Aku terus mendorong kursi roda Dave mengikuti orang-orang itu. Mereka semua bersenjata, nyaliku terlalu ciut untuk melawan.
Semuanya memakai rompi anti peluru dan penutup kepala, sehingga kami tidak bisa melihat wajah mereka.
Aku pasrah akan dibawa ke mana? Aku yang cengeng dan pengecut ditambah Dave yang cacat, bisa apa kami?
"Jun!"
"Jun!" Aku terkaget saat namaku dipanggil.
"Apa Dave?" Aku sempat tak mendengar panggilan Dave. Aku sedikit membungkuk agar bisa mendengar Dave berbicara.
"Kira-kira, kita ada di mana?" tanya Dave sambil kepalanya menoleh padaku.
"Entah!" jawabku ketus. Aku sendiri juga bingung sekarang ada di mana. Pandangan Dave kembali mengarah ke depan.
Sepanjang perjalanan ini, kami tidak melihat pepohonan. Hanya hamparan logam, sama seperti saat kami mendarat tadi. Sebenarnya, di mana ini?
Semakin lama, tenagaku semakin berkurang. Bagaimana tidak, aku berjalan jauh dengan mendorong kursi roda Dave yang rusak, dengan Dave ada di atasnya.
"Dave, aku capek!" aduku pada pria yang sedari tadi diam saja itu. Ya, semenjak aku menjawab pertanyaannya dengan ketus, dia tak bersuara lagi.
"Maaf, Jun." Dia menunduk, mengatakannya dengan suara lirih. Tapi, aku masih bisa mendengarnya.
Aku berhenti sejenak. Tanganku begitu pegal hingga seperti sudah tak bertenaga. Aku mengambil napas panjang-panjang, seolah udara dalam paru-paruku telah terkuras habis.
"Terus jalan!" Seseorang yang berada di depan, menoleh kepada kami. Meski wajahnya tak terlihat, tapi aku mampu melihat sorot kemarahan di matanya.
Aku menunduk, nyaliku semakin menciut. Sepengecut inikah aku?
"Biar aku jalan sendiri, Jun." Dave memutar roda kursi rodanya dengan sangat cepat. Mungkin dia merasa tak mau merepotkanku.
Aku mendengus kesal. Maunya si Dave apa, sih? Memang bisa dia mengimbangi jalan orang-orang itu?
Tak mau mendapat peringatan lagi, aku segera berjalan mengimbangi orang-orang di depanku. Meski ada banyak yang di belakangku, tapi jarak kami lumayan jauh.
Aku sedikit melirik Dave yang nampak kesulitan dalam mengayuh kursi rodanya.
Tapi, aku pura-pura tidak tahu karena aku tahu Dave itu pemarah dan memiliki gengsi yang tinggi.
Kami memasuki sebuah hutan. Tunggu! Hutan?
Ada yang aneh. Sedari tadi kami berjalan, hanya hamparan yang kulihat. Bagaimana bisa tiba-tiba memasuki hutan. Bahkan aku tak melihat satu pun pohon tadi.
"Dave! Dave!" Aku menyenggol bahu Dave.
"Apa, Jun?"
"Apa kamu merasa ada yang aneh?"
"Iya. Sepertinya tadi aku tidak melihat tempat seperti ini."
Sama berarti dengan yang ada di pikiranku. Sebenarnya kami di mana?
Tiba di sebuah tempat yang terlihat lebih besar dari yang lain, pemimpin rombongan yang membawa kami pun berhenti.
"Masuk!" titahnya dengan nada masih garang.
Aku yang pengecut ini hanya bisa bergidik kala mendengar suaranya. Kulirik Dave yang nampak baik-baik saja. Hanya sepertinya dia kecapekan karena mengayuh kursi rodanya.
Aku mendorong Dave untuk masuk ke dalam tempat itu. Apa kami terlempar ke suku pedalaman yang tidak ada teknologi?
Saat masuk, mataku langsung disuguhi pemandangan yang membuat bulu kudukku berdiri.
"Wow ...!" Aku menelan saliva-ku, melihat sesuatu yang ada di depanku.
Jika tadi aku tertegun saat masuk ke tempat Dave yang penuh dengan robot, kali ini aku juga tak kalah terkejut dengan apa yang saat ini kulihat.
Dave pun tak kalah melongo dari pada aku, yang pasti kami benar-benar takjub.
"Apa kamu sama terkejutnya denganku, Dave?"
"Iya, Jun. Aku tak bisa percaya kita melihat hal seperti ini."
"Aku juga." Mataku memutari tempat ini. Dari luar terlihat hanya seperti rumah biasa, tapi yang ada di dalamnya benar-benar luar biasa.
Bangunan ini lebih tinggi dan lebih besar dari yang terlihat dari luar. Apa ini semua sihir? Persis seperti aula yang kulihat di film Harry P*tter.
Di sekelilingnya berjejer makhluk besar berkilauan. tapi, mereka hanya terdiam tanpa pergerakan. Bukan menyerupai robot seperti milik Dave, tapi lebih seperti golem.
"Dave!"
"Iya, Jun!"
"Apa pemikiranmu sama denganku?"
"Iya, Jun. Ini memang golem."
"Bagaimana kamu yakin?" Aku sendiri tak bisa langsung menyimpulkan itu apa, tapi Dave begitu yakin bilang bahwa itu golem.
"Entahlah ...." Dave mengedikkan bahunya, "aku hanya berpikir seperti itu."
Sebenarnya, apa mau mereka? Kenapa mereka menyuruh kami masuk, tapi tidak ada satu pun manusia yang ada di sini?
Dari kejauhan, aku melihat pria tua berumur sekitar 70 tahun, tergesa-gesa berjalan ke arah kami. Pria tua berambut panjang yang sebagian besarnya sudah memutih. Dia mengenakan jubah berwarna putih emas, yang terus berkibaran saat dia berjalan.
Jujur, aku begitu takut saat ini. Aku membayangkan kami akan menjadi tawanan, diiikat dan dipukuli seperti dalam film-film.
Sepertinya, otakku sudah terkontaminasi dengan film yang sering aku tonton. Apalagi jika bukan tentang superhero dan dunia khayal lainnya.
Pria tua itu tidak sendirian, ada dua orang lainnya yang berjalan di belakangnya.
Saat tepat berada di depan kami, dia menatap aku dan Dave bergantian. Matanya memancarkan kerinduan, seolah telah mengenal kami sejak lama.
Aku dan Dave saling berpandangan, sepertinya kami sama-sama bingung dengan keadaan ini.
"Ka-kalian benar datang dari Tanah Orion?" Kukira pria tua itu akan menggertak kami, tapi nyatanya dia bertanya dengan lembut. Dapat kulihat nanar matanya saat mengucapkannya.
"Tanah Orion?" Aku menggeleng pun Dave. Kami tidak tahu di mana itu Tanah Orion.
"Kalian pasti tidak mengetahui perihal ini." Dia terdengar bergumam seorang diri, "Matius dan Gerard membawa kalian jauh ke galaksi lain."
Aku sama sekali tidak mengerti apa yang dikatakan pria tua itu. Matius dan Gerard, siapa pula mereka?
Tapi ada satu yang mengusik penglihatanku. Simbol bendera yang berkibar di dalam ruangan ini.
Apa maksud semua ini?
Pria tua itu mengatakan tentang galaksi lain, apa mungkin ini bukan Galaksi Bima Sakti, tempat tinggal kami?
Aku dan Dave lagi-lagi saling berpandangan, wajahnya menampakkan kebingungan, sama sepertiku.
"Kami tidak mengerti dengan apa yang Anda katakan." Akhirnya Dave membuka mulutnya.
Pria tua itu menghela napas, "Aku akan menjelaskannya di ruanganku. Dan aku harus memastikan sesuatu terlebih dahulu."
Pria tua itu berbalik, berjalan semakin menjauh dari kami.
"Cepat! Ikuti kami. Jangan hanya diam saja!" Salah seorang yang mengikuti pria tua itu berteriak pada kami.
Akhirnya, aku pun segera mendorong kursi roda Dave agar bisa cepat menyusul mereka.
Kami tiba di sebuah ruangan yang lebih menakjubkan dari yang baru saja kami lihat.
Sebenarnya di mana ini? Aku benar-benar seperti sedang melihat film tentang sihir.
"Sebelumnya, aku harus memastikan sesuatu."
"Bagaimana kalian bisa berada di Tanah Orion?" tanya pria tua itu dengan tatapan serius. Keramahannya tadi lenyap berganti dengan tatapan tajam yang seolah ingin menguliti kami.
Aku yang dasarnya pengecut, hanya bisa bersembunyi di balik badan Dave, meski tak terlalu berpengaruh. Karena Dave sendiri posisinya tak lebih besar dariku.
"Tanah Orion apa yang dari tadi Anda bicarakan?" Dengan lantang, Dave bertanya pada pria itu.
Ah! Jun. Kenapa kamu lebih pengecut dari pada Dave yang cacat itu?
Ya! Aku memang hanya seorang pecundang seperti yang teman-teman sekolahku bilang. Dan aku terlalu lemah untuk menjadi laki-laki.
"Tanah yang penuh dengan Andrium."
"Andrium? Apalagi itu?" Dave kembali bertanya. Sedang aku, hanya diam menyimak pembicaraan mereka.
"Ludwig! Ambilkan Andrium!" titahnya pada salah satu orang yang mengikutinya.
"Baik!" ucap pria yang bernama Ludwig itu sembari membungkuk pada pria tua itu.
Dari penglihatanku, usia Ludwig hampir sekitar 40 tahun. Rahangnya dipenuhi jambang yang tebal. Sorot matanya tajam dan mengintimidasi. Bahkan menurutku, saat orang berhadapan dengannnya, orang itu takkan bisa berbohong.
Pria tua itu terus menghela napas. Seolah ada beban begitu berat yang ditanggungnya. Jika aku tidak salah duga, pria tua itu adalah pemimpin kelompok ini. Terlihat dari wibawanya maupun dari aura yang dipancarkannya.
Selagi kami menunggu Ludwig mengambil apa yang diminta pria tua itu, aku mengamati sekeliling ruangan ini. Ini benar-benar sihir. Dari luar, aku pikir raungan ini sangatlah sempit, tapi nyatanya sangat lebar dan luas. Bahkan sama luasnya dengan lapangan sepakbola di area tempat tinggalku.
"Kriet!" Pintu terbuka, Ludwig masuk dengan membawa sesuatu yang ditutupi dengan kain. Sebenarnya, Andrium itu apa?
Jantungku berpacu saat tangan Ludwig hendak membuka penutuo kain itu. Tak sadar tanganku meremas kencang bahu Dave.
Setelah penutupnya tersingkap, apa yang kulihat tak seburuk dalam pikiranku.
"Bukankan itu logam yang ada di tempat kita mendarat tadi, Jun?" Dave menoleh ke arahku, sedang aku masih melongo melihat benda itu. Benar kata Dave, itu memang mirip dengan logam yang kukira tanah itu.
"Benar! Tempat kalian mendarat itu adalah Tanah Orion. Bagaimana bisa kalian sampai di sana?" Pria tua itu menatap tajam ke arah kami. Hanya ditatap seperti itu, membuatku harus mengucurkan keringat dingin.
Aku membuang muka, takut akan tatapan intimidasinya itu.
"I-itu kita t-tadi." Ah! Kenapa susah sekali hanya untuk sekedar menjawab pertanyaannya itu.
"Katakan yang jelas!" bentak salah seorang pengikut pria tua itu, yang jelas bukan yang bernama Ludwig.
"Darius ...."
"Ya, Federic." Ternyata pria tua itu bernama Federic, dan yang baru saja membentak kami bernama Darius.
"Jaga emosimu. Kita tak tahu siapa sebenarnya mereka. Biar kita pastikan dulu."
Mendapat peringatan dari Federic, Darius hanya mengangguk dan tidak mengucapkan sepatah-katapun lagi.
Tapi, dapat kulihat dia menatap tidak suka ke arah kami. Layaknya pemangsa yang sedang mengamati buruannya.
"Sekarang jelaskan, bagaimana kalian bisa sampai di Tanah Orion itu?" Federic mengulangi pertanyaannya tadi.
"Kami terbawa pusaran angin dan akhirnya kami berada di sini!" jawab Dave tanpa ada nada ketakutan dalam setiap ucapannya. Jika tidak cacat, pastilah ia akan menjadi idola. Wajah yang tampan dan juga kekayaan yang melimpah akan menjadi nilai tambah baginya.
Suaranya yang lantang dan penuh keberanian, menjadikannya layak menjadi seorang pemimpin.
"Pusaran angin? Bisa kamu jelaskan lebih terperinci bagaimana pusaran angin itu bisa terbentuk?" Aku tak berhenti menatap ke arah Federic sedari tadi. Wibawanya benar-benar mencerminkan jika dirinya adalah seorang pemimpin.
"Ini!" Aku menoleh ke arah Dave. Dia mengeluarkan liontinnya dan memperlihatkan ke arah mereka.
Seperti dugaanku, mereka bertiga nampak begitu kaget saat melihatnya. Begitu pula aku saat melihat simbol bendera yang ada di aula tadi, sama persis dengan yang ada di balik liontin Dave.
"Aku tahu kalian mengenal benda ini dan juga simbol yang ada di balik liontin ini?" Dave ganti bertanya kepada mereka. Aku yakin, jika tak ada masalah dengan kakinya, dia pasti akan menjadi pemimpin. Aura yang dipancarkannya, sama seperti aura Federic tadi. Begitu berwibawa.
Federic tak langsung menjawab, wajahnya terlihat begitu pucat. Sebenarnya, simbol itu artinya apa?
Kedua bawahannya tadi hanya menunduk dalam setelah melihat liontin itu.
"Liontin itu tidak bisa bekerja sendiri. Harus ada satu lagi yang menjadi kuncinya."
"Jun! Cincin kamu."
"Ha!" Aku masih tidak mengerti dengan maksud Dave. Aku sedari tadi sibuk menunduk karena takut. Meski sesekali melirik ke arah tiga pria di depanku. Aku hanya penasaran dengan mimik wajah mereka.
"Cincin kamu!" ucap Dave lebih keras.
Aku segera mengeluarkan cincin yang tadi aku kantongi di celana. Dengan tangan gemetar aku mengangkat tanganku untuk memperlihatkan cincin itu ke arah mereka.
"Bruk!" Tubuh Federic ambruk, menimpa kursi yang ada di belakangnya. Aku dan Dave pun kaget melihat kejadian itu.
"Federic!"
"Federic!"
Kedua pengikutnya itu segera berhambur ke arahnya. Aku pun sebenarnya ingin tahu apa yang terjadi dengan pria tua itu, tapi tentu saja aku tidak berani mendekat.
Bahkan, untuk sekedar menggerakkan tubuh pun sepertinya aku tidak kuat, saking takutnya.
Apa yang terjadi pada Federic? Dan kenapa dia ambruk saat melihat benda ini? Apa yang akan terjadi pada kami selanjutnya?