BAB 3 ~ Alasan Berpisah

1938 Kata
Pagi yang cerah membangunkan Aditya, saat sinar matahari pagi yang menyeruak ke dalam kamar luas dengan aksen modern dan di d******i warna black silver. Ia membuka mata perlahan sembari mengumpulan nyawa sejenak. Teringat kembali saat ini ia sudah kembali ke kehidupannya sendiri. Menempati rumah pribadi di Jakarta dan berkutat dengan perusahaannya. Tidak lagi berstatus karyawan seperti di Pontianak, usaha Aditya di Jakarta cukup membuat pria itu sibuk beberapa minggu setelah menginjakkan kaki di kota metropolitan. "Cepet banget paginya," gumam Aditya yang mulai beranjak dari tempat tidur. Ia pun membuka gorden lebih lebar dan jendela kamar guna mengganti udara yang masuk, tidak lupa mematikan AC dan beranjak pergi ke kamar mandi dalam kamarnya. Dua puluh menit waktu yang dibutuhkan Aditya guna membersihkan diri. Kini, pria itu melenggang keluar menuju ke walk closet guna mengambil baju santai. Setelah menyisir rambut dan merasa badan segar, ia melenggang meninggalkan kamar itu menuju kenarah dapur. "Eh,Tuan Adit udah bangun, mau Bibi bikinin sarapan apa?" "Enggak perlu, Bi. Di meja ini aja cukup. Bibi urus yang lain aja," ucapnya dengan ramah. Pria bertubuh tegap itu lantas terduduk di kursi meja makan. Mengambil satu buah gelas dan mengisinya dengan s**u. Perlahan ia mengamati keadaan rumah. Bangunan luas itu terasa sangat sepi sebab hanya ada dirinya dan Bi Suin saja. "Bi, Bibi capek nggak kerja sendiri?" tanya Aditya semabri mengoles roti dengan selai cokelat. Wanita paruh baya itu merupakan sosok pembantu yang luar viasa loyal di kekuarga besar Kavindra. Aditya mengajak Bi Suin dari rumah keluarga besar menujh ke rumah pribadi karena sudah emnganggap ibu kedua selain Mamanya. Terbukti, Bi Suin sabgat lotal bekerja debgan Aditya. Bagkan perlakuan proa itu pada setiap pembantunya sangat ramah seperti keluarga sendiri. Kini, ia merasa kasihan dengan wanita itu, sebab mengurus semua urusan rumah tangga di rumag sebesar ini tidak mudah, walau hanya dirinya yang menempati. "Ya kalau boleh jujur, sih, Bibi agak kewalahan, Tuan. Soalnya rumahnya Tuan Adit ini besar kayak rumah Tuan Ferlandio." "Aku carikan temen ya, Bi. Biar Bi Suin ada temennya." "Wahh, alhamdulillah kalau gitu. Makasih, Tuan Adit." Aditya pun hanya mengangguk dan tersenyum sembari melanjutkan memakan roti buatannya. Setelah menghabiskan satu buah roti, ia beranjak keluar rumag dan mengeluarkan ponsel dari saku celana jeans pendeknya. Pria itu duduk di teras depan rumah sembari memencet beberapa digit nomer dan menghubunginya. "Halo selamat pagi ada yang bisa kami bantu?" sapa seseorang di sana. "Hallo, apa benar ini Kataya Agensi. Agensi untuk mencari baby sister dan asisten rumah tangga?" "Iya, Pak, betul. Dengan siapa saya bicara?" "Aditya. Saya butuh asisten rumah tangga hari ini, bisa tolong kirimkan satu, usahakan yang masih muda, rajin, jujur dan bisa tinggal dalam...," jelas Aditya singkat. "Baik, Pak, kami akan segera memprosesnya. Dengan Bapak siapa dan alamatnya di mana?" Aditya pun segera memberitahukan alamat serta nama lengkapnya. Setelah semua data Aditya diterima oleh pihak agency penyalur ART (Asisten Rumah Tanga) itu , mereka pun segera memproses semuanya hari itu juga. **** Bel berbunyi, tepat saat Aditya tengah menonton televisi satu jam yang lalu. Ia segera melenggangkan diri ke depan untuk membukakan pintu. Hingga, pria berparas tampan dengan hidung mancung dan bibir tipis itu terpaku melihat sosok di depannya. Wanita yang cantik dan berpenampilan sangat sederhana. Rambut yang diikat ke belakang itu pun menambah kesan anggun pada dirinya. Begitu pun sebaliknya, wanita itu cukup terpana melihat seorang pria di depannya. Ia tidak menyangka bahwa majikannya masih sangat muda dan tampan. "Permisi, Tuan, apa benar ini rumah Bapak Aditya Regha Kavindra?" tanyanya sembari melihat kembali alamat yang tertera di sebuah kertas kecil yang ia genggam sedari tadi. "Ya ... saya sendiri. Kamu ART yang dikirim agensi?" tanya Aditya. "Iya, Tuan. Perkenalkan saya Dini, saya dari Kataya Agensi. Saya ditugaskan di sini karena ada permintaan dari Tuan Aditya." "Oh iya benar, ya sudah silakan masuk kalau begitu ...." Aditya pun mempersilakannya masuk terlebih dahulu menuju ke ruang tamu. Aditya melihat pembantu barunya dengan seksama. Seakan wanita itu tidak cocok menjadi pembantu, paras yang cantik dengan kulit putih bersih benar-benar tidak pantas bekerja cukup keras. Dipanggilnya pembantu yang bernama Bi Suin oleh Adit untuk menyambut Dini. "Bi, ini pembantu baru kita, namanya Dini. Bibi bisa tolong bantu dia ke kamarnya ya. Setelah itu hadapkan ke ruangan kerja saya," titah Aditya. "Baik, Tuan. Mari, Neng...," ajak Bi Suin. Dini pun mengangguk dan melesungkan senyum manisnya ke Aditya dan berlalu dari hadapan majikan barunya itu. Aditya pun tersenyum tipis membalas. Ia segera menuju ruang kerja untuk mengecek beberapa laporan bisnisnya. Hingga, beberapa saat kemudian sebuah ketukan pintu terdengar. "Masuk ...," ucap Aditya. "Permisi, Tuan. Tadi Tuan menyuruh saya kemari, ini sekalian saya buatkan kopi untuk, Tuan." "Terima kasih, Dini, silakan duduk. Saya akan bicarakan peraturan di rumah ini," ucap Aditya. Pria itu lantas menghentikan aktivitasnya, kemudian menyalakan satu putung rokok dan menyandarkan badan di kursi kulit. Aditya kembali menatap Dini dari atas sampai bawah. "Not bad...," pikirnya. "Oh iya Dini, jadi di sini saya enggak menganggap kamu atau yang lainnya hanya sekedar pembantu rumah tangga, jadi di sini saya menganggap kalian juga bagian dari keluarga saya. Jadi kamu jangan segan kalau mau minta bantuan saya. Dan satu lagi yang harus kamu ingat Dini, jangan campuri urusan pribadi saya, apa pun itu!" jelas Aditya dengan penekanan di ujung kalimatnya. Dini hanya mengangguk kecil. Tidak disangkanya sang majikan kali ini tidak semenakutkan perkiraan. Senyum yang di torehkan Aditya membuat ia mengakui bahwa pria di depannya itu memiliki senyum yang manis. "Ya sudah kamu boleh keluar ...." "Baik, Tuan. Terima kasih." Dini segera beranjak meninggalkan ruangan kerja Aditya setelah ia memahami apa pun yang dikatakan pria itu. **** Selama beberapa hari Dini bekerja di rumah Aditya, ia baru menyadari bahwa penampilan sang majikan yang garang di luar ternyata sangat baik di dalam. Ia juga tidak menyangka bahwa Aditya memperlakukannya dengan sangat baik bahkan tidak pernah membentak. Pria itu selalu mengucapkan tolong sebelum meminta bantuan dan mengatakan terima kasih setelahnya. Sikap pria itu praktis membuat Dini menjadi kagum. Dia sangat tampan dan mapan. Usia muda yang disandang tidak mempengaruhi sikapnya sama sekali. Ia terlihat sangat dewasa. "Bi, Tuan Adit tuh enggak punya istri apa ya, atau belum nikah?" tanya Dini sambil mencuci piring. "Oh, Tuan Adit, baru aja cerei, Neng. Makanya dia kembali lagi ke rumah ini. Dulunya dia tinggal di Pontianak selama dua tahun. Enggak tau deh kenapa cerai, Bibi enggak mau ikut campur ah ...," jelas Bi Suin. "Kenapa, Bi? Bukannya Bibi paling lama ya ikut Tuan Adit? Masa Bibi nggak tau?" "Tuan Adit itu paling enggak suka kehidupan pribadinya di usik orang, Neng. Jadi ya mending diem daripada kena marah sama Tuan," ucap Bi Suin lagi. "Oh begitu. Bukannya Tuan Adit baik banget ya, Bi? Aku enggak pernah liat dia marah." Dini mulai menimbang-bimbang semua sikap Aditya yang tak sesuai dengan ucapan Bi Suin. "Tuan Adit orangnya sangat tempramental. Bibi kenal Tuan Adit sejak dia kecil, Neng. Tapi kadang-kadang dia bisa menyembunyikannya asal enggak ada yang cari gara-gara aja." Dini pun termenung hampir tidak mempercayainya. Sang majikan itu terlihat sangat baik. Terkadang raut wajah memang terlihat cukup galak, tetapi menyimpan keteduhan di sana. Ia tidak menyangka jika Aditya sosok yang tempramental. Hingga, jarum jam yang sudah menunjukkan pukul lima sore membawa Aditya pulang dari rutinitas bekerja seharian. Ia terlihat lelah hari ini. Sejenak mendaratkan p****t di sofa ruang tamu, bersandar dan memejamkan mata guna mendinginkan otak. Helaan napas yang terasa semakin menguatkan bahwa menjadi seorang pemilik perusahaan tidaklah mudah. "Dini, tolong ambilkan saya minum. Air mineral ya ...," perintah Adit. "Iya, Tuan, sebentar." Dini mulai bergegas masuk ke dapur untuk memberikan permintaan Aditya. Beberapa menit kemudian pesanan Aditya sudah berada di tangan pria itu. Ia pun menenggak dengan cepat. Hingga, bel berbunyi mengalihkan atensi perhatian. Pria yang masih duduk di tempatnya itu pun menyuruh Dini membukakan pintu sembari menunggu siapa yang bertamu di saat yang menurutnya tidak tepat. Beberapa detik kemudian, Aditya tercekat saat mengetahui siapa yang datang. Rahang yang mengetat dan raut wajah menegang jelas terlihat saat menatap sosok di depannya. Ia bangkit dari sofa dengan cepat. Menatap sosok yang datang masih dengan sorot kebencian. "Mau apa anda kemari?" ucap Aditya dengan nada meninggi. "Emangnya nggak boleh kalau Papamu ini kemari, Aditya?" Akhirnya, Dini baru tahu jika tamu ini adalah orang tua dari majikannya. Namun ia pula menjadi tahu bahwa hubungan antara anak dan ayah ini sedang tidak baik. Itu di ketahuinya dari nada bicara Aditya yang meninggi. Wajah Aditya pun juga berubah. "Apa mau anda? Katakan!" "Papa enggak mau apa-apa dari kamu. Papa cuman mau nanya, kenapa kamu menceraikan Sabrina?" Aditya terdiam sejenak, bahkan sudah dua minggu berlalu sang ayah baru menanyakan hal itu padanya. Dan herannya lagi, masih saja Ferlandio mencampuri urusan pribadinya. "Bukan urusan anda!" jawab Aditya ketus dan mulai berbalik berniat meninggalkan Ferlandio—Papa Aditya—yang masih berdiri tanpa di persilakan duduk oleh tuan rumah. "Jelas ini urusan Papa. Kamu enggak sadar kalau kamu menceraikan dia, maka keluarganya akan menarik beberapa saham dari perusahaan." "Saya nggak peduli dengan itu. Saya sudah bersedia dijodohkan dengannya saja sudah menjadi kesalahan terbesar. Oke memang itu sebuah kesalahan saya di awal, tapi kalau bukan anda yang memaksakan diri ... saya nggak akan kenal dengan dia dan hal itu nggak akan terjadi. Sekarang apa yang terjadi? Dia mengkhianati saya. Penghianatan yang sangat fatal! Masih anda menyalahkan saya?" jelas Aditya panjang lebar. Ferlandio terdiam sejenak mendengar penuturan anak laki-lakinya. "Papa enggak menyalahkanmu, tapi sikapmu yang tergesa -gesa ini banyak merugikan semua pihak," ujar Ferlandio . "Lebih baik anda pergi dari rumah saya. Pedulikan urusan bisnis anda, jangan pernah pedulikan perasaan anak anda sendiri!" Aditya pun meninggalkan sang ayah begitu saja dan menuju kamar. Sedangkan, Ferlandio hanya menghela napas, masih saja Aditya sangat keras kepala. Kemudian ia berlalu dari rumah Aditya setelah mengetahui penjelasan anaknya mengapa ia menceraikan Sabrina. Dini yang sedari tadi terpaku melihat perdebatan antara anak dan ayah menjadi mengerti mengapa Aditya bisa cerai dari istrinya. Ia merasa perihatin terhadap pria yang dikenalnya baik. **** Aditya membanting keras pintu kamarnya. Ia teringat kembali akan pengkhianatan Sabrina saat itu. Pria itu mengepalkan tangan menahan semuanya. Penghianatan terbesar yang dilakukan Sabrina membuat harga dirinya jatuh. "b******k!" Prank! Kaca di depannya pecah oleh hantaman kuat. Darah mengucur di sana. Namun, ia tidak merasakan rasa sakit di jari jemarinya. Rasa sakit atas pengkhianatan Sabrina lebih dalam terasa. Lara hati berujung dendam telah menyelimuti diri. Rasanya ia sulit menerima kenyataan bahwa dirinya mampu di bodohi oleh wanita berparas cantik itu. Tiba-tiba suara ketukan pintu menyadarkannya setelah beberapa menit berlalu. "Tuan, Permisi...," "Masuk," ucap Adit singkat. "Maaf Tuan, saya mendengar keributan di kamar ... loh Tuan kenapa? Astaga tangan Tuan—" Ucapan Dini terpotong saat melihat darah mengucur di sana. Segera ia berlari ke dapur mencari handuk kecil dan kompres serta obat-obatan untuk luka majikannya. Setelah ia kembali, ia mengajak Aditya duduk dan dirinya sendiri duduk di depan pria itu. Ia membasuh darah yang mengucur di tangan Adit karena luka goresan kaca. Dengan perlahan dan hati -hati, Dini membasuhnya, takut jika majikannya kesakitan. Setelah itu ia memberi obat merah untuk mengeringkan luka agar tidak infeksi serta membalut luka itu dengan kassa. "Terima kasih, Din ...," ucap Adit lirih. "Iya, Tuan, sama -sama. Ya sudah saya bersihkan serpihan kacanya dulu Tuan." Aditya menganggukan kepalanya. Dini tidak banyak bicara karena ia tahu sang majikan tengah dalam suasana hati yang buruk. Setelah selesai membersihkan serpihan kaca di lantai. Ia keluar dari kamar Aditya. Namun, sebelum itu ia menoleh ke Aditya, sang majikan tampaknya tertidur selama ia membersihkan pecah kaca tadi. Wanita berusia 23 tahun itu melihat wajah tampannya saat tertidur. Ia semakin mengagumi Aditya. Perasaan aneh di dalam diri semakin berkecamuk, tetapi ia selalu mengeyahkan pikiran tidak waras itu. Sadar dengan siapa dirinya dan siapa Aditya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN