Mas Arfa tiba-tiba meneleponku dan marah-marah. Padahal dia sedang bulan madu, tetapi masih sempat-sempatnya ikut campur urusanku. Sudah pasti, ini karena dia tahu kalau aku telah mendapatkan nomor Mas Rifqi. Aku memang bilang ke Mbak Nana, dan tentu saja Mbak Nana laporan.
Sebenarnya aku sengaja melakukan ini sebagai tanda kalau aku tidak sepenuhnya mendengarkan apa yang Mas Arfa katakan. Aku sudah besar, jadi aku sudah tahu mana yang baik dan mana yang buruk. Hanya saja, aku tidak menyangka reaksinya akan sampai seperti ini.
“Pokoknya setelah balikin baju, udah. Selesai. Jangan berurusan lagi sama dia.” Masih sama, Mas Arfa lagi-lagi melarangku dekat dengan Mas Rifqi. Jujur saja, kadang semakin dia larang, semakin aku ingin melawannya.
“Enggak mau. Aku mau kejar dia sampai dapat.”
“Shen! Kamu ini perempuan.”
“Ya terus? Udah jamannya emansipasi juga. Emangnya kenapa kalau cewek ngejar cowok duluan?”
“Bukan Rifqi aja, aku larang untuk yang ini. Aku tahu, emang udah jamannya emansipasi. Kamu nyatain perasaan juga silakan. Tapi kalau ngejar, no! Jangan!”
Aku mencebik pelan. “Lagian aku cuma bercada, ih! Mas Fa, sih, kenapa tiba-tiba ngelarang-ngelarang enggak jelas? Aku yang tadinya mau biasa aja malah jadi tertantang. Agak sus soalnya.”
“Awas aja kamu berani kejar Si Rifqi duluan.”
“Enggak, kayaknya.”
“Jangan kayaknya. Pokoknya enggak.”
“Ya,” balasku akhirnya. Ini agar cepat selesai saja. Aku mulai lelah berdebat.
“Beneran, ya, Shen! Habis balikin baju, udah. Selesai.”
“Iya, Mamas gantengku tercinta.”
“Hueks!”
Aku tertawa. “Gimana, Mas? Berhasil cetak goal berapa?”
“Heh! Anak kecil bisa-bisanya tanya gituan?”
“Yang Mas sebut anak kecil ini bisa bikin anak kecil kalau memang mau—“
“Shenna! Kalau kamu berani macam-macam, aku iket di tiang belakang rumah.”
“Iye, iye! Galak amat jadi orang!”
“Udah. Pokoknya inget pesenku tadi.”
“Hm.”
“Jawab yang bener!”
Ya ampun, orang ini! Sehari saja tidak membuatku darting rasanya rugi.
“Iya, Mas, iya.”
“Ya udah. Aku matiin dulu. Mau kelonan lagi.”
“Idiiih! Dasar Kang Pamer!” Mas Arfa sempat tertawa keras sebelum akhirnya dia mematikan panggilan.
Beginilah hubunganku dengan kakak laki-lakiku. Kami sangat dekat sejak kecil, tetapi saling mengolok sudah menjadi makanan sehari-hari. Karena umur kami yang terpaut lumayan, dia benar-benar bisa mengayomiku. Mungkin memang caranya saja yang sedikit berbeda. Namun, aku sadar betul kalau dia sangat menyayangiku.
Aku bukan tidak tahu kalau posesifnya itu demi kebaikanku. Dia hanya ingin menjagaku dari hal-hal yang tidak diinginkan. Tapi tetap saja, menyuruhku menjauhi orang tanpa alasan yang jelas, tidak bisa kupatuhi begitu saja. Aku harus tahu pasti apa alasannya, baru kuputuskan untuk benar-benar patuh atau justru menentang. Untuk sementara, aku akan menentang.
“Mau ke mana, Shen?” tanya Papa saat melihatku menuruni tangga.
“Mau ketemu orang, Pa.” Aku nyengir. “Yang itu, yang bajunya aku cuciin.”
“Ketemu di mana?”
“Di cafe, kok. Cafenya ramai. Papa tenang aja. Aku enggak mungkin mau ketemuan di tempat sepi.”
“Ya udah. Lekas pulang kalau urusan udah selesai.”
“Okai!”
Dengan bersikap biasa dan sesantai mungkin, justru bisa mengurangi rasa curiga. Apalagi Papa dan Mama orangnya cukup peka. Mereka terbiasa menghadapi banyak orang, jadi pastilah mereka cukup pandai dalam membaca ekspresi.
Malam ini aku dan Mas Rifqi memang sudah janjian untuk bertemu di cafe. Cafe itu kebetulan terletak cukup dekat dengan rumah sakit tempat aku koas. Mas Rifqi-lah yang memutuskan untuk bertemu di sana dan aku setuju.
Dua puluh menit berlalu, aku sudah tiba di parkiran cafe. Jalanan tidak macet, jadi aku bisa datang lebih cepat. Aku langsung masuk dan mencari meja nomor sembilan belas. Senyumku seketika mengembang begitu melihat Mas Rifqi sudah ada di sana.
Dia duduk sendiri sembari sibuk dengan laptopnya. Sepertinya, orang ini cukup workaholic. Waktu di mobil dia buka laptop, begitu pun sekarang. Mungkin dia berusaha memanfaatkan waktu semaksimal mungkin.
“Ehm!” aku berdehem agak keras. Mas Rifqi menoleh, dan detik itu juga dia langsug menutup laptopnya.
“Duduk,” katanya pelan.
“Kenapa laptopnya langsung ditutup?”
“Jadi saya harus tetap buka laptop sekalipun kamu sudah datang?”
Aku meringis. “Ya enggak. Barusan lihatnya kaya lagi nyembunyiin sesuatu aja.”
“Mau minum apa?”
“Hah?”
“Mau pesan minum atau enggak?”
“A-ah ... kalau ada, jus mangga aja.”
“Oke.”
Mas Rifqi langsung berdiri dan berjalan menuju kasir. Aku sendiri mendadak heran karena cara dia bertanya soal minuman terdengar sangat santai. Gerak-geriknya pun tampak lebih luwes daripada kemarin.
Apa mungkin mood-nya sedang bagus? Bisa saja, kan?
Berselang beberapa saat, Mas Rifqi sudah kembali. Aku langsung meletakkan paper bag di atas meja.
“Ini saya kembalikan bajunya. Sekali lagi saya minta maaf atas kecerobohan saya waktu itu.”
“Iya.” Mas Rifqi meraih paper bag dan menaruhnya di kursi samping.
Aku sendiri mendadak kikuk karena merasa tidak ada obrolan yang bisa mencairkan suasana. Mas Rifqi diam, aku pun sama. Aku bersuara setelah pelayan datang mengantarkan minumanku. Itu pun sekedar ucapan terima kasih.
Selama beberapa saat, suasana benar-benar sangat hening. Maksudku, hening dalam keramaian. Suasana cafe full music, tetapi tidak ada interaksi apa pun antara aku dan Mas Rifqi.
“Mas, kayaknya saya pulang aja, deh. Males banget duduk di sini kaya orang lagi marahan. Diem-dieman terus. Saya tahu, kok, kita belum cukup dekat buat ngobrol banyak. Tapi kalau diam terus, saya enggak tahan.” Aku mengatakan itu dalam ritme cepat dan satu tarikan napas.
“Ya sudah, pulang saja.”
Aku melongo. “Terus, kenapa tiba-tiba pesenin saya minuman?”
“Kan kamu yang mau.”
“Saya mau karena ditawarin. Tadi saya cuma jawab aja.”
“Ya sudah. Lalu apa yang salah? Saya sekadar menawari minum barangkali kamu haus. Kamu bilang mau jus mangga, jadi langsung saya pesankan.”
“Ya kenapa segala menawari kalau ujungnya cuma mau diem-dieman? Mana setengah ngusir, pula!”
“Saya sekadar basa-basi. Bukankah itu hal basic? Lalu kalau kamu mau, apa itu salah saya?”
“Waaah!” Aku melongo tak percaya. “Mas Rifqi beneran luar biasa ngeselin ternyata, ya?”
“Jadi, meski sudah tahu kalau saya ngeselin, kamu masih mau di sini?”
“Beneran ngusir rupanya?”
“Kamu boleh menganggap begitu—“
“Kalau gitu, enggak. Saya enggak mau pulang sekarang. Saya mau menghabiskan jus mangga ini dulu.”
“Terserah.”
“Oke!”
Dia mungkin mengusirku karena ingin melanjutkan pekerjaannya. Itu alasan yang masuk akal, tetapi aku sudah terlanjur kesal. Aku akan di sini lebih lama agar dia tidak bisa lanjut kerja. Perkara canggung dan kurang nyaman, aku sudah tidak peduli lagi.
Belum ada lima manit kemudian, tiba-tiba ada seseorang datang menghampiriku. Aku mendongak, dan betapa terkejutnya aku ketika melihat siapa yang kini berdiri menjulang di depanku. Dia adalah orang yang paling tidak ingin aku temui.
Ya, dia adalah Evin Andika. Si a**s Babi.
“Long time no see, Shenna. Ternyata benar kamu.”
Aku langsung tersenyum sinis. “Mau apa, lo?”
Bukannya menjawab, Evin malah menatap Mas Rifqi.
“Kayaknya dia bukan kakakmu.” Evin tersenyum ramah. Dih! Itu topeng busuk. Sudah kubilang, dia itu Serigala berbulu Domba.
“Memang bukan. Kenapa? Kamu penasaran dia siapa?”
“Penggantiku, ya, Shen? Sayang sekali, padahal dulu kita pernah merencakan untuk menikah.”
“Hei!” suaraku langsung naik. “Apa maksud lo tiba-tiba bahas masa lalu? Pergi, sana! Ganggu orang lagi kencan aja.”
Aku melirik Mas Rifqi, tatapannya langsung menajam. Aku tidak peduli. Aku akan menjelaskannya nanti. Yang penting, aku selamat dulu dari a**s Babi satu ini.
“Semoga betah aja, Mas, sama Shenna. Sebelum nyesel kaya saya.”
“Vin!” suaraku semakin naik. Aku berdiri dan langsung meraih kerah Evin. Persetan andai pengunjung lain ada yang melihat. “Banci tukang selingkuh dan suka main kasar kaya lo, mending enyah dari muka bumi. Ngerti?”
“Sialan! Berani-beraninya lo ngatain gue banci!”
Tangan Evin terulur hendak menamparku, jadi aku refleks memejamkan mata erat-erat. Namun, beberapa detik sudah berlalu, tamparan itu tak kunjung datang. Perlahan mataku membuka, dan ternyata Mas Rifqi sedang menahan kuat tangan Evin.
“Mas Rif—“
“Pantas saja Shenna menyebutmu banci. Ternyata memang suka main kasar sama cewek. Ayolah, Boy, malu dengan isi celanamu itu.”
Evin mendengus kesal, lalu menepis tangan Mas Rifqi kuat-kuat. Setelah itu, dia pergi tanpa mengatakan sepatah kata pun lagi.
Seketika, aku terduduk di kursi dan menelungkupkan kepala di atas meja. Napasku mendadak naik turun karena syok. Syok karena Evin yang tiba-tiba datang, juga syok karena kelakuannya yang mengingatkanku pada masa lalu.
Dulu, aku ditampar keras sampai pipiku membiru. Demi menutupi itu, aku pura-pura jatuh di kamar mandi kos Rizda. Karena kalau sampai Papa dan Mas Arfa tahu, urusan pasti akan panjang. Saat itu aku sedang malas ribet. Apalagi posisi mendekati ujian.
“M-mas Rifqi, makasih …” lirihku masih dengan posisi menelungkupkan kepala.
“Dia mantanmu itu?”
“Hah?” aku reflek mendongak. “Maksudnya? Kok Mas Rifqi tahu kalau dia mantan say—“
“Saya hanya menebak!” balas Mas Rifqi cepat. “ Iya, saya hanya menebak. Dia bilang tentang pengganti, jadi saya menebak kalau dia pasti mantanmu.”
Aku menegakkan badan, lalu mengangguk. “Iya. Dia memang mantan saya."
"Wajahnya familiar. Saya seperti pernah melihatnya di suatu tempat.”
“Itu karena wajah dia pasaran!”
“Ah …” Mas Rifqi manggut-manggut
"Dia itu mantan saya satu-satunya dan yang bikin saya trauma buat pacaran lagi.”
“Mantan satu-satunya?”
“Iya ... eh, enggak, ding. Ada satu lagi. Tapi yang kedua terlalu sayang buat disebut mantan.”
Uhuk-uhuk!
Mas Rifqi yang sedang minum, tiba-tiba terbatuk. Membuatku refleks mengambil air mineral kecil di dalam tas dan menaruhnya di atas meja. Aku juga mengeluarkan tisu untuk mengusap dagu barangkali terkena air.
“Itu diminum, Mas. Pasti sakit kalau kesedak. Tisunya juga pakai aja kalau emang butuh.”
“Sorry. A-airnya masuk lebih dulu.”
“Enggak papa. Saya juga sering gitu. Mana sebel banget kalau kesedak gara-gara nelan yang belum saatnya ditelan.”
Mas Rifqi berdehem berkali-kali, mungkin untuk menetralkan napasnya. Aku sendiri segera menghabiskan jus mangga yang tinggal separuh.
“Oh, iya! Ngomong-ngomong, saya minta maaf waktu bilang kencan tadi. Saya enggak ada maksud ngaku-ngaku. Lagi pula, istilah kencan bisa untuk teman. Iya, kan?” Aku meringis. “Saya harap Mas Rifqi enggak marah.”
“Memangnya sejak kapan kita berteman?”
“Eh … belum, ya? Ya intinya itulah. Saya minta maaf untuk yang tadi.”
“Ya.”
Tiba-tiba hening. Mas Rifqi menghabiskan air mineral dariku, sementata aku hanya diam di tempat.
“Ngomong-ngomong mantan tadi, memangnya ada istilah mantan tapi terlalu sayang? Bukannya ada yang bilang buanglah mantan pada tempatnya?” Mas Rifqi bersuara lagi. “Kenapa beda dengan mantan yang barusan?”
“Buanglah mantan pada tempatnya, itu berlaku kalau kelakuan si mantan jelek. Kalau mantannya baik, justru berpotensi sebaliknya. Kakak saya sama Mbak Nana kan dulunya juga mantan. Nyatanya mereka bisa bersatu kembali.”
“Terus mantan keduamu itu kalau memang terlalu sayang, kenapa enggak minta balikan?”
Aku tiba-tiba tertawa.
“Ada yang lucu?” kedua alis Mas Rifqi bertaut.
“Gimana saya mau minta balikan kalau orangnya saja saya enggak tahu di mana? Ini bukan mantan dalam konteks pada umumnya. Ini mantan spesial. Jangan minta dijelasin, saya enggak mau.”
Karena Mas Rifqi tidak membalas lagi, jadi kuberanikan diri menatapnya lurus-lurus. Ternyata, dia juga sedang menatapku dengan tatapan yang serupa. Alhasil, kami saling menatap cukup lama.
“A-ada banyak hal di dunia ini yang enggak bisa dijelasin detail, Mas. Apalagi ke orang yang bahkan enggak mau disebut teman,” ujarku akhirnya. Detik berikutnya, aku berdiri. “Kayaknya saya mau pulang sekarang. Saya minta maaf untuk yang tadi, dan terima kasih karena sudah mau membantu saya. Selamat malam, Mas Rifqi!”
Aku buru-buru pergi, bahkan sampai berlari. Begitu tiba di mobil, aku langsung menyentuh d**a kiriku yang rasanya seperti akan meledak. “Bentar, b-bentar! Sejak kapan aku jadi selemah ini hanya karena ditatap doang?”
***