Bingung, hanya satu kata yang mampu mewakili perasaanku saat ini. Bukan tanpa alasan. Hatiku berada pada kakek Ardan, tetapi tidak tahu harus mencarinya ke mana.
Aku sama sekali tidak tahu tentang dirinya, apa pekerjaannya, di mana rumahnya atau siapa keluarganya. Tempat ini adalah satu-satunya lokasi, di mana aku bisa menemukan beliau. Namun sayangnya, yang aku dapatkan saat ini adalah kebingungan dan perasaan kacau.
Rasanya, ingin sekali mencari papa. Lalu mempertanyakan kepadanya tentang apa yang dia lakukan di rumah? Dan mengapa harus dengan cara sembunyi-sembunyi? Apa karena tidak ingin menatap wajahku? Entahlah.
Selain itu, hati kecilku mengusik dalam tanya. Jangan-jangan, papa ada hubungannya dengan kakek Ardan.
Namun lagi-lagi, aku kehilangan jejak dan terus bertanya pada diri sendiri, seolah diriku tidak bertuan. Aku pun hanya bisa menatap alam, sembari mengokohkan diri, dan mencari jalan keluar sendiri.
Untuk saat ini, yang aku ketahui hanya satu hal. Yaitu, aku tidak boleh menyebut namanya sebanyak tiga kali atau jika tidak, dia akan datang menyakiti, menghantui, bahkan merasuki orang-orang yang berada di sekelilingku.
Ancaman ini, tidak hanya untuk diriku sendiri. Melainkan juga teman-teman yang tidak tahu apa pun tentang rahasia dan urusan di dalam keluargaku.
Rasa sesal pun timbul. Seharusnya, aku menyelesaikan buku kuno itu, demi mengetahui lebih banyak rahasia, guna menangkis serangan perempuan misterius yang tampak begitu mengutuk dan membenciku.
"Jangan ngelamun!" tegur seseorang yang terlihat sudah sangat renta.
Kulitnya tampak keriput, kantung matanya seperti mata ikan, dan guratan bibirnya layu, seakan tak pernah disiram dengan kebahagiaan. Bersama tongkat kayu seadanya, ia tersungut-sungut berjalan untuk memutari tubuhku.
"A-aku ... ."
"Ini tempat akhir. Jika kamu kosong begitu, yang jahat bisa masuk dan mengambil pikiran serta ragamu," ucapnya dengan suara tenang dan bahasa yang tertata. "Mau?" sambungnya dalam tatapan iba.
"Nggak, Nek," jawabku secepat mungkin. "Aku hanya kangen sama eyang uti."
Nenek tersebut tersenyum, "Kamu anak yang baik. Sabar saja! Kalau kamu rajin membersihkan rumah, kamu akan menemukan jawabannya."
Nenek tersebut memiliki raut wajah yang bersih. Tidak ada noda t**i lalat atau pun daging tumbuh seperti orang tua sebaya pada umumnya. Selain itu, suaranya begitu jelas.
"Apa yang kamu cari, ada di tempat yang sering kamu lewati." Beliau kembali berkata dan memberi petunjuk.
Padahal, aku sama sekali tidak mengatakan apa pun kepada beliau. Tapi, seperti cenayang yang hebat, si nenek mampu membawa pikiranku secara praktis.
"Membersihkan rumah?" tanyaku dalam tunduk. "Membersihkan rumah dan apa yang aku cari, ada di tempat yang sering kamu lewati." Aku mengulangi kembali dua kalimat tersebut.
Setelah itu, aku ingin mengajukan pertanyaan kepada beliau. Namun, ketika mengangkat wajah untuk bertanya, wanita renta tersebut sudah tidak terlihat lagi.
Seketika, bulu-bulu halus di sekujur tubuhku berdiri. Aku pun segera menelan air liur yang terasa berat. Satu hal lagi yang tidak bisa aku mengerti, sejak kapan aku dapat berkomunikasi dengan makhluk tak kasat mata? Mungkin, aku memang sudah gila.
'Kamu anak yang baik. Sabar saja! Kalau kamu rajin membersihkan rumah, kamu akan menemukan jawabannya.' Kalimat itu kembali terngiang di telingaku dan aku memutuskan untuk pulang serta melakukannya.
Meskipun lelah dengan napas yang terengah-engah, aku terus membongkar dan membersihkan rumah. Mulai dari ruang tamu, ruang makan, tiga kamar, dan dapur. Tapi, untuk kamar rahasia, aku mutuskan tidak menyentuhnya.
Terakhir, aku terpanggil untuk merapikan dipan dan menggulung kasur kapas milik eyang. Benar saja, pada bagian ujungnya, aku melihat buku lain. Dari kulitnya, jelas sekali itu milik eyang.
"Buku ini?" tanyaku dengan suara yang tipis. Lalu berlari ke arah ruang tamu. "Benar, ini buku yang eyang pegang di dalam foto itu." Aku memeluknya erat, bahkan bulir-bulir air mataku menetes. Meskipun, aku tidak tahu isinya.
"Eyang?" gumamku seraya menatap mata wanita kesayanganku.
Saat ini, aku hanya dapat dinikmati mata eyang dari gambaran yang tidak mampu bergerak lagi. "Tunggu dulu! Aku harus menyelesaikannya!" kataku dan memutuskan untuk kembali ke dalam kamar eyang.
Takut kehilangan petunjuk penting, aku meletakkan buku tersebut di sisi perutku. Rasanya, ini sangat berarti dan aku yakin dapat memulai semuanya dari sini.
Sembari menyapu, aku menghapus peluh. Di ujung pintu bagian belakang, tanpa sengaja ujung kaki kananku menyepak sesuatu yang berat seperti besi.
Dengan cepat, aku menundukkan tubuh dan mengambil sebuah kalung dari tali berwarna hitam. Sebenarnya hiasan leher ini tampak sangat sederhana, seperti tali pengikat sepatu sekolah. Tetapi, liontin yang menghiasinya terlihat tidak biasa.
'Aku yakin, ini bukan milik eyang. Ini juga bukan milikku, rasanya baru kali ini melihat simbol aneh seperti ini.' Aku bertanya tanpa suara.
"Simbol?" gumamku seraya memperhatikan benda petunjuk yang sudah berada di telapak tangan kananku. "Apa mungkin ini milik seseorang yang menerobos rumahku? Jika iya, berarti dia mencari buku ini juga."
Ternyata benar, tak ada kejahatan yang tidak meninggalkan jejak. Itulah kata-kata bijak yang bisa ku ambil sebagai kiasan atas apa yang ditemukan saat ini.
'Aku yakin sekali, kalung ini adalah milik orang jahat itu dan simbol ini berkaitan dengan rahasia yang menghantui hidupku.'
***
Tanpa terasa, azan magrib berkumandang dan terdengar menggema di telingaku. Suara dan iramanya terasa berbeda dari yang biasanya. Sayang, hatiku belum juga terpanggil untuk menunaikan kewajiban itu.
Mungkin semua ini terjadi, akibat kurangnya pemahaman agama yang aku terima di dalam keluarga.
Selama ini, aku mengenal Allah dan beberapa urusan tentang-Nya, seperti kewajiban dan larangan, hanya melalui pelajaran di sekolah yang dilaksanakannya dalam waktu singkat.
Makanya, aku merasa iri pada banyak teman yang dikelilingi oleh cahaya islam dan kehangatan keluarga utuh. Terkadang, aku berpikir bahwa hidupku ini sangat buruk. Hal itu juga membuat aku menjadi minder pada orang-orang.
Sekitar pukul 21.30 WIB, aku baru selesai menambah jumlah kunci di pintu dapur dan bagian depan. Kemudian, aku langsung menikmati makan malam seadanya sembari menikmati kesendirian.
"Malam ini, apa Ida akan datang?" gumamku yang merasa nyaman ketika ada dirinya di rumah ini. "Ternyata, dia adalah teman yang baik."
Belum putus ucapan dari bibirku, seseorang mengetuk dengan gerakan lamban, dari luar. Dengan cepat, aku membersihkan mulut dan tangan, lalu bergerak ke pintu utama.
Dari kaca nako, aku mengintip ke arah luar. Ternyata Ida sudah duduk di tempat yang sama, dengan malam sebelumnya.
Lagi-lagi, ia membawa kantong kresek berwarna hitam yang diletakkan di atas meja. Selain itu, pakaian yang ia kenakan pun masih saja sama. Sepertinya, ia tidak mengganti pakaiannya sejak kemarin.
"Ida?!" sapaku dalam tanya.
Ida menarik kedua sisi bibirnya. Jauh dari cahaya lampu, tapi aku dapat melihat pucat warna kulitnya. Selain itu, ia juga terlihat begitu lelah.
"Akhirnya, kamu datang juga," sambungku dalam senyum. "Ini, obat?"
Ida mengangguk sebelum aku menyelesaikan perkataan. Namun, karena sudah paham, aku segera mengambil kreseknya dan bergerak cepat ke arah gubuk milik keluarganya.
Lagi-lagi, suasana di rumah ini sepi. Seperti tidak berpenghuni. Tetapi masih terlihat rapi, seolah dibersihkan seperti biasanya.
Tidak ingin berlama-lama meninggalkan Ida, aku langsung kembali ke rumah. Ketika tiba di teras, aku tidak lagi melihat temanku tersebut.
"Ida?" Aku melipat dahi dengan perasaan yang sedikit kecewa. Ternyata, Ida tidak menepati janjinya malam ini.
Dengan langkah malas, aku masuk ke dalam rumah. Sembari menutup pintu, aku berkata tanpa suara. 'Mungkin Ida banyak urusan, pekerjaan, atau memang dia merasa bosan kepadaku. Entahlah.'
Setibanya di dalam kamar, aku melihat Ida sudah duduk di atas tempat tidurku yang lebarnya cukup untuk tiga orang (Kasur nomor satu).
"Ya ampun, ngagetin aja. Ternyata kamu sudah di dalam?"
Ida kembali tersenyum dalam anggukan kecil yang semakin terkesan kaku. Tapi, aku tidak ingin lagi berpikir aneh tentang dirinya dan berniat untuk mengambil tempat yang sama dengan ida.
Setelah 20 menit, "Kalau kamu diam terus, sebaiknya aku tidur saja!" protes, karena Ida tidak bersemangat seperti malam sebelumnya.
"Belajar sedikit dulu, baru tidur!" sarannya dengan suara lambat. Sepertinya Ida kehabisan baterai.
"Malas. Lagian, ujian masih satu minggu lagi," tolakku kembali, namun Ida sepertinya tidak marah.
"Kamu tahu, ada banyak rahasia di dunia ini yang dituangkan melalui gambar?" Tiba-tiba Ida mengajakku mengobrol dengan materi berbeda.
"Selama ini, kita tidak menyadari bahwa konon simbol-simbol setan ada di sekeliling kita. Atau, jangan-jangan, simbol-simbol itu telah melekat pada keseharian kita."
"Ah, soal itu?" Lalu aku terbayang simbol liontin yang aku dapatkan di pintu kamar eyang. Bukan itu saja, tapi simbol yang ada pada buku kuning dari dalam kamar rahasia.
"Tak ada salahnya lebih waspada! Kendati hanya berupa simbol atau gambar, sesungguhnya ada makna tersirat di dalamnya. bahkan ada orang yang mengatakan bahwa simbol-simbol tertentu, menyiratkan lambang setan." Ida menatap lurus ke depan, tapi bibirnya terus saja berucap. Seakan, mata dan bibirnya bukan milik satu orang yang sama.
Aku mengangguk paham, "Baiklah. Aku juga akan mencari tahu soal itu, Ida. Rencananya, aku akan ke perpustakaan daerah besok."
Ida tersenyum dalam anggukan lamban. Tak lama, terdengar suara ketukan pintu dengan suara yang cepat. Tetapi ketika ingin berdiri untuk membukanya, Ida meringis kesakitan, sambil memegang dadanya.
Merasa lebih perduli terhadap dirinya, aku memutuskan untuk mengurus tamanku dan mengabaikan ketukan pada pintu tersebut.
"Sini! Aku usap minyak kayu putih!?"
"Iya."
"Badan kamu dingin sekali. Sepertinya, kamu masuk angin," kataku sambil terus menatap khawatir. "Ingin teh hangat?"
Ida mengangguk dengan mata yang sayup. "Terima kasih, ya."
"Sama-sama, sebentar." Lalu aku membuatkan minuman hangat tersebut, tanpa menghiraukan suara ketukan dari luar.
Tak lama, terdengar suara mobil yang sama dengan kendaraan tante Asih yang datang dimalam sebelumnya.
Bersambung.
Jangan lupa mampir ke cerita romance aku ya.