Part 9_Eric

2100 Kata
Setelah sadar dari bius operasi kemarin, aku membuka mata, dan menemukan diriku terbaring sendirian di ruangan ini. Ruang rawat inap yang memang khusus aku bangun untuk aku dan keluargaku. Jadi dalam satu lorong ini, ada tiga kamar rawat inap, satu ruangan operasi yang alat serta kelengkapannya sama dengan alat dan kelengkapan ruang operasi di bawah, emergency room, ruang perawat, sanitari, dan semua yang ruangan, alat, kebutuhan yang ada di rumah sakit pada umumnya aku pindahkan ke sini. Kenapa? Ya, karena hal seperti ini mungkin dan bisa saja terjadi. Hari ini, aku yang mendapatkan perlakuan dan luka seperti ini, besok, bisa jadi anak keturunanku. Iya, aku menyadari bahwa keluargaku tidak akan melepaskan aku sampai aku mati nanti. Bahkan mungkin sampai anak keturunanku hilang dari muka bumi. Sejak aku pergi dari rumah, lima tahun kemudian, ketika aku berumur dua puluh tujuh tahun dan sudah menjadi seorang pemilik rumah batik sederhana namun cukup diperhitungkan dan gaung namanya cukup dikenal di Jogja, dengan serta merta keluargaku menghubungiku dan mencari di mana keberadaanku. Papi yang awalnya adalah orang paling pertama yang menginginkan aku untuk keluar dari rumah, justru saat tau aku sudah memiliki usaha dan bisnis sendiri adalah orang yang paling pertama mendatangiku di toko. “Wah, hebat anak Papi sekarang. Sudah punya bisnis sendiri, kamu juga terlihat lebih terawat. Harusnya kamu berterima kasih ke Mami dan Papi yang sudah menggemblengmu menjadi seperti ini. Kami melakukan hal kemarin karena memang ingin mengajarimu arti hidup, berjuang, dan berusaha berdiri di atas kaki sendiri.” Aku mendengkus kesal. Mengajarkan arti hidup, berjuang, dan berusaha? Aku yang baru berusia belasan tahun, diusir dari rumah, ditelantarkan, tidak dianggap, apalagi dicari, mereka bilang seperti itu? Bagaimana dengan kakak-kakakku yang sampai detik ini masih tinggal bersama mereka. Bagaimana kabar kakak-kakakku yang sampai saat ini masih menjadi benalu di rumah, karena masih minta uang ke Papi, rumah tangga mereka juga masih dibiayai Papi, bahkan mereka dibangunkan dan dihibahkan kantor untuk masing-masing. Aku? Jangankan kantor, jangankan rumah, bahkan nyawaku pun saja tidak ada harganya di mata mereka. Maka kedatangan Papi tersebut justru membuatku meradang, “Ada perlu apa Papi ke sini?” aku melihat wajah dan mimik muka Papi langsung berubah. Dari yang tadi di awal tersenyum, sumringah, menjadi kaku dan dingin ketika aku menanyakan hal tersebut. Aku tidak suka basa-basi, apalagi dengan mereka ini. Benar, mereka adalah orang tuaku. Tapi mereka tidak pernah berlaku dan bertindak seperti orang tua pada umumnya. Aku dibuang, diabaikan, dan dihinakan. Sampai harus tidur di jalan, ngemper di ruko-ruko hanya sekedar untuk meluruskan pinggang dan menghabiskan malam sambil beristirahat dengan memejamkan mata. Tidak terpikir bahkan bisa memiliki toko batik sendiri. Bukan, bahkan tidak terpikir bagaimana aku bisa meneruskan hidup, gelap semua dalam bayangan. Cahaya cerah itu hadir ketika Bapak mau membantuku. Beliau yang memberikan kepercayaan penuh padaku, sungguh, jasa Bapak tidak akan pernah bisa aku gantikan dengan apa pun. Bahkan, toko batik pertamaku yang berdiri, hampir sembilan puluh persen semua dimodali sama Bapak, “Buka tokomu sendiri, Nak. Jangan terus jadi pekerja. Karena di agama kita lebih banyak pintu rezeki terbuka lewat jalan berdagang, jadi, seriusi usahamu ini. Di dekat Malioboro sana, ada toko Bapak yang sudah lama tidak buka. Hanya jadi tempat foto-foto anak muda dan wisatawan yang mampir ke Malioboro jika sedang berlibur, insyaallah tempatnya bagus, ramai dikunjungi orang. Besok kita lihat, ya. Sekalian kamu coba rancang juga, bagaimana strategi yang bagus untuk meneruskan toko itu.” Aku takjub. Bapak, orang yang tidak kenal sama sekali denganku, bahkan mempercayakan tokonya, asetnya, hartanya, jadi milikku. “Ini aku beli aja, ya, Pak. Aku nyicil bayarnya ke Bapak. Biar aku gak ada beban ke depannya dan biar ada juga hasil jerih payahku yang terlihat.” Bapak mengangguk. Maka mulai hari itu, aku belajar mengenai batik sama Bapak. Mulai dari jenis, corak, bahan baku, alat-alat, sampai harga jual, pembukuan, dan juga hal-hal baru yang tidak pernah aku dapatkan sebelumnya. Tiga bulan dari pertama kali aku mengunjungi toko tersebut, pas tanggal satu Oktober 2004, toko itu resmi di buka. Tadinya hanya memakai nama Batik Tradisional sebagai nama tokonya. Tapi dua bulan setelahnya, aku dapat ide, bahwa nama toko tersebut aku ganti jadi Batik Coorpotation. Ini bentuk doa dan harapan juga buatku, bahwa kelak suatu saat nanti, nama tersebut tidak hanya menjadi nama toko batik, bisa juga sebagai nama pusat oleh-oleh, toko kain, restoran, bahkan hotel. Papi yang melihat aku berdiri di depan toko dengan dua anak buah yang membantu, mengajakku bekerja sama untuk menjadi supplier batik di perusahaannya, “Kita bikin kontrak kerja sama. Tokomu memasok batik ke semua toko oleh-oleh yang ada di tempatku. Khusus untuk kamu, karena kamu adalah anakku, maka bagi hasil yang aku tawarkan adalah 40% kamu dan 60% aku, dengan syarat, jika batik tidak laku terjual kami akan retur. Biaya angkut, kirim barang, retur, semua ditanggung oleh kamu. Loh, iya, donk. Kan tokomu dapet untung dan yang kirim barang.” Dengan cepat dan tegas aku menggeleng. Tawaran seperti ini tidak akan pernah aku terima. Bukan masalah hitungan jual dan keuntungannya, aku sudah terbiasa bertransaksi dengan perusahaan besar sekali pun. Hubungan kerja sama yang baik, tidak hanya berdasarkan untung dan rugi tapi juga komunikasi dan keterikatan kami satu sama lain. Merasa dipermalukan karena tawarannya ditolak, Papi meradang. Dia murka, marah karena aku tidak mau bekerja sama dengannya, maka kata-kata mutiara yang tidak enak didengar pun keluar, “Dasar anak gak tau diuntung, sudah bagus perusahaan besarku mau bekerja sama denganmu. Tidak pernah ya, kamu jadi anak membahagiakan orang tua. Benar sudah keputusan aku dan istriku, belasan tahun lalu membuangmu. Anak model kamu, yang asalnya lumpur akan tetap jadi lumpur. Tidak pernah mau berterima kasih atas semua yang dilakukan orang tuanya. Tidak menyesal kemarin aku dan istriku membuangmu tapi menyesalku saat ini, berdiri di sini, mengajakmu bekerja sama.” Lalu dia keluar dari tokoku menuju mobilnya. Aku sudah lega, karena manusia jahat itu tidak berlama-lama di sini. Tapi dugaanku salah, ternyata dia ke mobil untuk mengambil linggis, dan kembali ke depan tokoku kemudian memecahkan kaca tokoku dengan linggis tersebut. Untung saat itu hanya ada aku dan kedua pegawaiku. Kebetulan memang masih agak pagi, jadi belum terlalu banyak pengunjung yang datang. Aku hanya menginstruksikan ke pegawaiku agar mereka masuk dan menjauh dari tempat kejadian tersebut dan membiarkan Papi melampiaskan kekesalannya. Karena setelah ini, aku sangat berharap, Papi atau Mami atau kakak-kakakku berhenti mengganggu hidupku dan mencoba berbaik-baik kepadaku padahal ada maunya. Setelah mungkin puas dengan apa yang dilakukannya, aku ke depan dan mulai membereskan kekacauan yang dibuat Papi, disusul pegawaiku yang membantuku. Aku bilang ke mereka hari ini kita libur dulu, “Hari ini kita libur dulu, ya. Ke depan sana gih, pesan mi ayam 3 bungkus, es teh manis sama sate telur puyuh. Kalo mau pesan yang lain beli aja. Kita sarapan bareng.” Aku bilang begitu ke pegawaiku yang perempuan, Mbak Narti, karena aku lihat dia yang paling kaget sama kejadian barusan. “Itu bapaknya Pak Eric, ya?” tanya Dimas, pegawai lelakiku. Aku mengangguk, “Hubungan kami memang tidak baik. Oiya, setelah ini, cari tempat untuk bisa pesan CCTV, ya. Pasang di beberapa titik di toko ini. Pasang juga di depan toko, parkiran toko kita, dan ruang kerja saya. Biar kalo ada kejadian seperti ini lagi, kita punya bukti untuk melaporkan siapa saja yang berbuat onar ke kantor polisi.” Mengingat masa lalu membuatku bersyukur ada di titik sekarang. Mungkin ini juga yang membuatku terlalu keras pada diriku sendiri. Aku tidak pernah menerima alasan lupa, gagal, tidak tau, tidak bisa. Karena buatku, semua hal yang ada di dunia ini bisa dipelajari, tidak ada yang tidak mungkin jika kita mau berusaha. Aku membalikkan tubuhku, agak lelah juga karena terlalu lama berbaring. Tidak berapa lama, dokter pribadiku datang dan mengecek keadaan tubuhku, “Semua baik-baik saja, Pak Eric. Pelurunya tidak terlalu dalam menembus lengan Bapak. Hanya saja, sementara ini Bapak harus memakai penyangga tangan agar tangan yang terkena tembak tidak terlalu sering bergerak.” Aku menggeleng, hanya luka kecil seperti ini saja, masa harus pake penyangga tangan segala, “Gak usah. Saya sudah tidak apa-apa. Setelah ini saya akan langsung ke kantor.” Dokter menggeleng, “Gak bisa, Pak Eric. Bapak harus di sini dulu selama dua atau tiga hari. Memang lukanya tidak terlalu dalam, tapi Pak Eric kehabisan banyak darah. Minimal sampai tekanan darah Pak Eric normal, saya baru bisa kasih izin.” Kalo Dokter Bram sudah bersikeras begini, berarti aku memang harus diam di sini dan beristirahat tanpa bisa ke mana-mana. Jadi aku meminta perawat pria untuk membantuku membenahi selang infus ini dan aku minta tolong panggilkan juga OB yang bisa menyiapkan tempat kerja untukku, “Aku minta satu perawat pria untuk bisa membenahi infus dan selang-selang ini agar aku bisa mudah bergerak dan OB yang bisa membantuku setting tempat kerjaku di sebelah situ,” Aku menunjuk pojokkan kamar yang memang sudah ada meja dan kursi kerja, hanya saja masih ada beberapa hal yang harus aku letakkan di sana, “Zakiya apa menitipkan handphoneku ke suster atau resepsionis di depan, Dok?” Dokter Bram mengangguk, dia lalu pamit untuk keluar dan memanggilkan seorang perawat laki dan OB. Setelah beberapa waktu aku menunggu, perawat laki-laki, diikuti OB, dan siapa itu? Ada wanita yang mengikuti mereka berdua dari belakang, Emily? Mau apa dia ke sini? Tau dari mana dia kalo aku dirawat di sini, dan siapa yang memberinya akses untuk masuk sampai ke kamar ini? "Ada apa ke sini? Siapa yang mengizinkanmu masuk ke ruangan ini?" Aku meradang. Harusnya wanita ini gak ada di depan mataku lagi. Entah apa maunya. Ketika ditanya seperti itu dia hanya tersenyum dan bilang bahwa mau menjengukku, "Santai Eric. Aku gak bakal buat keributan di sini, aku hanya bermaksud menjengukmu karena aku dengar dari Edwin kamu dikejar dan ditembak mamimu sendiri. Bukan hal aneh lagi, sih, ya. Keluargamu memang seperti itu." Aku diam, tidak menanggapi apa yang diucapkannya. Setelah selesai memasang semua keperluan yang aku butuhkan, aku langsung membuka laptop dan mengecek kerjaan yang harusnya hari ini sudah selesai. Untung saja, Zakiya dan Anita bisa aku andalkan, aku merasa sepertinya aku butuh Adrian untuk ada di sini, berjaga-jaga. Lalu aku meneleponnya dan memintanya datang, "Andrian, ke rumah sakit sekarang. Minta akses sama Zakiya atau Anita. Aku tunggu maksimal setengah jam kamu sudah sampai di sini." Setelahnya aku membereskan semua pekerjaan kantor yang harus diselesaikan malam ini, aku tidak memperdulikan Emily, biar saja dia mau duduk di situ sampai kapan. "Aku mau menjodohkan Edwin dengan Anindita, sekertaris pribadiku." Tiba-tiba saja dia buka suara, entah apa yang ada di dalam kepalanya selalu tidak ketebak. Aku yang keheranan kenapa tiba-tiba dia mau menjodohkan Anindita dan Edwin, berpikir, mungkin Emily mau Edwin berada dalam genggaman tangannya sehingga bisa dengan leluasa dan seenaknya mengambil harta dan kekayaanku semaunya. Aku harus mencari tau, apa motif sebenarnya dia bertindak seperti ini, "Ada apa, kok tiba-tiba mau menjodohkan anakku dengan sekertarismu? Apa yang sedang kamu rencanakan di dalam otak kecilmu itu? Apa masih tidak cukup santunan setiap bulan dariku, fasilitas yang tidak pernah aku cabut di spa, club golf, restoran, bahkan hotel milikku yang aku bebaskan untuk kamu nikmati?" Dia bergeming, aku tau sikap itu, sikap di mana dia tidak sedang bernegosiasi. Semenit dua menit kami saling menatap, "Aku mau Edwin mendapatkan istri yang baik. Anindita perempuan baik, datang dari latar belakang keluarga yang keturunannya baik, aku bisa jamin. Edwin sudah cukup umurnya, jangan biarkan dia terus-terusan bertindak semaunya tanpa bertanggung jawab pada kehidupannya." Well ... Sejujurnya aku penasaran dengan pikiran Emily, sejak kapan dia perduli pada Edwin? "Jangan terlalu memikirkan hal yang tidak perlu kami pikirkan, Edwin tanggung jawabku, menikah dengan siapa, bagaimana hidupnya, apa yang dia lakukan, sudah. sejak lama aku yang bertanggung jawab atas itu. Sejak kamu selingkuh dengan lelaki itu dan kamu memilih untuk pergi dengan dia, lebih tepatnya, sejak saat itulah, Edwin adalah anakku dan tanggung jawabku." Dia tidak menjawab ucapanku, hanya berdiri, mengambil tasnya, dan beranjak keluar, "Pikirkan dan pertimbangkan tawaranku, sebelum kamu menyesal dan anakmu hancur." Aku yang dari tadi diam dan mencoba mencerna semua perkataannya bahkan belum menangkap apa maksud dari ucapannya. Apa sebenarnya maksud dari semua yang dia lakukan ini. Bahkan dia datang tanpa aku tau bagaimana caranya dia sampai sini, lalu bilang mau menjodohkan Edwin dengan sekretarisnya, dan barusan seperti ada ancaman atau sesuatu mengenai Edwin yang dia ketahui tapi tidak mau dia bagi denganku mengenai apa itu. Aku mulai merangkai semua kejadian, sejak awal ini terjadi, ada apa sebenarnya semua ini, apa lagi ini? Jika. Emang Edwin berada dalam ancaman atau bahaya, kenapa Emily tidak berterus terang kepadaku atau justru dia yang sedang berada dalam masalah, tapi mencoba mengkambinghitamkan Edwin, aku, dan hidup kami yang sudah baik-baik saja sejak dia pergi. Dasar Emily, perempuan aneh. Entah apa maunya? 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN