Part 4

1060 Kata
Tepat 45 menit aku sampai di Radin Inten dan dengan taksi bandara aku langsung menuju ke rumah sakit Sehat Abadi, tempat Bapak dirawat. Rasanya pengen lari saja jadi aku bisa sampai ke rumah sakit secepatnya dan bisa bertemu Bapak. Sialnya arah ke rumah sakit di jam segini memang lagi parah macetnya, karena sebentar lagi orang-orang kantoran dan anak sekolah akan keluar untuk istirahat siang. Aku tidak punya pilihan lain, aku harus keluar dan memesan ojek saja, ketika aku sedang ngomong ke supir taksi ini bahwa aku minta mobilnya berhenti saja di depan, "Pak. Ini macet banget. Saya harus sampai ke rumah sakit secepatnya. Saya berhenti di depan saja, Pak. Biar saya sambung perjalanan naek ojek pangkalan di depan sana." kaca mobil taksi yang aku naiki, diketuk dari luar, aku tidak memperdulikannya, paling orang iseng. Supir taksi ini juga ngotot banget mau nganter sampai ke rumah sakit, "Saya harus anter sampe sana, Mbak. Nanti argo saya gimana? Kecuali Mbak mau bayar sesuai perjanjian." Ish ... Bener-bener deh. Di saat lagi genting gini, ada aja cobaannya. Jadi daripada berdebat, aku iyakan saja untuk membayar sesuai tarif yang sudah disepakati tadi, walaupun jarak rumah sakit masih lumayan jauh. Setelah berhenti di tempat yang aku minta tadi, setelah turun, aku mencoba untuk mencari ojek pangkalan, dan ketika itu juga ada motor berhenti di depanku, "Hei, mau ke mana?" Aku abaikan, apa-apaan orang ini, kenal enggak, tau enggak, sok akrab. Ketika aku mencoba memesan ojek online, karena pupus sudah harapanku untuk mencari ojek pangkalan, yang biasanya rame banget ada di sini, ketika diperlukan malah gak ada satu pun, orang yang naik motor di depanku, kembali memanggilku, "Hei, Gendis. Ditanya mau ke mana, kok diem aja?" Lah ... Kok dia tau namaku? Belum sempat aku berpikir dan menerka siapa orang ini, dia membuka helmnya, "Ini aku, loh. Gama. Gak kenal banget nih, sama aku?" Astaga, tepok jidat banget deh. "Ih, Gama. Kirain siapa. Makanya, kalo mau nyapa itu buka helmnya. Jadi gak salah sangka." Aku misuh-misuh. Dia ketawa, deg. Senyum Gama gak pernah gagal membuatku jatuh hati. "Dari tadi, loh, dari lampu merah tadi, aku coba ketuk-ketuk kaca taksi yang kamu naikin. Tapi lagi-lagi aku diabaikan. Sedih deh. Kamu mau ke mana, Gendis?" Aku bilang ke dia, kalo aku harus ke rumah sakit Sehat Abadi, Bapak di rawat di sana karena jatuh, "Aku harus cepat sampai di rumah sakit Sehat Abadi, Gam. Bapak di rawat di sana karena jatuh. Aku turun di sini, karena biasanya banyak ojek pangkalan. Malah gak ada, aku mau pesen ojek online aja, biar cepat sampe." Gama menyodorkan helm dari tangannya, "Udah, simpan handphonemu, nih, pake. Aku antar. Buruan. Mumpung gratis nih, mumpung aku mau. Tawaran akan hilang dalam hitungan ke tiga, satu ..." Belum selesai dia berhitung, aku segera menyambar helm dari tangannya. Gak apa-apaan, deh. Dianterin Gama, dengan taruhan hatiku yang dag-dig-dug, sekarang ini yang terpenting adalah aku sampai ke rumah sakit secepatnya. Aduh, aku ini mikir apa sih. Bapak lagi di rumah sakit, sempat-sempatnya mikirin hati. Begitu aku naik ke motor, Gama langsung menjalankan motornya. Terbayang, kenangan satu tahun lalu, ketika kami masih bersama. Ketika ego masih bisa diredam, ketika hati belum terlalu sedih dan Jadi kelam. Ah ... Gama, kenangan tentang nya tidak pernah pudar. Dia salah satu lelaki terbaik yang pernah hadir dalam kehidupanku. Ada air mata yang hampir jatuh di sudut mataku. Iya, Gama adalah mantan pacarku. Kami sudah merencanakan tunangan dan akan melangsungkan acara tersebut, tepat dua hari sebelum aku tau kalo dia pacaran denganku hanya karena kasihan melihatku sendirian tanpa Ibu. Hubungan apa, yang berdasarkan karena kasihan? Kebodohan Gama, rela mengorbankan perasaannya demi kebahagiaan orang lain. Aku ingat, ketika aku bertanya dan meminta penjelasan darinya, "Kenapa kamu mau berhubungan denganku, menjalin kasih denganku hanya karena alasan kasihan? Itu bukan alasan yang tepat untuk bertunangan apalagi menikah. Memangnya kamu mau, terjebak hidup bersama perempuan yang gak kamu cinta tapi kamu kasihani? Benarkah, selama ini kamu jalan sama aku, hanya karena kasian dan gak tega karena aku ditinggal Ini dan hanya punya Bapak? Dan kamu seperti ini karena Ibu yang memintamu berjanji menjagaku?Jawab!" Emosiku kala itu, hanya mampu membuatnya tertunduk dan menganggukkan kepalanya, dan bilang, "Maaf, Gendis. Ini kesalahanku. Tapi sungguh, aku akan menjagamu, seperti janjiku pada ibumu. Aku tidak pernah merasa terpaksa atau tidak bahagia. Bagiku, menjagamu adalah salah satu hal terbaik yang bisa aku lakukan." Aku menatapnya dan bilang, "Menjagamu adalah satu hal terbaik yang bisa kamu lakukan untuk membalas jasa ibuku, kan? Hubungan ini hanya hubungan timbal balik balas jasa. Tidak ada cinta di dalamnya. Kenapa kamu tega, Gama?" Dan sejak hari itu, aku menutup semua akses ke Gama. Nomor handphonenya aku blok, semua media sosialnya aku blok, bahkan aku harus berdarah, menangis bermalam-malam, demi bisa menyembuhkan kekecewaanku, harus menghapus rasa sayangku kepadanya, dan melupakan semua kenangan yang sudah banyak tercipta selama perjalanan hubungan kami. Menghapus satu per satu jejak yang kami tinggalkan selama perjalanan kebersamaan ini. Selama aku mengingat kembali cerita masa lalu tentang aku dan Gema, rupanya tidak terasa kami sudah sampai di pintu masuk rumah sakit. "Gendis, udah sampai. Aku temani ke dalam, ya. Sekalian mau jenguk Bapak." Aku menahannya, "Jangan. Tolong jangan sekarang. Kamu tau, kan, Bapak gimana marahnya Bapak sama kamu? Setelah kejadian kita pisah, setahun lalu?" Aku menunduk. Gema terdiam, lalu menstarter motornya, "Semoga Bapak lekas sembuh, ya. Aku balik, ya, Gendis." Aku tersenyum ke arahnya, mengucapkan Terima kasih, "Aamiin. Makasih, Gema." Dan menatap punggungnya perlahan menjauh, pergi meninggalkan halaman rumah sakit. Ada sesak yang aku rasakan. Setelah setahun kemarin, ternyata perasaanku belum juga. Berubah terhadapnya. Ternyata perasaan sayang itu masih ada. Ah, Gem. Kenapa harus seperti itu? Aku memukul kepalaku dan tersadar, lalu ngomong ke diriku sendiri, "Sadar, Gendis. Bapak lebih penting sekarang. Kok malah sempat-sempatnya bernostalgia." Setelah meraih kesadaran penuh, aku bergegas ke meja resepsionis, menanyakan di kamar mana Bapak dirawat. Setelah mendapatkan informasi tentang ruangan Bapak aku bergegas menuju kamar Bapak. Aku harus mempersiapkan hati, lagi, untuk menerima dan melihat keadaan Bapak yang sebenarnya, "Kuatkan aku, Allah. Bantu akun untuk tetap bisa tegar menahan air mata di depan Bapak." Doaku dalam hati. Ketika sampai di ruangan Bapak, aku melihatnya tidur, dengan selang infus yang menancap di tangan kanannya. Sudah lama aku tidak memperhatikan Bapak dengan teliti. Ada raut lelah terpatri di wajahnya. Umur yang sudah tidak muda lagi tidak bisa membohongi wajahnya yang sudah mulai timbul dan tampak beberapa lipatan keriput di sana sini. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN