Part 8_Eric

1335 Kata
Setelah berkunjung ke beberapa pemasok batik, bahan baku maupun peralatan. Aku juga mampir ke toko Bapak. Iya, Bapak masih membuka tokonya. Walaupun sekarang toko itu dikelola sang anak, tapi Bapak setiap hari tetap akan ada di sana. Customer lama yang sudah nyaman bertransaksi sama Bapak, tetap mencari Bapak ketika datang ke toko. Aku mendapat cerita dari anaknya Bapak yang menunggu toko, bahwa ada seorang customer yang memang adalah customer yang sudah lama bolak-balik beli di toko ini, hampir tidak jadi belanja karena tidak ada Bapak yang ikut membantu memilihkan batik untuknya, "Bapak sampe harus aku jemput dari rumah, loh, Mas Eric. Demi memenuhi keinginan customer tersebut. Karena kalo kehilangan pelanggan, kan toko ini juga yang merugi." Aku sampai terheran-heran. Tapi, hal itu gak aneh, sih. Cara Bapak menghadapi customer memang beda. Bukan semata ingin semua barangnya habis terjual, tapi Bapak juga ingin memberikan apa yang customer butuhkan. Ini prinsip yang juga aku terapkan, ketika kemarin masih menjajakan batik dan barang jualanku lainnya. Bapak bilang, "Jika sekedar beli batik, toko di depan sana lebih banyak variasi warna dan modelnya. Alasan kenapa banyak customer yang balik lagi ke sini terus menerus adalah, karena Bapak memberikan mereka masukan, saran. Jika Bapak rasa tidak cocok untuk mereka, Bapak akan bilang tidak cocok. Bapak akan tawarkan barang lain. Respon mereka memang berbeda-beda.Ada yang langsung beli, ada juga yang tetap pada pilihan pertamanya, ada juga yang gak jadi beli. Ya gak apa-apa. Yang pasti, ketika mereka keluar dari toko ini, mereka tidak merasa ditipu." Ketika sampai di toko Bapak, aku melihatnya sedang duduk di meja kasir. Usia sudah menggerogoti tubuh tua itu. "Pak, apa kabar?" Sapaku begitu masuk ke toko. Dia bangun dan menyambutku. Pelukannya masih sehangat dulu. Tidak berubah. Bapak lalu menuntunku untuk duduk dan bilang bahwa dia baik-baik saja, "Bapak sehat. Kamu gimana kabarnya?" Dan kami berbincang beberapa saat. Obrolan kami harus terhenti ketika Zakiya masuk ke toko dengan wajah khawatir, "Pak Eric, Mas Edwin barusan telepon ke handphone saya, karena handphone Bapak tidak diangkat. Kata Mas Edwin ada maminya Pak Eric di rumah." Astaga, ngapain perempuan tua itu ke rumah? Karena tidak mau terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan, aku langsung pamit ke Bapak, "Pak, maaf, obrolannya harus dihentikan dulu. Nanti saya mampir lagi ke sini." Aku lalu bergegas menuju mobil, meminta supir pribadiku langsung menuju rumah. Aku bilang ke Zakiya, minta security kantor sepuluh orang ke rumah, "Sekarang, bilang ke kepala security kirim anak buahnya sepuluh orang, yang sudah sertifikasi taekwondo, jujitsu, dan menembak. SEKARANG!" Zakiya langsung mengangguk dan menelepon ketua security di kantor. Call me over reacted, yes I'm. Kalian bisa memanggil dan melabeliku seperti itu karena kalian tidak tau, bagaimana kelakuan keluargaku terhadapku, well ... Terhadap satu sama lain antar mereka. Aku sudah jarang, sangat jarang sekali berhubungan sama keluarga gak waras ini. Sejak hari aku dibuang, sejak Bapak memberiku kesempatan menjajakan batiknya, sejak saat itu aku memutuskan untuk tidak berhubungan apalagi menghubungi mereka. Aku bersumpah, lebih baik mati daripada harus meminta uluran tangan dan belas kasihan mereka. Sopir pribadiku sudah paham dengan kondisi ini, dia memacu laju mobil secepat yang dia bisa. Jarak tempuh dari toko Bapak ke rumah memakan waktu tiga puluh menit dengan rata-rata kecepatan normal. Tapi, dalam keadaan seperti ini, Pak Kir, supirku, mampu mengendarai mobil dan sampai di rumah hanya dalam waktu lima belas menit. Iya, secepat itu. Makanya, selain Adrian, Zakiya, Anita, Pak Kir salah satu orang kepercayaanku. Mereka ada berdiri ketika aku sedang merintis Batik Corp. Rela pernah tidak digaji dua bulan karena tagihan ke customer yang macet. Mereka rela menunda untuk membayar kebutuhan pribadi mereka dan bahkan harus merelakan kebutuhan keluarganya, kebutuhan keluarga mereka, bayar kostan dan kontrakan, ngirit makan, demi tetap ada di sisiku. Loyal. Sesampainya di rumah, aku sudah melihat orang-orang dengan seragam keamanan kantor. Syukurlah, mereka sudah sampai di sini lebih dulu. Aku berjalan menuju pintu masuk dengan setenang mungkin Zakiya aku minta untuk tetap di mobil bersama Pak Kir, "Tunggu di sini. Jika terjadi sesuatu, langsung hidupkan mobil, tunggu saya di luar selama sepuluh menit. Jika saya tidak keluar, kalian pergi ke rumah Klaten. Paham? Jangan ada yang jalan menuju kantor apalagi ke ruangan saya." Zakiya dan Pak Kir mengangguk mengerti. Sesampainya di depan pintu, aku melihat Mami sudah duduk di meja makan dengan Edwin yang ada di seberangnya, "Ada apa, Mi? Gak biasanya Mami ke sini?" Edwin sudah memberi kode untukku bahwa keadaan sedang tidak baik. Aku menyuruhnya untuk keluar, "Edwin, tolong ambil tas kerjaku di mobil." Mami bergeming. Tidak bicara sepatah kata pun. Setelah Edwin keluar, seketika Mami mengeluarkan senjata api dari tasnya dan menodongkan ke arah kepalaku, aku yang sebetulnya kaget tetap menahan agar wajahku tidak kalut dan tidak terlihat takut. Aku tetap berusaha tenang, "Kita bisa bicarakan baik-baik. Sebenarnya ada apa, Mi?" Dengan napas memburu, Mami berteriak, "Kenapa proyek Bandung Barat belom juga kamu lepas, hah? Anak gak tau diri. Aku sudah bilang, lepas proyek itu, biar Richardo yang menanganinya. Aku akan membunuhmu sekarang, jika kamu masih saja bersikukuh untuk meneruskan proyek itu. Tapi jika kamu menyerah, aku sudah membawa surat untuk ditanda tangani, senjata api ini akan aku turunkan, dan aku pergi dengan tenang setelah semuanya selesai." Aku baru menyadari, bahwa pihak Mami lah yang selama ini menjegal proyek Bandung Barat, dasar Richardo, lelaki pengecut. Beraninya berdiri di belakang pundak Mami. Aku masih memutar otak untuk bisa keluar dari situasi ini. Lama aku terdiam, berharap pihak keamanan ada yang mengerti kodeku. Aku mengedipkan mata dan salah seorang dari mereka mencoba memahaminya. Aku mencoba memberi instruksi lewat ucapan yang seolah aku tunjukkan ke Mami tapi sebetulnya untuk mereka, "Mami, kita bisa bicarakan ini baik-baik. Oiya, di halaman depan, dekat pintu pagar, sepertinya ada pot bunga yang pecahkan, tolong jangan lama-lama di sini karena aku harus pergi membeli yang baru." Sepertinya pihak keamanan mengerti maksudku. Dia mengambil pot di dekat pintu keluar lalu membantingnya ke lantai. Ketika perhatian Mami terpecah, aku dengan secepat kilat berusaha lari ke arah pintu keluar. Tapi rupanya Mami menyadari hal tersebut, dia meletuskan senjata tersebut dengan membabi buta. Aku berusaha untuk tetap fokus pada rencanaku. Rupanya Mami juga membawa orang-orang keamanannya. Setelah hampir mencapai gerbang keluar, satu peluru dari senjata api Mami mengenai lenganku. Darah segar mengalir dari sana, aku tidak perduli. Melesat menuju mobil dan meminta Pak Kir untuk melajukan mobil. Aku melihat Mami masih menembak ke segala penjuru. Dan Edwin panik, Zakiya menyuruh Pak Kir ke rumah sakit, "Ke rumah sakit, Pak." Zakiya lalu menelepon pihak rumah sakit, "Tolong bersihkan lorong lantai dua puluh tiga. Siapkan kamar untuk Pak Eric, siapkan dokter, lengan Pak Eric tertembak." Aku pikir luka ini gak terlalu dalam, karena hanya seperti digaris dengan ujung pisau saja tadi rasanya. Tapi lama kelamaan darah yang keluar semakin banyak dan deras. Aku hampir kehilangan keseimbangan. Setelah sampai di rumah sakit, Pak Kir langsung menuju lantai dua puluh tiga menggunakan lift khusu mobil yang memang aku rancang jika hal-hal seperti ini terjadi. "Telepon Andrian. Suruh dia ke sini sekarang juga, Zakiya. Ceritakan keadaan yang baru saja terjadi. Edwin, setelah ini kamu ikut Pak Kir dan Zakiya ke rumah Klaten. Diam di sana dulu sementara, jangan pakai handphone dan jangan buka media sosialmu untuk sementara waktu, paham?" Edwin mengangguk. Dia dan aku sering berselisih paham. Tapi tidak untuk hal yang satu ini, dia tau kondisi yang kami hadapi sejak hari pertama aku beritahu jika neneknya adalah manusia kejam yang tidak berperasaan. Sesampainya di lantai dua puluh tiga, tim dokter dan perawat sudah menungguku di sana Mereka langsung membawaku ke ruang operasi. Aku disuntik dan dibius total untuk mengeluarkan peluru yang sejak tadi bersarang di lengan kiriku. Aku tidak tau betapa lama operasi berjalan, hanya saja ketika aku sadar, sudah ada bruder yang memang sengaja ada di ruangan untuk menungguiku. Iya, perawat laki-laki. Aku tidak suka, jika aku harus dipantau dan dicek berulang kali oleh suster atau perawat perempuan. Khusus aku, permintaanku adalah ketika aku memang membutuhkan ruangan ini untuk rawat inap, maka harus dipastikan perawatnya adalah lelaki. Aku tidak nyaman jika harus berinteraksi dengan perempuan lain selain orang-orang yang memang sudah terbiasa berinteraksi denganku
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN