Setibanya di dalam mobil, aku merasa tidak enak hati. Sebab, sebelumnya begitu kasar saat menolak sikap manis Adam terhadapku. Aku seperti tidak pernah diajari tata krama oleh orang tua.
Sambil duduk tenang di kursi pada sisi kiri mobil, aku juga memikirkan tentang penglihatan yang baru saja menghantuiku.
'Ini masih siang hari, lalu mengapa mereka bisa datang untuk mengusik?' Tanyaku tanpa suara. 'Lalu dia, kenapa seperti tidak suka jika ada yang lain dan ingin menyakitiku, tetapi dia sendiri berniat untuk melukaiku?'
"Annora!" Adam mengusik lamunanku. "Apa kamu ingin mendengarkan sebuah ilmu dan kisah?" Adam kembali mengajakku berdiskusi dan mengalihkan lamunanku.
"Kisah? Tentang apa?" tanyaku yang berusaha memperlihatkan sikap yang lebih baik kepadanya. "Coba saja!" sambungku yang sudah beralih pandang kepada Adam.
"Kamar mandi adalah salah satu tempat yang menjadi favorit kita. Betul?"
"Iya, benar sekali. Lalu?" Aku mulai tertarik sekaligus penasaran dengan cerita yang Adam tawarkan.
"Mandi, mencuci, bahkan terkadang, siapa pun berlama-lama di dalamnya, hanya untuk melakukan berbagai hal. Mulai dari melepas kekesalan, marah, bernyanyi, membaca, atau malah tertidur," ujarnya sambil tersenyum dan menatap ke jalan.
"Apa? Kamu mengejekku, ya?"
"Tidak-tidak. Bukan seperti itu," elak Adam yang kali ini berusaha menahan senyumnya.
"Kamu harus tahu, bahwa toilet adalah tempat berkumpulnya para jin."
"Apa?" tanyaku kaget.
"Iya?" Adam tampak sungguh-sungguh kali ini.
"Serius?" tanyaku sekali lagi karena sebelumnya, memang tidak mengetahui tentang hal seperti ini.
"Iya." Adam tampak sungguh-sungguh. "Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW menjelaskan bahwa iblis ingin memiliki tempat tinggal, seperti Adam As yang tinggal di bumi."
"Candanya nggak lucu." Aku menggeleng seraya menepis perkataan Adam.
"Aku serius. Mereka bilang, 'Ya Allah, Adam dan keturunannya Engkau beri tempat tinggal di bumi, maka berilah pula aku tempat tinggal, kata iblis.' Begitulah permintaan mereka," jelas Adam yang terlihat cukup tahu mengenai hal semacam ini.
Sambil menatap jalanan, ia terus saja menggiring pikiranku ke dalam cerita yang berkaitan dengan ilmu agama. Dan kisah ini baru pertama kali aku dengar, seumur hidupku.
"Lalu, apa yang terjadi?"
"Allah SWT berfirman, ‘'Tempat tinggalmu adalah WC (kamar mandi atau jamban).’ (HR Bukhari)." Adam kembali menyambung perkataannya.
Aku melipat dahi. Adam terlihat serius dan fasih di dalam menjelaskan. Tetapi, aku belum yakin benar. Apalagi Adam selama ini tampak biasa-biasa saja dalam ilmu agama. Selain itu, ia bukan berasal dari keluarga atau kalangan ustadz.
"Oleh sebab itu, kamar mandi pun menjadi tempat tinggal jin dan sebangsanya," sambung Adam tampak percaya diri. "Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, 'Sesungguhnya tempat-tempat buang hajat ini dihadiri (oleh para setan), maka jika salah seorang dari kalian hendak masuk kamar mandi (WC), ucapkanlah! Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari setan laki-laki dan setan perempuan.' Begitu, Nora!"
Adam menambahkan, "Lalu dahulukanlah kaki kiri, saat masuk toilet dan kaki kanan saat keluar! Karena kamar mandi pada dasarnya merupakan tempat yang kotor."
"Begitu ya? Aku baru tahu." Aku pun mengakui kebolehannya dan cukup terdiam kali ini.
"Jin memang tidak terlihat, tetapi mereka bisa melihat manusia. Dengan membaca doa tersebut, jin beserta bangsanya tertutup pandangannya sehingga tidak dapat melihat manusia ketika sedang di dalam toilet," sambungnya yang semakin menambah kekaguman di dalam diriku.
"Berarti, sebaiknya kita jangan berlama-lama di toilet karena itu menjadi tempat yang banyak terjadinya gangguan jin. Tetaplah menjaga kebersihan toilet dan membaca doa setiap masuk toilet!?" Aku mulai memahami ujung pangkal ucapan Adam.
"Pintar," puji Adam membesarkan hatiku. Kemudian, kami kembali tertawa bersama. "Berhati-hatilah! Di mana pun berada, Nora!"
"Iya, Adam. Terima kasih ya."
"Sama-sama."
"Apa ada lagi?"
"Ya, tentu saja. Ada hal penting lainnya yang kerap kali kita pandang enteng atau sepele. Seperti ketika mengganti pakaian, di mana pun berada."
"Katakan!"
"Sebenarnya, mereka itu kan ada di mana-mana. Termasuk kamar tidur kita. Seperti yang sudah aku jelaskan sebelumnya, mereka bisa melihat kita tetapi kita rata-rata tidak."
"Iya, lalu?"
"Terkadang kita mengganti pakaian di dalam kamar tanpa memikirkan apa pun, termasuk mereka. Saat itulah, bangsa jin menikmati tubuh yang indah."
"Kamu nakutin aku ya? Jahat!"
"Tidak sama sekali. Aku malah ingin menjagamu, Nora. Makanya, dianjurkan sebelum melakukan aktivitas apa pun. Sebaiknya kita membaca minimal atau sekurangnya bismillah. Dengan harapan, mereka, tidak dapat melihat kita."
"Begitu ya?"
"Iya." Adam mengangguk simpul. "Apa kamu bisa memahaminya? Sebab, mereka iri kepada bangsa manusia yang diciptakan dengan keelokan yang sempurna. Seperti kamu, Nora." Adam tersenyum.
"Aku?" tanyaku dengan pipi yang memerah. Aku benar-benar tidak menyangkal bahwa Adam akan mengatakan hal seperti itu terhadapku.
"Iya, kamu. Maka dari itu, jaga diri dengan baik ya, Nora!? Baik dari bangsa jin maupun manusia!"
"Em." Aku mengangguk paham sambil tersenyum.
Tanpa terasa, kami tiba di halaman rumah. Aku menawarkan Adam untuk masuk, tapi ia menolak. "Lain kali ya, Nora!? Aku harus kembali ke sekolah. Kalau kita berdua tidak ada yang belajar, siapa yang akan mengajarkan kalau ada yang bingung?"
"Eeemh, baiklah. Aku mengerti, Adam. Makasih ya."
"Baiklah." Lalu Adam meninggalkan aku untuk kembali ke sekolah.
Setibanya di dalam rumah, aku memutuskan untuk duduk di ruang tamu. Semua perkataan Adam terngiang-ngiang kembali. Tanpa disadari, ternyata ia tahu apa yang tidak aku ketahui.
Selain itu, cara penyampaiannya juga sangat sederhana dan tidak membuat orang lain tersinggung. Pertanyaan berikutnya muncul, apa Adam sangat dalam ilmu agamanya? Atau dia hanya sekedar tahu saja? Hmmm, dia membuatku penasaran.
Sedang asik memikirkan laki-laki yang sudah membuatku kembali tersenyum, terdengar suara pintu yang dipaksa kembali di tutup dari arah belakang dan aku memutuskan untuk segera berlari guna memeriksanya.
Kali ini, aku yakin sekali bahwa suaranya berasal dari makhluk kasar, bukan jin maupun setan.
Tidak salah lagi, pintu belakang sudah menganga. Tapi sayangnya, aku tidak bisa melihat seseorang yang masuk ke dalam rumahku.
'Siapa? Kenapa aneh sekali? Rasanya, pintu ini sudah aku tutup rapi. Lagipula, kuncinya tidak rusak sedikit pun.'
Selesai memeriksa pintu belakang, aku berlari cepat ke luar. Pada pintu utama, juga tidak ada kerusakan. Ini tidak seperti maling atau rampok, tapi lebih kepada, seseorang yang pulang tanpa ingin diketahui dan mencuri sesuatu yang berharga.
"Mencuri? Sesuatu yang berharga?" gumamku sambil berpikir keras. "Apa ya? Di rumah ini, tidak apa pun. Kalau itu papa dan ada hubungannya dengan hal mistis, berarti ... ."
Jantungku berdegup cepat tatkala memikirkan mengenai buku kuno yang aku ambil dari kamar rahasia. Tanpa memikirkan hal lainnya, aku segera berlari ke arah kamar untuk mengetahuinya.
Benar saja, buku itu sudah raib. Barang tersebut, tidak lagi berada di balik bantal tidur milikku. Rasa kesal bercampur tanya, kembali menguasai benakku. Terutama mengenai sosok yang seharusnya menjadi sandaranku.
"Papa, mungkinkah? Tapi, hanya dia yang memiliki kunci rumah ini. Apalagi pintu tampak terbuka tanpa paksaan."
Puas berpikir, aku berdiri di sisi meja rias. Karena ingin segera memeriksa apakah ada barang lain yang hilang, aku bergerak cepat ke arah kamar eyang.
Namun, saat itu tanpa sengaja aku menabrak kotak pemberian dari kakek Ardan, sesaat setelah eyang uti dikebumikan.
Kotaknya terbalik dan ketika aku mengangkatnya, isi dari kotak tersebut sudah tidak berada di dalamnya.
"Dua buah benda penting di dalam kamar ini, hilang. Siapa dalangnya?" Aku menggenggam kedua tangan begitu erat, sambil menatap kaca ukuran besar.
Di dalam kegaduhan hati, aku seperti mendengar suara kakek Ardan berteriak sangat kencang. Seolah dirinya tengah terancam atau disakiti oleh orang asing yang ingin mengakhiri hubunganku dengan dirinya.
Khawatir tentang kebenaran pikiranku, dengan cepat aku berlari ke arah makam Eyang yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah.
Bersama seragam sekolah dan kepala yang masih pusing, aku tiba di pemakaman, setelah berlari kurang lebih 20 menit.
Tidak ada siapa pun di sini. Hanya udara yang mulai menyengat, rerumputan liar yang menyapa kakiku yang cuma beralaskan sendal jepit, dan tanah merah yang berhasil mengotori beberapa kijing berwarna putih yang menghimpitnya.
"Heeem, tidak ada apa-apa di sini," gumamku sambil menghela napas panjang. Namun saat itu, jiwaku terpanggil untuk memeluk rumah abadi eyang.
Awalnya, aku pikir semua itu karena rindu. Wajar saja, beliau adalah satu-satunya orang yang mengharapkan aku segera pulang di setiap harinya.
Tentunya, bersama masakan super lezat yang menggugah selera. Namun sayang, semua itu berakhir di saat aku belum mampu memberikan kebahagiaan kepada beliau.
Langkah ini semakin mendekati pusara eyang yang baru ditandai dengan kayu khas kematian, berwarna coklat kehitaman. Tetapi ada, sesuatu yang mengalihkan pandangannya.
"Ini?" Aku menyentuh cairan berwarna merah yang cukup banyak di sisi kanan pusara eyang. "Darah?" gumamku sambil menatap sekitar.
'Kakek Ardan, apa ini semua ada hubungannya dengan beliau?'
Pikiranku hanya tertuju kepadanya. Bukan tanpa alasan, menurutku hanya ada dua orang yang akan kembali ke tempat ini dan berdoa atas nama eyang. Yaitu, aku dan kakek Ardan.
Jika benar ini darah milik kakek Ardan, berarti sesuatu yang sangat buruk telah menimpa beliau.
Bingung, aku memutuskan untuk duduk dengan kepala tertunduk. Rasanya, aku kehilangan tulang belulang yang menyangga tubuhku.
Sekarang apa? s*****a yang aku miliki pun sudah lenyap. Kau merasa sangat kehilangan. Meskipun sebenarnya juga tidak mengetahui kepada siapa benda yang tampak keramat itu harus dilayangkan.
Yang jelas, seseorang tengah memata-mataiku dan mencegah niatku untuk mengetahui mengenai rahasia di balik teka teki yang menghampiri hidupku.
"Eyang, aku butuh Eyang. Katakan kepadaku! Harus apa setelah ini? Kakek Ardan tidak pernah bisa aku temui lagi. Aku bingung, Eyang."
"Selain itu, papa juga sudah keluar kota dan meninggalkan aku. Sekarang, aku harus apa? Bagaimana? Aku sudah terlalu lelah dan cemas dengan semuanya."
Bersambung.