Part 6_Gendis

1235 Kata
Sejak pulang dari Jakarta kemarin, aku tidak sempat lagi mengurus pekerjaan. Hanya tulisan yang memang harus dikejar daily saja yang tetap aku kejar dan itu bisa aku komunikasikan lewat email. Yah, walaupun waktunya juga harus aku bagi dengan antara memonitor keadaan Bapak dan mengerjakan daily projectku. Keadaan Bapak, tidak seburuk itu, tapi belum juga bisa dibawa pulang. Bapak masih harus menjalani rawat inap. Kemarin, Dokter Satyo, dokter yang memang sudah sering menangani Bapak, bilang ke aku bahwa ada tulang yang bergeser karena jatuh, "Ada tulang di bahu Bapak yang bergeser, dislokasi kami menyebutnya dan tempurung lutut Bapak juga bergeser karena terbentur lantai kamar mandi. Hal ini disebabkan lutut mengalami tekanan saat Bapak jatuh dan menahan beban tubuhnya. Memang tidak lama dan tidak bahaya, karena dengan beberapa treatment kondisi Bapak akan berangsur-angsur membaik. Tapi untuk saat ini, saya belum bisa memberikan izin Bapak untuk pulang. Karena masih riskan dan berisiko sekali." Aku menghela napas panjang. Bapak jarang banget sakit atau mengeluh sakit. Tapi sekali sakit, terjadi hal yang seperti ini. Aku bertanya ke Dokter Satyo, kapan Bapak bisa pulang, "Kapan Bapak bisa saya bawa pulang, Dok?" Dokter Satyo hanya bilang, "Kita lihat dua tiga hari ke depan, ya. Jika progresnya membaik terus seperti ini, hari ke lima atau seminggu lagi, Bapak sudah boleh pulang." Aku mengangguk, pasrah. Tidak ada yang bisa aku lakukan. Ketika mau keluar kamar Bapak, Dokter Satyo bertanya kepadaku, "Oiya, Mbak Gendis sudah urus untuk paket parkir gratis? Biar gak bolak-balik dikenakan biaya parkir jika harus keluar masuk rumah sakit." Aku lupa dan karena memang gak sempat juga. Gak ada yang bisa menggantikan untuk menunggu Bapak di sini, "Belum sempat, Dok. Gak ada yang gantiin saya jaga Bapak di sini. Gampanglah, nanti saya urus. Toh saya juga gak ke mana-mana." Dokter Satyo mengangguk, "Oke. Kalo ada apa-apa, ke suster jaga saja, ya." Aku mengiyakan ucapan Dokter Satyo, lalu dia keluar kamar. Tidak berapa lama, ada suster yang mengantarkan kartu parkir gratis? Loh ... Padahal aku belum ngurus, kok udah jadi aja? Aku bertanya ke suster yang datang ke kamarku ini, siapa yang mendaftarkan plat mobilku, "Lah ... Sus, saya belom ngurus parkir gratis ini, kok tiba-tiba udah jadi aja kartunya?" Suster tadi hanya tersenyum dan menyerahkan kepadaku, kartu parkir gratis itu dan bilang, "Ada orang baik yang bantuin Mbak Gendis. Rezeki, Mbak." Aku hanya mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Setelah agak senggang, Bapak masih tidur, dan daily project hari ini sudah beres, aku teringat bahwa sejak dua hari lalu aku pulang dan menginjakan kaki di Lampung, aku belum mengucapkan terima kasih kembali Pak Erick. Untuk nomor kerjaan, aku memang sengaja memisahkannya dari nomor pribadi. Nomor kerjaan, memang untuk semua klien artikel, copy writing, juga materi promosi lainnya, termasuk project Pak Erick. Aku menepuk jidat, "Ya Allah, aku lupa ngabari dan bilang terima kasih ke dia. Karena sudah membantuku mencarikan tiket dan mengantarkanku ke bandara." Maka dengan tergesa-gesa aku mencari handphone satu lagi, khusus urusan kerjaan. Tapi entah ada di mana, aku cari berkali-kali di tas yang aku bawa ke Jakarta, tidak ketemu. Aku mencoba menggeledah koperku, yang masih ada dan aku simpan di sini, karena memang aku menginap dan tinggal di sini sementara Bapak dirawat. Setelah semua baju dan barang-barang di dalam koper aku keluarkan, tidak ada satu pun yang menunjukkan keberadaan handphone tersebut. Aku agak kalang kabut juga. Itu handphone kerjaan yang berisi nomor klien dan partner kerja. Aku lalu menghubungi Bi Darmi, untuk memintanya mencarikan handphone tersebut di rumah. Karena kemarin, waktu hari pertama aku sampai di sini, aku sempat mengambil waktu untuk balik ke rumah sebentar, untuk mengambil berkas-berkas kerjaan, juga perlengkapan kerja biasa yang sering aku gunakan sehari-hari. Aku menduga, bisa jadi handphone tersebut tertinggal di rumah. Terjatuh atau mungkin aku lupa meletakkannya di mana. "Bi Darmi, tolong bantu saya, carikan handphone yang biasa saya pakai untuk kerjaan, ya. Casingnya warna ungu tua, wallpapernya foto aku, Bapak, dan Ibu. Tolong ya, Bi Darmi. Itu handphone penting banget. Nomor kerjaan, klien, semua ada d situ." Ucapku kalut ke Bi Darmi. Bi Darmi yang mendengar aku kelabakan seperti itu, mencoba menenangkanku, "Iya. Mbak Gendis tenang, ya. Nanti Ni Darmi carikan. Kalo memang kebawa dari Jakarta, pasti ada, kok, di rumah. Nanti kalo udah ketemu Bi Darmi kabarin, ya, Mbak. Gimana kabar Bapak, Mbak Gendis?" Lalu aku menceritakan apa yang tadi dibilang dan disampaikan oleh Dokter Satyo, bahwa Bapak harus dirawat dulu. Minimal dipantau beberapa hari ini, "Masih harus rawat inap, Bi Darmi. Kalo kondisi stabil terus seperti ini, minggu depan udah boleh pulang. Tolong carikan handphone saya itu, ya, Bi Darmi. Makasih sebelumnya, Bi." Aku lalu menutup telepon dan mengingat-ingat kembali, di mana handphone itu aku letakkan. Bapak memanggilku, mendekat ke arahnya, "Nak, Gendis. Sebentar, Bapak mau ngomong." Aku mendekat ke arah Bapak. Aneh, Bapak biasanya gak seperti ini. Kalo ada yang mau dibicarakan, di mana pun aku berada atau lagi ngapain pun aku dan melakukan apa, Bapak kalo mau ngomong ya ngomong. "Kenapa, Pak? Ada yang sakit? Apa yang dirasa? Mau aku panggilin dokter atau suster?" Bapak menggeleng dan bilang, "Bukan. Bapak mau ngobrol sama kamu." Aku mendekat ke Bapak dan menarik kursi yang ada di sebelah ranjang beliau agar lebih dekat, "Bapak mau ngomong apa nih, kok serius banget kayaknya. Gendis jadi deg-degan." Bapak tersenyum ke arahku, "Salat lima waktumu gak pernah lepas, kan, Dis? Salat tahajud, duha, dan selepas salat wajib, masih dijaga, kan, Nak?" Aku mengangguk ke arah Bapak dan menjawabnya, "Insyaallah masih dijalankan dan akan Gendis jaga, Pak. Tolong Do'akan Gendis istikamah, ya." Aku mengelus lembut tangan keriput Bapak. "Bapak punya satu pertanyaan. Maafkan, mungkin pertanyaan ini membuatmu gak nyaman. Kapan mau nikah?" Deg. Hatiku seperti dihantam godam. Bapak gak pernah menanyakan hal ini sebelumnya. Bapak gak pernah ikut campur dalam urusan pribadiku. Hanya sekali, kemarin, sebelum aku memutuskan hubunganku dengan Gama, beliau yang paling vokal menentang hubungan kami. Tapi kali ini, kenapa Bapak berpikiran untuk menanyakan hal ini ke aku? Aku mencoba tenang untuk menjawabnya dan tidak menunjukkan keterkejutanku, "Kok tiba-tiba, ya, Bapak nanya begini. Udah gak sabar banget nih, mau punya mantu?" Aku mencoba berseloroh dan ketawa. Bapak tersenyum dan menjawab pertanyaanku dengan tersenyum pula, senyum Bapak yang seperti biasanya, "Gendis tau, kan, belakang ini kesehatan Bapak udah mulai menurun. Bapak cuma mau, sebelum Bapak pergi dari dunia ini, sudah ada yang menemani kamu, Nak. Bapak gak akan tenang, jika tiba-tiba Bapak pergi sebelum ada pendamping hidupmu. Mulai pikirkan hidup, Dis. Jangan terlalu mikirin Bapak." Aku terdiam. Kenapa Bapak bicara seperti ini, aku gak mau Bapak pergi, walaupun nanti aku sudah ada pendamping. Aku hanya menjawab pertanyaan Bapak dengan singkat, "Kalo jodohnya udah ada, pasti nyamperin Gendis, Pak. Udah ya, jangan banyak pikiran, Pak. Sekarang ini yang penting Bapak sehat dulu. Urusan lainnya, kita pikiran lagi nanti, ya." Lalu kami diam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Sementara aku masih menunggu kabar dari Bi Darmi tentang handphoneku yang belum juga ketauan rimbanya di mana, aku sepintas melihat Dokter Satyo, ehm ... Berdiri di depan pintu, tapi langsung pergi, ketika aku melihatnya. Ada apa ya, sebenarnya. Beberapa hari ini, aku mendapatkan banyak hal yang dikirim ke kamar Bapak, tapi suster yang mengantarkan hadiah, makanan, dan yang terakhir adalah bunga, tidak mau menyebutkan siapa yang memberiku banyak hadiah tersebut. Mereka seperti sudah disumpah untuk tidak membocorkan informasi apa pun. Seperti gerakan tutup mulut mahasiswa yang demo di DPR. Entahlah, aku masih gelisah menunggu kabar dari Bi Darmi mengenai handphoneku yang hilang bagai ditelan bumi. Kok bisa-bisanya aku lupa. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN