Wanita yang Diarak Keliling Kampung itu, Istri
Part 5 : Cerita Fatur
"Hmm ... anu ... itu .... " Pak Jaya menggaruk dahinya.
"Apa Wenny benar berzinah dan kalian memergokinya sedang bergumul di ruang tamu? Atau ... Kalian para wargalah yang menelanjanginya?" tanyaku.
"Ceritanya ... sama seperti yang dikatakan Pak RT, Mas Arman. Ya udah, saya pamit dulu soalnya istri udah nelepon nyuruh pulang." Pak Hansip Jaya segera membelokkan motornya ke kanan dan segera berlalu dari hadapanku dan Satrio.
"Pak Jaya aneh itu, apa kita kejar saja ke rumahnya? Barangkali saja dia tak mau bicara di jalanan." Satrio menatapku.
"Sudahlah, sepertinya dia sudah diancam Pak RT, jadi tak ada gunanya mengejar dia. Aku malah kepikiran untuk mencari Fatur dan mendengarkan pengakuan versi dari dia lagi dan alasannya datang bertamu malam-malam itu buat apa." Aku mengerutkan dahi.
"Boleh itu idemu, kita pergi satu motor aja deh. Ayo, temani aku antar motor pulang!" Satrio menghidupkan mesin motornya.
Aku mengikutinya dari belakang, rasanya sudah tak sabar mendengar pengakuan dari Fatur--pria yang diduga selingkuhan mantan istriku.
Setengah jam kemudian, aku sudah berada di boncengan motor yang dikemudikan oleh Satrio. Aku sengaja menyuruhnya untuk lewat di depan rumah Wenny. Aku ingin melihatnya dan berharap dia ada di teras rumahnya.
"Berhenti, Sat!" Aku menepuk pundak Satrio saat melihat sosok Fatur yang keluar dari mobilnya yang berhenti di depan rumah Wenny--mantan istriku.
Fatur terlihat membuka pintu mobil lalu keluarkan Wenny bersama Bu Wati dari mobil putih itu. Dari mana mereka? Apa aku mengintrogasi mereka di sini saja, ya? Atau harus menunggu Fatur pulang dan membuntutinya? Pertanyaan demi pertanyaan berputar di kepala ini, semenjak kejadian yang membuatku hampir gila ini, otakku sulit berpikir jernih.
"Sat, langsung kita samperin ke sana atau menunggu dia pulang saja, ya?" tanyaku bingung.
"Terserah kamu saja, Man, baiknya gimana? Mau langsung mampir di sini juga boleh, biar kita bisa mendengar cerita langsung darinya, terlepas dari jujur atau tidaknya dari mereka." Jawaban Satrio membuatku masih bingung saja.
Aku berpikir sejenak dan memutuskan mendatangi rumah Wenny, aku memang harus tabayyun, selain mendengarkan kebenaran dari para warga yang mengaku saksi, aku juga harus mendengarkan pembelaan dari tersangka, walaupun kini aku sudah resmi bercerai dengan Wenny.
"Arman, mau apa lagi kamu ke sini?" Bu Wati--mantan mertuaku itu langsung mencecarku saat baru tiba di teras rumah mereka.
"Assalammualaikum, Bu." Kuraih tangannya lalu salim walau ia berusaha menepis.
"Waalaikumsalam," jawabnya lirih.
"Saya mau bicara sama Fatur, Bu, saya ingin tabayyun. Maafkan saya atas tindakan gegabah ini. Saya tak bisa tenang selama, seperti ada yang mengganjal." Aku berkata kepada Bu Wati, yang selama dua tahun ini telah menjadi mertua yang baik tapi kini malah bersikap dingin dan ketus.
"Tabayyun apa lagi, Arman? Kalau mau tabayyun itu sebelum kami menjatuhkan talak dan menggugat cerai secara sepihak. Sekarang itu sudah tidak gunanya lagi tabayyun." Bu Wati tersenyum kecut.
"Maafkan saya, Bu." Kuraih tangan mertuaku itu, hendak memohon ampunan tapi dia malah menepisnya dengan sengit.
"Bude Wati, saya pamit pulang deh soalnya masih ada kerjaan." Pria bernama Fatur itu melangkah ke arah kami.
"Iya, Nak Fatur, terima kasih atas bantuannya." Raut wajah masam Bu Wati langsung berubah senyum saat menatap ke arah Fatur--pria yang diduga selingkuhan Wenny.
Kubiarkan saja dulu pria yang sepertinya seumuran denganku itu pamit kepada mantan mertuaku itu. Lalu kuikuti dia saat melangkah menuju mobilnya.
"Maaf, saya Arman ... hmm ... suami Wenny ...." ujarku kepadanya.
"Hmm ... suami? Bukannya sudah mantan?" tanya Fatur dengan nada menyebalkan yang membuatku harus mengepalkan tangan namun berusaha menahan diri untuk tak melayangkan pukulan, emosiku tak terkontrol pasca kejadian yang membuatku shock waktu itu.
"Iya, memang benar katamu, kami hanya mantan. Agar aku bisa tenang menjadi mantan suaminya, bisakah kite berbicara sebentar mengenai kejadian detailnya malam itu?" tanyaku.
"Emangnya buat apa lagi? Bukannya kamu telah menceraikan Wenny secara sepihak? Malam itu juga kamu meninggalkan dia, apa kamu mau tahu cerita menyedihkan setelah itu? Untung Wenny wanita yang kuat, kalau wanita lain ... mungkin sudah bunuh diri." Fatur mengusap wajah, ada raut kesedihan di akhir kata-katanya.
"Iya, aku mau mendengarnya, ceritakan semuanya, kumohon! Aku ingin mendengarkan kebenaran dari mulutmu," ujarku.
"Terus ... setelah itu ... apa yang akan kamu lakukan jika sudah mendengarkan cerita dariku? Apa kamu akan percaya? Kalau ceritaku tak ada gunanya bagimu, lebih baik aku tak bercerita saja, itu hanya buang-buang waktu." Fatur menatap tajam ke arahku.
"Aku sedang mengumpulkan semua informasi dari semua orang dan sedang menyelidiki ... cerita dari siapa yang benar dan pantas kupercaya. Jadi, aku ingin mendengarkan cerita versimu lagi," ujarku.
"Baiklah, ayo kita cari tempat yang aman buat cerita! Warung kopi di ujung jalan saja," ujarnya.
Aku mengangguk setuju.
Lima belas menit kemudian, kini aku sudah berhadapan dengan Fatur dan bersiap mendengarkan ceritanya.
"Malam itu, sekitar pukul 19.15, aku hendak pergi ke rumah Maya—gebetanku yang rumahnya berada di gang sebelah. Akan tetapi, aku malah sakit perut di tengah jalan dan sudah kebelet mau ke kamar mandi, karena rumah Wennylah yang terdekat maka kuputuskan untuk menumpang buang hajat di ramah kalian." Fatur terlihat menghela napas panjang dan aku masih mendengarkan kelanjutan dari ceritanya.
"Saat aku datang, Wenny terkejut dan mengatakan kalau suaminya sedang tak berada di rumah tapi karena sudah kebelet, aku memohon untuk ditumpangi kamar mandi. Karena melihat wajahku yang memelas, akhirnya Wenny mengizinkan. Dia duduk menunggu di ruang tamu saat aku ke kamar mandi dapur rumah kalian, dan pintu ia biarkan tetap terbuka agar tak ada yang su'udzon atas kedatanganku. Akan tetapi, nasib sial malah menimpa kami, saat aku keluar dari kamar mandi sambil mengibaskan bajuku yang basah akibat keran air yang rusak, beberapa warga malah nyelonong masuk dan menuduh kami sedang berzinah. Memang, waktu itu aku baru saja hendak mengenakan bajuku yang basah saat melangkah ke ruang tamu." Fatur berhenti sejenak.
"Lalu?" tanyaku tak sabar akan lanjutan ceritanya.
"Tanpa mendengarkan penjelasan dari kami, warga menyeret keluar dan menelanjangi lalu ... mengarak kami berkeliling kampung. Sungguh, malam itu adalah malam terburuk di sepanjang hidupku. Kami difitnah dengan kejam dan dipermalukan." Fatur mengusap wajahnya yang muram.
Aku bisa merasakan kesedihan mereka andai cerita Fatur memang benar adanya.
"Setelah kamu menjatuhkan talak pada Wenny, kami lantas ditinggalkan begitu saja. Tak puas hanya mengarak kami, motorku juga dirusak oleh mereka, sehingga aku dan Wenny harus pulang dengan berjalan kaki dengan hanya berbalutan selimut dari Bu RT."
"Sebenarnya aku mau lapor Polisi atas tindakan brutal para warga, tapi Wenny melarang dan malah meminta maaf kepadaku atas nama warga kampung. Katanya dia yang bersalah dan memintaku melupakan semuanya. Aku juga sadar, aku pun juga bersalah karena telah memaksa menumpang toilet rumahmu. Agghh ... andai aku tahu bakal begini jadinya, lebih baik aku buang hajat di jalanan saja " Fatur terlihat menghela napas berat.
Aku merasa Fatur sedang tak berbohong, dan penuturannya ini akan kusimpan dulu sambil mencari bukti kebenaran ceritanya ini. Kalau memang benar demikian, maka Pak RT dan wargalah biang kerok atas fitnah kejam ini. Dan aku sangat merasa berdosa karena telah gegabah menceraikan Wenny. Ya Tuhan, aku menyesal.
Bersambung ....