Part 5

1345 Kata
Aku melihatnya seperti sedang menangis, entah kenapa? Aku mencoba mendekatinya, bertanya "Mau kemana, Gendis? Urusan kita belum selesai, loh. Kok kamu udah mau pulang aja?" Tanpa menoleh sedikit pun ke arahku, karena dia sedang berbincang dengan Maya, resepsionis hotelku yang sedang bertugas saat itu. Dia hanya menjawab sekedarnya, "Nanti saya balik lagi, Pak. Bapak saya masuk rumah sakit, saya harus pulang sekarang, saya lagi cari tiket, dari tadi gak dapet-dapet. Tolonglah, Pak, jangan ganggu saya dulu." Aku mengerti sekarang. Rupanya bapak Gendis sedang di rumah sakit sekarang. Aku menjauh sedikit untuk menelepon maskapai milikku, minta satu tiket untuk Gendis. Ketika sudah dikonfirmasi ada tempat duduknya, maka aku langsung bilang ke arahnya, "Ayo, saya antar ke bandara." Dia menatapku dengan tatapan yang galak, ah ... Tapi aku suka, manis juga kalo dilihat-lihat, Gendis dalam keadaan seperti ini. Dia menjawab dengan nada marah dan berteriak ke arahku, "NGAPAIN KE BANDARA, PAK? SAYA BELUM DAPAT TIKEEET!" Aku tidak punya waktu banyak untuk berdebat dengannya. Langsung aku gamit tangannya, dengan dia yang sedikit harus berlari demi mensejajari langkahku yang lebar. Mobilku sudah sampai di lobi hotel, aku bilang ke Gendis, "Naik. Pasang sabuk pengaman." Dia nurut juga. Mungkin percaya pada ucapanku atau dia sedang kalut, jadi otaknya lama memproses semua ini. Aku memerintahkan supirku untuk sampai di Bandara dalam waktu dua belas menit saja, karena jadwal pesawat yang akan dinaiki Gendis tersisa dua puluh lima menit lagi akan lepas landas. Tapi aku sudah bilang ke karyawanku di hangar bandara, tunggu sampai kami sampai, "Bandara. Waktumu lima belas menit, jika lebih dari lima belas menit sampai di sana, kamu saya pecat." Supirku langsung tancap gas, tanpa perduli lalu lintas yang agak padat tapi cukup lancar. Mereka yang bekerja padaku, sudah tau, bagaimana aku akan bertindak, jika ada keinginanku yang tidak terpenuhi. Paling kecil hukuman mereka adalah aku pecat. Bukan, aku bukan kejam. Ini adalah hal yang harus aku lakukan. Aku tidak suka pekerja yang lelet, tidak berdedikasi, banyak mengeluh, dan selalu perhitungan ketika diminta mengerjakan sesuatu. Apalagi yang selalu perhitungan dengan gaji tapi tidak diukur dan dibarengi dengan hasil kerja yang mumpuni, dia akan segera aku enyahkan. Setelah Gendis masuk ke pesawat, aku menelepon orang kepercayaanku untuk naik jiga di pesawat itu, Adrian. Salah satu orang terbaik yang aku miliki, "Ikuti sampai dia mendarat dengan selamat di Lampung, pergi ke rumah sakit dengan selamat, dan laporkan apa saja yang terjadi selama di sana." Adrian mengiyakan ucapanku. Aku harus kembali fokus pada apa yang sedang aku kerjakan. Proyek pembangunan cottage di pedalaman Kabupaten Bandung Barat ini, mendapatkan banyak pertentangan dari penduduk aslinya. Aku sudah beberapa kali mengutus negosiator untuk menawarkan ganti rugi berupa uang yang bisa dibilang cukup besar, dibandingkan dengan harga tanah sebenarnya. Aku mendengar selentingan bahwa ada pengembangan lain yang juga sedang mendekati tetua adat di sana. Mencoba menawarkan jumlah uang yang sepertinya lebih besar dari yang aku tawarkan. Maka aku mengadakan rapat siang ini dengan semua tim dan ketua pelaksana yang menangani proyek ini. Aku meminta Zakiyah, sekertarisku untuk mengumpulkan semua orang di ruang rapat B, "Zakiyah. Kumpulkan semua tim dan ketua pelaksana proyek di Bandung Barat. Jam 11.00 siang ini. Kalo ada satu orang yang tidak datang, semua yang ada di tim itu, termasuk ketua pelaksananya akan aku ganti." Lalu aku mendapat telepon dari Adrian, dia bilang kalo Gendis sudah sampai di Rumah Sakit Sehat Abadi, "Gendis sudah sampai di Rumah Sakit Sehat Abadi, Pak. Hanya saja tadi, karena macet jalanannya. Dari bandara, Gendis naik taksi bandar, di tengah jalan dia memutuskan turun dan naik motor yang sepertinya orang tersebut sudah kenal dengan Gendis. Karena saya lihat mereka sempat terlibat percakapan sebelum akhirnya pergi dengan motor temannya Gendis." Teman? Aku bertanya ke Adrian, lelaki atau perempuan "Temannya itu lelaki atau perempuan, Adrian?" Sedetik, dua detik, Adrian diam. Aku bertanya padanya lagi, "Adrian. Teman Gendis itu, lelaki atau perempuan?" Dengan ragu, Adrian menjawab, "Ehm ... Lelaki, Pak Erick." Aku mendengus kesal. Bisa-bisanya dia ngobrol sama lelaki, padahal di sini dia buru-buru mau pulang. Sampai di Lampung, bukan langsung ke rumah sakit, malah ganjen. Aku meminta Adrian untuk mencari tahu, siapa lelaki itu, "Cari tau semua informasi tentang lelaki itu. Nama, alamat, tempat kerja, pekerjaan, semuanya, SEMUANYA! Dan laporkan secepatnya begitu sudah kamu dapat." Adrian di seberang sana hanya bisa menjawab, "Iya, Pak Erick." Tanpa bisa membantah. Setelah menutup telepon, aku mengepalkan tinjuku, dan membuangnya ke meja. Iya, aku meninju meja. Tepat ketika itu, Zakiya masuk ke ruanganku dan memberitahuku bahwa semua tim dan ketua pelaksana proyek Bandung Barat sudah berkumpul di ruang meeting B, "Maaf Pak Erick, semua tim dan ketua pelaksana proyek Bandung Barat sudah ada di ruang meeting B. Mereka menunggu kehadiran Bapak. Pak ... Astaga, itu tangan Bapak berdarah. Sebentar saya ambilkan kotak P3K." Aku tidak sadar, bahwa tanganku dari tadi berdarah. Yang terasa dari tadi hanya emosiku yang tidak bisa aku kontrol. Aku juga heran, ada apa sebenarnya dengan diriku? Hanya perkara Gendis yang pergi ke rumah sakit untuk menemui bapaknya dengan teman lelakinya saja aku jadi uring-uringan. Hal yang mustahil banget, kan, aku suka sama perempuan muda itu? Aku menenggelengkan kepalaku, mengenyahkan pikiran bodoh, "Sadar, Erick. Usiamu dan dia terpaut puluhan tahun." Tanpa komando dan singkron otak yang baik, aku mengambil handphone dan mencari nama Gendis, mengetikkan cepat sebuah pesan, "Sudah sampai di Lampung? Bagaimana kabar bapakmu, Gendis?" Dan setelahnya, aku malah menyesali hal tersebut. Sudah, daripada aku lebih banyak melakukan kebodohan, aku memutuskan untuk menemui tim dan ketua pelaksana proyek Bandung Barat dan akan fokus pada meetingku kali ini. Ketika ketua tim sedang menyampaikan progres untuk proyek yang ada di Bandung Barat, entah kenapa, aku tidak bisa tenang. Handphone bolak-balik aku lihat. Tidak ada pemberitahuan. Aku mengetuk-ngetukkan jariku di meja. Gendis ke mana? Pesan yang dari tadi aku kirimkan bukan hanya tidak dibalas, bahkan belum dibacanya. Rapat berjalan hampir dua jam dan selama dua jam itu juga aku tidak bisa fokus pada apa yang mereka sampaikan. Otakku seperti mengembang dan mengempis mendengar informasi ini. Ini tidak biasa. Ini bukan aku yang seperti kemarin, entah ada apa. Konyol rasanya kalo aku seperti ini hanya karena Gendis. Astaga, nama itu selalu aku sebut dari tadi. Jadi, daripada semakin gak jelas dan gak nyambung, rapat ini aku hentikan. Aku bilang ke ketua pelaksana proyek ini, bahwa aku meminta laporan keseluruhannya, dan setiap minggunya aku minta untuk dilaporkan progresnya, "Oke.saya rasa cukup. Pak Rahmat, saya tunggu laporan lengkapnya di meja saya siang ini. Saya minta laporan progresnya tiap minggu dan saya kasih waktu Anda dan tim Anda untuk memenangkan proyek ini. Jika dalam satu bulan tidak ada juga kesepakatan, saya akan mengganti tim ini, semua anggotanya termasuk Anda. Dan kalian akan saya pindahkan ke Divisi produksi." Mereka semua terkejut. Divisi produksi adalah divisi di mana tempat pekerja atau buruh harian membuat dan mencetak berbagai macam produk yang jadi produk paten milik kami. Di antaranya, kursi dan meja makan, ada juga ranjang, kursi tamu, dan masih banyak lagi. Semua produk tersebut adalah terbuat dari kayu jati. Tujuh puluh persen produk tersebut diekspor ke luar Indonesia. Singapura, Malaysia, bahkan sampai ke Taiwan dan Irlandia. Setelah meeting berakhir, Pak Rahmat ke ruanganku. Dia meminta waktu lagi untuk waktu lagi, untuk memenangkan proyek ini, "Pak Erick, tolong beri saya waktu lebih lama lagi, tiga bulan, Pak. Saya janji, tiga bulan saya akan memenangkan proyek ini, dan proses pembangunan akan segera bisa dilakukan." Aku bergeming. Tidak ada tawar menawar denganku. Akhirnya kuberikan Pak Rahmat pilihan "Begini saja. Saya kasih dua pilihan. Dalam waktu satu bulan kalian tidak berhasil memenangkan proyek ini kalian semua, satu divisi, akan saya pindahkan ke divisi produksi atau saya beri waktu tiga bulan tidak goal proyek ini, kalian semua saya PHK? Gimana, kamu pilih yang mana, silakan pikirkan dan bicarakan pilihan ini ke tim Anda, Pak Rahmat. Sebelum pulang, jam empat sore ini maksimal, saya tunggu jawabannya dan hasil rapat juga progres dan laporan terakhir mengenai proyek Bandung Barat ini." Terlihat kebimbangan di wajahnya. Aku gak mau tau, terserah bagaimana caranya. Maka setelah Pak Rahmat keluar, aku kembali mengecek handphoneku, dan nihil. Ke mana Gendis? Bagaimana bisa, sudah beberapa jam berlalu, dia tidak juga memberi kabar kepadaku.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN