Sudah seperempat jam lebih aku diam di kamar mandi, mencuci baju milik Mas Rifqi yang nodanya tak kunjung hilang. Aku sudah menguceknya berkali-kali, tetapi masih saja belum bersih. Noda bekas minuman jeruk memang begini. Bandel!
Aku sengaja tidak minta bantuan siapa pun untuk mencuci baju ini karena takut rusak. Bahannya lembut, kalau masuk mesin pasti tidak direkomendasikan. Mau mengganti dengan yang baru, aku tidak tahu harus beli di mana. Lagi pula, ini juga bukan soal aku bisa menggantinya dengan baju yang lebih baik atau tidak, tetapi ini soal tanggung jawabku yang sudah berjanji akan mencucinya sampai benar-benar bersih.
“Akhirnyaaa! Bisa bersih juga! Ternyata pakai sabun ini cepet.”
Aku menyandarkan badan di dinding kamar mandi, lalu memejamkan mata sesaat. Tak kusangka, aku merelakan waktu berhargaku hanya demi mencuci pakaian seorang laki-laki yang bahkan dengan santainya menyebut ingatanku payah.
Oh ayolah, bagian yang ini agak keterlaluan. Aku ini termasuk orang dengan ingatan yang cukup bagus hampir dalam hal apa pun. Ya menghafal, mengingat nama orang, sampai mengingat wajah. Katakan delapan dari sepuluh orang akan kuingat dengan baik sekalipun tidak bertemu dalam waktu yang lama. Dua orang anggap saja error, karena aku tetaplah manusia biasa, bukan robot yang bisa menyimpan file tanpa cela.
Aku bahkan masih ingat dengan baik laki-laki yang kutemui di Semarang empat tahun lalu. Aku ingat dia mengenakan topi hitam dan jaket coklat bata. Aku bahkan ingat luka di bibir dan tangan kanannya. Namanya apa lagi, aku masih sangat ingat. Hanya saja, soal wajah aku bukannya tak ingat. Malam itu dia mengenakan topi. Aku tidak yakin wajahnya terlihat seperti apa kalau topinya di buka. Yang jelas, dia tampan dan memiliki tatapan mata yang teduh.
Dalam empat tahun ini, setidaknya aku sudah salah menebak lima sampai tujuh orang. Tiap melihat laki-laki bertopi dan agak misterius— tentu saja didukung postur tubuh yang mirip dengannya, aku selalu mengira kalau mereka itu dia. Sayangnya, tidak. Mereka bukan dia. Aku harus merasa kecewa berulang kali.
Yang paling konyol adalah, aku pernah mengira kalau kakakku adalah dia. Saat Mas Arfa mengenakan jaket hitam dan topi hitam setelah bermain golf, dengan bodohnya aku hampir menghampirinya dan memanggilnya ‘Mas Iqi’. Itu karena postur tubuh mereka sebelas - dua belas. Sama-sama tinggi tegap. Aku tidak yakin lebih tinggi siapa, tetapi sekilas sangat mirip.
Namun, ya sudahlah. Rasanya agak mustahil kami bisa bertemu lagi. Dia di Semarang, sementara aku di Jakarta. Bahkan jika memang tanpa sadar kami bertemu, aku tidak yakin bisa mengenalinya dengan baik. Jujur saja, aku agak trauma kalau sampai salah orang lagi. Topinya malam itu benar-benar membuatku tidak bisa mengenali wajahnya.
Selain itu, dia juga mungkin sudah menikah dan punya anak. Maksudku, toh kalaupun kami bertemu lagi, aku tidak bisa minta ‘balikan’ dengannya.
Asumsiku ini bukan tanpa alasan. Bagaimanapun juga, umur kami terpaut cukup jauh. Kalau kala itu saja dia sudah lulus S1 tiga tahun lalu, mungkin umurnya saat itu sudah dua puluh lima. Atau minimal dua puluh empat. Itu artinya, kami terpaut kisaran tujuh sampai delapan tahun. Iya, kan?
“Oke, saatnya bilas dan langsung dijemur di belakang.”
Setelah baju itu kubilas, aku memasukkannya ke dalam wadah kecil yang tadi kuambil di dapur. Aku turun tangga pelan-pelan, sengaja menghindari Papa dan Mama. Karena sudah pasti, aku akan ditanya macam-macam kalau sampai ketahuan menjemur baju laki-laki. Mau dijemur di kamar mandi atau balkon kamar, kurasa tidak ada tempat yang cocok.
“Kamu kenapa kaya mengendap-endap gitu, Shen?”
Aku berjengit kaget ketika mendengar suara Papa. Beliau datang dari arah belakang membawa secangkir minuman.
“Apa itu? Baju?” mata Papa menyipit. “Kok ditaruh di wadah itu?”
Duh, ketahuan!
“I-iya, Pa. Baju. Bajunya Mas Arfa!” jawabku spontan. Aku harap, Papa percaya.
“Kenapa kamu yang nyuciin bajunya? Mana cuma satu.”
“I-itu, eee ... aku numpahin minuman di bajunya, Pa. Mas Arfa minta aku cuci tangan soalnya baju ini enggak boleh masuk mesin cuci. Nanti rusak. Soalnya bahannya lembut.”
“Oh.” Papa manggut-manggut. “Ya udah, sana jemur. Mumpung cuaca bagus.”
“Iya, Pa.”
Aku menghela napas lega karena Papa tidak bertanya lebih lanjut. Kalau Mama, sepertinya akan beda cerita. Biasanya, Mama lebih mudah curiga dan pantang berhenti sebelum mendapatkan jawaban yang memuaskan.
Aku setengah berlari menuju jemuran belakang rumah. Jemuran rumahku aman karena di atasnya ada seperti penutup warna terang. Kalau panas masih kepanasan, tetapi kalau hujan tidak kehujanan.
“Oke, beres. Siang juga pasti udah kering.” Aku merasa bangga telah berhasil menghilangkan seluruh noda. Ya, sekalipun aku harus berusaha ekstra demi ini.
Setelah selesai menjemur, aku merebahkan badan di sofa ruang tengah. Hari ini aku masuk siang. Masih banyak waktu sampai aku berangkat ke rumah sakit. Aku ingin menghabiskan waktu dengan banyak tidur sembari menunggu baju Mas Rifqi kering.
***
“Oh iyaaa! Aku kan belum punya nomornya Mas Rifqi! Terus gimana kalau mau balikin bajunya?”
Baju Mas Rifqi sudah kering, hanya belum aku setrika. Aku akan mengembalikan baju itu setelah kusetrika dan kusemprot wewangian.
Sekarang masalahnya adalah, aku tidak memiliki nomor Mas Rifqi. Info yang Mas Fajar berikan waktu itu tidak sekalian kontak pribadi karena saat itu aku hanya ingin tahu siapa dia dan apa posisinya di kantor. Itu saja, tidak lebih.
“Ah! Mbak Nana pasti punya. Kan mereka berteman.”
Aku melompat dari ranjang, lalu berlari keluar kamar dan menuruni tangga. Aku tersenyum saat melihat Mbak Nana membantu Mama di dapur. Kakak iparku memang pandai memasak. Sangat cocok dengan kakakku yang jago menghabiskan makanan. Mereka saling melengkapi. Haha!
“Mbak Nana! Mbak Nana!” panggilku bersemangat sembari menuruni tangga.
“Kenapa Shen?”
Karena tidak ingin orang rumah tahu, aku menghampiri Mbak Nana dan berbisik. “Mbak, aku minta nomernya Mas Rifqi, dong ...”
“Eh, Mas Rifqi?”
“Ssst! Jangan keras-keras!” aku refleks menempelkan jari telunjuk di bibir Mbak Nana.
“RIFQI? Kamu mau minta nomornya Rifqi, Shen?”
Aduh, gawat! Itu suara Mas Arfa.
Kenapa Mas Arfa pakai dengar segala? Padahal, aku hanya telat beberapa detik. Coba saja aku memberi tahu Mbak Nana saat Mas Arfa masih di kamar mandi. Dia tidak akan mendengar percakapan ini.
“Apa sih! Mau tahu aja!”
“Na, jangan kasih!” Mas Arfa menggeleng.
“Ya ampun, Mas! Orang buat ngembaliin baju dia, kok. Kan bajunya masih di aku. Ya kali enggak aku kembaliin—“
“Yakin cuma ngembaliin? Kasih aku aja, sini, biar aku bawa ke kantor sepulang dari Maldives.”
“Belum kering!” balasku cepat. Ini adalah alasan yang spontan muncul di otakku. Aku mencomot tempe goreng, lalu memakannya. Aku ingin terlihat santai agar tidak ketahuan telah berbohong. Please, yang ini jangan ditiru!
“Rifqi siapa, Fa?”
Hah? Semakin gawat! Mama diam-diam menyimak. Semoga tidak jadi panjang. Apa aku justru harus terang-terangan sekalian agar tidak mencurigakan?
“Enggak penting, kok, Ma.”
“Mas Arfa itu punya dendam apa, sih, sama Mas Rifqi? Kok kayaknya sensi banget! Cuma balikin baju doang, elah!” selorohku santai, sambil terus makan tempe goreng.
“Lagi makan tuh diem, Shen, enggak usah ngomong!”
“Shen, panggil Papa, sana. Sarapannya udah siap. Papa lagi di halaman belakang nyiramin tanaman obat herbal.”
“Oke, Ma.”
Selama ke belakang, aku terus mengusap d**a lega. Sepertinya Mama sedang tidak terlalu fokus dengan percakapan tadi. Nyatanya beliau tidak membahas lagi, malah memintaku untuk memanggil Papa. Baguslah, urusan tidak jadi panjang.
“Pa, sarapan udah siap!” ucapku begitu berdiri di teras.
Saat ini Papa masih sibuk dengan tanaman herbal kesayangan beliau. Beliau pernah bilang, menanam tanaman herbal bukan hanya untuk stok obat alami, tetapi juga hiburan tersendiri. Entahlah, jalan pikiran Papa tidak semuanya harus kumengerti.
“Bentar, Shen. Satu menit.”
“Aku tungguin, Pa.”
“Ya.”
Satu menit berlalu, Papa akhirnya menghampiriku. Beliau tiba-tiba menatapku aneh.
“Kenapa, Pa?”
“Kemarin itu bukan baju kakakmu, kan? Ngaku!”
“Baju Mas Arfa, kok—“
“Pilih jujur, atau Papa akan selidiki lebih lanjut.”
Aku meringis. “Hehe, emang bukan. Tapi bukan siapa-siapa, kok, Pa. Aku cuma enggak sengaja numpahin minuman ke baju orang itu, jadi aku nyuciin sebagai bukti tanggung jawab. Orang itu tamu, Pa. Tamu nikahannya Mas Arfa sama Mbak Nana kemarin. Serius!”
“Kamu nyuci dengan tangan sendiri? Tumben.”
“Karena nodanya susah hilang. Aku udah janji akan nyuci sampai bersih.”
“Kalau memang cuma kaya gitu ceritanya, kenapa kemarin kamu pakai bohong segala?”
Akun kembali meringis. “Takut jadi panjang aja. Kan kadang-kadang Papa sama Mama suka kejauhan mikirnya.”
“Emangnya tamu itu siapa sampai kamu ngerasa harus sebertanggung jawab itu?”
“Temennya Mbak Nana, kok. Dia kenal. Papa tanya aja kalau enggak percaya. Mas Arfa sama Mbak Nana malah tahu insiden ini.” Aku harap, semakin santai aku menjawab, semakin kecil rasa curiga Papa.
“Oh, ya udah. Lekas balikin kalau udah disetrika.”
“Pasti, Pa.”
Aku tersenyum lega karena Papa tidak membahas lagi dan memilih bergegas menuju meja makan untuk sarapan bersama. Fiuh! Selamat, selamat!
***
“Kamu boleh dekat dengan cowok mana pun asal jangan Rifqi. Titik.” Mas Arfa mengatakan itu dengan nada sungguh-sungguh, seolah-olah aku tidak boleh membantahnya. “Cowok mana pun di sini juga dalam tanda kutip harus baik. Tapi kalau Rifqi, udah aku blacklist.”
“Emangnya kenapa, Mas?”
“Oh! Beneran kalian lagi pedekate? Cepet amat dia move on-nya.”
“Hah? Maksudnya? Apanya yang move on?”
“Jawab pertanyaanku barusan. Kalian lagi pedekate?”
“Enggak! Mana ada pedekate. Aku minta nomor dia ke Mbak Nana ya karena mau balikin baju. Lagian kenapa sampai di-blacklist segala? Dia salah apa sama Mas Fa?”
“Kamu ngeyel mau sama dia?”
“Ya ampun! Siapa juga yang ngeyel? Di sini aku cuma penasaran aja, enggak lebih. Kenapa tiba-tiba bahas Mas Rifqi udah di-blacklist, padahal kami enggak ada apa pun. Jangankan ada apa-apa, dekat aja enggak.”
“Ya bagus kalau gitu. Justru sekarang mumpung belum ada apa-apa, makanya aku bahas. Jangan sampai kamu mau sama dia! Aku enggak akan kasih restu. Pokoknya besok yang jadi suamimu harus aku uji dulu.”
“Lah!” Aku menganga tak percaya mendengar ucapan Mas Arfa.
Apa-apaan manusia satu ini!
“Kenapa enggak adil banget, sih, Mas? Emangnya waktu Mas Fa ngejar Mbak Nana, aku ikut campur? Aku justru selalu dukung kalian, lho! Kenapa giliran aku, belum-belum mau dipersulit?”
“Karena kamu cewek, Shen! Kamu akan disetir. Kamu adalah penumpang kapal. Kalau kamu cowok, aku enggak akan ikut campur karena kamu sendiri nahkodanya.”
“Ya udah, oke. Terserah, deh! Cuma kenapa Mas Rifqi belum-belum udah di-blacklist? Dia punya salah apa? Ini bukan soal aku ngeyel mau sama dia. Dia aja belum tentu mau sama aku. Aku penasaran aja, Mas Fa ada masalah apa sama dia sampai sebegininya?”
Mas Arfa diam. Saat aku maju, dia malah mundur.
“Jawab, Mas!” suaraku sedikit naik.
“Kamu enggak perlu tahu. Intinya ingat yang barusan aku bilang. Kamu boleh dekat dengan cowok baik mana pun, tapi bukan Rifqi. Kalau berani, awas saja!” setelah mengatakan itu, Mas Arfa tiba-tiba pergi meninggalkanku.
Kini aku sudah terduduk bingung. Aku masih tidak mengerti dengan apa yang Mas Arfa katakan barusan. “Kenapa dia tiba-tiba jadi sekeras itu? Sebenarnya ada apa di antara mereka?”
***