Lagi dan lagi, aku menghabiskan waktuku dengan ‘bersemedi’ di rumah sakit. Mata rasanya sangat berat sampai-sampai aku merasa bisa pingsan kapan saja. Terkadang, aku malah merasa antara sadar dan tidak sadar. Untuk mengurangi itu, kopi sudah menjadi minumanku sehari-hari. Dengan catatan, kopi yang kuminum adalah kopi pahit tanpa gula.
Apa koas semengerikan itu? Jawabannya … sebenarnya tergantung. Ada banyak faktor yang memperngaruhi. Seperti rumah sakitnya, orang-orangnya, termasuk juga individunya. Namun yang jelas, aku merasa fase ini jauh lebih sulit daripada saat kuliah yang notabene juga padat dan sering lembur mengerjakan laporan praktikum.
Bagaimanapun, praktek ada kalanya berbeda dengan teori. Itu memberikan syok tersendiri. Itulah kenapa meski sudah lulus, sarjana kedokteran tidak bisa langsung dinobatkan menjadi dokter. Nyawa orang tidak sebercanda itu, jadi memang apa-apanya harus serba professional.
“Shenna, selamat! Habis ini kamu bisa pulang!” seru Rizda tepat setelah aku masuk ‘ruangan’ kami. “Giliran aku, deh, yang bersemedi.”
“Semangat, Neng Rizda. Habis ini aku mau berendam di bathub dengan air hangat. Ah … pasti enak banget.”
“Diem, lu!”
Aku tertawa, lalu mulai mengemasi barang-barangku. “Enggak mau babibu lagi, aku beneran mau langsung pulang. Bye!”
“Ya, Hati-hati.”
“Okai!”
Aku sudah tidak sabar ingin segera sampai rumah. Membayangkan berendam di bathub sembari menyalakan lilin aromaterapi, pasti sangat menyenangkan. Aku bahkan pernah ketiduran di kamar mandi karena saking nyamannya berendam.
“Pulang, Shen?” tanya Wika saat melihatku keluar ruangan.
“Yoi. Duluan, ya, Wik!”
“Iya. Senengnya, yang jam segini udah pulang.”
“Besok gantian, woy!”
Wika terkekeh. “Bener juga.”
Baru beberapa Langkah aku meninggalkan lorong depan ruanganku, langkahku sudah terhenti begitu melihat seseorang yang kukenal sedang berjalan dari gedung instalasi forensik. Mataku menyipit, memastikan penglihatanku tidak salah.
“Beneran Mas Rifqi kan, ya?” untuk sesaat, aku terus memperhatikan orang itu. “Eh, iya, bener. Mas Rifqi!” panggilku sembari berlari ke arahnya.
Mas Rifqi tampak sangat terkejut ketika melihatku. Ini adalah ekspresi yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Bahkan saat aku melihatnya di rumah sakit beberapa waktu lalu, dia tidak seterkejut ini. Selain itu, dia juga sudah tahu kalau aku koas di sini, jadi harusnya dia tidak heran kenapa kami bisa bertemu kembali.
“Mas Rifqi ada perlu apa di sini?” Aku melirik gedung sebelah. “Dan kenapa dari sana? Apa yang perlu Mas Rifqi urus?”
“E-enggak. Bukan a-apa-apa.”
“Kalimat Mas Rifqi terbata. Pasti ada sesuatu,” balasku langsung to the point.
“Bukan urusanmu.”
“Memang.”
Saat Mas Rifqi tiba-tiba pergi, aku lekas mengejarnya. Dia mau mengabaikanku lagi? Tidak akan kubiarkan.
“Mas, Mas, Mas! Tunggu, dong!” aku menahan lengan baju Mas Rifqi, tetapi dia tidak menggubrisku. Dia tetap jalan, membuatku terseok-seok mengikuti langkah kakinya yang lebar. “Mas, tunggu, ih!”
“Mau apa?” akhirnya dia berhenti.
“Apa Mas Rifqi lagi menyelidiki sesuatu?”
“Apa instalasi forensik hanya untuk itu?”
“Iya, dong. Apalagi Mas Rifqi bukan dokter. Pasti ada sesuatu sampai harus ke sana. Itu bukan instalasi biasa soalnya.”
“Bagaimana kalau saya hanya bertemu kenalan di sana? Apa tidak boleh?”
Ah, benar juga.
“Tapi kayaknya enggak, tuh!” aku masih tetap menyanggah. “Kalau hanya bertemu kenalan, apa sampai harus ke gedung ‘horror’ itu? Kalau memang orang yang Mas Rifqi temui sedang sibuk praktek, ada banyak spot rumah sakit yang lebih masuk akal untuk sekadar bertemu. Apalagi Mas Rifqi tadi kelihatan kaget waktu lihat saya. Padahal, harusnya udah enggak kaget, dong, orang Mas Rifqi tahu kalau saya koas di sini. Waktu itu juga kita udah ketemu.”
“Kamu kenapa ingin tahu urusan saya? Lalu kamu mau apa kalau memang saya sedang menyelidiki sesuatu di sini?”
Aku diam, lalu menelan ludah. Aku mendadak ciut mendengar kalimat Mas Rifqi yang terdengar tegas. Apa aku terlalu terus terang dan terlalu kelihatan ikut campur?
“Kita saja tidak cukup dekat untuk ngobrol banyak hal, apalagi ini? Kamu tidak perlu tahu urusan saya. Ngerti?”
Aku mengangguk. “I-iya, ngerti. Saya minta maaf karena kesannya terlalu ikut campur.”
“Lain kali kamu harus lebih tahu tentang batasan.”
“Iya, Mas.”
Kupikir Mas Rifqi akan langsung pergi, tetapi ternyata dia malah diam di tempat. Kuberanikan mendongak, lalu menatap matanya.
Aku tersentak ketika tiba-tiba aku menyadari sesuatu. Aku bahkan langsung mundur dan menggeleng.
“Kenapa kamu tiba-tiba geleng-geleng begitu?”
“E-enggak, enggak papa. Saya duluan, Mas!” aku lekas pergi meninggalkan Mas Rifqi. Aku berjalan cepat menuju gerbang depan.
Selama jalan, aku terus memegangi dadaku. Aku pasti sudah gila. Bagaimana mungkin aku sempat mengira kalau Mas Rifqi adalah Mas Iqi hanya karena tatapan matanya?
“Enggak, enggak mungkin. Enggak mungkin banget mereka orang yang sama. Ini Jakarta, bukan Semarang. Aku mungkin cuma lagi keinget aja. Iya, pasti cuma gitu.” Aku bicara sendiri sambil terus jalan sampai akhirnya tiba di depan gerbang. “Pokoknya enggak. Jangan nebak aneh-aneh. Nanti salah orang lagi. Stop bikin malu, Shen!”
Aku terus meredam perasaan ini sampai mendapat taksi dan tiba di rumah. Sepertinya, aku benar-benar harus melupakan kenangan tentang Mas Iqi. Aku tidak boleh terjebak dengan kenangan masa lalu yang tidak jelas ini. Iya, baiknya memang begitu.
Namun masalahnya, apa aku bisa?
***
“Mau ke Mana, Shen?” tanya Mama saat melihatku mengeluarkan motor dari garasi. “Kok tumben bawa motor? Biasanya mending naik taksi atau bawa mobil sendiri.”
Mama benar. Selama ini aku memang lebih sering pakai mobil daripada motor. Aku pernah agak trauma karena kehujanan saat naik motor, sedangkan ada berkas penting yang sedang kubawa. Saat itu aku hanya mempertimbangkan kecepatan, tidak keamanan. Jadi, aku menyesal karena berkas-berkas itu banyak yang basah.
Saat ini sebenarnya aku ingin naik mobil, tetapi waktunya tidak cukup. Motor adalah alternatif satu-satunya demi bisa menghemat waktu. Bagaimanapun juga, naik motor jelas akan lebih cepat sampai. Bodinya yang kecil bisa gerak lebih gesit.
“Lagi buru-buru banget, aku, Ma. Pakai motor jauh lebih cepet soalnya.”
“Buru-buru ke mana? Hari ini bukannya kamu libur?”
“Aku mau ke apartemen Rizda buat perbaiki laporan kemarin. Ada lembar yang lupa belum aku tanda tangani juga.”
“Kapan dikumpul?”
“Maksimal sore ini jam lima. Aku mau titip Rizda, eh malah dia ngabarin kalau ada yang kurang. Ini udah hampir jam empat soalnya. Aku harus cepet datang sebelum dia berangkat.”
“Bawa mobil aja, jangan motor. Toh ini belum jam pulang kerja, jadi jalan belum padat. Gimana kalau kaya waktu itu?”
“Tapi tetep enggak kekejar, Ma. Ini juga panas, kok. Enggak mendung kaya waktu itu.”
“Kekejar, kekejar. Percaya sama Mama.”
“Buru-buru, Ma.”
“Shen—“
“Aku males ngeluarin mobil juga. Beneran buru-buru banget, ini.”
“Ya udah. Tapi hati-hati. Jangan ngebut!”
“Oke, Ma.”
“Pakai helm-nya yang bener. Keselamatan yang utama.”
“Yaaa!”
Sebenarnya, sampai aku menyalakan motor, Mama masih menasihatiku. Akan tetapi, aku tidak menggubris lagi dan memilih untuk langsung pergi. Aku harus sudah sampai sebelum Rizda berangkat ke rumah sakit. Anak itu bilang, dia akan berangkat kisaran pukul empat seperempat. Sedangkan aku masih harus print ulang karena ada beberapa bagian yang juga perlu perbaikan.
Hanya butuh waktu sepuluh menitan, aku sudah tiba di apartemen Rizda. Ini juga karena aku naik motor. Kalau naik mobil, sudah pasti kurang waktu. Apalagi dari rumahku ke apartemen Rizda ada dua titik lampu merah besar yang biasanya mengantre panjang. Sedangkan, jalan alternatif hanya disarankan dilalui dengan motor.
“Makasih banyak, ya, Da. Untung kamu teliti.”
“Iya, sama-sama.”
“Padahal koma doang, tapi fatal. Aku bisa bunuh orang kalau salah kasih dosis obat.”
Rizda tertawa. “Kalaupun enggak sampai mati, minimal pingsan.”
“Aduh, enggak boleh gini lagi lain kali. Ini gara-gara aku kurang tidur, jadi kaya mata tuh berat banget. Soal koma sama titik ini harus lebih aku perhatiin lagi.”
“Iya. Makanya bikin laporan tuh jangan maksa. Maksudku, harus dalam kondisi fresh. Minimalnya, saat pengecekan ulang sebelum di-print jadi hard-file.”
“Baik, Bu Rizda. Akan saya ingat baik-baik.”
Setelah menge-print laporan, aku segera menata ulang. Aku memasukkannya ke dalam map warna biru muda. Rizda sendiri saat ini masih dandan. Dia bilang, maksimal sepuluh menit lagi dia harus sudah berangkat.
“Udah semua, Shen?”
“Udah, beres. Aku udah cek ulang barusan. Aman. Makasih, ya. Kasih aja di meja Dokter Rega.”
“Oke.”
Saat Rizda akhirnya berangkat, aku ikut keluar dan pamit pulang. Jadwalku dan anak ini memang jarang sekali bareng. Aku lebih sering bareng Wika alih-alih dengannya.
“Ternyata kamu ke sini naik motor, Shen? Pantes, cepet. Tumbennn! Katanya dulu trauma?”
“Kepepet. Enggak bakal kekejar kalau naik mobil.”
“Pasti lewat jalan kecil di kampung-kampung itu.”
Aku terkekeh. “Betul! Sebenarnya bisa itu, dibuat lewat mobil kalau urgent. Tapi lama banget. Belum kalau ketemu mobil lain. Bisa disuruh puter balik. Malah makin lama.”
“Bener. Ya udah, udah pas pakai motor. Habis ini langsung pulang?”
“Iyalah, lanjut hibernasi. Mau ngapain lagi? Satu-satunya cara berharga menikmati libur buat dokter jadi-jadian kaya kita ya tidur. Sayang banget kalau buat yang lain.”
“Setuju! Rasanya enak banget kalau habis tidur lama, lalu mandi sambil berendam. Duh, bayangin aja seneng.”
“Ya udah. Aku pulang dulu, Da. Sekali lagi, thank you!”
“Ya. Hati-hati. Jangan ngebut!”
“Udah kaya Mama aja, lu!”
Rizda tertawa. “Kan emang aku tangan kanan Tante Ivi.”
“Awas aja kamu lapor ke Mama aneh-aneh.”
“Enggak, asal kelakuanmu enggak terlalu aneh.”
“Ya udah. Bye!”
“Oke!”
Akhirnya, aku bergegas pulang. Aku sudah tidak sabar tiba di rumah dan lanjut tidur. Apalagi aku sedang haid hari-hari terakhir.
Akhir-akhir ini, di otakku memang isinya hanya tidur, tidur, dan tidur saja ketika libur. Aku mau keluar jika urgent. Kalau ingin makan makanan luar juga aku lebih pilih pesan antar.
Apa itu nongkrong di café? Aku tidak kenal lagi.
Sekarang aku baru menyadari betapa pentingnya tidur. Rasa-rasanya, lebih baik kurang makan daripada kurang tidur. Entahlah, mungkin memang akunya saja yang sedang terobsesi ingin tidur dengan cara yang ideal. Baik itu jumlah jamnya, ataupun waktunya.
“Ih, lama amat nyebrangnya!” aku mulai ngedumal ketika melihat mobil menyebrang jalan lama sekali. Pasti supirnya baru belajar. Aku sangat yakin soal ini. Gara-gara dia, suasana sekitar jadi ramai dengan bunyi klakson.
Begitu mobil itu berhasil pergi, aku jalan lagi. Namun, belum ada sepuluh detik setelahnya, ada mobil dari sisi kiri menyalip. Kaca spionnya menyenggolku, membuat badanku ambruk ke kanan sementara motor sedikit terdorong maju.
“Aaaargh!” aku buru-buru mendorong motorku sampai terjungkal ke arah kiri. Pasalnya, kakiku terkena kenalpot. “Ya ampuuun, kakiku!” Padahal hanya sebentar, tetapi kulitku langsung mengelupas sampai berwana merah pekat.
Berselang beberapa saat, ada dua bapak-bapak membantuku. Ada yang memindahkan motorku ke pinggir jalan, ada pula yang membantuku bangun dan memapahku agar duduk di trotoar.
“Yang nabrak kabur, ya, Neng?” tanya salah satu di antara dua bapak-bapak tadi.
“Iya, Pak.”
“Duh! Tapi, Neng, Bapak enggak bisa bantu lebih banyak. Itu jualan Bapak lagi ramai!”
“Punya saya juga!” satu lagi menimpali.
Aku sendiri langsung mengangguk. “Enggak papa, Pak. Bapak layani pembeli aja. Terima kasih, ya.”
“Sama-sama. Segera hubungi keluarga, ya, Neng. Kalau bisa segera ke rumah sakit. Biar lukanya diobati.”
“Iya, Pak.”
Begitu dua bapak itu pergi, aku langsung mencari ponselku. Karena tanganku saat ini gemetaran, ponselku tak kunjung berhasil kuraih. Aku akan menghubungi Mas Arfa agar dia menjemputku di sini. Aku tidak berani menghubungi Papa atau Mama.
Belum sempat aku menekan tombol panggil, tiba-tiba ada mobil hitam berhenti tepat di depanku. Aku langsung mendongak dan menunggu siapa pemiliknya.
“Shenna! Kamu kenapa duduk di sini sendirian?”
Tanpa bisa dibendung lagi, air mataku seketika mengalir deras. “Mas Rifiqiii ... saya habis diserempet mobil.”
***