa dan menggantung kotak makanan di setang motor. "Terima kasih, Bu, Arman berangkat. Assalammualaikum." Kuraih tangannya lalu salim. "Waalaikumsalam. Hati-hati!" Aku segera memacu motor menuju toko dan sengaja memilih jalan yang bisa melewati rumah Wenny. Entah kenapa, walau sudah menjadi mantan, aku tak bisa berhenti peduli kepadanya. Rumah Wenny sepi, tak ada siapa pun di depan. Semoga dia baik-baik saja. Sore nanti akan kusempatkan mampir, walau pastinya akan mendapatkan kemarahan dari Wenny juga kedua orangtuanya. *** Hari terus berlalu, kehidupanku masih saja merana seperti ini. Ibu memutuskan untuk tinggal di rumah, katanya biar aku nggak kesepian lagi. Bapak juga sedang jalan-jalan ke rumah saudaraku yang rumahnya beda kota dengan kami. Mengenai permasalahanku dengan Wenyy, terpaksa harus dipending dulu sampai mantan istriku itu melahirkan. Sudah kuputuskan, jika nanti hasil test DNAnya positif, maka aku akan mengajaknya rujuk dan berjuang untuk mendapatkan cintanya kembali. Pukul 15.00, saat aku pulang bekerja, Ibu tak ada di rumah. Entah ke mana perginya, biasanya dia hanya nonton tv saja karena dia malas kalo ngumpul sama emak-emak tetangga, sebab obrolan selalu tentang penggerebekan Wenny. Dia gerah katanya dan aku juga bisa merasakan sebab obrolan bapak-bapak juga terkadang masih menyinggung tentang Wenny. Awas saja kalo terbukti semua itu hanya fitnah, akan kubuat perhitungan dengan mereka semua. Setelah berganti pakaian, kuputuskan untuk jalan-jalan cari angin keluar. Akhir-akhir ini aku selalu lembur dan pulang malam, karena banyaknya barang yang harus diservice. Hari ini bos sengaja memberikan izin pulang awal dan aku tak menolak, rasanya jemu juga berkutik dengan mesin dan berbagai alat elektronik yang rusak. Oh iya, Satrio juga tak terlihat akhir-akhir ini, entah apa kesibukan si bujang lapuk itu? Kucoba mengirimkan chat kepadanya untuk mengajaknya nyantai. [Lagi di mana, Bro? Kopie Setia, yuk!] Kukirimkan chat kepadanya dengan menyebutkan nama kafe untuk kami nyantai sore ini. Satu menit, dua menit, hingga sepuluh menit, pesanku hanya dibaca tanpa dibalas. Sombong sekali dia! Kulanjutkan memacu motor dan melambatkan lajunya saat melewati rumah Pak RT alias Paman Asri--sepupu ibu. Eh, itu ada sandal Ibu, berarti Ibuku ada di sini. Kuparkirkan motor di pinggir jalan lalu melangkah memasuki perkarangan rumah Pak RT dan naik ke teras. "Apa pun yang terjadi, kamu tak boleh menceritakan yang sebenarnya!" "Tapi--aku sering dihantui rasa bersalah karena hal itu!" "Jangan membuat suasana tenang damai ini menjadi kisruh karena kebodohanmu, Asrizal!" Aku mengerutkan dahi, mendengar obrolan Paman Asri dan Ibu, aku bisa mengenali suaranya. Permasalahan apa yang sedang mereka obrol 'kan itu? Apa tentang Wenny? Bersambung ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN