3. Lagi dan Lagi

2693 Kata
“Hidupmu sinetron banget, sumpah!” Rizda tertawa keras saat kuceritakan apa yang kualami kemarin sore di kantor Om Rivan. Tawanya bahkan sampai membuat matanya membentuk bulan sabit. “Terus enggak sekalian kamu sama dia ambil kertas barengan, sentuhan tangan, lalu tatap-tatapan dan jatuh cinta dalam sekejap?” “Idiiih! Gila, kali! Enggaklah!” Kalau diingat lagi, memang rasa-rasanya kemarin itu seperti adegan sinetron jadul. Di mana pemeran utama pria dan wanita bertubrukan dengan tidak sengaja. Bedanya, tidak ada adegan ambil kertas bersamaan dan tatap-tatapan canggung. Tidak! Hidupku tidak se-klise itu! “Tapi, Shen, sometimes kita bakal nemu beberapa keadaan yang kalau dipikir-pikir emang mirip sinetron. Contoh waktu kita masih kuliah semester awal itu. Yang kita di perpus lalu aku ambil buku di rak atas.” “Hah? Yang mana?” Aku terdiam sesaat. “Oh! Yang kamu mau jatuh terus ditolong cowok itu, kan?” “Betul! Mana ternyata dia dosen muda jurusan sebelah. Itu kami pakai tatap-tatapan segala, anjir! Kurang sinetron apa lagi, coba?” “Pakai jatuh cinta atau enggak?” “Enggaklah! Aku natap karena refleks mastiin aja ini siapa yang nolongin aku. Geli banget kalau diingat. Tapi saat itu aku emang agak berdebar-debar. Soalnya Bapaknya ganteng. Mueheee ...” Rizda terkekeh. Tatapan matanya pun tiba-tiba tampak menerawang. “Dih, malah nostalgia kisah sendiri!” Rizda nyengir. “Sorry, sorry. Tapi btw, yang kemarin kamu tabrak orangnya ganteng atau enggak? Terus kamu berdebar-debar atau enggak?” “Enggaklah!” “Enggak ganteng?” “Bukan! Maksudnya, aku enggak berdebar. Kalau bicara ganteng, dia ganteng.” “Ganteng mana sama kakakmu? Kakakmu ganteng banget soalnya. Andai kakakmu belum ada calon, mau aku pepet.” “Enggak akan kubiarin! Ogah banget punya kakak ipar kaya kamu!” Rizda tertawa. “Iye, iye. Jadi, dia beneran ganteng?” “Iya, dia ganteng. Tapi gantengnya tuh tipe yang kalem gitu, Da. Kalau kakakku kan enggak. Gimana, ya? Ya pokoknya gitulah. Mereka enggak bisa dibandingin karena beda vibes.” “Ya udah. Kalau ganteng mah sikat aja.” “Sikat, sikat! Kamar mandimu noh, disikat!” “Serius, Shen!” “No! Enggak mau. Kan tadi udah kubilang, dia ini si laki-laki pertama.” “Eh! Emang laki-laki pertama itu ganteng? Sorry, waktu itu aku enggak fokus dengar ceritamu. Ngeuh-nya yang ganteng yang kedua aja.” “Enggak, dua-duanya ganteng. Kalau yang kutabrak laki-laki kedua mah kupikir-pikir, deh. Act of service-nya itu, loh, beeeh! Meleleh adek, Bwang!” “Dan udah tahu gitu, tetap aja kan, yang lebih menyita perhatianmu si laki-laki pertama?” Aku mengangguk. “Iya, sih. Aneh, ya, Da? Aturan aku kepikiran laki-laki kedua alih-alih pertama.” “Mungkin Mas yang pertama ini punya magnet khusus buat kamu.” “Entahlah. Semoga aja enggak ketemu lagi. Males banget berususan sama orang nir-empati.” “Justru aku doain semoga ada adegan sinetron part dua.” “Da!” aku mendelik. “Doanya yang bener!” “Ya ini udah bener, sayang.” Rizda tiba-tiba meraih mapnya dan bersiap pergi. “Semoga kalian juga jodoh dunia-akhirat—“ “Rizdaaa!” Rizda tertawa mengejek. Mau membalas, anak itu sudah terlanjur keluar. Aku tidak mengejar karena rumah sakit bukan tempat bermain. Akhirnya, aku memilih untuk melanjutkan pekerjaanku, yakni melihat data pasien yang hari ini harus kuperiksa. *** “Hm ... jadi dia beneran kerja di kantor Om?” Sudah lima menit lebih aku mengamati foto yang baru saja kudapatkan dari Mas Fajar, sekretaris Om Rivan. Foto itu adalah foto Si Rifqi yang minggu lalu kutabrak. Entah kenapa, sejak sore itu aku terus kepikiran tentangnya. Tentu saja, aku menyembunyikan ini dari Rizda. Aku malu! Namun, jangan salah paham dulu. Kepikiran di sini lebih kepada aku masih belum terima dengan caranya mengabaikanku. Baik saat kondangan, maupun saat di parkiran. Herannya, saat aku berada di dekatnya, aku seperti mati kutu. Aku langsung takut dengan tatapan matanya. Padahal, dia bukan orang yang memiliki wajah garang. Aneh, ya? Saat aku masih mengamati foto itu, tiba-tiba ada panggilan masuk. Aku agak kaget karena ternyata panggilan itu datang dari Om Rivan. “Hallo, Om?” sapaku pelan. “Fajar bilang, kamu minta dicariin info tentang Rifqi. Ada apa, Shen?” O’ow. Aku melupakan ini. Tentu saja Mas Fajar lebih setia dengan Om Rivan daripada aku. “Enggak papa, kok, Om. Cuma iseng. Heheee.” “Jujur aja. Kalau enggak, Om laporin ke Mamamu—“ “Jangan, Om, jangan!” potongku cepat. “Urusan bakal panjang kalau Mama tahu. Bisa ke mana-mana, nanti.” Karena Om Rivan adik kandung Mama, tentu saja beliau sangat tahu tabiat sang kakak. Wajar beliau menggunakan Mama untuk mengancamku agar jujur. “Ya makanya jujur sama Om. Rifqi itu belum lama kerja di kantor Jakarta. Dia kerja di kantor cabang baru bentar udah Om tarik ke pusat.” “Kenapa gitu? Biasanya Om selektif. Masa iya baru bentar udah ditarik aja?” “Om kenal orang tuanya.” “Oh ... orang dalam rupanya?” “Enggak bisa dibilang gitu karena Om tarik dia enggak ada urusannya sama orang tua. Kerjanya memang bagus aja. Orang tuanya sangat baik dan jujur, jadi ini hanya penguat. Biasanya, buah jatuh enggak jauh dari pohonnya.” “Enggak juga, ah, Om. Buah di rumah temanku jatuh menggelinding ke sungai belakang rumah, terus ikut hanyut. Jauh, dong.” “Shenna! Serius! Ambil contoh yang umum. Bukan kasus khusus!” Aku meringis. “Hehe, bercanda, Om. Tapi beneran, tahu. Maksudku, sesekali ada anak yang jauh sifatnya dari orang tua.” “Iya, emang. Tapi kan sebelum Om tarik dia, Om juga kenal dia secara personal dulu. Om lihat dulu kinerjanya. Enggak asal Om tarik gitu aja.” “Iya, sih.” “Terus?” “Hah?” “Kok hah? Jawab pertanyaan Om tadi. Kenapa kamu tiba-tiba minta Fajar buat cari tahu tentang Rifqi?” “Om kan biasanya sibuk, ya? Kenapa malah ngajak aku telepon cuma buat bahas ini? Aku beneran iseng, kok.” “Oke. Setelah telepon ini putus, Om lapor Mamamu. Biar Mamamu aja yang nanya kamu langsung.” “JANGAN, OM!” tanpa sadar, aku langsung berteriak. “Please, jangan. Nanti ribet.” “Ya makanya jawab.” Aku terdiam sejenak. Aku tidak langsung menjawab karena aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku tidak tahu alasan masuk akal apa yang kiranya membuat Om Rivan mau mengerti. Pasalnya, alasanku sendiri random dan kurang berdasar. Perkara dress robek, tabrakan di parkiran, mana mungkin Om Rivan paham? Tapi memang itulah alasannya. Aku tidak ada alasan lain yang lebih meyakinkan. “Shenna? Kok malah diam? Jawab!” “Sejujurnya, aku enggak ada alasan khusus, Om. Kami pernah ketemu di kondangan anak teman Mama, lalu minggu lalu waktu aku ke kantor ambil berkas, aku ketemu dia di parkiran. Enggak ada yang terjadi, kami bahkan enggak kenal satu sama lain. Jadi, di sini aku cuma penasaran aja. Sumpah, Om! Enggak lebih.” “Atau karena dia ganteng, kamu jadi naksir?” “Enggak, ya! Beneran cuma penasaran,” tolakku mentah-mentah. Naksir? Yang benar saja! “Beneran, Shen?” “Iya, Om. Aku udah bilang sumpah, loh!” “Ya udah. Yang penting jangan ganggu dia! Kerjanya bagus. Awas saja kalau kamu mengacau!” “Enggak, Om. Suudzon amat.” “Gimana enggak suudzon kalau kamu aja lebih parah dari Mamamu.” Mendengar itu, mau tak mau aku tetawa. “Om jangan jujur-jujur banget, napa!” “Pokoknya ingat pesan Om barusan. Jangan macam-macam sama karyawan Om. Sekalipun kamu keponakan Om, kalau berulah, tetap Om kasih sanksi.” “Iya, Om. Siap!” Begitu panggilan selesai, aku langsung menjatuhkan badanku di ranjang. Aku mengusap d**a lega. Sepertinya, lain kali aku harus lebih hati-hati lagi dalam bertindak. Jangan sampai asal-asalan seperti ini. Aku menatap kembali foto Si Rifqi-Rifqi ini, lalu meletakkan ponsel di sampingku. Aku menatap langit-langit kamar, kemudian menggumam pelan. “Sejak kapan aku sepeduli ini sama orang baru yang bahkan belum kukenal secara personal?” *** “Kok masih berangkat, Shen? Katanya kakakmu mau nikah?” tanya Rizda saat kami bertemu di dekat apotek rumah sakit. Aku harus menebus obat untuk Mama, sementara dia sepertinya baru saja selesai ikut operasi. “Pertanyaan kocak! Terus kalau kakakku nikah, aku harus libur dari H-seminggu, gitu?” “Ya enggak.” Rizda tertawa pelan. “Emang nikahnya masih seminggu lagi?” “Hm. Itu yang di Jogja. Yang di Jakarta masih setelahnya.” “Jadi kamu bakal ke Jogja, dong?” “Iyalah. Masa kakakku nikah aku enggak datang di akadnya? Tapi kayaknya aku langsung pulang malamnya.” “Udah bilang Dokter Rega, belum?” “Udah. Ya itu, dapat izin sehari aja. Terus sama hari-H waktu di sini.” Dokter Rega adalah dokter residen yang sekaligus menjadi tangan kanan dari konsulenku. Apa-apa aku harus izin dengannya. Sebenarnya ini bagus mengingat dia lebih mudah ditemui daripada konsulenku yang super sibuk. “Masih baguslah, Shen. Setidaknya kamu enggak kena gampar kakakmu kalau enggak datang.” “Ya begitchu-lah.” Nasib dokter yang masih koas —strata terendah dalam dunia kedokteran— memang selalu begini. Tidak banyak yang bisa kami lakukan selain patuh dengan ‘atasan’. Fisik dan mental dibombardir habis-habisan. Mau menyerah nanggung, mau lanjut rasanya bikin stress. “Kelihatannya kamu lagi capek banget.” Rizda bersuara lagi. “Emang. Aku lagi capek banget. Pengennya mandi, makan, terus tidur sepanjang hari tanpa ada yang bangunin.” “Ah, itu mah surga dunia buat kita sekarang.” “Miris, ya, Da?” “Enggak papa. Kita nikmatin aja. Kita udah tahu tentang ini sejak dulu masih mahasiswa baru. Jangan disesali.” “Bukan menyesali, tapi lebih tepatnya aku enggak nyangka kalau realitanya akan sekeras ini.” “Sabar, ya? Kita lalui sama-sama.” Aku mencibir. “Kenapa, lu, jadi sok bijak dan kalem gini?” Rizda terkekeh. “Sedang memantaskan diri menjadi istri Dokter Rega yang ganteng dan kalem.” “Idih! Naksir, lu?” “Iyalah. Orang ganteng gitu. Anggap aja dia bahan cuci mata.” “Sinting!” “Biarin. Dahlah! Aku balik dulu. Aku masih harus ngurus sesuatu.” “Oke.” Sebenarnya, yang Rizda katakan tidak salah. Dokter Rega memang ganteng dan cukup kalem. Namun, entah kenapa aku tidak tertarik padanya. Tertarik dalam arti rasa suka untuk lawan jenis. Aku hanya menganggap dia sebagai ‘atasan’ sekaligus kakak yang baik. Hanya itu, tidak lebih. Setelah aku mendapatkan obat untuk Mama, aku langsung bergegas pulang karena sift-ku telah selesai. Percayalah, tiga puluh enam jam aku hampir tidak tidur. Tidurku sebatas curi-curi jika memungkinkan. Sungguh, aku sudah sangat rindu dengan kasur di rumah. Kalau sedang dalam masa kurang tidur seperti ini, aku biasanya tidak berani naik mobil sendiri. Aku takut ngantuk di jalan dan membahayakan pengendara lain. Akhir-akhir ini memang aku lebih sering pulang dan pergi naik taksi. “Enggak perlu dijemput, Ma. Aku naik taksi aja. Ya, ini udah mau pulang. Enggak, kok. Aku enggak lupa. Obatnya udah kubawa.” Setelah menerima panggilan dari Mama, aku langsung pesan taksi. Untungnya, tidak ada lima menit kemudian taksi sudah datang. Selama perjalanan pulang, aku terus memejamkan mata. Aku tidak benar-benar tidur, hanya sedang merelaksasi saja. Jujur, aku tidak bisa tidur di mobil kecuali yang nyetir adalah orang yang kupercaya dan bisa membuat nyaman. Sejauh ini hanya Papa, Mama, Mas Arfa, dan Rizda saja. Kalau mereka yang nyetir, aku bisa tidur pulas tanpa rasa takut sedikit pun. “Masih lama, ya, Pak?” tanyaku ketika taksi tak kunjung jalan lagi. “Macet, Kak. Antri lampu merah. Jam-jam ini kan memang penuh.” “Ya udah.” Aku menurunkan kaca jendela, lalu menatap keramaian di luar. Langit tampak mendung, gerimis pun turun perlahan. Angin juga berembus kencang. Jarang-jarang Jakarta begini. Biasanya kalau sedang macet, hawanya pengap dan panas. Saat aku masih mengedarkan pandangan, tiba-tiba tatapan mataku berhenti begitu melihat seseorang di mobil sebelah. Dia juga sedang menoleh dan menatapku. Mataku mendelik. “Oh, Masnya!” seruku tertahan. “Yang di kondangan sama di basement, ya?” Jarak kami saat ini mungkin hanya satu meter lebih sedikit. Itu karena aku sedang melihat ke arah kiri dan dia duduk di kursi kemudi bagian kanan. Kebetulan, taksiku juga sedikit lebih maju daripada mobilnya. “Kok diam aja?” tanyaku karena dia tidak kunjung menyahut. Dia kini malah sudah kembali menatap depan dan mobilnya pun jalan lebih dulu. “Wah! Aku diabaiin lagi, dong!” “Siapa, Kak?” tanya supir taksi. “Saudara?” “Bukan, Pak, bukan. Cuma orang lewat.” “Oh.” Akhirnya, taksi yang kutumpangi kembali jalan. Aku tidak bisa melihat mobilnya lagi karena dia belok kiri sementara aku tetap lurus. “Wah ... udah tiga kali ketemu dalam waktu berdekatan. Curiga, nih, jangan-jangan jodoh.” Aku tertawa pelan, lalu kaget sendiri begitu menyadari kalau ucapanku sudah ngelantur. Aku buru-buru menggeleng. “No! Big no! Jangan sampai aku punya suami yang terlalu cuek dan nir-empati. Mending sama Mas-mas kedua itu. Tapi kenapa yang nongol dia lagi - dia lagi?” *** Mas Arfa akhirnya menikah. Aku ikut senang karena dia akhirnya menemukan kembali tambatan hatinya. Kusebut ‘kembali’, karena dia menikah dengan mantan yang sudah putus bertahun-tahun lamanya. Ya, namanya sudah jodoh, ada saja cara untuk mereka kembali bersatu. Buanglah mantan pada tempatnya, itu tidak berlaku untuk Mas Arfa. Dia justru mengejar seperti orang gila agar bisa balikan. Tentu saja, ada alasan yang mendasari. Kakakku tidak sebodoh itu sampai mengejar mantan tanpa alasan. Mantan yang sekarang sudah dia peristri memang worth it untuk diperjuangkan. Beberapa hari yang lalu, akad dan resepsi diadakan di Jogja. Kini, giliran resepsi kedua diadakan di Jakarta. Aku senang kakakku menikah karena aku jadi ada alasan untuk minta libur. Ya, sekalipun lain kali aku tetap harus menggantinya. Namun, tak masalah. Lama kelamaan aku mulai terbiasa dengan jadwal super padat dan jam tidur yang sangat berantakan. “Mau ke mana, Shen?” tanya Mama saat melihatku keluar ruangan yang digunakan untuk kumpul keluarga. “Aku mau jalan-jalan dikit. Bosen dari tadi duduk mulu.” “Ya udah. Jangan jauh-jauh jalan-jalannya. Apalagi sampai berani kabur. Nanti kalau udah dimulai lagi, kamu harus standby.” “Iya, Ma.” Sebenarnya, aku hanya sedang malas bertegur sapa dengan para tamu dari keluarga besar. Energi sosialku sedang habis. Ditambah lagi, tidak semuanya aku dekat. Ada yang sekedar paham dan ngobrol kalau ada perlu saja. Mas Davka dan Mas Dipta, contohnya. Mereka adalah kakak sepupu jalur eyang. Aku selalu takut kalau lihat mereka. Apalagi Mas Davka, tatapannya tajam dan menakutkan. Mereka hanya dekat dengan Mas Arfa, tidak denganku. Mungkin karena mereka laki-laki dan aku perempuan. Jadi, tidak banyak obrolan yang nyambung. Aku memutuskan untuk jalan-jalan di taman belakang gedung dan duduk di salah satu bangku. Aku mengambil minuman vitamin C yang sering ada di dalam tas. Sejak mulai koas, Papa sering mengingatkanku untuk rutin minum vitamin. Beliau bahkan meresepkannya langsung. Jadi, jangan heran kalau di dalam tas ‘doraemon’-ku selalu ada aneka vitamin. Mulai dari bentuk tablet, sirup, sampai minuman biasa. “Sayang banget udah enggak dingin.” Aku membuka tutup botol, lalu menegak minuman vitamin C rasa jeruk. “Untung masih seger.” Aku termenung, menatap mobil-mobil yang berdatangan. Tamu-tamu masih banyak, bahkan aku dengar teman-teman kakak iparku baru saja datang. Baru satu menitan aku duduk, tiba-tiba gerimis mulai turun. Padahal langit tampak terang, tetapi turun hujan. “Ish! Bisa-bisanya gerimis, padahal lagi cerah begini!” aku berdiri dan buru-buru lari. Aku menggunakan tasku untuk menutupi kepala agar hairdo-ku tidak terkena air. Namun, baru dua langkah aku masuk pintu samping, tiba-tiba aku menubruk seseorang laki-laki. Benturan yang cukup keras membuat minuman vitamin C yang kupegang tumpah ke depan. “Yaaah! Maaf, Mas, Maaf!” aku refleks mengusap air kuning yang membasahi lengan dan dadanya. “Aduh! Jadi kuning-kuning kaya gini. Maafin saya!” Gerakan tanganku langsung terhenti ketika tangan laki-laki itu menahan kuat lenganku. Aku mendongak, dan detik itu juga aku langsung melebarkan mata sekaligus melangkah mundur. “M-masnya?” “Sepertinya kamu hobi sekali bikin masalah!” ujarnya penuh penekanan. Ya, dia adalah orang itu. Maksudku, Si Rifqi— eh, mungkin akan terdengar lebih sopan kalau aku memanggilnya Mas Rifqi. Ah terserah. Intinya dia! Duh, bagaimana ini? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN