4. Sepucuk Penghinaan

1919 Kata
“Mas, saya beneran minta maaf.” Aku merasa sangat bersalah melihat baju Mas Rifqi yang kuning-kuning. Karena bajunya warna terang, jadi noda itu terlihat sangat jelas. “Atau saya ganti baru aja? Di depan ada butik sepertinya.” “Tidak perlu.” Mas Rifqi pergi meninggalkanku, tepatnya ke arah toilet. Aku sendiri langsung berlari menyusulnya. Pasalnya, aku tidak lega kalau urusan ini tidak kuselesaikan hari ini juga. “Itu nodanya banyak, lho. Bakal susah hilang.” Ucapanku tidak dia gubris. Namun, aku tetap mengekorinya. “Atau saya pinjamkan baju kakak say—“ “Sudah saya bilang, tidak perlu.” “Jangan gitu. Soalnya di sini banyak orang—“ kalimatku terhenti ketika aku menubruknya. Ini terjadi karena dia berhenti mendadak dan aku tidak sempat mengerem. “Kamu mau ikut saya ke toilet?” tanyanya sembari melirik papan toilet laki-laki. Aku refleks mundur. “E-enggak. Saya minta maaf.” Mas Rifqi menatapku lurus, tetapi tidak ada satu pun kata yang keluar. Aku sendiri ikut diam karena bingung harus bicara apa lagi. Sejak tadi dia menolak permintaan maafku. Tiba-tiba saja, aku ingat doa Rizda minggu lalu, yakni tentang adegan sinetron part dua. Kalau dipikir lagi, doa-nya benar-benar terkabul. Semoga cukup smapai di sini saja. Doa selanjutnya jangan sampai ikut terkabul juga. “Saya beneran minta maaf,” ucapku lagi bebeberapa saat kemudian. “Kakak saya di sini. Biar saya pinjamkan bajunya. Badan kalian mirip, kok—“ “Telingamu bermasalah? Apa saya harus bicara sampai tiga kali?“ “Masnya enggak malu, emang?” tanpa sadar, suaraku sedikit naik. “Padahal niat saya baik, loh. Di sini saya mau bertanggung jawab atas kecerobohan saya. Kenapa menolak? Di sini banyak orang. Pasti Masnya bakal dilihatin terus kalau pakai baju penuh noda kuning kaya gini.” “Kenapa peduli kalau saya dilihatin orang?” “Karena saya yang bikin Masnya begitu. Saya juga memposisikan diri misal saya di posisi Masnya, pasti rasanya risih. Udah kuning-kuning, lengket juga.” “Kamu ingat atau enggak siapa saya?” “Hah? Eh, i-ingat, kok, ingat. Ingat banget, malah. Masnya yang di kondangan itu, kan? Terus yang saya tabrak waktu di basement juga? Terus di jalan waktu saya pulang naik taksi. Saya ingat semua, kok.” Mas Rifqi malah tersenyum, dan senyumnya bukan jenis senyum yang enak dilihat. Senyumnya seperti agak sinis dan penuh kekesalan. “Sudahlah, lupakan saja. Sana pergi, kecuali kamu mau ikut saya masuk ke toilet laki-laki.” Mas Rifqi akhirnya masuk ke toilet, meninggalkanku yang terbengong-bengong di tempat. Karena tidak mungkin aku menyusul masuk, akhirnya aku berlari menuju ruangan tempat Mas Arfa istirahat. Aku harus menemui dia dan pinjam bajunya. Dia pasti membawa baju lebih, tidak mungkin tidak. Setibanya di ruangan, aku berhenti sejenak karena ternyata suasana sedang agak ramai. Teman-teman Mbak Nana sedang berkumpul di sana. Mas Arfa juga tidak kelihatan. “Di mana Mas Arfa— oh itu!” Ternyata Mas Arfa baru saja keluar dari toilet. “Mas Arfa ...” panggilku sembari berjalan cepat ke arahnya. “Apa, Shen?” Aku duduk di sebelah Mas Arfa dan berbisik. “Mas Fa, aku pinjem baju punya Mas, ya? Aku habis nabrak dan numpahin minuman vitamin C jeruk ke salah satu tamu cowok. Bajunya jadi kuning-kuning banyak banget, mana warna asalnya terang. Jadi kelihatan, deh, nodanya.” “Bisa-bisanya, kamu ini!” aku berjengit kaget karena suara Mas Arfa tiba-tiba meninggi. “Please banget lah, Mas!” Aku menangkupkan kedua telapak tangan, menatap Mas Arfa dengan tatapan memelas. Karena di sini agak ramai, aku mengedarkan pandangan sejenak dan mengangguk untuk menyapa teman-teman Mbak Nana sekadarnya. “Kenapa, Shen?” tanya Mbak Nana kemudian. “Ini anak kebiasaan kalau jalan enggak lihat-lihat, jadi nabrak dan numpahin minuman vitamin C jeruk ke baju tamu. Mana baju yang kena warna terang, jadi kelihatan kuning-kuning. Dia mau minjem bajuku buat dipakai orang itu.” Mas Arfa lebih dulu menjawab. “Loh? Cowok? Orangnya mana, Shen?” “Dia lagi di toilet. Tadi tuh aku bawa minumannya posisi tutup kebuka, makanya waktu nubruk ya langsung tumpah. Please, Mas Fa ... bantu aku!” aku mulai menarik-narik lengan baju Mas Arfa agar dia mau membantuku. “Emang badannya pas?” Aku terdiam sejenak, mengingat-ingat. “Hampir samalah. Tinggi juga kok, orangnya—“ “Mas Rifqi! Kok lama banget ke toilet— loh! Bajunya kenapa?” mendengar itu, aku langsung menoleh ke arah pintu. “Oh! Itu dia, Mas, orangnya!” ujarku pelan sambil menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Aku juga bersembunyi di balik badan Mas Arfa yang besar. Kakakku tidak gendut, tetapi dadanya sangat bidang. “Bisa kaya gitu kenapa, sih, Rif?” tanya teman Mbak Nana yang lain. “Ada yang enggak sengaja numpahin minuman rasa jeruk. Kelihatan kaya kotoran, ya, kuning-kuning?” Mas Rifqi tetap masuk, lalu memberi selamat pada Mas Arfa dan Mbak Nana. “Selamat atas pernikahannya, Pak Arfa, Nana. Maaf, saya datang dengan baju kotor—“ “Shen! Kok malah ngumpet, sih!” Mas Arfa sialan! Dia malah menarikku agar berhenti sembunyi. “Shenna!” Akhirnya aku kembali duduk tegak dan langsung meringis ke arah Mas Rifqi. “Hai, Masnya ... kita ketemu lagi!” “Loh? Kamu kok—“ Mas Rifqi tidak melanjutkan kalimatnya, malah menatap aku dan Mas Arfa bergantian. “Jadi yang kamu tabrak itu si Rifqi? Shenna, shenna! Kalau enggak bikin onar sehari aja, apa langsung meriang?” “Orang enggak sengaja, Mas. Tadi tuh di luar gerimis, makanya aku cepet-cepet masuk. Ini juga nabraknya di dekat pintu. Mana kelihatan.” “Sebentar ...” suara Mas Rifqi menginterupsi. Ternyata dia masih saja menatapku dan Mas Arfa. “Pak Arfa sama dia—“ “Dia adik saya. Adik kandung.” Mas Rifqi tampak sangat terkejut. Dia mungkin tidak menyangka kalau aku adalah adik kandung Mas Arfa. Bagaimanapun juga, semua orang kantor sudah tahu kalau cepat atau lambat Mas Arfa akan menggantikan Om Rivan sebagai pimpinan perusahaan. “O-oh, iya.” Mas Rifqi akhirnya mengangguk. Saat dia menatapku, aku langsung melengos. “Tunggu sebentar, ya.” Mas Arfa tiba-tiba menarikku pergi ke ruangan sebelah. Kebetulan, ruangan ini dan ruangan sebelah memang terkoneksi. “Mas, kenapa tarik-tarik, sih! Sakit, tahu!” Aku menepis tangan Mas Arfa begitu kami sudah tiba di ruangan sebelah. “Kenapa dari sekian banyak tamu laki-laki, kamu harus berurusan sama dia?” “Ya enggak tahu! Kalau bisa diulang, aku juga enggak mau berurusan sama dia. Ini udah terlanjur aja.” “Ck! Kamu ini memang dari dulu hobi banget bikin ulah!” Mas Arfa pergi ke sudut dan memilih baju. Pilihannya jatuh pada kemeja warna biru telur. Setelah itu, dia menarikku kembali ke ruangan tadi. “Rifqi ... maafkan adik saya, ya? Kamu bisa pakai baju ini untuk ganti.” Mas Arfa mengulurkan bajunya. “Oh ... enggak perlu, Pak—“ “Nanti dia ngomel nyalahin saya enggak punya hati kalau kamu nolak. Selain kasihan kamu pakai baju kotor, saya juga tidak tega melihat adik saya terus merasa bersalah.” Aw! Tumben sekali kakakku ini berguna. Jadi makin sayang! “Ambil.” Mas Arfa masih terus mengulurkan bajunya. “Ya sudah. Terima kasih, Pak Arfa.” Akhirnya, Mas Rifqi menerima baju dari Mas Arfa. Entah hanya perasaanku saja atau bukan, aku menangkap tatapan tidak biasa dari mata kakakku ini. Apa jangan-jangan Mas Arfa mengenal Mas Rifqi? Maksudku, kenal yang betul-betul kenal? Tidak hanya kenal selewat saja? “Saya pamit ke toilet lagi.” Mas Rifqi berdiri. “Iya, Mas,” sahut yang lain. Saat Mas Rifqi keluar, aku yang tadinya mematung, seketika refleks menyusul. Tak lupa, aku mengambil paper bag yang tergeletak sembarangan di atas meja. Jujur, aku merasa masih perlu minta maaf padanya. “Shenna, mau ke mana kamu?” tanya Mas Arfa. Sebelum benar-benar pergi, aku menyempatkan untuk berhenti sesaat. “Mau ngasih ini buat bungkus baju yang kotor. Mau aku cuciin buat permintaan maaf!” *** “Kan! Baju Mas Arfa sangat pas.” Aku tidak tahan kalau tidak berkomentar begitu melihat Mas Rifqi keluar dari toilet. Aku menunggunya di lorong dekat pintu tempat kami tabrakan tadi. Kebetulan, titik itu adalah tempat yang tepat untuk menunggu orang yang sedang ke toilet tanpa harus membuat orang lain merasa terganggu. “Kenapa kamu di situ?” “Baju kotornya masukin sini.” Aku mengulurkan paper bag dan membukanya lebar-lebar. “Tidak perlu.” “Kenapa dari tadi bilang tidak perlu - tidak perlu terus. Masnya mau bawa baju kuning-kuning kaya gitu sepanjang di sini? Emang enggak malu sama tamu lain?” “Bawa paper bag-mu kemari. Biar saya bawa sendiri.” “Enggak mau.” Mas Rifqi memejamkan matanya sesaat. “Memangnya mau kamu apakan baju saya?” “Ya dicuci, dong. Saya jamin, satu noda pun enggak akan tertinggal lagi. Please-lah, Mas. Biar rasa bersalah saya enggak berlarut-larut.” Aku langsung tersenyum ketika akhirnya Mas Rifqi menyerahkan bajunya. Berikutnya, aku menunduk dalam-dalam. “Sekali lagi saya minta maaf untuk kekacauan hari ini. Pokoknya saya akan bertanggung jawab penuh.” “Ya.” Aku menegakkan badan, lalu mengulurkan tangan. “Ngomong-ngomong, kita belum kenalan. Seengaknya, biarkan saya tahu nama Masnya.” “Memangnya waktu kamu kondangan, kamu tidak dengar Fendi manggil saya apa? Waktu di basement, Nana juga nyebut nama saya. Tadi, kakakmu pun sama. Telingamu normal, kan?” Aku meringis. “Mas Rifqi ya?” “Hm.” “Saya Shenna, Mas.” “Saya tahu.” “Oh? Tahu dari mana?” “Bukannya tadi kakakmu terus menyebut namamu berulang kali? Waktu itu Nana juga memanggilmu.” “Ah! Iya juga.” Lagi-lagi aku meringis. “Terus, ini?” Aku menggerakkan tanganku yang masih terulur ke arahnya. “Apa perlu?” “Kenapa enggak perlu? Saya cuma mau berkenalan secara resmi aja. Biar besok kalau saya balikin baju ini, jadinya lebih enak.” Akhirnya, Mas Rifqi mengulurkan tangan dan menjabat tanganku. Hanya sesaat, karena berikutnya tangan kami sudah langsung terlepas. Setidaknya, kini kami benar-benar seorang kenalan. “Nanti kalau bajunya sudah bersih, saya kembalikan.” “Ya.” Mas Rifqi jalan meninggalkanku dan aku mengekor di belakangnya. Entah kenapa, aku tersenyum. Aku juga tidak tahu pasti apa alasannya, aku hanya merasa mood-ku tiba-tiba jadi bagus. “Oh, iya.” “Hah?” Saat Mas Rifqi berhenti, aku ikut berhenti. Dia balik badan, membuatku refleks mundur satu langkah. “K-kenapa, Mas?” “Kamu yakin pertama kali lihat saya saat kondangan?” “Iyalah!” jawabku mantap. “Memang kita pernah bertemu di mana sebelumnya?” “Setahu saya, adik Pak Arfa itu calon dokter. Itu artinya, kamu anak kedokteran.” Aku mengangguk, meski agak heran kenapa tiba-tiba Mas Rifqi bawa-bawa jurusanku. “Memang iya. Sudah lulus dan ini lagi koas. Kenapa tiba-tiba bawa jurusan saya? Apa korelasinya?” “Anak kedokteran harusnya memiliki ingatan yang bagus. Kenapa ingatanmu sangat payah? Kamu yakin mampu menghafal nama penyakit dan obat-obatan? Apa kamu yakin bisa hafal anatomi tubuh manusia dengan baik?” “H-hah? Maksudnya? Mas Rifqi menatapku gemas. Gemas di sini bukan gemas yang lucu, melainkan seperti geregatan. Itu membuatku semakin bingung. “Kenapa, Mas? Kenapa tiba-tiba ngatain saya?” “Sudah, lupakan. Jangan ikuti saya lagi.” Setelah mengatakan itu, Mas Rifqi pergi dengan langkah cepat. Alih-alih mengejarnya, aku mendadak termenung di tempat. Aku masih mencerna pertanyaannya yang tiba-tiba belok dan tidak nyambung dengan pembahasan sebelumnya. Kutatap badan tingginya yang mulai mengecil tertelan jarak dan menghilang di belokan. “Maksud dia apa ngatain ingatanku payah? Aku aja sering dipuji dosen karena hafalanku bagus. Wah! Enggak bisa dibiarin!” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN