2. Terlempar

1499 Kata
"Baiklah, Dave. Sekiranya berbahaya, kita mesti balik." Jiwa mudaku akhirnya memutuskan untuk mengetahui lebih jauh. Kami bersama menyatukan kedua benda itu. Angin terasa semakin kencang dan pusaran itu kini tak tenang lagi. Benda-benda di sekitaran ruangan ini berhamburan, persis di film-film sci-fi yang sering aku tonton. Kami saling mengangguk memantapkan diri. Lingkaran semakin membesar seakan menyedot kami. Kami berdua saling berpegangan. Aku berdoa semoga kursi roda Dave tidak terlempar entah kemana. Gawat kalau sampai terlempar. "Aaaaa ...!" teriakku. Rasanya seperti naik kora-kora tapi dengan kecepatan super. Perut rasanya teraduk-aduk tak karuan. Pusing tentu saja. Dave? Pikiranku bahkan tak sampai untuk sekedar mengingatnya. "Bruk!" Tubuhku terbanting sangat keras. Sejenak pandanganku buram. Kukedip-kedipkan mataku, berharap pandanganku kembali. "Di mana ini?" Tubuhku memutar mengikuti mataku yang menyapu sekeliling. Benar-benar asing di penglihatanku. Hanya daratan, tanpa pepohonan. "Di mana Dave?" Baru kuingat tentang Dave. Lagi-lagi aku celingukan. Aku memicingkan mataku, di kejauhan terlihat seperti ada pergerakan. Buru-buru aku berlari menuju ke arah itu. Panas sekali rasanya di sini. Baru beberapa puluh meter aku berlari, rasanya seperti sedang mengitari lapangan bola selama sepuluh kali. "Hah ... hah ... hah ...!" Sejenak aku pun berhenti. Aku mengusap tenggorokanku yang terasa kering kerontang. "Tak adakah air di sini?" Rasanya aku semakin lelah dan lemah. Daerah apa ini? Bukan seperti padang pasir. Kuamati bawahku, bukan tanah yang kupijak. Apa ini? Aku menunduk, mencoba meraba dengan tanganku. Ini seperti lelehan besi yang telah mengeras. Apa di sini peleburan sampah logam? Pantas saja terasa begitu panas. "ARJUNA!" Aku seperti mendengar seseorang meneriakkan namaku. Aku kembali berdiri dan mataku mencari arah suara itu. "DAVE!" Kulihat dia melambai dari arah kejauhan. Dengan payahnya dia memutar ban kursi rodanya.Bukannya tadi kursi roda itu otomatis berjalan sendiri? Sudahlah! Belum waktunya memikirkan hal itu di saat seperti ini. Aku berlari ke arahnya, bahkan aku lupa jika sebelumnya aku merasa begitu kehausan. Aku khawatir dengan keadaan Dave saat ini. Dengan kondisinya yang seperti itu, aku yakin dia sangat kesulitan. "Ternyata benar, itu kau," kata Dave sesaat setelah kami bertemu. "Aku hendak mencarimu, tapi ...." Tak mungkin 'kan aku bilang kalau aku berhenti karena kehausan. "Sudahlah. Yang penting saat ini kita sudah ketemu. Kira-kira di mana kita?" Tak hanya aku, dia pun ternyata tidak tahu. "Entahlah ...." Aku mengedikkan bahuku, yang pasti ini bukan di Jakarta. Seingatku Jakarta tidak ada tempat seperti ini. Tapi, tidak tahu jika aku melupakan sesuatu. "Dave! Lihatlah!" Tanganku mengarah ke arah bawah. Aku ingin Dave juga mengetahui apa yang kulihat. Matanya mengikuti arah telunjukku, "Apa ini, kenapa sedari tadi aku tidak menyadari apapun?" Aku berjongkok, "Ini bukan tanah, Dave. Ini seperti logam." Memang warnanya yang gelap, hampir menyerupai tanah. Membuat kami tidak langsung menyadarinya. Dave berusaha menunduk untuk memegangnya seperti diriku, tapi dia terlihat begitu kepayahan. Aku memegangi lengannya hendak sedikit memberi bantuan, tapi ditepisnya. "Sudahlah, Jun. Aku tak semenyedihkan itu.!" Aku merasa tidak enak. Apakah dia begitu tersinggung karena ucapanku? "Apakah kita akan mencoba mencari tahu sesuatu atau hanya berdiam di sini?" Aku segera saja berjalan tak tentu arah meninggalkan Dave yang entahlah .... Aku tak peduli dengannya yang mudah tersinggung. Aku terus berjalan, tak lagi kupedulikan tentang Dave yang kurasa sedikit congkak untuk seseorang yang memiliki keterbatasan fisik sepertinya. Apakah aku marah? Atau aku ikut tersinggung karena penolakannya atas bantuanku? Aku tak tahu yang mana yang benar untuk saat ini, yang pasti aku enggan peduli lagi padanya. Setelah lama berjalan, hatiku dihinggapi perasaan yang tidak tenang. Tiba-tiba nuraniku kembali mengingatkan otakku bahwa ada orang cacat di belakangku yang aku sendiri tidak tau kondisinya bagaimana untuk saat ini. Seketika aku berbalik, ingin tahu bagaimana temanku itu. Bahkan hari ini adalah pertemuan pertama kami, sudah pantaskah disebut teman? Apakah dia juga menganggapku teman? Mengingat penolakannya atas bantuanku tadi. "Ah! Persetan dengan itu." Aku berlari menuju arahku yang tadi. "DAVE!" "DAVE!" Tak kulihat pria itu di mana pun, "Di mana dia?" Tiba-tiba aku menyesal telah meninggalkannya seorang diri. Dengan kondisinya yang seperti itu, bagaimana dia bisa mengikutiku yang berjalan sangat cepat. Apalagi kulihat tadi kursi rodanya tidak berfungsi dengan baik. "Ah, iya!" Segera kuambil handphone yang ada di kantong celanaku. "Ah, sial! Sama sekali tidak ada sinyal!" Sebenarnya di mana ini? "DAVE!" Kucoba memanggilnya lagi, siapa tahu kali ini dia akan mendengarku. "DAV--!" "ARJUNA!" Aku mencari arah sumber suara itu. Kembali netraku menyapu sekeliling. "Di sana Dave rupanya." Dia ternyata tidak mengikuti arahku berjalan. Aku segera berlari menghampirinya. Tak ada rasa marah atau kesal di wajahnya karena aku meninggalkannya tadi. Tangannya melambai ke arahku, terlihat begitu gembira. Sepertinya dia menemukan sesuatu. "Air ...," lirihku. Pandanganku kini beralih pada sebuah mata air yang berada tepat di sebelah Dave. Rupanya mata pria itu lebih jeli daripada aku. Mataku berbinar saat melihat ada air di hadapanku. Segera kuraup air itu dengan kedua tanganku dan meminumnya. Rasanya begitu menyejukkan. Tenggorokanku yang hampir kering kerontang, kini mulai basah oleh aliran air yang baru saja kuteguk. "Ah ...!" Dahagaku seketika hilang. Aku meminum air itu banyak-banyak. Tak lupa kubasuhkan ke wajahku yang sudah kegerahan. "Dav--." Kulihat dia sedang meneguk salivanya sembari melihat genangan air yang memabukkan itu. Astaga aku lupa dia pasti sudah kehausan. Mungkin sulit baginya untuk menggapai air ini seorang diri. Kulihat sekitar, adakah benda untuk menampung air ini agar bisa diminum oleh Dave. "Dave ...." Aku sebenarnya ragu, apakah kali ini dia mau menerima bantuanku, mengingat sebelumnya dia menolak mentah-mentah. "Jun, bisa minta tolong," ucapnya mengiba. Kurasa tenggorokannya benar-benar sudah mengering. "Apa?" "Bisa kamu ambilkan air itu?" Telunjuknya menunjuk ke arah air yang barusan kuminum. "Ah, iya." Segera kuraup lagi air itu dengan kedua tanganku, lalu kutuangkan di mulutnya. "Segarnya ... terima kasih, Jun." Aku mengangguk. Kuambilkan lagi dan lagi hingga dirinya tak lagi kehausan. "Maaf ...," lirihnya. "Untuk?" Aku tak mengerti untuk apa Dave minta maaf. "Karena keadaanku yang seperti ini, aku jadinya malah merepotkamu." Wajahnya menunduk. Ya, bohong jika aku bilang tak merasa direpotkan. Tapi, ini keputusan kami berdua, jadi kami harus menjalaninya bersama-sama. Di tanah asing antah berantah ini. "Kita coba berjalan lagi," ajakku. "Pergilah, Jun. Tinggalkan aku di sini." Dave enggan mentapku, apa lagi salahku? Aku menautkan alisku, "Apa maksudmu?" "Aku hanya akan menjadi beban untukmu." Dave memalingkan wajahnya. Aku tahu arah pemikirannya. Tapi, apa dia pikir aku sebrengsek itu meninggalkan seseorang ..., ah ... seperti dirinya. Aku geram menghadapi seseorang seperti dirinya. Yang hanya bisa menyerah pada keadaan. "Atau kita pulang saja. Tak perlu lagi ingin tahu tentang misteri ini." Melihatnya putus asa, membuatku kehilangan semangatku. Aku segera mengeluarkan cincinku. Kupandang Dave, ingin tahu bagaimana reaksinya. Dia masih bergeming, entah apa yang ada di pikirannya. "Baiklah, kita lanjutkan pencarian kita. Aku harap kamu tidak akan keberatan kurepotkan." Dave memutar roda kursi rodanya dengan tangannya. Aku mengekornya tanpa tahu arah tujuan yang kini sedang kami tuju. "A ... Dave, ada apa dengan kursi rodamu? Sepertinya tadi waktu aku lihat di rumahmu bisa berjalan sendiri" Aku masih ingat tadi dengan sekali pencet, kursi roda itu bisa berjalan sendiri tanpa susah payah mengayuhnya. "Mungkin ada panelnya yang rusak. Sejak terjatuh sudah tak bisa digunakan." "Boleh aku bantu mendorongmu?" Memang lebih baik meminta ijin terlebih dahulu, takut dia bakal tersinggung. "Baiklah, tapi kalau kamu merasa capek. Jangan memaksa untuk mendorongku." Aku segera meraih pegangan di belakang kursi roda itu dan mendorong Dave sekuat tenaga. Apakah aku terlalu lemah untuk menjadi laki-laki? Kenapa seperti ini saja terasa begitu berat. "Apa menurutmu yang ada di depan sana?" Aku penasaran dengan apa yang dipikirkannya. "Mungkin sebuah kota, hutan, atau jurang. Kita tidak akan tahu sebelum mendatanginya." Memang benar apa yang dikatakannya itu. Kami tidak bisa meraba-raba tempat ini, karena baru pertama bagi kami menginjakkan kaki di sini. "Apakah menurutmu ini masih di bumi? Atau dimensi lain?" Entah kenapa aku ingin menanyakan pertanyaan itu. Aku sempat berpikir ini di planet Mars, yang bakal ada aliennya. "Udaranya masih seperti bumi. Hanya suasananya yang tampak begitu asing. Aku sendiri tidak bisa menduganya, Jun." Kami terlalu sibuk dengan pembicaraan kami hingga tak menyadari bahwa ada beberapa orang tengah menghadang perjalanan kami. Mereka bersenjata, jika kuhitung ada sekitar delapan orang. Keringat dingin keluar dari tubuhku. Bagaimanapun ini hal pertama bagiku berhadapan dengan orang-orang bersenjata itu. Kulirik Dave, pria itu tampak lebih tenang dariku. Atau mungkin dia menyembunyikan ketakutannya. Entahlah. "Siapa mereka, Dave," bisikku pada Dave. Dave hanya menggeleng lemah. Jujur aku begitu takut akan apa yang terjadi padaku saat ini. Tiba-tiba saja aku kangen Babe dan Emak. Maafkan anakmu yang tukang kepo ini Mak ... Babe. Gara-gara obsesi gilaku pada superhero dan dimensi lain, aku berada di sini. Hanya berdua dengan Dave dan kini malah berhadapan dengan orang-orang bersenjata. Inginku menangis saja, tapi aku benar-benar malu untuk melakukannya. Arjuna kamu haus kuat jangan jatuhkan air matamu. Kamu laki-laki jangan cengeng. Beberapa dari mereka kini telah berdiri di belakang kami, tentu saja dengan senjata yang masih bertengger di tangan mereka. Dengan senjata itu mereka mendorong-dorong tubuhku, seakan sebuah isyarat agar aku terus berjalan ke depan. Lekas saja kudorong kursi roda Dave dan berjalan mengikuti pria bersenjata yang berada di depan kami. Akan dibawa kemana kami? Aku hanya berharap sebuah keajaiban datang kepada kami
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN