Part 7_Eric

1570 Kata
Hari ini, jadwal kunjungan ke beberapa agen kain maupun tinta batik dan pemasok lainnya mulai padat. Setelah kemarin aku meminta ke Zakiya untuk istirahat satu hari. Dan sampai hari ini aku masih belum mendapat kabar dari Gendis. Sebenarnya bisa saja, aku menyuruh Adrian untuk mengecek keadaan Gendis. Tapi aku tidak mau belum apa-apa sudah ketahuan bahwa aku membuntutinya. Jadi sementara ini, biarlah aku cukup mendapatkan info dari Adrian bahwa Gendis masih ada di rumah sakit yang sama seperti kemarin dan belum akan pulang hingga satu minggu ke depan, "Kabar terakhir, hari ini yang saya dapatkan dari Dokter Satyo adalah, bapaknya Gendis masih harus dirawat inap minimal lima jari ke depan. Sudah banyak perbaikannya untuk keadaan tubuh dan kesehatan." Aku menanyakan bagaimana kabar Gendis ke Adrian, "Lalu, Gendis bagaimana kabarnya? Apa dia terlihat kurus, kelelahan, apa dia baik-baik saja? Siapa yang biasanya mengurus makanan dan semua keperluannya?" Iya, banyak memang hal yang aku tanyakan ke Adrian.   Adrian memberikan semua detail informasinya ke aku, bahwa selama ini ada pengurus rumah tangganya yang terlihat sering bolak-balik bawa tantang. Mungkin masakan rumah. Gendis juga sempat beberapa kali terlihat keluar masuk parkiran rumah sakit, "Sejauh pengelihatan saya, Bu Gendis baik-baik saja, Pak. Akan saya kabarkan lagi jika ada hal-hal lain yang penting." Oke, aku setuju dengan Adrian. Lalu aku berpesan ke Adrian, bilang ke Dokter Satyo, apa saja penanganan yang perlu dilakukan, lakukan saja, "Bilang ke Dokter Satyo, jika ada obat atau tindakan yang harus diambil untuk Pak Sudibyo, lakukan. Jangan pikirkan mengenai uang. Toh sahamku di rumah sakit itu besar. Tagihkan semuanya ke rekeningku. Jangan sampai karena masalah uang, tindakan yang penting malah tidak dilakukan. Titip Gendis juga ke Dokter Satyo, kalo ada sesuatu yang terjadi sama dia, langsung hubungi kamu dan kamu langsung laporkan ke saya, paham?" Adrian mengerti semua ucapan yang aku sampaikan. Sudah belasan tahun Adrian ikut bekerja denganku. Rasanya dia sudah paham betul bagaimana caraku bekerja. Setelah selesai urusan dengan Gendis, aku mulai berkeliling ditemani Zakiya dan kepala produksi semua divisi. Perkembangan yang cukup lambat sebenarnya untuk produksi batik ini. Belum lagi masuknya produk-produk dari luar negeri yang jauh lebih murah, membuat turun harga dan pasaran batik di Indonesia. Banyak pengrajin batik yang akhirnya gulung tikar. Melihat keadaan ini, aku sepertinya harus mencari cara agar bisnis ini tetap menguntungkan untukku tapi juga bisa tetap memberikan penghidupan bagi orang-orang yang bekerja di dalamnya. Aku berencana untuk mengumpulkan semua pengrajin dan pemasok bahan baku batik di kantorku untuk menawarkan solusi bagi mereka.   "Tawarkan solusi buat mereka, pilihan pertama, mereka menjual semua lahan dan alat produksi serta perlengkapannya dan mereka akan ikut bekerja sama kita dengan gaji di atas rata-rata, yang ke dua, mereka tetap berjalan seperti ini tapi kita akan bantu modal setiap bulannya dengan sharing profit 40% untuk kita dan 60% mereka. Nanti kamu kumpulkan dan buatkan jadwal saya untuk bertemu dan rapat dengan mereka. Sebelumnya atur juga meeting saya dengan orang manager keuangan dan manager strategi market planning, saya mau bahas rencana saya ini dengan mereka." Aku melihat Zakiya mencatat semuanya yang aku ucapkan. Sungguh wanita muda yang unik. Berulang kali aku bilang ke dia bahwa catat semua di note book. Toh memang sudah diberikan inventarisasi oleh kantor. Dia menjawab dengan matanya yang berbinar, "Saya suka menulis, Pak Eric. Walaupun tulisan tangan saya tidak bagus, tapi jika menulis sendiri saya akan lebih mudah ingat hal-hal yang perlu saya kerjakan ketimbang harus saya ketik di note book."   Akhirnya aku membiarkan dia dengan keinginannya dan kebiasaannya, toh gak ada kerjaannya yang cacat atau luput. Aku teringat Gendis, kemarin, sepertinya aku belum mentransfer uang ke rekeningnya, jadi mumpung ingat, aku meminta Zakiya untuk mentransfer sejumlah uang ke rekening Gendis sekarang ini. "Zakiya. Bilang ke Anita, untuk transfer uang ke rekening Gendis lima puluh lima juta. Ambil dari rekening pribadiku. Kalo sudah saya minta bukti transfernya. Suruh di kirim ke kamu." Zakiya mengangguk. Iya, aku memiliki dua sekertaris pribadi, Zakiya adalah sekertaris yang mengurus semua keperluan rapat, pekerjaan, dan berhubungan dengan semua staf dan timku. Sementara Anita adalah sekertaris yang khusus aku pekerjaankan untuk mengontrol semua laporan keuangan perusahaan-perusahaan yang berada di bawah naungan Batik Corp. Perusahaan yang aku bangun dengan darah, keringat, air mata, bahkan cacian dan hinaan dari keluargaku sendiri.   Sambil menunggu sampai ke pabrik selanjutnya, aku mau bercerita sedikit tentang kehidupanku. Aku adalah anak bungsu yang selalu dianaktirikan oleh orang tuaku. Alasannya sangat sepele, karena perawakanku tidak mirip dengan kakak-kakakku yang lain. Aku cenderung memiliki tubuh tinggi besar dan berkulit putih. Sementara semua keturunan Papi dan Mami adalah Jawa tulen. Semua kakak-kakakku mengenyam pendidikan hingga S3 di universitas yang mereka pilih. Sementara aku hanya harus merasa cukup dan puas dibiayai kuliah hingga S1, itu pun di universitas biasa yang tidak terkenal apalagi bergengsi. Setelah lulus dari S1 tersebut, aku keluar dari rumah. Bagiku, aku ada di sana atau tidak hal tersebut tidak memberikan perubahan yang berarti, ada aku tidak menambah bilangan, tidak ada aku pun tidak mengurangi jumlah.   Setahun dua tahun aku luntang lantung di jalan. Jualan kardus, rongsokan, menjadi broker tanah, ambil batik di pasar Klewer, aku coba jajakan ke perumahan elit, lalu aku ambil juga kebutuhan dan keperluan lain dari rumah-rumah rusun dan kontrakan yang ada di sekitar tempat aku ngekost. Aku menabungkan semua uang yang aku dapatkan. Makan, bayar kostan satu kamar, dan keperluan lainnya aku tekan semaksimal mungkin dan aku hidup seirit mungkin. Target pertamaku adalah membeli sebidang tanah yang nantinya akan aku bangun untuk aku jadikan tempat produksi batik. Perlahan aku mulai mempelajari motif batik, cara pembuatannya, bahan bakunya, dan alat-alat apa saja yang dibutuhkan.   Aku mempelajari semua itu dari sebuah keluarga di pasar Klewer tempat aku mengambil batik-batik untuk aku jualkan. Pak Rahardian, pria yang selalu ramah, bahkan sejak pertama aku mengutarakan keinginanku untuk menjual kan batiknya. Aku ingat percakapan hari pertama aku ke kiosnya. Aku mencoba bantu-bantu dulu, awalnya menurunkan bermeter-meter kain batik yang baru sampai dari pemasok. Setelahnya aku duduk di depan toko, sambil mengipaskan bajuku yang penuh peluh. "Diminum, Nak." Pak Rahardian menyodorkan sebotol teh dingin. Aku langsung meneguknya. Lalu dia kembali ke dalam. Saat itu, aku memberanikan diri untuk bilang ke Pak Rahardian, "Pak. Saya Eric. Saya bukan orang jahat, Pak. Saya mohon izinnya untuk membawa beberapa lembar daster dan baju batik untuk saya jualkan di komplek depan sana. Saya gak akan lari, Pak. Sungguh. Saya hanya butuh uang untuk menyambung hidup. Semoga Bapak berkenan."  Tuhan memang ajaib membantuku, tanpa ba bi bu, Pak Rahardian memanggilku masuk, dan bilang ke pegawainya, "Kasih Eric tiga daster motif itu, warna biru, merah, dan ungu. Kasih juga baju kemeja batik tangan pendek dua warna hitam dan hijau, batik tangan panjang dua, warna kuning dan biru." Mataku berbinar. Si pegawai seperti ingin protes, tapi Pak Rahardian pura-pura tidak melihat. Setelah dibungkus dan batik-batik itu diberikan oleh pegawai Pak Rahardian kepadaku, aku langsung pergi ke komplek yang aku tuju. Tiga jam, aku berkeliling komplek yang besar itu, tidak satu pun rumah membukakan pintunya untukku. Tidak. Kehabisan akal, aku meminta izin ke satpam komplek untuk sekedar menawarkan kepada setiap mobil yang masuk. Awalnya satpam tersebut tidak memberi izin, tapi karena melihat kegigihanku, akhirnya izin aku kantongi. Benar saja, strategiku kali ini berhasil. Sisa dua lagi batik yang belum terjual, satu kemeja tangan panjang dan satu daster. Dan waktuku sudah tidak banyak. Pasar Klewer akan segera tutup. Sementara aku tidak tau di mana rumah Pak Rahardian. Lalu lagi-lagi pertolongan Tuhan datang, ada seorang wanita setengah baya yang memanggilku mendekat dan bertanya kepadaku, "Jualan apa, Dik? Sini tak lihat." Lalu aku menyodorkan daganganku, dia langsung bilang, "Bungkus, Dik. Berapa semuanya?" Aku menyebutkan total harga, dan dia memeberiku uang lebih, "Buat jajanmu." Aku tersenyum, mengucapkan terima kasih dan melesat lari langsung ke arah pasar. Dan benar saja, toko Pak Rahardian sudah tutup. Aku bingung, mondar mandir di depan toko, berharap ada orang yang kembali ke toko tersebut. Tapi sampai malam, tidak ada. Akhirnya aku memutuskan untuk tidur di depan toko. Jadi besok pagi, aku bisa langsung menyetorkan uang yang aku dapat ke Pak Rahardian.   Keesokan paginya, Pak Rahardian adalah orang pertama yang membuka toko di sini. Aku ingat, sepertinya tidak kurang dari jam enam pagi, Pak Rahardian membangunkanku, "Eric. Kok tidur di sini, bangun, Nak." Aku gelagapan. Tanpa permisi aku langsung sujud dan meminta maaf ke Pak Rahardian bahwa kemarin aku kesorean selesai jualannya. Begitu sampai toko, ternyata sudah tutup. Lalu aku menyerahkan uang hasil jualanku dan bertanya ke Pak Rahardian, "Kenapa Bapak percaya sama saya dan memberikan banyak batik untuk saya jualkan. Bisa aja, kan, Pak, batik-batik itu saya bawa pergi, saya curi." Jawaban Pak Rahardian yang akhirnya membuatku hormat dan salut banget sama beliau, "Anak muda modelan kamu ini, kalo gak dikasih kepercayaan dan kesempatan gak akan jadi apa-apa. Aku udah berikrar, batik-batik itu aku anggap hilang sejak awal aku berikan ke kamu. Kalo balik ya berarti kamu anak muda yang amanah, kalo gak ya aku anggap aku sedekah. Jadi, hari ini mau jualan di mana lagi? Berapa batik yang mau kamu bawa?" Mataku berbinar, otakku langsung merancang banyak hal.  Satu kesempatan ini, membuka kesempatan lainnya. "Bantu aku sapu dulu itu di depan pintu. Habis itu ke sini, kita sarapan." Bapak, aku memanggilnya. Bapak yang mengangkatku jadi anaknya. Bapak yang tidak ada darahnya mengalir dalam tubuhku, tapi kebaikannya terpatri dalam sanubariku. Lamunanku buyar, ketika Zakiya memberikan bukti transfer ke Gendis, "Pak, maaf. Ini bukti transfer dari Anita. Sudah ditransfer, Pak." Aku mengangguk dan kembali fokus pada semua rencana kerjaku hari itu, karena masih banyak proyek yang butuh perhatianku. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN